25 - "Kalau Sayang, Bilang!"
Ify dibuat bingung dengan situasinya saat ini, satu-persatu teman, rekan dan undangan tengah memperhatikannya yang terdiam memperhatikan mereka, tidak terkecuali Gabriel Cs. Mereka menghentikan dansa, berjalan mendekat pada Rio, Ify dan juga Debo yang erada tepat di tengah ballroom.
Debo meraih tangan kanan ify, menggenggamnya seraya berlutut. "Fy... malam ini, disini... di depan temen-temen lo, dan temen-temen gue, gue mau bilang kalau gue sayang sama lo, gue mau minta lo buat jadi pacar gue, apa lo bersedia?"
Ify terhenyak, pernyataan yang begitu tiba-tiba, bukankah mereka baru bertemu beberapa minggu yang lalu di jogja karena keperluan kompetisi tapi kenapa hari ini situasinya menjadi begitu lain?
Sama terkejutnya dengan Ify, Rio menatap Debo tidak percaya, tangannya mengepal keras. meski sudah menduga hal ini akan terjadi, dia tidak percaya akan secepat ini dan sesakit ini. Dia memandang sekitarnya yang serasa sesak dan menghimpit, seperti tidak ada ruang yang tersisa untuknya disini, Dia memutar tubuhnya, berlari meninggalkan kerumunan.
Ify melepaskan genggamannya kasar, hendak berlari menyusul Rio namun ditahan Debo, "Buat apa kamu ngejar dia, Fy... dia tuh pengecut, dia nggak pantes buat lo!"
Ify menggeleng, "Nggak, gue harus kejar dia" dia menghentakan tangan Debo kuat-kuat hingga laki-laki itu tidak bisa menahannya, berlari sekuat tenaga untuk menyusul Rio yang sudah menghilang dibalik dinding.
"Tunggu!" Ify mencekal kuat lengan lelaki itu setelah berhasil mengejarnya sampai di dekat parkiran, menahan lengan lelaki yang kini membelakanginya.
"Lepasin gue"
Ify menggeleng tegas, semakin mengeratkan genggamannya. "Nggak, nggak mau..."
"Please, Fy..."
Ify memutari tubuh jangkung itu hingga mereka saling berhadapan, masih dengan genggaman yang belum terlepas, semakin Rio berontak, semakin kuat Ify menahannya meski harus dengan dua tangan sekaligus. "seenggaknya, kasih gue alasan kenapa lo pergi, kenapa lo nggak nyegah Debo, apa sebegitu nggak pentingnya gue buat lo, a... apa... hiks... hiks..." Ify tidak mampu melanjutkan kalimatnya, dadanya sesak, di dalam genggamannya jemari Rio semakin keras berontak hingga membuat genggamannya kehilangan tenaga, meratapi ketidakbersayaannya.
"Yo, gue mohon jangan pergi..."
"M... ma... maaf, gu... gue harus pergi" Rio menarik tanganya dari genggaman gadis itu, berlari menuju mobilnya lalu melesat pergi tanpa berkata apa-apa lagi.
***
Cakka, Gabriel dan Alvin berkumpul di kediaman keluarga Haling sepulang mereka mengantar para gadis, sepanjang jalan mereka dihantui pikiran buruk lantaran Rio tidak bisa dihubungi dan belum kelihatan batang hidungnya sampai malam nyaris berganti pagi.
Jam dinding besar berdentang keras satu kali, sudah pukul 01.00 dinihari tapi si empunya rumah belum juga kembali, Cakka mengendurkan dasinya yang mulai terasa mencekik, membuka beberapa kancing kemejanya menghalau gerah, Gabriel melakukan hal yang sama, sementara Alvin diam di sofa dengan kaki bersila.
"Kayaknya, Doi nggak bakal pulang cepet deh malam ini" ujar Alvin memecah keheningan yang terasa sedari tadi, "Ada baiknya kita tidur dulu bentaran, besok sekolah" putusnya.
Cakka mengangguk, "Bener tuh, Gue juga udah ngantuk banget" lapornya, dia sudah menguap berkali-kali sejak tadi.
