27 - Love's Journey

"Sebenernya, kita mau kemana sih, kok nggak nyampe-nyampe..." Shilla mencebik kesal diatas motor Alvin yang dilajukan sang empunya dengan kecepatan sedang, bahkan cenderung pelan meski jalanan tidak terlalu padat.

"Alam baka..."

Shilla menjitaknya keras, "aw... sakit kali, Nek"

"Bodo, gue serius tahu!"

"Udah deh jangan bawel, ntar juga lo tahu"

"Kalo tahu gini, mending gue tidur aja dirumah, bete ah!" gerutu Shilla.

Alvin tersenyum penuh arti, menarik jamari gadisnya, melingkarkannya di pinggang untuk berpegangan lebih kuat sebelum menambah kecepatan motornya dengan style seorang Alvin yang biasa, ngebut.

'kalau gini caranya bisa-bisa gue ke alam baka beneran'

---

Alvin menghentikan motornya didepan sebuah rumah putih besar, halamannya luas sekali, ada air mancur dibagian tengahnya, dekorasinya luar biasa, beberapa penjaga berpakaian gelap serentak memberi jalan begitu tahu siapa yang datang.

Alvin melepas helm yang dikenakannya, turun dari motor kemudian melangkah masuk dengan mengandeng Shilla yang sibuk dengan pengelihatannya, matanya berbinar cerah, interior yang indah dan sangat mengesankan untuk dinikmati, Shilla sampai tidak sanggup membayangkan berapa harga rumah ini.

"Selamat datang, Tuan muda"

Lagi, Shilla di buat terkejut dengan banyaknya pelayan wanita yang kompak menunduk saat pintu besar di depannya terbuka, rasanya seperti berada di era kerajaan Joseon yang sering dilihatnya di drama kolosal, mengagumkan.

Shilla menurut saja saat Alvin mengandeng tangannya menaiki tangga, membuka pintu sebuah kamar yang cukup besar di sana, lagi-lagi Shilla dibuat terkejut dengan interior di dalamnya, terdapat sebuah sofa putih panjang, di sebelah kanan ada lorong menuju ruangan gelap yang entah apa, sebelah kiri barulah kamar tidur.

"Ini ruang pribadi gue..."

Shilla mengangguk saja, pandangannya tertuju pada meja besar di ujung kanan tepat di samping ruangan gelap yang dia sebutkan tadi. Ada pigora besar berisi foto Alvin dan seorang pria paruh baya, mungkin ayahnya, pikir Shilla. ada juga foto Alvin kecil yang tengah merangkul Rio, lebih tepatnya memiting leher anak itu dengan sengaja, Shilla menahan tawa memandangi pose lucu dua anak kecil itu, "I... itu, itu Rio kan, Vin?"

Alvin mengangguk, "Iya."

"Ya ampun, lucu banget sih dia, senyumnya ituloh, nggak nguatin..." sambung Shilla heboh masih dengan takjubnya.

Alvin mencibir, "Iya deh, sesuka lo aja deh, Shill"

Shilla tertawa, "Cieee, cieee, ngambek cie..." ujarnya menggoda.

"Nggak, ih"

"Udah deh, bilang aja Lo jealous!"

"Nggak, gue bilang nggak, ya enggak!" Alvin mendengus sebal, "Udah ah, gue tuh ngajak lo kesini mau nunjukin sesuatu tahu!" tambahnya masih dengan nada sebal.

"Apaan tuh?"

"Nggak jadi ah,"

"Yaah, Alvin..." Shilla merengut, "Alvin baik deh, jadi ya ngasih lihatnya, ya, ya ya? gue tutup mata nih..." lanjutnya.

Alvin mencebik, segera saja dia menggunakan tangannya untuk menutup ulang mata Shilla agar gadis itu tidak bisa mengintip sekaligus menuntunnya mendekati ujung lain tempat dimana dia menyiapkan sesuatu itu.

"Buka mata lo!"

KLAAAAP...

Layar besar di depan sana menampakkan cahaya, warna dalam layar berubah setiap beberapa detik, menampilkan foto seseorang dengan berbagai pose lucu yang sepertinya diambil dengan diam-diam.

