Tiga hari kemudian...
Perlahan gradasi biru dan kuning terlukis diatas awan, pertanda sang surya mulai menunaikan tugasnya, memberikan aroma bahagia, memberikan kembali waktu bagi setiap mahluk untuk melanjutkan hidupnya, menikmati perjalanan, menyelesaikan tugas-tugas yang belum terselesaikan di hari kemarin.
Ify berdiri di dekat jendela kamar setelah selesai bersiap, memandangi bunga-bunga yang mulai mekar, burung-burung berterbangan berkicau riang dengan sekawannya, lagi-lagi dia merasa kalah dengan semangat mereka, mahluk pelengkap dan penyeindah yang diciptakan Tuhan dengan semangat luar biasa seolah tidak pernah memiliki kepedihan, berbeda dengan manusia yang seringkali mengumpat, menyumpah serapah pada keadaan lantaran merasa tidak bisa melaluinya.
Seperti dirinya yang kini tampak begitu rapuh, lingkaran hitam terpeta jelas disekitar matanya, tatapannya berubah sayu, senyumnya lenyap tertelan kepedihan. beberapa hari ini dia tidak bisa tidur nyenyak, hatinya terus berontak, mengungkap ketidakpercayaan atas apa yang terjadi waktu itu, dia ingin percaya jika Rio memang sengaja mengabaikannya, tapi tidak bisa. Entah kenapa hatinya begitu berat meyakini hal tersebut meski dia tahu harapannya terlalu muluk untuk bisa jadi kenyataan.
"Kak, ada yang jemput tuh" Deva menyembul dibalik pintu, lengkap dengan seragam Sekolah menengah yang dikenakannya.
"Siapa, Dev?"
Deva menggedikan bahu "Nggak tahu, orangnya nggak turun dari mobil"
Ify mengangguk saja, mengambil ranselnya di sebelah kursi lalu turun ke meja makan untuk berpamitan kepada semua yang ada di meja makan, "Kalau gitu Ify berangkat dulu ya, Ma, Pa, Dev..."
---
Debo menatap cerah Ify yang berjalan kearahnya lengkap dengan seragam kebanggaan Cakrawala, anggun sekali dia. Setelah mengantar gadis itu pulang masih mengenakan gaun pesta semalam, pagi ini mereka bertemu lagi dengan style berbeda, tapi bagaimanapun juga dia masih saja terpesona. "Pagi Fy..." Sapanya ramah, dia berfikir kebahagiaannya hari ini akan lebih lengkap dengan aksinya menjemput Ify dan mengantarnya ke sekolah sebagaimana pasangan pada umumnya.
"Pagi..." Ify menyunggingkan senyum membalas tatapan Debo yang tampak sangat cerah sekali.
"Kita berangkat sekarang?"
Ify mengangguk, Debo segera memutar tubuh untuk membukakan pintu, mempersilahkan gadis itu masuk, lalu kembali ke kursi kemudi.
Bruummm...
Mereka berangkat.
***
Ify berjalan memasuki gerbang utama Cakrawala. Di parkiran dia melihat salah satu mobil yang di kenalnya disana, mobil yang tadi sempat mengikutinya dalam perjalanan. tidak salah lagi, itu mobil yang sama dengan jemputannya ke pesta malam itu, mobil Rio.
'Jadi beneran, tadi itu Rio, tapi ngapain dia liatin doang, bukannya nyamperin ngajak berangkat bareng? Toh, gue nggak akan nolak. Kenapa dia malah ngikutin dari belakang? Apa jangan-jangan dia emang mau jemput gue, tapi kenapa nggak jadi, apa karena ada Debo? Atau jangan-jangan diaa...'
Ify memejamkan matanya, menggelengkan kepalanya, mengenyahkan pikirannya yang mulai kacau, saking sibuknya berfikir dia berjalan melewati lapangan basket yang ramai tanpa melihat situasi disekitarnya.
"WOY! FY, IFY! AWAS, FY...!" teriak Riko kencang dari tengah lapangan.
