38 - Biar Hati yang Bicara
Ify melangkah ringan dengan senyum terpeta di wajahnya, sumpah demi Tuhan, dia senang sekali mendengar kabar jika Rio sudah sadar dan membaik setelah tiga hari ini dia benar-benar dibuat frustasi oleh lelaki itu, rasanya seperti mimpi melihatnya terbaring diatas ranjang pesakitan mengingat baru minggu lalu mereka bertemu dan laki-laki itu masih sempat menggodanya, menjajikan sesuatu yang mampu ditunggunya entah untuk berapa lama, baru kemarin rasanya dia merasa sangat bahagia saat bisikan lirih itu terdengar, meyakinkan cintanya tidak bertepuk sebelah tangan.
"Maafin aku, Fy..."
Langkahnya terhenti bersamaan dengan datangnya sosok jangkung lain dari belakang, meski belum saling tatap muka Ify jelas mengeal suara berat siapa itu.
"Aku minta maaf, Fy... nggak seharusnya aku bersikap kayak kemarin sama kamu."
Ify membalikkan badan, menatap laki-laki yang kini sudah berada di sampingnya, "Nggak, harusnya aku yang minta maaf, bukan kamu..." Dia menggigit bibir, menahan airmata yang menggenang, "Aku yang salah, aku yang harusnya minta sama kamu atas semua yang udah aku lakuin, Kamu terlalu baik buat aku, De. Aku nggak bisa nyakitin kamu lebih dari ini..."
Debo menggenggam telapak tangan gadisnya lembut, menahannya yang hendak menarik langkah menjauh, "Nggak, Aku bahagia sama kamu, Aku nggak merasa tersakiti, aku Ikhlas ngejalanin semuanya karena aku sayang sa-
"Nggak bisa, De. Mau sampai kapan kamu kayak gini? Kamu manjain aku seolah-olah kita nggak ada apa-apa, padahal Aku yakin kamu udah tahu gimana perasaan aku sama Rio, bahkan mungkin perasaan Rio juga, tapi kamu pura-pura nggak tahu, kenapa kamu tega ngelakuin ini sama aku sih!" Ify terisak hebat, entah mendapat keberanian darimana hingga dia mampu mengatakan semua itu tanpa rasa takut, hatinnya memberontak semakin keras hingga tidak ada ruang untuk memikirkan yang lain lagi.
Debo mengangkat telunjuknya, menyeka airmata yang jatuh diwajah tirus gadisnya yang mulai memerah, "Aku sayang sama kamu, aku ngelakuin semuanya supaya kamu bisa terus disamping aku"
"Lepas!" Ify menjauhkan wajahnya, hendak melepaskan genggaman erat yang mengunci gerakannya.
"Nggak! Aku nggak akan pernah lepasin kamu, Rio emang pernah bilang mau perjuangin kamu, Tapi, aku tetep nggak bisa, Fy! aku nggak bakal biarin dia ngerebut kamu dari aku!"
"Aku cinta sama dia, kamu tahu kan? Jadi aku mohon lepasin a-"
"Aku cowok kamu, aku berhak pertahanin kamu, aku nggak akan biarin kamu pergi"
"Kamu egois, De..." bentak Ify keras.
Debo tersenyum simpul, melepaskan genggamannya perlahan dari lengan gadis itu "Kamu salah, sayang... Aku bukannya egois, aku cuma lagi pertahanin apa yang udah jadi milik aku, aku pacar kamu, aku berhak ngelakuin itu kalau kamu lupa" bisiknya sambil berlalu.
Ify menjatuhkan tubuhnya di lantai, kakinya lemas bukan main menangkap perkataan lelakinya, dia ingin mengelak tapi bagaimana caranya, dia sendiri yang sudah memilih Debo malam itu yang mana secara tidak lansung apa yang kali ini dilakukan Debo semata-mata karena keinginannya juga.
