40 - Kunci Rumah Seberang
Alvin memandangi ponselnya gusar, tiga hari sudah dia tidak berkomunikasi dengan Shilla lantaran ucapannya yang mungkin membuat gadis itu tersinggung dan marah. sebenarnya, Dia sama sekali tidak berniat menyakiti perasaan Shilla dengan berkata demikian, tapi entah kenapa ucapannya tidak terkontrol, kata-kata itu keluar begitu saja ditengah perdebatan yang sejatinya tidak ada hubungannya dengan urusan perasaan.
'Ini impian kamu dari lama, Vin. Apa salahnya memilih tinggal sama beliau mumpung masih sanggup. Lagian, Rio bukan anak kecil lagi, dia bisalah jaga diri, dia juga punya keluarga, Vin. Menurut aku, nggak ada salahnya kamu bilang jujur soal Papa kamu, bilang yang sebenernya kalau kamu mau tinggal sama beliau, aku yakin Rio pasti ngerti sama posisi kamu yang sekarang'
Yap.
Benar,
Semua yang dikatakan Shilla malam itu memang benar, tapi bagaimanapun juga justru Alvin yang merasa berat untuk pergi, setelah menemani sekian tahun, menghabiskan banyak waktu bersama, tentu rasanya tidak semudah kepulangan tamu yang biasa datang hanya dalam hitungan jam, ada ikatan yang semakin hari akan semakin menguat, semakin dalam, semakin agung dan sulit ditemukan porosnya.
Rio berarti lebih dari sekedar sahabat, bahkan saudara, Rio sudah seperti bagian dari keluarga yang mana jika salah satu pilar di dalamnya hilang, kekuatannya tidak lagi seimbang. Jelas, dia tidak bisa berterus terang tentang masalah ini, bukan karena takut, melainkan tidak sanggup jika dia harus benar-benar terusir sementara hari kepulangan Papanya ke Indonesia semakin dekat.
"Aaaargh, masalah dunia doang rumit banget sih!" gumamnya frustasi.
Daripada semakin gabut dan tidak tahu harus berbuat apa, Alvin memilih beranjak dari singgasananya, hendak mengunjungi kamar si tuan muda yang baru beberapa hari rilis dari ranjang pesakitan, minimal dia bisa membuat onar, merusuh, atau apapun untuk menjernihkan pikiran.
Cklek!
Alvin membuka pintu tanpa mengetuk lebih dulu, melangkah lebar mendekati Rio yang tampak berdiri di balkon kamar, tengah menelepon seseorang. demi tidak mengganggu aktifitas sahabatnya, dia memilih untuk tiduran di kasur bigsize milik sang putra mahkota.
"Woy!"
Alvin membuka matanya malas, saking lamanya menunggu, dia hampir ketiduran. netranya memandangi Rio yang tidak biasanya berpakaian rapi disaat libur seperti ini. "Tumben Lo udah rapi? mau ngapelin Ify?" ujarnya sakartis.
"Kagak, Ikut yuk, liat-liat rumah seberang..."
"Dih, ngapain?" tanggap Alvin seadanya, setahunya rumah sebelah itu memang sudah lama kosong, hanya sesekali tampak ada petugas kebersihan yang datang untuk lalu pergi lagi.
"Temen gue ada yang mau pindahan, di rumah depan" Rio menujuk rumah di seberang jalan dari jendela, jika dilihat sekilas modelnya tampak sama dengan rumah ini, hanya sedikit lebih kecil.
Alvin mengangguk saja, tanpa menunggu lama keduanya memilih turun dan beranjak keluar, melangkah menyeberangi jalan raya menuju rumah tersebut.
"Kok Lo punya kuncinya sih, Yo? Emang ini rumah siapa?" Komentar Alvin begitu Rio berhasil membuka pagar samping rumah yang tampak sangat sepi sekali.
"Oh, tadi gue di titipin sama yang punya ni rumah..."
Alvin mengekori mengekori langkah Rio yang sudah mulai memasuki halaman rumah ini, rupanya sudah rapi, beberapa tanaman dan kursi panjang putih tertata cantik seolah sudah lama dihuni oleh seseorang, "Setahu gue rumah ini kosong, beneran nih rumah udah ada penghuninya, nggak keliatan angker sih..." ujarnya bingung.
Rio mengangguk, "Sebelumnya sih gitu, tapi dua hari lalu pemiliknya ngutus beberapa pekerjanya buat beresin, soalnya udah ada yang beli ini rumah..."
"Tahu darimana lo?"
"Ya, tahu aja"
Alvin mengangguk pasrah, kalau boleh jujur, interior rumah ini keren juga. meski tidak sebesar rumah Rio, penataan taman serta furniture yang tersedia membuatnya seperti berada em, dirumah sendiri mungkin.
Tokk...
Tokk...
Tokk...
"Ngapain pake ngetuk pintu sih, kan lo udah punya kuncinya!" lagi-lagi Alvin berkomentar.
Rio menoleh sebentar menatap lawan bicaranya, belum sempat dia menjawab pertanyaan tersebut saat derit pintu dibuka lebih dulu menarik perhatian.
