Laksana langit yang tak pernah kehilangan rinainya, perasaan seseorangpun seakan tidak pernah kehilangan kekuatan meski berkali-kali kesempatan seolah sengaja merenggut waktu bersama. layaknya gadis-gadis yang tengah dilanda Cinta, Ify melebarkan senyumnya pada siapapun yang menyapanya sepanjang koridor sekolah, wajahnya berseri, langkahnya ringan bak seorang putri seolah hanya dia seseorang yang tengah bahagia di dunia ini.
Ia memandangi lengannya senang, wangi maskulin dari jaket yang hendak dibawa ke kelas membuat sensasi berboncengan sepanjang jalan kembali terasa, sungguh... dia bahkan tidak membayangkan jika mereka akan naik motor ke sekolah. bukan apa-apa, dia fikir Rio akan memanfaatkan kesempatan ini untuk mengistimewakannya, membawanya pergi bak seorang ratu yang tidak boleh lecet sedikitpun, dia pikir Rio akan menjemputnya naik mobil mewah seperti saat mereka menghadiri pesta Bu Winda malam itu, tapi ternyata semua dugaannya salah.
"Woy, neng. seneng amat!"
Ify meringis melihat siapa yang datang, rupanya si pipi bakpau, Sivia. "Sendirian aja, Vi?"
"Iya nih, mas-mas ketos lagi sibuk"
Ify tertawa melihat ekspresi sebal Sivia, ya... wajar sih kalau sahabatnya itu bete kuadrat gara-gara cowoknya terlalu sibuk, Gabriel 'kan ketua Osis, urusannya banyak, organisasilah, ektrakurikulerlah, belum lagi yang lain-lain. "Sabar dong, Vi... gue juga dikacangin kok sama mas gebetan, masak iya sepagi ini doi udah ngurusin bola, nyebelin banget kan?" lanjutnya mencoba mengimbangi perasaan Sivia, mereka tertawa bersama.
❇❇❇
Siang ini SMA Cakrawala akan mengadakan pertandingan persahabatan melawan SMA budi wacana dari Semarang, meski bukan kompetisi resmi, uforia suporter Cakrawala selalu sangat istimewa, sejak menang di turnamen Nasional waktu itu, popularitas tim semakin melejit setiap harinya.
Rio mengomandoi para pemain menggantikan tugas Riko yang disibukkan dengan persiapan ujian karena sudah kelas dua belas, setelah cukup breefing dan straching ringan untuk persiapan tanding, mereka berkumpul membuat lingkaran, Rio berpusat di tengah, mengatur formasi permainan dan siapa saja yang akan turun.
"Rioooo...!"
Rio menghentikan aktifitasnya mendengar suara lain yang memanggilnya, dia memutar kepala mencari sumber suara, tampak dari kejauhan sebuah tangan melambai kearahnya, dia tersenyum melihat siapa yang datang. "Kka, gantiin bentar..."
Cakka mengangguk paham, "Siaaaap!"
Rio berlari kecil menghampiri seseorang di ujung lapangan, anggota tim kompak mengalihkan perhatian pada kaptennya yang mendadak berlalu.
"Ehheeemmm!" Cakka berdehem keras, menatap garang rekan mainnya yang masih sempat mencuri pandang ditengah pemanasan yang tengah mereka lakukan, yang ditatap demikian hanya tertawa.
"Hai, Ik. akhirnya sampe juga, gimana perjalanan?" sapa dan tanya Rio begitu jarak mereka sudah dekat.
Gadis itu mengacungkan jempolnya senang, "Puas banget, gue jarang ke Jakarta soalnya, makasih loh atas undangan tandingnya, suatu kehormatan banget nih buat gue dan tim bisa main lansung sama kalian..." ceritanya antusias.
"Alaaah, Ini mah nggak sebanding sama bantuan lo buat Cakrawala, kalau nggak ada bokap lo ceritanya pasti lain..." tanggap Rio merendah.
"Yaudahlah yaa... eh, ngomong-ngomong Iyel mana nih?" Oik mengalihkan pandangannya ke lapangan setelah melontarkan pertanyaan tersebut, Rio memutar bola matanya sebal. 'nggak di berlin, nggak di jakarta, tetep aja Iyel yang dicariin!'
"Oik cantiiiik, ini di Jakarta loh ya, beda sama berlin! inget, Kak Iyel udah punya pacar ja--"
"Iyaa Rioooo... Iya, gue nggak bakal macem-macem kok, cuma kangen dikit, dikiiiiit aja bener deh..."
"Yaudah, tapi inget loh, jaga sikap, jaga cara bicara, jangan sembarangan gandeng orang, sembarangan peluk, sembara-"
"Kayak gini ya..." Oik bergerak cepat, memeluk Rio sampai membuat laki-laki itu terlonjak lantaran tidak siap di serang mendadak, melihat itu Oik tertawa lalu mengamitkan lengannya dengan lengan Rio erat, bergelayut manja dengan senyuman lebar, "Nggak bolehnya sama Iyel doang, kan ya? berarti sama lo nggak apa-apa dong? Yaaa... lo nggak kalah ganteng kok sama Iyel. nggak dapet kakaknya adiknya juga boleh..." ujarnya santai.