"IFY...! AWAAAASSSS..."
Ify tersadar dari lamunannya, tapi kecepatan bola yang melambung tinggi kearahnya justru membuatnya mematung, memejamkan mata sambil menunduk.
'Aduh mati gue'
'mati deh gue'
'mama, tolo—'
BUGGGHHHH
Hantaman keras bola dengan permukaan terdengar jelas di telinganya, bersamaan dengan pekikan keras siswa-siswi yang melihat kejadian yang begitu cepat itu. Ify menutup wajahnya dengan tangan, pasrah seandainya hantaman bola itu berhasil membawanya masuk rumah sakit.
"Errrggh..."
Meski pelan, dia bisa mendengar suara lenguhan seseorang, seketika Ify terdiam di posisinya, menyadari bahwa dia sama sekali tidak kesakitan meski jelas sekali bola tadi mengarah padanya, suara benturannya bahkan sangat keras.
Perlahan, Ify membuka telapak tangan yang menutupi wajahnya, dari celah jari dia bisa melihat ada sosok lain yang tengah berdiri dihadapannya, wangi maskulin orang itu menguar, dia mengenal wanginya. Parfum itu, parfum yang sama dengan wangian yang biasa dinikmatinya. Dia membuka tangannya sempurna, membuka mata lebar-lebar, menjerit dalam hati.
Rio berdiri di depannya dengan kepala tertunduk, pelipis sebelah kirinya terus mengeluarkan darah. Tanpa suara, laki-laki itu berjalan memutar, mengambil bola lalu melemparkannya ke lapangan, Riko menerimanya dengan menggigit bibir.
"Lain kali hati-hati ya, Ko..."
Riko mengangguk sambil membungkukkan badan ala orang jepang sebagai permintaan maaf. Rio mengacungkan jempolnya lalu kembali mengalihkan perhatian pada Ify yang masih berada di posisinya semula.
"Kamu... k... kamu nggak apa-apa kan, Fy?"
Ify menatap pemuda di hadapannya dalam-dalam, tidak habis fikir, bahkan disaat terluka seperti ini dia masih sempat menanyakan hal bodoh seperti itu, seolah dia tidak apa-apa meski kini seragamnya turut dipenuhi bercak merah, Ify mengambil sapu tangan dari sakunya, menempelkan benda itu diatas luka yang terus mengeluarkan darah, "Kita ke UKS ya?" ujarnya menggandeng lengan Rio yang nyaris terhuyung.
---
"Yo, darahnya nggak mau berhenti nih, kita kerumah sakit aja ya? Gue takut lo kenapa-napa, gue bilang Bu Ira ya?" panik Ify, tangannya sibuk membersihkan darah dan menahannya agar tidak keluar, tapi darahnya tidak kunjung berhenti sampai kapas yang digunakannya nyaris habis, membuatnya semakin khawatir. Dia memutar badan hendak keluar untuk memberi tahu Bu Ira namun ditahan Rio.
"Jangan, Fy. nggak usah, nggak apa-apa kok, kompres aja pake es, terus di plester abis itu" balas Rio yang berbaring diatas matras dengan mata tertutup sempurna, denyutan hebat di kepalanya terasa semakin kuat saat Ify menekan lukanya. namun, demi membuat gadis disebelahnya tenang, tentu dia harus baik-baik saja.
Gadis itu mengangguk melakukan apa yang disuruh Rio dengan telaten sampai selesai.
"Makasih ya, Fy..."
"Harusnya gue yang bilang makasih, gue bisa pingsan kali kena bola sekenceng itu. Makasih banget ya..." sela Ify.
Rio membuka matanya, tersenyum kecil, "Lagian ngapain sih lo, Kalo lagi jalan tuh dilarang keras buat bengong tahu, bahaya!" peringatnya.
Ify diam, bingung hendak menjawab apa, tidak mungkin bukan dia bilang secara terang-terangan kalau tadi dia sedang memikirkan orang ini.