"Yaudah, pada tidur sono, ntar gue nyusul" sambung gabriel. Cakka dan Alvin mengangguk.
sepeninggal kedua sahabatnya, Gabriel menggantikan Alvin bersandar di sofa ruang tamu, menghela nafas berat memikirkan apa yang sekiranya terjadi dengan adiknya diluar sana. bila saja Tuhan mengizinkannya mengambil alih permasalahan yang tengah dirasakan adiknya kini, dia akan sangat bersedia. bukan untuk menjadi sok pahlawan, tapi setidaknya, dia lebih bisa berfikir jernih untuk menyelesaikannya. berbeda dengan Rio yang seringkali menjadi begitu lemah saat perasaannya terluka, dibalik kepekaannya yang luar biasa, dibalik tubuh tegapnya, dibalik tatapan tenang dan senyuman damai yang terpeta di wajahnya, tersimpan duka dan ketakutan yang sulit untuk ditinggalkan, dan semua itu karena dirinya, karena perbuatannya dimasa lalu.
"Iyo... cepet pulang, Iyel khawatir"
Rio memarkirkan mobil hasil jarahan itu sembarangan di halaman rumah, menghela nafas berat, menghalau sesak yang serasa mengepung paru-parunya. Rencana indah yang sudah disusunnya berantakkan, emosinya yang meledak-ledak membuat situasi semakin rumit, kata-kata Ify diparkiran tadi berhasil mengoyak perasaannya dan membayanginya sepanjang jalan pulang. seakan belum puas, badannya melakukan aksi yang sama, kelelahan. Dia melirik jam tangan di pergelangan kirinya, jam 4 pagi. haaah! pantas saja matanya berat sekali, pusing.
Dia mengambil asal jasnya yang tersampir di jok mobil lalu turun dan berjalan keruang tengah dengan langkah gontai, tangan kanannya sibuk memijat tengkuk belakang yang pegal bukan main. saat memasuki ruang tamu, samar-samar dilihatnya ada seseorang yang tertidur di sofa dengan lengan dan kaki bersila, Gabriel. Ah, Iya, itu jelas Gabriel. dia tersenyum tipis, akhirnya, untuk pertama kali sejak delapan tahun lalu Gabriel kembali menungguinya seperti saat mereka masih kecil.
"Kak... Kak Iyel..." Rio menepuk bahu Gabriel pelan, berupaya membangunkannya. tidak lama kedua netra itu terbuka, Gabriel tampak mengerjap berkali-kali sampai sepenuhnya bangun dan melihat siapa yang datang. senyumnya merekah cerah, "Akhinya lo pulang juga, gue khawatir tahu"
Rio tertunduk, dia tahu dia salah, dia sadar sikapnya yang kekanakan sudah menyusahkan banyak orang, "M... maaf, Kak Iyel"
Gabriel menatap tidak percaya laki-laki di depannya, "Kak? Lo panggil gue Kak? Gue nggak salah denger, kan? Gue nggak lagi mimpi, kan?"
"Kenapa? lo nggak suka? Iya?" balas Rio kesal.
"Nggak, nggak, bukan gitu! gue suka kok, suka banget malah, gue kan emang kakak lo" Gabriel tertawa, "t... ta... tapi ya tetep aja aneh rasanya bisa denger itu lagi sekarang" jelasnya gamblang.
Rio menyipitkan mata, mendengus. "Jadi, lo nggak mau gue panggil kakak?" katanya sakartis.
Gabriel menggeleng cepat, "Mau, mau kok, mau banget. kapan lagi coba gue ngelihat adek gue balik kayak gini"
Gabriel terdiam saat Rio malah duduk disampingnya. sungguh, dia masih tidak percaya panggilan itu akhirnya kembali, namun disaat yang sama dia menyadari sesuatu yang jauh lebih penting jika kini adik kecilnya sudah kembali, adiknya yang tidak pernah berubah tidak peduli berapa lama waktu memisahkan, Rio tetap adik kecilnya yang manja, cengeng dan sangat keras kepala. Segagah apapun tubuhnya sekarang, Rionya tetaplah hati yang begitu rapuh meski telah memiliki topengnya sendiri. "Gue cuma mau bilang kalau gue nggak pernah ninggalin lo, lo itu hidup gue, lo sama berartinya dengan mama di hidup gue" ujarnya menepuk pundak adiknya, lega penantiannya terjawab.