'Kalau aja malam itu gue nggak gegabah ngambil keputusan, kalau aja malam itu gue bisa sabar nungguin lo, pasti semua ini nggak akan terjadi'
Ify menutup wajahnya dengan telapak tangan, jika sudah begini apa mungkin dia masih punya nyali untuk melanjutkan niatnya bertemu sang pujaan hati, Ah sebaiknya jangan sekarang. Dia menggangguk tak kentara, memantapkan hatinya, merapikan kotak bekal yang bergeser sebelum memutuskan untuk bangun dan beranjak pergi.
"Mau kemana sih, Cantik. Udah sampai sini kok nggak jadi masuk"
Ify tersenyum kikuk mendapati Gabriel dan Cakka yang entah datang darimana, dua laki-laki tampan itu tersenyum sambil memainkan, memasang kode misalnya. "K... Ka... Kalian? Se... sejak kapan disitu?"
Cakka terkekeh, "Yaa... cukuplah buat nonton drama dadakan Lo sama Debo tadi"
Ify menutupi wajahnya sekali lagi, kemudian merengut, "Nggak usah diperjelas juga kali"
"Iya, Iya, yaudah sana, nitip jagain ya, kita anterin cewek-cewek dulu sekalian makan siang" Gabriel menyanggupi, Ify mengangguk pasrah, sudah kepalang basah, nyemplung aja sekalian.
❇❇❇
Ify mematung dibalik pintu, setelah berhasil menutupnya dengan tangan panas dingin kini dia seakan hanya bisa menjadi pajangan.
Padahal tidak ada siapa-siapa, tapi entah kenapa segala keberanian dan langkah ringannya saat menuju kesini lenyap begitu netranya menangkap siluet lelaki yang ingin ditemuinya berbaring diatas ranjang dengan mata terpejam.
Tanpa suara, Ify menuntun langkah, mendudukkan diri di kursi yang sudah tersedia, meletakkan kotak bekalnya di atas nakas.
Setelahnya, dia kembali diam, kalau saja boleh dia juga ingin bisa mendekap badan tegap itu, memeluknya meski hanya beberapa detik, ingin sekali rasanya bisa menunjukkan betapa dia bahagia melihat pangerannya kembali membuka mata setelah tiga hari dipupuk rasa khawatir yang teramat sangat sampai rasanya mau mati.
Ify menunduk dalam, susah payah dia menahan diri utuk tidak menangis demi menepati janji untuk menjadi lebih kuat, tapi dia tidak sanggup.
Airmata menjadi satu-satunya bukti paling konkret bagi semesta untuk menjelaskan betapa bahagianya meski hanya melihatnya seperti ini.
Dia menunduk lagi, menahan isakannya dengan telapak tangan agar suara itu tidak sampai keluar apalagi sampai membuatnya terbangun. dia tidak ingin lelaki itu mendapatinya menangis.
Dia takut, terlampau takut kerapuhannya justru akan memperburuk keadaan mereka, apalagi mengingat pertikaian dengan Debo yang juga berarti perjuangan lelaki ini untuk mendapatkannya tidak akan berjalan mulus, ya tuhan... Kesalahpahaman yang lalu belum selesai eh sudah muncul masalah lain. Rio pasti kerepotan jika harus mengurusinya yang cengeng dan lemah. Dia mencengkram ujung roknya, berusaha menghentikan lelehan hangat yang keluar, namun tangisnya semakin deras.
"Ja... jangan nangis dooong..."
Sentuhan lembut dipipinya membuat Ify mengangkat wajah, tersenyum seketika mendapati pangerannya sudah bangun, berusaha menyentuh wajahnya, mengusap sisa-sisa air mata yang mulai mengering meski agak kepayahan, "jelek tahu!"
Ify semakin terisak.
