37 - Deep Talk
Setelah Bu Manda dan Pak Tama pulang, gantian Gabriel Dkk yang masuk sekalian menjalankan tugas dari Bu Manda untuk berjaga malam ini.
Begitu pintu tertutup sempurna, Rio mendadak gugup, wajah-wajah datar yang kini kompak menatapnya serasa seperti tengah mengintimidasi dengan sengaja, jika biasanya hanya Alvin yang betah diam, maka kali ini mereka bertiga kompakan diam.
Rio menggigit bibirnya binggung, mau tidak mau dia harus berfikir bagaimana meredam amarah mereka, alasan apa yang akan dia lontarkan saat mereka menghakiminya nanti, pembelaan masuk akal apa yang bisa dia berikan, penjelasan macam apa yang bisa dia katakan perihal sakitnya ini?
Huuuftt...
Rio mengembuskan nafas tertahan, menarik ujung bibirnya membentuk lekukan tipis untuk mereka bertiga.
"H... Haai semuanya..." Ujarnya pelan.
Meringis dalam hati, menetawakan diri sendiri saat dilihatnya tatapan mereka tidak ada yang berbaik hati, Alvin, Cakka, dan Gabriel membatu disisi kanan ranjang, tidak bergerak, apalagi menoleh kearahnya.
Anak-anak sialan, memang!
Dia menarik paksa badannya untuk bangun, bersandar di kepala tempat tidur, sakit sekali. Sesekali dia meringis disela usahanya itu, bohong jika dia berharap salah satu atau salah dua dari mereka mau membantu, tapi mengingat kesalahannya yang juga fatal. Jelas dia tahu hal sekecil itupun tidak mungkin terjadi.
Benar saja, hingga usahanya berhasil tidak ada satu tanganpun yang terulur dari mereka bertiga.
Rio menghela nafas berat, tiga orang ini pasti marah, sangat marah hingga hatinya membeku lebih dari es batu. Susah payah dia menahan diri untuk tidak terbawa emosi, bagaimanapun mereka marah karena alasan yang jelas, dia pantas menerima ini meski berat menjalankannya.
'sampai kapan kalian bakal diemin gue kayak gini? Sahabat sialan! Nggak peka, kekanak-kanakan! Udah pada lupa kali ya kalo gue nggak suka di giniin' gerutunya dalam hati.
Tidak betah diacuhkan, Rio memutuskan untuk mengambil tindakan gila, tanpa berfikir panjang dia menarik paksa selang infus yang membatasi gerakannya.
Siapapun yang berada disana terkejut melihat aksi itu, terutama Gabriel.
"Lo jangan bodoh, Iyo!"
Rio diam, usaha pertama berhasil, setidaknya mereka tidak benar-benar mengacuhkannya tanpa peduli.
Pening mendera kepalanya tidak lama setelah aksi itu, seakan belum cukup dia kembali memaksakan diri untuk duduk dan turun dari tempat tidur, kakinya bergetar sesaat setelah menyentuh lantai, namun sekuat mungkin dia berusaha menahannya.
Katakan saja dia gila, Iya, sepertinya dia memang sudah gila. Dia sadar tindakannya akan beresiko kalau sampai dia jatuh, tapi dia tidak peduli. Dia tidak menyerah hingga tubuh ringkihnya berhasil berdiri disamping ranjang, tidak begitu tegak karena satu tangannya harus berpegangan di sisi ranjang agar tidak ambruk.
"Oke, silahkan... Lakuin apa aja yang bisa buat kalian lega dan nggak marah lagi, gue nggak akan protes!" perintahnya.
Tidak ada yang bersuara, tidak ada pula yang bergerak.
Rio melangkah agak terseret, memutar badan menghadap para sahabatnya, membungkuk sebentar kemudian menegakkannya kembali. Tanpa merubah pandangan, dia melanjutkan niatnya untuk bicara. "Maaf, Gue emang salah, gue nggak bermaksud bohongin kalian, gue cuma nggak mau kalian terbebani"
Dia menatap para sahabatnya, satu-persatu, mereka ini manekin atau apa, tatapannya datar, tidak ada belas kasihan sedikitpun disana, yang ada hanya kekecewaan mendalam yang membuat hatinya semakin merajam.
Tatapan dingin yang mereka tunjukkan, membuat dadanya berkali-kali lebih sesak dari biasanya, tidak masalah jika mereka marah, tidak masalah jika mereka mengajaknya berkelahi atau apapun untuk melampiaskan kemarahan itu asal jangan mendiamkannya.