Shilla menatap layar itu tidak percaya, "Vin, in... ini apa... apa apaan... I.. ini kok lo.. bisa punya, kok bisa, a... ada foto gue" ujarnya tanpa mengalihkan pandangan.

"Itu semua gue yang motret"

"Kok isinya gue semua?"

"Karena gue suka motoin lo!"

Shilla memutar tubuhnya menatap Alvin yang bersandar di dekat pintu. "Lo nggak lagi gombalin gue, kan?"

Alvin menggeleng, "Sama sekali, Gue suka motret mama dari gue kecil, tapi setelah mama pergi, gue kehilangan objek foto, sampe gue nemuin objek baru di kelas gue pas SMP, dia sering banget ngelamun pas jam istirahat sekolah, dia suka nyanyi-nyayi sendiri di taman, dia nggak pernah rapi, cengeng, dan nggak tahu kenapa gue suka aja ngeliat dia, motoin dia"

"Tapi, bu-bukanya lo benci sama gue?"

"Iya sih, setelah pertengkaran kita di kantin waktu itu gue jadi nggak punya sense lagi buat motoin lo, terpaksa deh kamera gue pensiun sampai beberapa minggu yang lalu gue nggak sengaja buka lagi kamera itu dan gue sadar ternyata objek gue nggak pernah berubah"

"Maksud lo? emang lo nggak nyadar orang yang lo fotoin itu gue?"

"Sadar sih, tapi setelah kita berantem waktu itu, gue nggak nemuin senyum lo lagi, ekspresi lucu lo, semuanya udah hilang. gue udah mikir gue kehilangan semua itu sampai beberapa minggu yang lalu gue temuin semua itu lagi, dan itu juga yang buat gue yakin Tuhan sengaja ngasih tahu gue perasaan lo waktu itu biar gue tahu kalau lo emang model foto gue, objek hidup gue..." Shilla lemas mendengarnya, penjelasan panjang Alvin membuat wajahnya semakin padam karena tidak tahu harus berkata apa.

Alvin meraih kedua tangan Shilla yang bebas, menggenggamnya erat. "Gue udah pernah kehilangan objek gue dua kali, Shill. dan gue nggak mau ngerasain itu lagi" Alvin memutar badan Shilla untuk menghadap pada layar tepat saat foto-foto itu tersusun membentuk sebuh ungkapan kata.

AKU SAYANG KAMU

"Aku sayang Kamu, mau kan, jadi objek hidup aku?"

Shilla terisak pelan, menatap Alvin sejenak sebelum membenamkan wajahnya dipelukan laki-laki itu, mengangguk dalam dekapannya.

I love you more than you know...

Bersamaan dengan itu alunan nada terdengar, ruangan kembali di redupkan, hanya cahaya dari layar yang masih memutar slide yang tersisa.

***

Agni mendengus sebal di bangkunya, bel masuk sudah berbunyi sejak 15 menit yang lalu tapi belum ada satupun guru bidang pelajaran yang masuk, semua teman-teman dikelasnya justru sibuk dengan ponsel masing-masing.

"Boring ih, kantin aja deh" putus Agni daripada kelamaan jadi patung di kelas tapi tidak ada pelajaran. Dia segera beranjak setelah merapikan ranselnya, tapi belum juga keluar kelas, dia dikejutkan dengan setangkai mawar di depan pintu, ada suratnya.

:: Agni tri nubuwati, gue tunggu di aula gedung basket ya, sekarang! ::

Agni memeriksa surat itu sekali lagi, tidak ada nama pengirimnya, penasaran, dia membawa bunga dan surat itu ke tujuan yang tertera, membuka pintu keras-keras.

"Lah, kalian..."

Rio dan Alvin melambaikan tangan, "Hai, Ag..."

"Ngapain sih pake surat-suratan segala!" sewot Agni.

Rio memberikbolgtadi di pegangnya pada Agni, "Sorry, Ag. Tapi petunjuk selanjutnya ada di situ," katanya menujuk ke ring tunggal di dalam gedung, terdapat gulungan kertas di tepinya.