Rio tidak tega melihatnya, dengan tenaga seadanya dia mengangkat badan untuk bangun, bersandar di kepala tempat tidur, "deketan sini," pintanya sambil merentangkan tangan, menyambut Ify yang mulai mendekat, mendekap tubuh mungil gadis itu meski agak tidak nyaman dengan posisi tiduran seperti ini, "Udah berkali-kali gue bilang, airmata lo terlalu berharga buat gue, nggak seharusnya Lo buangin kayak tadi, lo kan udah janji,"
Ify mengangguk pasrah, mengeratkan pelukannya, mencari ketenangan yang tidak bisa di jabarkan dengan kata-kata penyair dunia sekalipun. "Maaf, abisnya gue takut..."
"Takut apa sih?" Rio mengacak pelan rambutnya, menggenggam jemarinya erat, kini Ify sudah kembali duduk diposisi semula, tidak lagi saling dekap.
"Gue takut Lo ninggalin gue tanpa gue bisa ngelarang Lo, gue nggak mau dan gue nggak bisa kehilangan Lo!"
"Ninggalin apa, ini gue lagi disini, sama lo! gue kan udah janji nggak akan kemana-mana"
"Yaa, tetep aja gue takut, Lo bisa aja pergi tanpa ngabarin gue, Lo sakit aja aja gue nggak tahu, padahal gue udah geer, kalau gue spesial buat Lo!" Ify malah ngambek, "Bisa nggak sih, nggak bikin gue nangis!"
"Bisa dong, coba bilang sama gue, apa yang bisa gue lakuin biar lo nggak nangis lagi?"
"Pacarin gue"
Rio membulatkan mata, terkejut tentu saja, bagaimana bisa Ify berkata demikian seolah permintaan itu bisa sangat mudah untuk dipenuhi. "Ta... tapi, Fy..."
"Tinggal tembak apa susahnya sih! toh, gue nggak bakal nolak!"
"Bukannya gitu..." Rio menjeda kalimatnya agak lama, menghembuskan nafas pelan, menyentuh punca kepala Ify yang masih menampakkan wajah tidak terima atas jawaban yang pertama, "Aku bisa nurutin permintaan kamu, tapi nggak semudah itu. aku nggak bisa seenaknya nembak kamu untuk memperjelas status kita tapi disaat yang sama aku juga nyakitin Debo, Dia sahabat aku, Fy. aku nggak bisa ngehancurin semuanya dengan cara kayak gini..."
"Terus aku gimana? Aku juga butuh pegangan, Yo! Debo bersikeras buat pertahanin aku. kalau kamu nggak perjuangin aku, aku gimana? kamu nggak mikirin perasaan aku apa?!"
Rio menggenggam jemari gadisnya lembut, "Yaudah kalau gitu, Kamu percaya kan sama aku?"
Ify mengangguk,
"Aku pasti perjuangin kamu, aku bakal kabulin permintaan kamu, tapi nggak secepat itu, ada beberapa yang harus aku pastiin sebelum kamu benar-benar jadi milik aku, nggak apa-apa kan?"
Ify mengangguk pasrah, entah mantra apa yang si jangkung itu gunakan hingga setiap kali dia meminta sesuatu, Ify tidak kuasa untuk menolak, menyanggah apalagi mendebat permintaannya.
"Pinteeeeeer deh, kesayangan aku,"
"Kamu niiih!" Ify menunduk, menyembunyikan wajahnya dibalik telapak tangan, pipinya terasa panas, "Eh, a... g... gue bawain buah kupas nih, k... e... Lo mau cobain nggak?" tawarnya terbata, susah payah dia menahan tangannya untuk tidak bergetar, setidaknya tidak sebegitu kelihatan lah, tapi dia tidak yakin usahanya berhasil.
"Boleh deh," Rio mengangguk, memiringkan badan menghadap Ify yang sudah membuka kotak makanannya, tanpa kalimat pengantar yang panjang gadis itu mengayunkan tangan, menusuk buah di dalam kotak menggunakan garpu kecil yang tersedia lalu mendekatkannya, menyuapinya sambil bercanda, menikmati waktu yang ada bersama obrolan ringan, bercanda, bercerita, tertawa bersama seakan tidak pernah terjadi apa-apa dalam pertemanan keduanya.