"Gu... Gue... Gue cu—"
"Yo, Fy!" interupsi suara lain yang baru datang, Ify menoleh kearah pintu, tampak Gabriel, Alvin dan Cakka masuk dengan terburu-buru, kepanikan terpeta jelas di wajah mereka.
"Lo nggak apa-apa kan, yo? Fy, nggak apa-apa kan?" Gabriel menatap Rio dan Ify gantian. Ify menggeleng
"Cuma luka kecil kok, Yel" Rio menunjuk luka yang sudah di obati di pelipisnya. Gabriel mendesah lega.
"Emm, kalau gitu lo ke kelas duluan aja, Fy. Shilla udah di depan tuh, nanti kita nyusul" sambung Alvin.
Ify mengangguk lsealu berjalan keluar, sudah ada Shilla di sebelah kanan pintu.
"Ya ampun, Ify... lo nggak apa-apa kan?"
Ify menggeleng, "malah Rio yang luka pelipisnya" jelasnya kemudian.
"Kok bisa?"
"Gue ceritain sambil jalan deh," Ify menarik Shilla ke kelas, selama perjalanan dia menceritakan kejadian tadi pagi sejak Ify keluar rumah sampai insiden bola nyasar itu. "Hari ini, Sikap dia tiba-tiba jadi beda banget sama gue, apa mungkin ya dia lagi ngasih gue kode, kesempatan gitu"
Shilla mengedikkan bahunya, "Yaaa, bisa jadi. Mungkin aja Rio udah mulai nyadarin perasaannya sama lo, tapi tetep aja cowok itu plin-plan, Fy! kadang baik, kadang perhatian, kadang jutek, kadang dingin, banyak maunya ribet bin bikin pusing. lagian Lo juga udah punya pilihan kan?" komentar Shilla mengingatkan.
Ify tertunduk lemas, "Iya, Gue tahu, gue nggak mungkin balik ke jalan itu lagi,"
Shilla menepuk pundak Ify pelan, "jangan sedih gitu dong, siapa tahu masih ada jalan tikus, 'kan?"
***
Bel pulang berbunyi nyaring membuat siswa-siswi Cakrawala tersenyum senang, melangkah ringan meninggalkan kelas masing-masing setelah beberapa jam dihabiskan untuk memenuhi kewajiban menuntut ilmu disekolah.
Rio berlari agak cepat melewati koridor panjang kelas sepuluh hendak mengunjungi kelasnya, memandang sekeliling mencari sosok itu dengan harapan dia tidak akan terlambat, lagi. gara-gara insiden di lapangan tadi, dia terpaksa tidak masuk kelas sampai semua mata pelajaran habis lantaran sakit di kepalanya tidak bisa diajak kompromi, jangankan untuk ikut pelajaran, istirahat dengan benar saja dia agak kesulitan.
"Semoga Ify belum pulang" gumamnya terus berlari mencari teman sebangkunya di sepanjang koridor sekolah, masuk kelas, sampai perpustakaan, dia terus mencari sampai langkahnya terhenti agak jauh dari gerbang utama, lekukan kecil di bibirnya tergambar jelas begitu netranya berhasil menemukan siluet gadis itu, dia tampak berdiri di depan halte tidak jauh dari gerbang samping sekolah. Dia berlari sekali lagi, menghampiri gadis itu.
"A... Akhirnya ke kejar juga, buru-buru banget ya, Fy" Rio menepuk pundak Ify pelan, berbicara dengan nafas terengah di dekat kursi panjang tempat gadis itu duduk.
Ify menatap Rio dengan kernyitan dalam di dahinya, tapi dia tidak bisa bohong jika kini jantungnya berdegup keras, seperti akan meledak, "Lo... Lo ngapain kesini? Lo ngejar gue sampai sini" Rio mengangguk mantap.
"Lo gila, ya?"