"Ciee... ciee, lagi kangen-kangenan, kita kagak diajak nih yee?" Koor Cakka- Alvin keras dibelakang mereka setelah puas melihat adegan manis kakak-adik ini dari tangga, tidak afdhol rasanya jika mereka tidak ikut bergabung.
Gabriel menoleh, menghela nafas kasar, "Ah, kalian nih, gangguin sweet moment aja sih!" keluh Gabriel
"Tahu, nih!" Rio memilih memejamkan mata perlahan masih dengan mengikuti pembiacaraan kakak dan sohibnya yang mendadak berisik seperti ibu-ibu arisan.
"Bodo amat, salah siapa seneng-seneng nggak ngajakin kita" dumel Cakka duduk disamping Gabriel, Alvin di sebelahnya lagi.
"Jadi, lo gimana sekarang?" tanya Alvin to the point
Rio menggeleng masih dengan posisi yang sama, "Gue nggak tahu Vin, gue bingung..."
"Tapi, lo udah ngerti kan, gimana perasaan lo sama Ify sekarang?" sambung Cakka.
Rio mengangguk.
"Terus? lo mau diem aja gitu? Lo mau ngelepas dia gitu aja?" lanjut Cakka.
Rio menggeleng.
"Kalo gitu lo musti maju yo, lakuin sesuatu! minta maaf sama dia atas kebodohan lo kemarin-kemarin...."
"Kalo dia nggak mau maafin gue?" lirihnya.
"Jangan cemen lo jadi cowok!" marah Cakka.
"Kalau dia udah terlanjur marah dan nggak mau nerima penjelasan gue, gimana?" sahut Rio lagi, dia lelah sekali sekarang, pening luar biasa, matanya mulai memberat.
"Coba dulu, jangan ngambil kesimpulan sendiri"
"Cakka bener, Yo!"
"Lagian, Gue yakin kok, sayangnya si Ify nggak bakal luntur dalam semalam, tapi kalau lo biarin terlalu lama mungkin aja itu bisa terjadi..." jelas Gabriel yang diangguki Cakka dan Alvin.
Rio masih bisa mendengar semua itu sebelum matanya terpejam sempurna, dia sudah tidak kuat lagi.
"Jadi, besok lo harus minta maaf sama dia"
"Yaudah, tidur lagi yuk, gue masih ngantuk tahu" ajak Cakka sembari berdiri.
"Ayuk..." balas Gabriel, Alvin ikut berdiri seraya mengulurkan tangannya kearah Rio, hendak membantunya bangun, "Yuk Yo..." ajaknya, namun tidak ada gerakan berarti dari orang di sofa itu, tidak menjawab tidak juga meraih tangannya. Alvin mendengus kesal.
"Weh, Ayuk, Yo... Gue tinggal ju-" Alvin tidak jadi melanjutkan kalimatnya saat melihat orang itu sudah terlelap di sofa, Gabriel dan Cakka menahan tawa.
"Biasanya tuh ya, kalau orang lagi ada masalah bawaannya nggak bisa tidur" gumam Gabriel pelan.
Cakka terkikik geli. "Tahu, dia yang bikin masalah, dia yang molor duluan..."
Alvin tertawa sebentar, pantas saja tangan Alvin tidak tersambut. "Dasar pelor bin somplak" rutuknya seraya berjalan menaiki tangga, tidak lama dia kembali lagi ke sofa, duduk di sebelah Rio, memakaikan selimut lebarnya ke badan anak itu dan dirinya sendiri.
"Ngapain sih, lo?" ujar Cakka.
"Tidurlah, berat kalo musti gotong nih anak dulu. mending gue temenin" sahut Alvin datar.
Gabriel menggelengkan kepalanya geli, yaaah... akhirnya mereka benar-benar melanjutkan tidurnya diruang tengah berbekal bantal dan selimut, menunjukkan pada dunia jika kebersamaan yang tercipta bukan hanya sekedar tentang keluarga, tapi juga persahabatan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top