36 - Rayuan Seorang Teman

Alvin melepaskan genggamanya pada Ify setibanya mereka di atap rumah sakit, Ify sudah berhenti menangis, menatap nanar hamparan gelap di depan sana.

"Lo tahu nggak, kenapa setiap ada masalah Rio selalu dateng ke atap?" monolog Alvin.

Ify menggeleng.

"Katanya, angin bisa buat jiwanya jadi tenang, seakan-akan angin bisa membawa pergi masalahnya dan kembali membuatnya bisa berfikir jernih, dulu gue sempet ngetawain ide konyolnya yang kayak anak kecil, tapi sekarang gue ngaku kalah, gue akhirnya membenarkan omongan dia" jelas Alvin.

Ify tersenyum, air matanya kembali mengalir, hatinya sesak mengingat beberapa kenangannya bersama Rio di atap gedung Cakrawala, dan mercusuar yang tinggi itu.

"Gue sayaaaaang banget sama dia, Vin. Gue nggak mau kehilangan dia, kita aja belum baikan, dia masih ngehindarin gue. gue nggak bisa bayangin kalau seandainya gue sampai kehilangan dia beneran..." tangisnya kembali pecah, Ify membenamkan wajahnnya di lutut diatas tangan bersiku, menikmati kesesakan di dadanya yang kian memburu setiap kali mengingat kebersamaannya dengan orang yang dia cintai.

"Coba pejamin mata lo, tarik nafas dalem-dalem terus lo keluarin perlahan beberapa kali sampe lo ngerasa tenang" intruksi Alvin.

Ify mengikuti, dia mulai memejamkan mata, menarik nafas kuat lalu di hembuskan perlahan...

satu kali...

dua kali...

tiga kali...

Sekian kali...

amazing, perasaanya berangsur membaik, sesak yang dirasakannya tadi seolah digantikan oleh udara segar yang memenuhi paru-parunya, dia tersenyum kecil, di ulanginya hal itu berkali kali sampai dia merasa puas.

Alvin melihatnya dengan senyum mengembang, sesungguhnya dia juga teramat sangat tidak tenang, tapi melihat senyum di wajah Ify seperti itu, membuatnya bertekat untuk jadi lebih kuat.

Alvin turut melakukan hal yang sama, memejamkan mata, Manarik nafas dalam seperti yang Ify lakukan dan menghembuskan ya perlahan, mengulangnya lagi, melakukannya lagi sampai berkali-kali.

Dalam diam Air matanya jatuh tak tertahan, sesak dan sakit seolah menusuk-nusuk dadanya, kejadian ini sungguh menyakiti perasaannya.

Puing-puing kejadian enam tahun yang lalu kembali berputar dalam ingatannya, kenangan saat terakhir kali dia melihat wajah sang bunda sebelum beliau pergi untuk selamanya.

'Ma... Mama lihat Alvin kan dari surga sana? Maaa... mama pasti tahu gimana hancurnya Alvin ngeliat Rio nggak berdaya kayak sekarang, Alvin nggak mau ditinggalin, apalagi sama Rio maa... tolong maaa... jangan ajak Rio yaaa.... tolong mintain sama Tuhan biar Rio disini aja sama Alvin, nemenin Alvin terus sampai nanti, ya. Maaaa... Mama...'

Tepukan lembut dan dingin terasa menyentuh pipinya, menghapus lelehan hangat yang mengalir disana. Alvin membuka matanya perlahan, memastikan pengelihatannya.

"Udah, jangan nangis, pangeran kodok..." ujar gadis itu tersenyum.

Alvin ikut tersenyum seraya memeluk shilla yang entah sejak kapan berada disampingnya.

"Gue takut, Shill... cukup mama yang udah ninggalin gue, gue nggak bisa kalau sampai Rio kenapa-napa, Rio itu hidup gue, saudara terdekat gue meski kita nggak sedarah, dia selalu nguatin gue, tapi gue, gue malah nggak bisa apa-apa pas dia terkapar kayak gini? gue payah, Shill! Gue payah..."