Haaaaah ...
Alvin diam ditempat, membiarkan wajah terkejutnya bertahan cukup lama, matanya mengerjap berulang, berupaya memastikan pantulan wajah yang baru saja tertangkap inderanya.
Benarkah? benarkah sosok yang menguasai pandangannya saat ini adalah beliau? tapi bagaimana mungkin? bukankah beliau baru aja datang tiga hari lagi? Ah... Alvin, jangan bilang Lo lagi berhalusinasi.
"P... Pa... Papa?" suaranya tercekat.
Pak Nathan tersenyum, menatap putranya setelah sekian lama berpisah sejak hari itu, malam dimana beliau yang masih diliputi kepedihan terpaksa meninggalkan Alvin dirumah Marcel, sahabat yang juga rekan kerjanya untuk beberapa alasan, terutama karena kepergian istrinya yang sangat mendadak.
Beliau memilih menyibukkan diri dengan pekerjaan, mengerahkan seluruh waktu dan tenaga untuk membesarkan usahanya, hingga tanpa sadar beliau telah melewatkan banyak hal, putranya sudah tumbuh sedemikian baik, jagoannya itu kini bahkan lebih gagah dan lebih tinggi darinya. "Ka... Kamu gagah ya sekarang, Vin... ganteng lagi, pacar kamu pasti cantik, nih..."
"Pa..."
"Maafin Papa ya, Vin. Selama ini Papa nggak pernah ngurusin kamu, Papa malah sibuk sama urusan lain, Pa... Papa malah-"
Alvin menubruk tubuh tegap Pak Nathan didepan pintu, memeluk beliau penuh kerinduan, lama sekali rasanya tidak pernah senyaman ini.
"Udahlah, Pa... Udah, nggak apa-apa, Alvin ngerti Papa ngelakuin semua ini juga buat Alvin." serahnya.
"Kalau gitu, kamu mau kan tinggal lagi sama Papa? kita mulai semuanya dari awal lagi..."
"Maaf, Pa. Tapi a... Alvin nggak bi-"
"Kenapa nggak bisa?" potong Rio cepat, netranya menatap nyalang Alvin yang gugup setengah mati.
"A... Gu... Gue, gu..."
"Lo kasihan ya sama gue? Lo nggak bisa ninggalin gue gara-gara gue sakit? Iya?"
"B... bu.. bukan gitu, Yo! ta... tapi gue-"
"Sudahlah, Vin. Papa udah tahu kok, Rio udah cerita sama Papa, makanya itu, Papa mutusin buat beli rumah ini ke Rio..." Pak Nathan menengahi seraya menepuk pundak putranya.
"Rumah ini? ke Rio? gimana sih, Pa? Alvin nggak ngerti!"
"Selow, man..." sela Rio seadanya.
"Dengerin Papa mau ngomong," Pak Nathan kembali menarik badan Alvin untuk menatapnya, setelah kondisi memungkinkan beliau mulai menjelaskan, "Jadi, rumah ini tadinya jatahnya Gabriel dari Om Marcel, Papa nggak tahu gimana caranya tiba-tiba Rio nawarin rumah ini buat kita tinggal, dia mau ngasih dengan cuma-cuma tapi Papa nggak mau, yaa... akhirnya kita sepakat kalo Papa mau nempatin rumah ini dengan status Papa membelinya dari Gabriel"
Alvin memutar kepalanya, menatap tajam Rio yang malah cengar-cengir seolah tidak ada apa-apa.
"Hehehe, sorry, gue nggak sengaja deng-" suara Rio terhenti saat tiba-tiba Alvin menubruk tubuhnya, beruntung mereka berdua tidak jatuh.
"Kapan sih, Lo mikirin diri sendiri! Kapan Lo bisa mentingin diri Lo dulu? Lo nggak bosen ngurusin gue mulu, hah!" Alvin malah ngomel-ngomel.
"Ya... gu... gue kan, e... emang baik hati dan tidak sombong, Vin" Rio terkekeh lagi, "lagian kalau gini kan, Lo jadi tenang sama bokap Lo sambil nemenin gue juga, sebelahan ini" Alvin mengangguk pasrah masih di posisi semula, pelukan teletubies.
"Gue nggak ngerti harus bilang apa sama lo, gue sebel, gue kesel, marah, semuanya deh! Lo emang sohib paling gila di dunia"
"Makasih Lo malah ngatain. Udah ah melukin guenya, kalau cewek-cewek pada liat, pamor kita bisa turun tahu!" Alvin tertawa sambil melepaskan pelukannya, berganti tinjuan ringan di pundak.
"Gue serius lo malah bercanda!"
"Jadi, Papa sama Rio udah nyiapin semuanya, kamar kamu di lantai dua, ini kuncinya..."
Alvin mengangguk senang, menerima kunci itu lalu menarik Rio ke lantai dua untuk melihat kamar barunya.
Cklek...