"Ini apa-apaan sih?"

"Udah deh ambil aja, keburu siang!" suruh Alvin seadanya.

Agni mendengus, bergerak menggiring bola lalu melemparnya ke dalam ring agar gulungan itu jatuh.

:: Ke lapangan bola ya, ag! ::

Agni menatap lekat kertas di tanganya, "Kalian lagi ngerjain gue?"

Rio dan Alvin meggeleng, "Buruan, Ag. nggak usah kebanyakan mikir" sahut Alvin.

Agni mendengus, melangkah malas ke lapangan bola demi menjawab rasa penasarannya, ternyata disana sudah ada Gabriel dan Shilla sekarang.

"Apa lagi sekarang!" sentak Agni keras.

Gabriel mengulurkan sebuah botol gelap, Agni memutar benda itu di berbagai sisi, tidak ada kalimat perintah.

Prang!

Agni membanting botol tersebut, ada petunjuk disana.

:: Lama deh lo, Ny. bawel. buruan ke kelas dong, Urgent banget nih! ::

Dia berdecak kesal, kalau hanya untuk disuruh ke kelas lagi, untuk apa dia harus berlari jauh-jauh ke gedung basket dan lapangan sekolah? teman-temannya ini sudah gila atau kurang kerjaan?

"Lo boleh nyesel udah kesini, tapi coba kita lihat, apa setelah ini lo masih bisa bilang nyesel setelah tahu jawabannya" itu suara Shilla. Agni semakin mendengus, dengan langkah cepat dia berjalan menuju kelas, Shilla dan Gabriel mengikuti sambil menahan tawa.

Di kelas tidak ada apa-apa, tidak ada siapa-siapa, Agni dibuat jengkel dengan semua yang terjadi hari ini, semua pesan-pesan tidak masuk akal yang membuatnya mengitari sekolah sepagi ini.

"Ah, Agniii... lo tuh bego apa tolol sih, mau-maunya di bohongin sama mereka" gerutunya sambil duduk di bangkunya, membuka tas dan mengeluarkan bukunya asal. "mendingan gue belajar" putusnya.

"Siapa yang ngijinin lo belajar, gue minta lo kesini bukan buat ngelakuin itu, Nyonya Nuraga..." seseorang menginterupsi dari belakang.

Agni memutar tubuhnya, memekik seketika saat melihat siapa yang berdiri disana, tepat dibelakangnya, "ASTAGA! CAKKA! NGAPAIN LO DISITU!" sentaknya terkejut.

"Gue mau bikin pengakuan sama lo, gue mau ngaku kalau selama ini cuma Lo Cewek yang berani nentang gue, jatuhin harga diri gue sekaligus ngalahin gue. Lo cewek pertama yang udah bikin gue jatuh cinta sama keberanian lo, juteknya lo, galaknya lo, cengengnya lo, perhatian lo, lo buat gue jatuh cinta sama semuanya yang ada di diri lo, dan sekarang gue mau lo bertanggung jawab atas semua itu" dia menarik nafas panjang setelah menyelesaikan kalimat panjangnya, memejamkan mata sejenak sebelum kembali menatap tepat manik mata gadis yang masih kebingungan di hadapannya ini.

"C... Cakka, Lo... ap... apaan sih?"

"I want you to be my girl friend, Agni?"

Cakka meraih setangkai mawar yang telah dibawanya dan mendekatkannya pada Agni. "Kalau lo terima gue, Lo terima bunga ini, tapi kalau enggak, lo boleh pergi" ujarnya lagi.

Agni melirik setangkai mawar dan tubuh jangkung yang tengah menunggu di hadapannya, tertunduk bimbang, pantaskah dia mendapatkan semua ini? tidakkah Cakka terlalu sempurna untuk dia miliki?

"Kalau lo ngerasa ini terlalu cepat, nggak apa-apa, Ag, gue bisa nunggu..."

"E...