Rio menghela nafas pasrah, mau bagaimana lagi, memang sudah bawaannya seperti ini, manja, supel dan cuek, dia hanya berharap jika Ify melihatnya, atau mendengar kejadian ini, tidak akan ada salah paham diantara mereka.
"Yaudah, ayok ah ke lapangan. gue udah nggak sabar mau liat ketampanan kakak lo..."
"Iyaaa... iyaaa..."
Rio pasah menyerah, keduanya berjalan ke lapangan masih dengan lengan saling terpaut yang tentu mengundang perhatian siapapun yang melihat, tidak terkecuali Ify yang memandang dari kejauhan, hatinya mendadak panas.
"Duuh... siapa sih tuh cewek! berani-beraninya dia gandeng gebetan gue kayak gitu, liat aja sampai gue tahu siapa dia, gue patahin lo!" ujarnya sebal, saking emosinya dia sampai tidak sadar pensil Sivia yang berada ditangannya sudah patah jadi dua.
"Yaah... yaah... patah, Vi..." sesalnya meratapi pensil yang tampak memprihatinkan ditangannya, menangkupkan tangan menatap sivia, meminta maaf.
sementara itu...
Di lapangan basket sedang terjadi sedikit kehebohan, Gadis yang baru datang itu kini menjadi pusat perhatian.
"Hallo semua, kenalin ini Oik. salah satu manajemen basket Budi Wacana..." Rio mengenalkan Oik pada anggota tim yang sudah penasaran sejak tadi.
Oik tersenyum dengan sedikit menundukkan kepala, memberi salam "Salam kenal ya, seneng deh bisa ketemu kalian semua..." ujarnya ramah. detik berikutnya dia menghampiri Cakka, memeluknya seperti yang dia lakukan pada Rio tadi, "Huaaah Cakka... Gue kangen deh sama lo!"
Cakka tertawa kecil membalas pelukan gadis itu sebentar, "Yakin nih, kangen gue? bukannya Gabriel?" selorohnya.
Skakmat! Oik menegang, wajahnya memerah, dia melepaskannya pelukannya dari Cakka.
"Kenapa sih? kok bawa-bawa gue?" Gabriel yang merasa namanya disebut turut berkomentar sambil menunjuk diri sendiri.
Oik gelagapan, dia melirik dengan tatapan mengintimidasi, "Kalau sampe lo ngomong macem-macem, gue cium lo!" bisiknya mengancam, Cakka malah cengar-cengir.
"Udah... udah... Prepare yuk semuanya, bentar lagi pertandingan di mulai!" interupsi Rio menghentikan obrolan tidak penting mereka yang sukses membuat Oik menghela nafas lega, bisa tengsin dia kalau sampai rahasianya terbongkar.
❇❇❇
Gabriel dibuat binggung dengan tingkah Sivia yang mendadak mendiamkannya dalam perjalanan pulang, dia sudah berusaha mengajak Sivia mengobrol tapi kekasihnya tatap tak bergeming, pandangannya terus lurus tanpa berniat menoleh sedetikpun.
Ckkitt...
Gabriel menghentikan mobilnya di tepi jalan tidak jauh dari rumah Sivia, tidak mungkin dia membiarkan masalah berlarut apalagi sampai memulangkan Sivia dengan keadaan kacau seperti ini.
"Ada apa sih, Vi? kenapa kamu diemin aku? coba jelasin sama aku apa yang buat kamu jadi kayak gini?" ujarnya lirih seraya memutar wajah, menangkup wajah Sivia yang masih menunduk dengan kedua tangan yang bebas.
"Lepas!" Sivia meronta tidak suka, memaksa membuka pintu dan keluar dari mobil begitu saja.
Gabriel mengejarnya, meraih lengan Sivia sebelum gadis itu semakin jauh, "Tunggu, Vi... setidaknya kamu jelasin dulu apa masalahnya!" nadanya mulai menaik menahan emosi.
"Cewek yang tadi itu, Dia cewek yang di berlin, kan? dia yang ada sama kamu pas kita teleponan? iya kan?" sentak Sivia keras setelah menghempaskan ganggaman lawan bicaranya.
Gabriel mengangguk perlahan, "Iya, kamu bener! Oik itu temen aku dari SD, Dia itu kakak kelas aku sebelum aku pindah ke Singapore, kita nggak sengaja ketemu di berlin pas olimpiade" dia mencoba menjelaskan.
Sivia mengangguk puas, hendak berjalan lagi saat Gabriel lagi-lagi berhasil menahannya.
"Kamu marah aku temenan sama oik? kenapa? kita cuma temenan kok, nggak lebih..." jelas Gabriel mencoba mencari benang merah.
"Kamu salah, Yel! Ini nggak semudah yang kamu fikirin!"
"Maksud kamu?"