Alvin tertegun, Wow amazing. Bagaimana mungkin desain kamar ini bisa sama persis dengan kamarnya yang ada dirumah Rio, tata letaknya, lukisannya, bunga bahkan bingkai foto di nakas dekat kasur juga sama. Alvin menatap takjub kamar barunya, semakin takjub saat pandangannya terpusat pada dua orang yang sangat dikenalnya sedang duduk manis di depan televsi sambil memainkan playstation.
Astaga...
segala teka-teki dibenaknya terjawab sudah, siapa lagi yang bisa berbuat hal segila ini selain mereka. Dia berlari kearah kedua sahabatnya, mengacaukan permainan mereka.
"Jadi lo berdua terlibat juga?" ujarnya sakartis.
"Ya iyalah, kodok! kalau bukan kita, terus siapa yang milihin bunga kesukaan lo di taman, plus aksesoris yang sama persis kayak kamar lama lo yang norak itu" sahut Cakka sekenanya.
Alvin menunduk haru, "Thanks banget sob! gue nggak tahu mau ngomong apa lagi"
"Whoaa! sama sama, Ko! torang samua basudara iyoto iyoto iyoto?" sambung Gabriel.
"Woy! dialek kebanggaan gue, main samber aja" komentar Rio, mereka tertawa bersama.
"Ngomong-ngomong, Lo kapan kasih tahu mereka, Yo?"
"Pas gue minta lo beliin pulsa buat nelpon..."
Alvin menepuk jidatnya frustasi, ide orang yang satu ini memang seringkali lolos dari perkiraannya. "Pantesan, gue udah curiga, Putra Mahkota nggak punya pulsa..."
"Jadi, setelah ini lo tinggal minta maaf sama Shilla, dia pasti khawatir sama Lo" sambung Gabriel kemudian.
"Ta... tapi, gue bingung, Yel..."
"Bingungin apa lagi coba? Apa iya, nunggu shilla berpaling dulu baru lo mau minta maaf? Iya?!"
"Omongan lo malah bikin gue ragu sama shilla, Yo!"
"Oke, Oke, Sorry! tapi apa iya, Lo nggak ngerasa kalau ini terlalu nyakitin buat dia, kasian Shilla, Vin. Lo nyuekin dia tanpa alasan yang jelas" Rio meralat kata-katanya, dia baru saja diberitahu Ify setelah dia dan kawan-kawan berhasil membujuk Shilla untuk bercerita.
"Rio bener, Shilla pasti nggak sengaja ngomong gitu sama Lo, dia cuma salah nangkep maksud Lo doang" koreksi Cakka.
Alvin diam, "Tapi... dia nggak ada hubungin gue, Kka! dia nggak kelihatan mau damai sama gue, dia pasti marahlah! dia pasti kecewa sama gue, dia pasti nganggep gue childish, kasar, egois..." Alvin mengacak-acak rambutnya frustasi, disatu sisi dia tidak ingin kehilangan Shilla tetapi disisi lain dia juga tidak ingin terlihat lemah di depan gadis itu.
"Alvin Jonathan, fikiran lo kejauhan tahu nggak! harusnya lo tuh lebih tahu siapa Shilla dibanding kita semua, Lo lebih tahu seberapa besar sayang dia sama lo! lo nggak lupa perjuangan dia 3 tahun ini, kan?"
"Udahlah, nggak apa-apa. Kita yakin lo bisa selesain ini sendiri, alesan Shilla nggak ngehubungin lo, belum tentu karena dia marah, mungkin aja dia sengaja nungguin lo..."
Alvin mengangguk pasrah, "Iya, iya, nanti gue minta maaf sama Shilla..."
Mereka yang tersisa mengacungkan jempol serempak, tidak lama kemudian semuanya kompak tertawa, entah apa yang mereka tertawakan yang jelas tawa mereka kali ini sangat lepas.
Rio menepuk pundak Alvin keras, "Yaudah, sekarang waktunya Lo sama bokap lo,"
"Dan... sama kita juga tentunya." Tutup Cakka seraya menarik Alvin menuju karpet bulu di dekat televisi, menyerahkan stick agar Alvin ikut bermain, sementara Rio menjalankan tugad dadakan, menjadi perusuh suasana.
Alvin tersenyum puas ditengah permainan yang semakin seru. Bagaimanapun, kehadiran sahabat dan segala cerita yang mengitarinya merupakan corak hidup yang tidak akan sanggup ia hapus dengan cara apapun. Dia tidak membayangkan, jika hari itu dia tidak mengenal Rio, entah akan segelap apa masa kecilnya. Jika hari itu dia tidak mengenal Gabriel, maka mungkin dia tidak akan pernah tahu betapa berartinya sebuah keluarga yang telah bersusah payah menjaga, membesarkan, memberi pendidikan hingga dia tumbuh dewasa. Jika hari itu tidak ada Cakka, mungkin jiwa es dalam dirinya tidak akan melebur dengan cara yang indah seperti apa yang Cakka berikan, ah... betapa adilnya tuhan kepada kita, Ia dzat yang selalu mendatangkan solusi dalam setiap persoalan manusia.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top