Lagi, dia merasa sangat beruntung tapi juga sangat tidak sebanding dengan Cakka yang bisa dibilang cukup populer dikelasnya, fansnya banyak, cewek-cewek semua lagi. Apa Agni sanggup menebalkan muka di depan mereka, bagaimana jika mereka membullynya? Bagaimana jika mereka menganggapnya terlalu percaya diri bisa bersanding dengan idola mereka itu.

"I... itu, gu... gue... - Agni memegang setangkai bunga mawar yang di dekatkan Cakka padanya, mengenggamnya erat, bohong jika dia tidak tertarik dengan Cakka yang jago basket, bohong jika dia tidak terpesona dengan ketampanan laki-laki itu, apalagi hubungan mereka akhir-akhir ini tidak lagi seperti dulu, mereka tidak lagi seperti kucing dan tikus. "E... gue, guejugasuka sama Lo" balas Agni cepat sambil berlari meninggalkan Cakka masih dengan menggenggam bunga yang diterimanya tadi.

Cakka ikut berlari, mengejar Agni untuk mendapat jawaban yang lebih jelas dan tidak terburu-buru seperti yang di dengarnya pertama kali.

***

Gabriel dan teman-teman yang tadi ikut andil dalam aksi pernyataan perasaan para pasangan baru menikmati kebisingan dihadapan mereka dengan senyum merekah cerah.

"Kayaknya, tinggal gue doang nih yang jomblo..." Rio menyenggol lengan Alvin dan Cakka gantian.

"Oh... jadi bakal ada peje dobel nih, wah... kok jadian nggak bilang-bilang sih!" Gabriel yang pertama berhasil membaca kode lansung menyerbu Alvin dan Cakka.

"Cie, pasangan baru..." goda Sivia.

"So, tinggal Rio nih yang jomblo, kapan nih Yo, mau nyusul Cakka," sambungnya mengalihkan pembicaraan.

Rio melirik Ify yang tertunduk di belakang Sivia, sejak tadi gadis itu hanya diam, tidak ikut bersorak atau menghakiminya seperti yang Sivia dan Shilla lakukan. "Siapa bilang gue jomblo? Gue punya pacar kok. nih," Rio mengangkat bola yang di pegangnya, tertawa sumbang mengingat kejadian di halte dekat gerbang sekolah beberapa hari yang lalu. Kejadian itu secara tidak langsung berdampak pada fisik dan psikisnya. Itu juga yang mendasari aksi Cakka dan Alvin hari ini, Rio meminta mereka berdua bergerak cepat, dia tidak mau mereka terlambat hingga kehilangan kesempatan, seperti yang terjadi padanya.

"Udah... udah... nanti ikut ya yo. gue mau peje..." sela Alvin

"Kayaknya nggak dulu deh, nggak enak ah jomblo sendiri" balas Rio sekenanya.

"Nggak apa-apa kali, 'kan ada kita. Lagian, lo mau ngajak Debo, Fy?" Alvin mengalihkan padanganya pada Ify yang menunduk

"Nggg...."

"Iya dong, Vin. mereka 'kan juga pasangan baru yang musti dirayain" Rio mengalihkan perhatian pada Ify, "Iya kan, Fy?" tegasnya.

Ify memandang Rio tidak percaya, dadanya mendadak sesak mendengar kalimat yang baru saja di sanggahkan lelaki itu, Rio mengatakannya dengan gamblang seolah mereka sedang membicarakan hal biasa yang tidak menyakiti perasaannya.

Bagaimana bisa Rio bersikap seperti itu dengan tatapan yang begitu sendu? siapa yang ingin dia kelabuhi dengan sorot penuh luka seperti itu?

Ify menggeleng keras, "Sumpah ya, gue nggak ngerti sama jalan pikiran Lo! Lo bersikap seolah-olah kita nggak ada apa-apa setelah Lo ngakuin semuanya, gue tersiksa yo, sangat tersiksa kalau Lo mau tahu!"

"Baru kemarin lo bilang, Lo sayang sama gue, Lo nyesel baru nyadarin perasaan itu, Lo tahu, saat itu juga gue nyesel udah ngasih Debo kesempatan, gue nyesel karena pilihan gue justru nyakitin Lo, Seandainya aja gue bisa lebih sabar buat nungguin lo, gue nggak perlu bohongin perasaan gue, kalau gue juga cinta sama Lo.