Demi tuhan, tidak ada hal yang lebih menyakitkan selain melihat mereka mengacuhkannya terang-terangan begini, tidak ada yang lebih sakit dari pada dianggap tidak ada oleh orang-orang yang kita anggap spesial.
"Oke, Gue ngaku salah! Terserah udah, terserah kalian mau anggep gue apa sekarang! Terserah!" Rio membalikkan badan membelakangi mereka, menahan sesak yang menghimpit dadanya, udara disekitarnya seolah menghilang, nafasnya tersenggal, dia menutup mata, menahan lelehan bening yang nyaris lolos dari kelopak yang mulai memberat, tidak... ini tidak bisa terjadi, jangan sampai, jangan sampai air mata sialan ini jatuh di depan mereka.
Dia menahannya kuat-kuat, terlalu kuat hingga membuatnya sulit bernafas, ah... sial. Kakinya bergetar hebat, badannya melemas, dicengkeramnya besi tepian ranjang yang samar terlihat hingga buku-buku jarinya memutih, rasanya dia akan tumbang lagi saat ini.
Srrreeeeeeeekkkk...
Ranjang yang menjadi tumpuan tunggalnya terdorong begitu badannya terhuyung, dia merasa sekelilingnya kosong, kakinya benar-benar kehilangan kekuatan, pikirannya kacau, badannya terhuyung hanya dalam hitungan detik. Dia masih bisa merasakan tubuhnya hampir menyentuh lantai
....
Dia terjatuh,
Dia pasti jatuh,
"Dasar bodoh! kemana otak lo hah?" Dia mendengar suara, dia bisa merasakan ada tangan besar yang menahan tubuhnya, kesadarannya hilang timbul sesaat setelah mendapati Alvin berjongkok di depannya. Feelingnya benar, mereka tidak membencinya, tidak pernah bisa.
"M... Ma... Ma..." tangannya mengepal menahan sesak, nafasnya tersenggal hebat hingga tidak bisa melanjutkan kalimatnya, sakit Tuhan, sakit sekali.
"Yo... Rio...! Ya Tuhan, Lo Kenapa, Yo! Rio, sadar woy! buka mata lo, bocah sialan!" Rio merasakan goncangan keras ditubuhnya, tapi sesak ini sungguh menyiksa, dia tidak bisa membalas mereka, jangankan bangun, merasakan tubuhnya sendiri saja dia sudah tidak sanggup.
Gabriel yang panik keluar mencari dokter, sementara Cakka dan Alvin membantu mengangkat Rio kembali ke tempat tidur, sungguh, mereka tidak habis fikir dengan apa yang dilakukan seorang Mario kali ini. tingkahnya benar-benar seperti orang bodoh.
---
Dokter Riza menayakan pada siapa saja yang bersedia menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi sampai pasiennya berani melakukan aksi nekat yang membahayakan nyawanya seperti tadi.
Gabriel pasrah menceritakan kronoligis kejadian beberapa menit lalu sedetail mungkin yang membuat Dokter Riza geleng-geleng kepala.
"Jadi dia begini hanya untuk menarik perhatian kalian?" jelasnya setelah memeriksa pasien secara keseluruhan.
"Yaa begitulah, Dok. Kami cuma mau ngasih pelajaran dikit aja ke dia, tapi malah kayak gini" sesal Gabriel.
"Saya mengerti, kalau begitu saya permisi ya, awasi dia, pastikan dia tidak melakukan hal bodoh seperti ini lagi, mengerti?"
"Baik, Dokter."
Sepeninggal Dokter Riza, Gabriel, Alvin, dan Cakka di sofa sambil merengut menunggu sang empunya kamar bangun. Jelasnya, Mereka tidak tahu kondisi seperti apa yang menimpa Rio sampai Dokter memasang canula nasal untuk membantunya bernafas, padahal sebelumnya tidak.
Menyesal tentu saja, niat mereka mendiamkan Rio untuk memberinya sedikit pelajaran justru berakibat fatal, bohong jika mereka tidak panik melihat Rio megap-megap seperti tadi, asli mereka jadi kelimpungan sendiri dengan aksi nekat orang itu, ah. Rio sialan!
"Gila ya! kalian ngapain sih ikut-ikutan ngediemin dia tadi?" marah Gabriel pada Cakka dan Alvin yang malah cengar-cengir, binggung.