"Ini nggak semudah yang kamu fikirin, Oik itu suka sama kamu!"
Gabriel mendelik tidak percaya, "Kamu apa-apaan sih! jangan berlebihan dong, Vi. kamu jangan asal ngomong"
"Aku nggak asal ngomong yel! Kita sama-sama perempuan, aku tahu gimana tatapan cewek yang lagi suka sama cowok, tatapannya ke kamu itu beda, aku bisa ngeliat itu jelas banget pas dia ngeliatin kamu main"
"Vi, nggak ada bukti kalo Oik suka sama aku..." keukuh Gabriel.
"Yel, aku lihat sama mata aku sendiri, kamu jangan belain dia terus!"
"Siapa yang bela dia sih! Oke, kalaupun emang Oik bener suka sama aku, terus kenapa? hati aku udah milik kamu, di hati aku udah ada kamu, cuma ada kamu, Vi..." Gabriel berujar lirih, berusaha meyakinkan gadisnya yang mash diliputi amarah.
"Rasa suka itu bisa tumbuh kapanpun, dimanapun, dan dengan siapapun seiring berjalannya waktu yel, kamu bisa aja suka sama dia, kamu pas--"
"Jadi kamu ngeraguin aku? kamu nggak percaya sama aku? astaga, Vi... harusnya kamu lebih tahu aku dibanding siapapun. Oke kalau gitu, terserah kamu aja..." Gabriel beranjak meninggalkan Sivia, kembali ke mobilnya dengan langkah lebar.
"Oh! Jadi gitu? Kamu itu kebiasaan ya, Yel! selalu aja ngehindarin masalah! Oke, lagian aku rela kok nyerahin kamu sama Oik, kayaknya dia emang lebih pantes buat kamu dari pada a--"
PRAANG...
Sivia tidak melanjutkan kalimatnya, dari kejauhan dia bisa melihat Gabriel memukul kaca samping mobil hingga pecah, entah sekeras apa lelakinya itu memukul benda tersebut hingga membuatnya hancur berkeping-keping.
"Kamu lihat kaca ini, Vi? hati aku jauh lebih rapuh ini, nggak perlu kamu pukul, kata-kata dari bibir kamu aja cukup buat hati aku jauh lebih hancur dari kaca ini," Gabriel melangkah lagi, kembali mendekati Sivia dengan serpihan kaca yang tergengam di tangannya, "Aku bukan barang yang bisa kamu kasih ke orang lain seenaknya, aku bukan patung yang bisa kamu relain sesuka hati kamu! aku punya hati, Vi. aku punya perasaan. Tapi ya, kalau kamu bersikeras berfikir kayak gitu tentang aku, lebih baik kamu pergi aja, kamu tinggalin aku. Aku bukan barang yang bagus buat kamu, silahkan kamu cari barang lain yang bisa kamu kasihin ke siapapun kalau kamu udah bosan!"
Sivia tertegun menatap kepergian Gabriel, lelehan bening menetes deras dari sudut matanya, dia menyesal, bagaimana mungkin? bagaimana dia berkata seperti itu? bagaimana dia bisa mengatakannya dengan begitu mudah padahal dia tahu, dia pernah merasakan bagaimana sakitnya kehilangan gabriel dimasa lalu dan itu sangat menakutkan. Sivia menggigit bibirnya takut, dari posisinya berdiri, dia memperhatikan Gabriel yang sesekali meringis menahan perih sembari membersihkan lukanya, dia tampak kesusahan menuangkan obat merah dan perban pada lukanya yang terus mengeluarkan darah.
"Nggak bisa kalau cuma pakai satu tangan..." tanpa banyak bicara Sivia meraih tangan Gabriel yang terluka, membersihkan dan membalut lukanya dengan hati-hati. sekuat tenaga dia menahan diri untuk tidak menangis, setiap ringisan yang keluar dari bibir Gabriel membuatnya sesak, Dia merasa sangat bersalah, semua ini ulahnya, Gabriel bisa sampai terluka karena keegoisannya.
"A... Aku, a... ma... maafin aku, yel! gara-gara aku kamu jadi kayak gini. harusnya tadi aku nggak ngomong gitu, aku nyesel..."
Gabriel menatap gadisnya lirih, mendung yang bergelayut manja di kelopak mata gadis itu semakin gelap. belum hilang kepedihannya saat lelehan bening itu akhirnya turun hingga membasahi lengannya, gadisnya menangis sekarang. dia menghela nafas panjang, mengusap airmata itu dengan jemarinya, menariknya dalam pelukan. "Nggak semua hal bisa disimpulin pakai mata doang, Vi. Kita bisa selesain semuanya dengan cara baik-baik."
Sivia mengangguk pelan, "Maafin aku ya, yel!"
"Iya... udah, jangan nangis lagi ya?" Sivia memeluknya senang.
Gabriel diam merasakan pundaknya kembali basah, mungkin memang begini cara wanita mengekspresikan perasaannya, senang atau sedih tetap saja mereka menangis.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top