Tapi apa yang gue lihat, sekarang? Lo ternyata nggak berubah! Sikap Lo sama sekali nggak nunjukin bukti kalau lo juga sayang sama gue, kenapa sih Lo malah kayak gini! Apa kita nggak bisa saling sayang, gue juga mau ngerasain gimana rasa sayang Lo ke gue, gue mau ngerasain perasaan Lo!"

"F... Fy... bu... bukan gitu maksud gue..."

"Terus apa? Hah? Apa Lo bisa kasih gue penjelasan kenapa Lo tega ngelakuin ini ke gue? Apa Lo bisa?!"

Rio menggengam lengan Ify lembut, membawa gadis itu berlalu dari koridor kelas, melewati Alvin dan Shilla yang berada di barisan paling depan.

Rio melepaskan genggaman sesampainya mereka di rooftop sekolah, dia melangkah mendekati tembok pembatas, meninggalkan Ify yang berdiri dibelakangnya.

"Sejak kecil, Tuhan selalu mengambil orang-orang yang gue sayang, Mama sama Kak Iyel pergi waktu gue kecil, nggak lama setelah gue lulus sekolah menengah, Papa ikutan pergi, gue kesepian, gue nggak punya siapa-siapa. Sejak hari itu gue berusaha nutup hati gue biar nggak ada yang bisa ninggalin gue lagi, sampai Sivia datang minta tolong, gue pikir gue bakalan berhasil bikin dia seneng karena gue udah suka sama dia dari kecil, tapi apa? Sivia juga ninggalin gue." Rio menarik nafas berat sebelum melanjutkan kalimatnya, tatapannya berubah nanar.

"Jujur, sekarang gue takut, gue nyesel kenapa gue harus jadi pengecut disaat gue yakin kalau gue emang cinta sama Lo, Gue nggak bisa ngakuin perasaan gue, gue takut, Fy... gue takut kalau gue wujudin cinta itu, Tuhan bakal ngambil Lo juga dari gue. sekarang Tuhan udah menyandingkan Lo sama sahabat gue, tepat saat gue benar-benar cinta sama Lo, gue nggak sanggup menanggung semuanya, gue nggak sekuat itu"

"Yooo..."

"Gue sayang sama lo lebih dari yang Lo bayangin. tapi gue bisa apa? Debo sahabat baik gue, gue nggak bisa tiba-tiba ngerebut lo hanya dengan dalih cinta siapa yang lebih besar, nggak fair buat dia"

Rio tertegun saat merasa punggungnya basah, gadis itu menangis lagi rupanya. "Jangan nangis, please..."

"J-jangan tinggalin gu-gue, gu-gue-

"Nggak akan—"

Rio memutar tubuhnya, menepuk pundak gadis yang masih terisak di depannya, "Percaya sama gue, gue nggak akan ninggalin Lo, gue akan selalu deket sama Lo, kita bisa jadi sahabat, kan? Gue bakal belajar nerima ini semua."

Ify menggeleng cepat, "Gue nggak mau kita sahabatan, gue mau lebih dari itu..."

"Nggak bisa dong, Fy... 'kan udah ada Debo"

"Kenapa enggak? Gue bisa bilang semuanya sama Debo, gue bisa jelasin sama dia sejujur-jujurnya! Debo pasti tahu, dia pasti nger—

Ify menghentikan kalimatnya saat sentuhan hangat terasa menjalar di wajahnya, Rio mengecup keningnya, lama sekali.

"Apapun yang terjadi, dengan siapapun lo menjalin hubungan, gue akan selalu ada buat lo, selalu Alyssa..."

"T.... ta... tapi, Yo?"

"Trust me, hmm?"

Ify mengangguk, sudah cukup, dia merasa semua ini sudah cukup untuk membuatnya percaya bahwa Rio benar mencintainya, semuanya terasa cukup untuk membuktikan jika penantiannya tidak sia sia, ini saja sudah cukup untuk mempertahankan kebahagiaan mereka, setidaknya untuk saat ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top