Shilla tersenyum, "Lo udah kenal Rio berapa lama sih, Vin?"

"Maksud kamu?"

"Apa menurut Lo, Rio termasuk tipikal orang yang gampang nyerah? lo tuh harus tenang, lo harus kuat, lo tahu banget Rio bukan orang sembarangan, lo harus percaya kalau dia itu kuat dan dia ngga akan pernah mau nyerah apalagi sampai ninggalin lo! lo harus percaya sama dia. Bayangin aja, kalau seandainya dia ngelihat lo kayak gini, yang ada dia bakal ngamuk, tujuh hari tujuh malem, iya kan?"

Alvin tersenyum simpul.

❇❇❇

Hazel beningnya perlahan terbuka, pandangannya berbayang luar biasa, badannya terasa remuk, sakit luar biasa, dadanya sesak saat dirinya bernafas.
Dia mengerjap perlahan, berupaya memperoleh pengelihatan yang lebih jelas dalam netranya yang berkabut, setelah dirasa cukup, barulah dia menatap sekeliling tempatnya berbaring.

Ruangan bernuansa epic dengan warna dinding yang khas, peralatan medis tampak disetiap sudutnya, meja nakas kecil yang dipenuhi botol minum dan makanan, sofa kecil di ujung lainnya, ditambah aroma obat-obatan yang menguar membuatnya bisa menyimpulkan dengan mudah dimana dia berada.

"Sss... suster..."

"Sus..." panggilnya susah payah, adanya masker oksigen yang menutup sebagian wajahnya membuat suaranya ikut tercekat, beruntung, wanita berseragam yang menjadi objeknya bisa merasakan gerakan kecilnya, perawat yang tadinya sibuk dengan catatannya mulai mengalihkan perhatian.

"Syukurlah, Tuan sudah sadar" suara dan senyum ramah dan diberikan sebagai sambutan membuatnya agak tenang, Rio mencoba tersenyum meski badannya masih sangat lemas, tidak lama tampak dari kejauhan seorang berpakaian putih panjang datang, setelah dekat barulah Rio mengenali beliau, Dokter yang dulu pernah merawat Pak Marcel saat beliau sakit, Dokter Razi.

"Selamat malam, Rio. saya periksa dulu yaa..."

Rio mengangguk, membiarkan Dokter yang kini sudah setengah baya itu menjalankan tugasnya, selesai pemeriksaan, dia meminta agar masker oksigennya dibuka saja, Beliau menyanggupi.

"J... jadi ba... bagaimana, Dok?" tanyanya serak, lega sekali rasanya bisa bersuara meski suaranya terdengar sumbang, tidak seperti biasa.

Dokter Razi menghela nafas sejenak, kemudian tersenyum, lagi. "Saya rasa, kamu lebih tahu jawabannya daripada saya, anak kecil."

"Saya hanya ingin tahu analisanya, Dokter..."

"Seperti yang saya jelaskan sebelumnya, bakterinya mulai menyebar ke bagian saraf otak, serangannya jadi lebih kuat, otomatis imun kamu agak sulit menahannya" jelas beliau, "Saya masih bisa tenang karena masa kritisnya nggak lama, tapi bukan berarti kamu bisa bertindak seenaknya lagi, pemulihan pasca serangan akan mempengaruhi kondisi selanjutnya"

Rio menarik nafas berat, hendak menarik badannya untuk bangun sebelum gerakan yang lebih kuat menahan badannya.

"Jangan berulah, bocah! Kamu baru saja sadar setelah tiga hari, mohon kerjasamanya. Oiya, Orang tua dan teman-teman kamu sudah tahu kondisi sebenarnya, mereka menunggu diluar, maaf, saya tidak bisa memberi diagnosa palsu karena kondisi kamu kemarin tidak bisa saya anggap remeh"

Rio terdiam sejenak, memikirkan pembelaan apa yang akan dia lakukan, bagaimana dia bisa membela diri jika sudah begini?

"Udah basah, nyemplung aja sekalian. Jadi, kapan saya bisa pulang?"

