39 - Persaingan itu Mutlak
Cinta tidak semudah namanya, Ia terlampau kuat hingga mampu membuat kaum pencinta rela mengabaikan hidupnya demi menghampiri si Cinta dengan kekuatan penuh. Ia luar biasa hebat hingga jalan seterjal duri terasa biasa. Ia juga pengertian, Ia membiarkan kaumnya mendefinisikan perasaan mereka dengan cara berbeda!
---
Mentari memancarkan kehangatan dari peraduannya, menyinari dunia, membawa kehidupan dalam cerah yang membahagiakan bagi siapa saja yang menginginkannya. Dibalik jendela ruang rawat, dia yang sudah terjaga sejak pagi memilih menikmati semilir angin dari tempatnya berbaring, menghabiskan beberapa malam disini tentu membuatnya merasa ringkih, seperti kakek-kakek saja harus berlama-lama dirumah sakit. tapi ya, bagaimana lagi. Jadwal tes dan berbagai pemeriksaan penunjang yang selama ini dia sepelekan justru menjadi aktifitas wajib gara-gara Ayah tirinya, Pak Tama menandatangani surat penunjang perawatan yang diajukan dokter, membuatnya tidak bisa mangkir dari jadwal itu karena Beliau yang harus bertanggung jawab jika hal itu terjadi. Yaa, jiperlah dia, sungkan sendiri.
Pantulan cahaya oranye bergradasi biru cerah menarik minatnya untuk bangun, berjalan perlahan menuju tepian jendela, membusungkan dada, menghirup udara sebanyak mungkin untuk memenuhi paru-parunya lalu menghembuskannya perlahan. Dia meraba dada kirinya, merasakan jantung yang berdetak perlahan dan seirama, sungguh syukurnya luar biasa karena Tuhan masih memberinya banyak kesempatan untuk melihat kemegahan dunia, menyaksikan sang surya menampakkan cahayanya di pagi hari.
Disaat bersamaan, Pintu ruangan yang tidak tertutup rapat memantulkan suara lain yang nyaris seperti bisikan, Rio menajamkan pendengarannya, nada suara yang tidak biasa membuatnya ingin tahu, dia melangkah pelan mendekati pintu, jiwa stalkernya keluar, dia semakin mendekatkan telinga begitu melihat Alvin sedang membelakanginya.
"Iyaaa Pa, aku tahu..."
".............................."
"Iya, Alvin seneng, tapi kalau Papa maunya gitu Alvin minta maaf, Pa"
"..............................."
"Tapi, Pa... Alvin tetep nggak bisa...."
"..............................."
"Bukan gitu, Alvin seneng kita bisa tinggal bareng lagi, tapi untuk waktu dekat ini Alvin nggak bisa, Pa."
"................................"
"Nggak apa-apa, emangnya kapan Papa pulang..."
"................................."
"Lusa?"
"................................."
"Pa... tapi Alvin..."
".................................."
"Pa, Alvin mohon ngertiin Alvin, Rio lagi sakit, Pa..."
"..............................."
"Makasih ya, Pa. Alvin tutup ya?"
Klik.
Rio agak tergesa kembali ke ranjangnya begitu melihat Alvin bangun dari posisinya, takut ketahuan. Dia merebahkan badannya asal, pura-pura tidur. Berbagai pemikiran seketika berkembang dalam kepalanya mengingat pembicaraan Alvin dengan Pak Nathan yang kelihatannya sangat penting.
"Yo... udah pagi nih!"
Rio melenguh pelan, membuka matanya perlahan, pura-pura bangun tidur sebagai pelengkap aksinya. Hal pertama yang dia lihat adalah Alvin yang sudah rapi dengan seragam Cakrawala dan tersenyum kearahnya, senyum datar yang biasa.
"Gue ke sekolah dulu, mau latihan buat pertandingan minggu depan itu, Lo nggak lupa kan?"
Rio mengangguk. "Iya, Nitip tim ya, sekalian bilangin Iyel suruh telepon, Gue nggak ada pulsa"
"Yaelah... tumben Putra Mahkota nggak punya pulsa, bagi duit gue beliin..." seloroh Alvin seadanya.
"Biasanya juga lo ambil sendiri tuh duit"
Alvin tertawa "Yaudah deh, gue duluan. Baik-baik lo!" pamit Alvin lagi. Rio mengacungkan jempolnya, memandangi kepergian Alvin hingga anak itu menghilang di balik pintu.