"E... I... itu, se... sebenernya, Gu... Gue mau ngomong sama lo" Rio menatap sendu tepat pada manik mata Ify yang juga mengarah padanya, "Gue mau bikin pengakuan sama Lo, gue mau bilang sesuatu yang belum bisa gue ungkapin selama ini..."
Rio memutar tubuhnya menjadi berhadapan dengan Ify, meraih jemari mungil gadis itu seraya mengenggamnya lembut, mengecupnya penuh perasaan, "Gue sayang sama lo, Fy... gue tahu, gue udah salah banget sama Lo, gue tahu lo pasti kecewa sama gue, lo marah sama gue, gue emang pengecut, gue naif. tapi gue sayang sama lo, gue nggak bisa kehilangan lo, lo mau kan maafin gue? kasih gue kesempatan buat nebus semua kesalahan gue sama lo..."
Ify terpaku, jantungnya kembali berdegup cepat, wajahnya merah padam, ia mendadak lemas, tangannya bergetar, dadanya sesak luar biasa. meski kalimat panjang itu sangat pelan, setiap ketulusan yang keluar mampu dirasakannya dengan begitu mudah. "T... Tapi, Yo... Gu... gue..." ujarnya gugup.
"Nggak apa-apa, Lo nggak harus jawab sekarang kok, gu... gue emang salah, gue ngerti-
TINN TINNNN...
TIIIN... TIIIINN...
Bunyi klakson mobil membungkam mereka berdua, Rio tidak melanjutkan kalimatnya sementara Ify lansung beranjak, bangkit dari posisinya begitu melihat mobil siapa yang datang.
"Hai, Fy... udah lama?" sapa Debo setelah turun dari mobil, "Eh, hai yo!" lanjutnya senang saat mendapati Rio juga ada disana, "Kayaknya belakangan ini gue nggak ngeliat lo deh, kemana aja?"
"Gue rasa itu bukan urusan lo!"
Debo mengangguk mengiyakan, "Iya juga sih, ya udah deh kalau gitu gue duluan ya, mau nganterin cewek gue dulu"
"Apa?" tanggap Rio cepat, "Lo bilang apa? cewek lo? sejak kapan Ify jadi cewek lo? jangan ngarang deh" lanjutnya tidak yakin. sepertinya pendengarannya sedang kurang bagus hari ini sampai-sampai dia mendengar sesuatu yang menggelikan seperti itu.
Debo tersenyum cerah seraya menoleh pada Ify, "Ify emang cewek gue, kita baru jadian, iya kan, sayang?"
Ify diam, menunduk dalam di belakang Debo sambil mencengkeram ujung roknya kuat-kuat, dia bisa merasakan langkah seseorang mendekat, mengangkat dagunya yang tertunduk, memaksanya untuk menatap mata yang mulai memerah.
"Bener, Fy?"
"Allyssa, please, jujur sama gue, apa yang dibilang Debo barusan itu bener? Kalian udah jadian? Iya?" Rio mengenggam lengan Ify, "jawab, Fy... gue mau denger langsung dari Lo, bukan dari orang lain,"
Ify kembali tertunduk, tidak sanggup menatap lelaki itu lebih lama, mengangguk lemas setelahnya. "I... Iya, kita udah jadian"
Deg...
Sekuat mungkin Rio menahan badannya agar tidak jatuh, kakinya seketika lemas melihat anggukan gadis itu. Tanpa melepaskan genggaman, dia melangkah semakin dekat pada Ify yang sudah berurai airmata, mengangkat sebelah tanganya yang bebas untuk mengusap kepala gadis itu perlahan, menghapus airmatanya dengan ujung jari yang bergetar. masa bodoh Debo akan marah atau tidak dengan perlakuannya ini. "Udah, nggak apa-apa. semoga lo bahagia dengan pilihan Lo, ya... Gue akan selalu berdo'a buat lo, buat kalian berdua" Rio mengecup kening gadis itu cukup lama, melakukannya sebagai salam perpisahan, sekali ini saja dia ingin menyentuhnya dengan begitu dekat, terlepas dia sudah dimiliki laki-laki lain atau tidak.