Dokter Razi menggeleng, "Paling cepat mungkin lusa, dan kamu sangat tahu, kamu tidak bisa menentang saya"

Rio mengangguk pasrah

"Kalau begitu saya permisi dulu" pamit Dokter Razi sambil melangkah keluar.

❇❇❇

Bu Manda berjalan mendekati ranjang putranya dengan air mata yang kembali mengalir, rasanya masih seperti mimpi melihat jagoannya terbaring lemah dengan beberapa alat kedokteran yang terpasang di tubuhnya.
Lihatlah, putranya tampak begitu lemah sekarang, kernyitan dan ringisan tertahan mampu beliau rasakan hanya dengan menatap wajahnya yang tampak lebih tirus dari terakhir kali mereka bertemu.

"Sayang..." tidak sanggup menahan tangis, beliau memeluk tubuh kecil putranya yang masih berbaring, mengusap keningnya penuh kasih.

"Gimana keadaan kamu, Dek. mana yang sakit, sini bilang mama..." Bu Manda terisak lagi, "Mama takut Adek kenapa-napa, jangan tinggalin mama, Dek. cukup Papa yang pergi. Jangan kamu juga..." Isakannya semakin kentara.

Rio mengangkat tangannya yang bebas dari selang, perlahan mengarahkannya pada jemari Bu Manda, menggenggamnya seraya menggeleng, "A... aku nggak apa-apa, Ma. Jadi, mama tahu Papa udah meninggal waktu itu?"

Bu manda mengangguk, "Sebenarnya, Mama sama Iyel datang pas pemakaman Papa, tapi kita terlambat, kita cari kamu kemana-mana tapi nggak ketemu, makanya mama-" Rio menghapus air mata beliau yang kembali mengalir.

"Udahlah, Ma. jangan diterusin, Rio nggak bisa liat Mama nangis, Rio sayaaang banget sama mama... jangan tinggalin Rio ya, Ma..."

"Nggak, adek yang jangan tinggalin Mama, Adek harus bisa sembuh buat Mama, buat Iyel, buat teman-teman Adek, ya?

Rio mengangguk, "Mama jangan nangis lagi ya..."

Bu Manda tersenyum sembari membelai puncak kepala putranya lembut.

"Kamu cepat pulih ya, Yo! biar Ray ada yang ngajarin basket lagi!" sambung Pak Tama yang berdiri dibelakang istrinya, Rio mengangguk saja. Lagipula dia belum terbiasa menatap bahkan menyapa laki-laki itu meski beliau seharusnya tidaklah asing.

"Emm.... ma... maaf om, Rio boleh minta tolong..."

Pak Tama tertegun, bisa dikatakan ini pertama kali Rio mengajaknya bicara. Tanpa banyak berfikir beliau mengangguk.

"K... kalau boleh, Rio minta tolong Om ajak mama pulang, mama pasti capek nungguin Rio terus"

Bu Manda menggeleng, "Nggak, Mama mau disini nemenin Adek, Mama nggak mau adek kenapa-napa..."

"Rio nggak akan kenapa-napa kok, Ma. Rio pasti sembuh, masa Mama nggak percaya sih sama jagoan mama yang ganteng ini? kalau Mama kecapekan, nanti siapa yang manjain Rio, Rio kan lagi sakit, Maaa...." Rio mengerucutkan bibirrnya lucu dalam aksi merayu Bunda tercinta, persis ekspresi ngambeknya waktu masih kecil.

Bu manda mengacak-acak surai pendek putranya, tatapan sendu si kecil ini selalu bisa membuat beliau luluh. "Yaudah deh, iya. tapi janji ya, baik-baik disini, jangan bandel, nurut kata Dokter, besok pagi Mama kesini lagi"

"Janji Mama..."

Bu manda mencium kedua pipinya, kemudian keningnya.

Rio cemberut, "Ih, Mama...Rio udah gede ah, maluuu..."

"Biar cepet sembuh, Dek. Mama pulang ya?" Bu manda dan Pak Tama berlalu meninggalkan kamar sambil melambaikan tangan setelah mendapat anggukan dari sang empunya ruang.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top