"Yaa... Kita kan cuma pengen dia peka, Yel! kita juga tahu keles dia nggak betah dicuekin lama-lama" sambung Cakka enteng.
"Iyasih! Peka sih peka, Cakk! tapi liat deh sekarang. Niatnya mau ngasih pelajaran, malah kita yang dibikin spot jantung!" sahut Alvin.
"Iya yaa... Gue juga binggung kenapa tuh anak bodoh banget sih, nekatan lagi..." komentar Gabriel.
"Lah! Adek Lo tuh, kok malah nanya kita"
"Masalahnya, gue nggak tahu, kalian sohibnya, harusnya tahu doong"
Alvin terdiam, menampakkan wajah cerah begitu melihat sosok yang sejak tadi berbaring mulai membuka mata.
"Rio? lo bangun?" serunya lega.
Rio melambaikan tangan ke arah kamera, eh kearah Alvin deng!
Alvin, Cakka, dan Gabriel mendekati ranjang serentak masih tanpa suara, Rio menundukkan wajahnya masih dalam posisi berbaring.
"Maaf..."
Ditatapnya lagi wajah-wajah itu yang kini sudah sedikit bersahabat.
"Lo nggak pengen jelasin apa-apa gitu yo, sama kita?" interupsi Cakka tanpa intonasi, nadanya datar seperti garis angka anak TK.
"Maaf..."
"Lo nggak pengen kasih wejangan apa-apa gitu, biar kita maafin!" sambung Alvin dengan nada yang sama.
Rio memejamkan mata sebentar lalu membukanya kembali, menatap Alvin dan Cakka sendu, "Iya... Iya... Gue minta maaf, gue udah nggak jujur sama kalian dari awal. sorry, kalau kalian harus tahu dengan cara kaya gini, gue sadar kok, gue udah ngecewain kalian, gue emang bodoh. gue emang pengecut, gue... gue-"
"Tampang lo nggak usah di melas-melasin, gitu! males ngeliatnya, sumpah. seumur hidup gue baru kali ini gue kecewa berat sama orang dan gue benci banget ngakuinnya, karena orang itu lo! sahabat gue sendiri!"
"Sorry Kka. gue.. gu-"
"Kita temenan udah berapa tahun sih, yo? Kenapa lo tega ngelakuin ini sama gue, lo anggep gue apa selama ini hah? Parasit yang nyampah di hidup lo? gitu? Iya!" bentak Cakka keras.
"Sorry Kka, gue Cuma nggak mau bikin kalian khawatir, gu-"
"Khawatir ya? Hahaha, bhulshit! Lo nggak mau bikin kita khawatir, tapi kenyataannya apa? lo bikin kita kelihatan bodoh tahu nggak!"
"Vin..."
"Kita bilang sama orang-orang kalau kita ini sahabat lo, kita bisa berbangga diri karena jadi sahabat lo! tapi apa? saat lo ngedrop kayak kemarin itu, saat kita ditanyain banyak orang lo kenapa? lo sakit apa? kita nggak ada yang tahu! lo ngerti nggak gimana rasanya? Gue hancur yo, hancur lebur berantakkan!" sambung Alvin yang sama kecewanya.
"Iya maaf, gue tahu gue salah..."
"Jadi?"
"Jadi apa?"
"Lo harus ngerubah mindset itu, kalau Lo masih nganggep kita sahabat!" timpal Cakka lagi, dia berjalan ke sofa lalu mendudukkan diri disana dengan tangan terlipat di depan dada. Alvin melakukan hal yang sama.
Gabriel mengembangkan senyum merasa kemarahannya tersalurkan. "Gimana keadaan Lo sekarang?" ujarnya mewakili yang lain.
"Better"
"Udah malem, mending Lo tidur lagi gih, besok ciwi-ciwi pada mau kesini, mereka heboh banget kirim salam pas gue bilangin Lo udah sadar"
"I... Ify?" Ujarnya terbata
"Ya, gue saranin Lo hibur dia besok, dia nggak berhenti nanyain keadaan Lo sepanjang Lo sakit" jelas Gabriel lagi.
Rio tersenyum simpul, menutup matanya kembali, menuruti permintaan Gabriel untuk kembali beristirahat, selain untuk memulihkan tenaga, tujuan utamanya jelas agar mereka juga ikut beristirahat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top