❇❇❇
Para Dewan guru dan staff SMA Cakrawala dibuat bangga dengan kekompakan tim basket Cakrawala yang tetap menjalankan latihan preposisi meski tanpa pemimpin, absennya Rio beberapa hari terakhir tidak membuat tim kekurangan persiapan apalagi buntu strategi sehingga latihan hari ini berjalan cukup baik dan terstruktur.
Tim inti yang kali ini di gawangi Gabriel, Alvin, Cakka, Obiet dan Debo tengah melawan tim 2 yang di gawangi Riko Cs dan beberapa anggota cadangan. Mereka memainkan 2 babak dengan peraturan super ketat, pertandingan persahabatan bukan alasan untuk bermain alakadarnya, tetap dibutuhkan persiapan yang matang agar tidak kualahan pas hari H. Kini bola berada ditangan Alvin yang bergerak mendekati ring tim lawan di dekat garis three point, Riko berjaga didepannya, dia berhenti, melihat bola sekali lagi kemudian menembakkannya keras..
Brrukk...
Si Oren menawan meluncur mulus tanpa menyetuh pinggiran ring sama sekali. Wuuuaaaah, Semua pemain mengalihkan perhatian pada tembakan itu, menatap takjub gerakan spektakuler yang baru saja terjadi, Keterampilan melempar secantik itu tentu tidak mudah, dibutuhkan skill dan keyakinan permainan level tinggi untuk bisa melakukan tembakan sempurna.
Alvin mengulum senyum di akhir tembakan, tiba-tiba saja dia ingat Rio pernah mendiktenya hanya gara-gara dia telat mengambil umpan, dia ingat Rio pernah bilang kalau Kunci permainan cuma satu, fokus sama si oren! Jangan biarin dia selingkuh! Nggak ada cerita pemain terpesona dan lengah dilapangan cuma gara-gara lawan nyetak poin duluan, dia selalu mengingat itu baik-baik, sangat baik malah.
Peluit panjang berbunyi, semua anggota mulai membubarkan diri, mengambil minuman masing-masing, menyeka keringat, beristirahat sejenak, mengembalikan tenaga yang terkuras,
"Ini baru namanya basket, main gila-gilaan, kaki gue sampe lemes" curhat Cakka seraya merebahkan tubuh di tepi lapangan, disusul pemain lain yang sama lelahnya.
Alvin mengalihkan perhatian setelah beres minum, memperhatikan Gabriel yang duduk agak jauh dari kerumunan. Merasa ada yang tidak beres, dia menepuk bahu Cakka, kemudian beralih menunjuk Gabriel dengan dagunya, mereka saling pandang.
Cakka bangkit duluan, menghampiri Gabriel dengan membawa botol minum, tanpa mengganggu aktifitas yang lain, dia berlutut, mensejajarkan tubuhnya dengan Gabriel yang menyembunyikan kepalanya di balik lutut. "Yel, lo nggak apa-apa?" bisiknya tertahan, dia tersenyum mendapati Gabriel menggeleng masih dibalik lutut, setidaknya dengan mendapatkan respon berarti tidak ada kendala berarti.
"Nih, minum dulu," ujarnya lagi
Alvin yang datang bersama Debo lansung mendekat juga, menanyakan hal yang sama.
"Ternyata, Gue masih bisa rasain detakannya, Gue masih bisa rasain nafas gue sendiri, hah... hah..." Gabriel mengangkat wajah yang sudah seputih kapas, mengatur nafas yang timbul tenggelam lalu menarik ujung bibirnya untuk tersenyum, "Gue pikir gue nggak bakal sanggup selesein latihan, tapi ternyata gue salah" lanjutnya lirih, tubuhnya nyaris terhuyung kalau saja Alvin tidak sigap menahannya.
"Yel, Lo nggak apa-apa kan?"
"Jangan bikin gue takut kenapa sih!" bentak Cakka.
Debo memeriksa denyut nadi dan nafas Gabriel yang masih setengah sadar, "Santai, Bro! udah nggak apa-apa kok, kecapekan aja kayaknya" lapornya.
"Pinter banget sih Lo jadi manusia, jantung lo tuh cuma satu, bahaya tahu nggak maksain kayak gitu"
"Belum lagi resiko diamuk adek lo yang galaknya naudzubillah"sahut Alvin
"Iya... iya, sorry, gue nggak mikirin sampai situ, gue cuma pengen main sampe puas, dan kalian harus tahu gue seneng banget bisa main sepuas tadi..." jelasnya sesekali tertekeh.
Ctaakk...
Ctaakk...
Ctaakk...
Jitakan beruntun dari dua orang disana tak ayal membuatnya meringis kesakitan, mereka benar-benar kejam, sudah tahu dia sakit masih saja disiksa. "Dasar kakak kelas nggak dewasa! Lo tahu kita khawatir nggak sih? kalau Lo mau main, bilang! gue temenin tapi nggak gini caranya!" sewot Alvin.