Ify terisak semakin deras, airmatanya semakin tidak terkendali saat dia merasakan ada lelehan hangat lain yang menetes di pipinya, "Jangan nangis, gue sayang sama Lo, gue bakal selalu sayang sama Lo, gue bakal ada buat lo, gue janji..." lagi, setetes airmata jatuh dari hazel gelap itu ke telapak tangannya tepat sebelum bisikan itu perlahan hilang dan pergi.
Debo merangkul erat gadisnya, membantunya masuk ke dalam mobil, tatapan gadisnya kosong, wajahnya terus basah meski tidak lagi terisak, sungguh, sakit sekali melihatnya seperti ini.
"Tenang, Fy, mau sampai kapan kamu kayak gini terus? Kamu lihat sendiri kan? Rio bahkan diem aja meski dia tahu kita udah jadian" ujarnya lembut.
Ify menggeleng lemah, "M... maafin gue, maafin gue, De..."
"Nggak, nggak usah minta maaf, Gue akan tunggu, gue yakin seiring berjalannya waktu lo pasti bisa mencintai gue" Debo menarik tangan gadisnya sebentar, memberikan kecupan singkat lalu memeluknya. "Udah dong, jangan nangis lagi..."
Ify terisak semakin parah, lagi-lagi bayangan saat Rio memanjakannya berputar seperti kaset rusak, membuatnya semakin bersalah pada laki-laki di hadapannya ini. "Gue sayang banget sama dia, De... Gue nggak mau nyakitin lo dengan perasaan gue ini, maafin gue, de... maafin gue..."
Debo mengangkat dagu Ify untuk menatapnya. "Iya, Gue tahu! Gue akan tetap nunggu lo sampai kapanpun, yang penting sekarang lo jangan nangis lagi, gue nggak kuat ngeliatnya"
***
Rio memarkirkan mobilnya di tepi pantai, Dia kecewa, marah, mungkin juga menyesal karena lagi-lagi dia terlambat, Ify sudah menentukan pilihan yang tidak bisa dimentahkan begitu saja. Debo sahabat baiknya, sangat tidak mungkin baginya merebut Ify dari laki-laki itu jika keadaannya sudah seperti ini.
Dia melangkah pelan, menaiki satu-persatu anak tangga hingga mencapai puncak mercusuar. angin laut menerpa tubuhnya kencang, dia biarkan dengan harapa angin itu mampu membawa dukanya turut serta. hantaman ombak pada batu karang turut berirama menemani kesepiannya.
Haaaaaah...
Dia menghela nafas panjang, menghalau sesak yang menghantam dadanya tanpa perasaan, memori saat dia datang bersama Ify beberapa waktu lalu membuatnya menyesal memilih tempat ini, bukannya menenangkan diri justru bayang-bayang kebersamaan mereka membuat hatinya semakin sakit. Kebersamaan itu seolah mengingatkan betapa mereka selalu bisa bahagia dengan cara yang tidak biasa. Ify membawa aura positif dalam dirinya, menghantarkan rona bahagia.
'Kalo Sivia emang bukan buat gue, gue berharap Tuhan ngirimin lo untuk jadi yang terbaik buat gue, Fy. bukan sebagai penganti atau pelampiasan atas kesepian gue, tapi sebagai gadis yang benar-benar gue cintai...'
Nyatanya, Tuhan mengabulkan permintaannya malam itu, kini dia sudah mencintai Ify meski sedikit terlambat karena gadis itu sudah dimiliki laki-laki lain. Dia menatap sendu kelu kalung berbandul cincin pemberian Gabriel dan gelang dari Ify waktu olimpiade, mencengkram keduanya, mencoba mengalirkan sesak dan sakit yang kini menguasai perasaannya.
"Pa... Kak Iyel udah kembali, tapi disaat yang sama satu-persatu temen Rio malah pergi. Rio takut, Pa. Rio mau ikut Papa aja..."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top