Sementara tanpa sadar, beberapa langkah dari sana sepasang mata tampak terjaga di balik pintu ruang yang tertutup rapat, berdiri di dekat jendela transparan yang mana lubang itu membuatnya bisa melihat dan mendengar dengan jelas tawa renyah gadisnya didalam sana.
Sungguh, wajah bahagia itu seakan menusuk perasaannya, membuatnya terpaksa menahan nafas, menegarkan hati melihat kenyataan yang selama ini dielaknya dengan sangat.
"Lo mau masuk, De?"
Debo memutar tubuh begitu namanya dipanggil, Gabriel bersandar di belakangnya, ada Cakka yang sibuk dengan beberapa kantong sedan yang diyakini isinya adalah makanan, Dia menggeleng sejenak, "Ify nggak pernah ketawa selepas itu pas lagi sama gue, Yel..." dia tertawa hambar, "Gue jadi binggung, seandainya Lo jadi gue, apa yang bakal lo lakuin?" lanjutnya.
"Gue bisa ngelakuin apapun, selama dia menginginkannya dan bahagia disamping gue, tapi kalau enggak, gue bakal lepasin dia, karena buat gue kebahagiaan dia lebih penting" Gabriel tersenyum ramah, menepuk pundak Debo yang masih menunduk.
"Dan sayangnya, itu juga yang Rio lakuin pas dia tahu gue jadian sama Ify?"
Cakka menepuk pundak Debo pelan, "Udahlah, gue percaya, Lo pasti tahu yang terbaik buat Ify kalau Lo emang tulus mencintai dia"
Debo memutar tubuh menjauh dari pintu kemudian menjatuhkan diri begitu saja sebelah Cakka, di kursi panjang ruang tunggu, "Kenapa sih, Gue sama Rio terlalu aja sama dari dulu, Kka! Kenapa apa yang Rio suka juga jadi kesukaan gue" ujarnya frustasi, dia memejamkan mata, bersandar di punggung kursi yang keras. "Kenapa, lagi-lagi gue harus hancur karena Rio, bukan karena dia udah menangin hati Ify, tapi karena dia berhasil bikin gue sadar kalau persaudaraan itu jauh lebih penting..." lirihnya,
Cakka menepuk pundaknya pelan, memberi kekuatan.
"Untuk kesekian kalinya, gue harus ngakuin kalau Rio selalu lebih tangguh, dia selalu disamping gue pas gue seneng, gue sedih, bahkan pas orang yang dia cintai gue rebut" lirihnya lagi
"Itu karena Dia perhatian sama Lo, dia lebih memilih kehilangan Ify daripada salah seorang saudaranya" sela Gabriel.
"Sorry, bukannya gue mihak Rio atau apa, tapi jujur gue kasihan sama kalian, kalau kayak gini terus gue takut kalian cuma bakal saling berkorban satu sama lain dan nggak akan ada ujungnya"
Debo tersenyum pasrah, "Thanks, kalau gitu gue balik ya, nitip Ify, salam aja buat Rio, besok gue kesini lagi..." pamitnya seraya berdiri kemudian mulai melangkah pergi menyusuri koridor rumah sakit.
Cakka menatap punggung Debo yang menjauh dengan helaan nafas, jelas dia mengerti apa yang Debo dan Rio rasakan saat ini, pasti sangat sulit mempertaruhkan perasaan demi persahabatan, mengorbankan hati demi kebahagiaan hati lain, menguatkan hati atas kenyataan yang bahkan mampu dirasakan dengan mata terpejam, meski demikian dia sadar sampa sebatas mana dia bisa membantu sementara selebihnya dia hanya bisa menguatkan, memberi sandaran, meneguhkan bahwa persahabatan mereka akan terasa jauh lebih kuat dari waktu ke waktu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top