"Gue kandangin juga Lo!"
Gabriel tertunduk, "Sorry, Man! Sorry!" Sesalnya dengan bibir mengerucut seperti anak kecil.
"Istirahat lu, nggak lucu kalau sampai kalian musti barteran dirumah sakit"
❇❇❇
Rio membiarkan tubuhnya bersandar di ujung ranjang, terkekeh mengingat perdebatan peliknya dengan Dokter Razi siang tadi, bagaimanapun juga ini bukan kali pertama dia berhasil merayu, ah ralat, memaksa beliau untuk mengizinkannya rilis besok dengan catatan tidak bandel selama pemulihan.
Dia menyanggupi dengan cepat sebelum beliau berubah fikiran, meminta Pak Dedi untuk menyelesaikan urusan administrasi dan lain-lain sehingga besok dia bisa lansung pulang.
Sesekali dia mengecek handphone yang berada tidak jauh dari ranjang, memastikan pesan panjangnya pada Gabriel dan Cakka terbaca dan terlaksana sebagaimana seharusnya, mereka sedang ada project persahabatan yang mana hal itu harus dilakukan diam-diam dengan persiapan yang matang.
"Yo..."
Rio memutar wajah mendengar namanya dipanggil, menatap pintu ruangan yang sudah setengah terbuka, menampampakkan Debo yang berdiri di ambang pintu, dia membenarkan posisinya, mengisyaratkan tamunya untuk masuk.
"Sorry ya, baru sempet jenguk"
"No Prob, nggak sama Ify?"
Debo menggeleng, netranya mengikuti arah pandang Rio yang tengah menikmati siluet matahari terbenam dari jendela ruang, helaan nafas terdengar berat diantara mereka, tatapannya di biarkan kosong.
"Lo nggak tidur ya, semalem?"
Skakmat, Debo memutar wajah begitu interupsi lirih itu terdengar, menatap Rio tidak percaya, si jangkung itu tidak lagi menikmati siluet jingga melainkan mengerling jahil padanya, ya tuhan... hampir saja dia lupa sepeka apa laki-laki di sampingnya ini.
"Santai aja kali, Bro!" Rio terkekeh.
"Gila ya, kalau gue cewek, pasti gue udah saingan sama Ify dan Nova buat ngedapetin lo!" Debo menatapnya kikuk, "Sekarang gue jadi ngerti, kenapa Ify bisa cinta mati sama lo!"
Debo menghela nafas setelahnya, "Gue udah mikirin ini semaleman, tapi gimanapun juga gue nggak bisa Yo, gue nggak bisa ngelepasin dia buat Lo, meskipun gue tahu Lo lagi perjuangin dia sekarang, gue sayang sama dia, gue nggak mau kehilangan dia, dalam pelukan Lo sekalipun" lanjutnya terbata.
Rio mengangguk, "Yaudah, lakuin kalau emang itu yang Lo mau" serahnya.
"Lo nggak mau nyegah gue, gitu?"
Rio menggeleng, "Kalau emang Ify jodoh gue, gue berharap Tuhan yang akan nyegah Lo! Soalnya, gue juga nggak bisa mundur, gue udah janji mau perjuangin dia, gue nggak mau buat dia kecewa, gue nggak bisa ngalah meski kita sahabatan!"
Debo tertawa hambar, meski terucap tanpa penekanan, nyatanya jawaban itu kembali membuatnya merasa kalah, keteguhannya tidak bisa diikuti dengan sekejap mata, caranya berjuang, caranya mengekpresikan perasaan, hanya dia dan bisa melakukannya dengan cara seperti itu. "Jadi Lo bersekongkol sama Tuhan buat misahin gue sama Ify?"
"Enggaklah, Gue cuma berusaha merjuangin cinta gue, sama seperti yang lo lakuin sekarang..."
"Jadi, Kita saingan lagi, nih?"
Rio mengangguk, "Persaingan itu mutlak bagi siapapun, tanpa terkecuali"
"Oke, kita bersaing, dan gue harap siapapun yang menang nggak akan ngerubah persaudaraan kita, deal?" Debo mengarahkan kelingkingnya di depan wajah sang lawan bicara, meyakinkan keputusan yang akan diambilnya kali ini. bagaimanapun, butuh pertimbangan matang agar dia bisa benar-benar bertahan dan berhasil mendapatkan hati sang pujaan hati.
"Pasti, gue jamin hal seperti itu nggak akan terjadi"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top