20 - Pesona Kapten Basket Cakrawala

Keesokan harinya.

Pertandingan silang hari kedua dimulai dengan serangan beruntun dari tim Goldi Cs, berutung Cakrawala mampu menjaga pertahanan. Score keduanya seimbang sampai quarter 2 berakhir, para pemain kini tengah beristirahat di tepi lapangan, Riko cs tampak sangat kelelahan.

"Parah sih, gue nggak sanggup digempur terus, gerakan Goldi nggak kebaca." Obiet tertunduk menatap bangku penonton yang ramai supporter.

Riko menatapnya tanpa suara, dia juga merasakan hal yang sama, sejauh ini tenaganya terkuras hanya untuk mempertahankan score, belum juga melawan.

Dari kejauhan tampak Goldi berjalan menghampiri mereka. "Udahlah, nyerah aja! bentar lagi juga kalian bakal habis..." Goldi tersenyum licik, Riko mengepalkan tanganya kuat-kuat, baru saja dia akan membuka suara saat ada suara lain yang lebih dulu mengambil atensi Goldi.

"Jangan sombong dulu lo! Pertandingan belum selesai" kata orang itu, Debo.

Goldi memutar tubuh dengan sebelah alis terangkat, "Oh... jadi lo dukung Cakra, De? Lo mau menang gampang di final dengan ngelawan tim lemah kayak mereka?" komentarnya.

Riko semakin geram, tangannya sudah terangkat setengah, hendak memberikan oleh-oleh di wajah orang sombong itu, tapi ditahan Debo, "Jangan main tangan, mending lo buktiin aja di lapangan" sanggahnya pelan seraya menatap nyalang Goldi yang kini melenggang pergi meninggalkan mereka.

"Tenang aja, Ko. gue yakin kalian pasti bisa." Debo menepuk pundak Riko setelah Goldi tidak lagi tampak disekitar mereka

"Eh, tapi kenapa lo bantuin kita, kan aturannya kita lawan main besok" sela Obiet

Debo tersenyum simpul, "Gue... Gue cuma mau balas budi aja sama kapten kalian, kalau seorang Rio aja udah percaya. Ya itu tandanya kalian pasti bisa, satu aja saran gue, matiin sistemnya! ini bukan pertama kali kalian tanding lawan Goldi. So, gue yakin kalian ngerti maksud gue" jelasnya sambil berlalu.

'matiin sistemnya'

'matiin sistemnya'

'matiin sistemnya'

Riko termenung lama, memikirkan kalimat itu hingga dia terpikirkan satu stretegi "Oke, guys kumpul dulu, gue punya strategi," Riko memberi isyarat pada para pemain untuk mendekat.

Debo tersenyum menatap Riko yang mengacungkan jempol padanya dari kejauhan sebagai ucapan terima kasih. "Dasar Rio, Lo emang masternya" gumamnya pelan.

Priiiit...

Prrriiiiiiiiiiiiiiiiiit...

Quarter 3 dimulai...

Bola berada di tangan Goldi, dia mendrible bola ke tengah lapangan melirik rekanya. Riko tersenyum, menatap yakin anggota tim yang kini saling membaca kode. begitu gerakan Goldi naik level, obiet sigap menghentikan itu, namun dengan lincah Goldi mampu menggecoh Obiet hingga bola kembali di oper masuk, bola dilempar kembali pada Goldi setelah dirinya babas kepungan. Kemudian...

'sreeetttt'

Riko berhasil mengambil alih bola. Goldi merengut operannya dipotong, Riko berlari cepat menyelamatkan bola dari para pemain lawan. sampai di bawah ring, Riko mengoper bola pada Obiet yang lansung melakukan shoot...

Brukk, masuk.

3 point untuk Cakrwala

Riko tersenyum senang, "Kita liat aja, siapa yang sebenernya harus ditakutin!" gumamnya saat melintas di depan Goldi. Permainan dilanjutkan, Cakrawala berhasil memimpin, Quarter 3 berakhir dengan keunggulan dari Cakrawala

Riko dan tim kembali bersiap begitu peluit kuarter 4 berbunyi, Cakrawala masih unggul. Debo benar, sejak strateginya terbaca permainan Goldi Cs jadi berantakan. Berkali-kali dia dan timnya mendapatkan fouls. pertandingan sudah berjalan 10 menit saat Goldi kembali melalukan pelanggaran sehingga dia terpaksa ganti pemain.

karena Tim Jaya bermain tanpa kapten, tentu saja Cakrawala tidak mau membuang kesempatan. mereka berusaha mencari celah untuk mencetak point sampai pertandingan berakhir, skor akhir 70 - 61 kemenangan untuk Cakrawala.

PRIIITTTTTTTT PRIIIIIIIITTT PRIIIITTTTTTTT...

Peluit tanda pertandingan selesai membuat semuanya menghela nafas lega.

"Akhirnya Ko..." Obiet berlari menghampiri Riko di ikuti yang lain.

"Kita ke final guys, kita ke final!"

"Yey! kita ke final" Irsyad ikut bersorak, semua pemain bersorak, Agni berlari ketengah lapangan.

"Kita berhasil, Ag! Kita berhasil" Riko merangkul Agni, Agni mengangguk senang, mereka selebrasi ditengah lapangan bersama penonton yang bertepuk tangan memberikan selamat.

Sampai tiba-tiba Riko menghentikan putarannya, pandangannya tertuju pada tribun arah pintu masuk timur, terlihat 4 orang yang tidak asing tengah duduk memperhatikan mereka, dua diantaranya bahkan melambaikan tangan.

'Masak iya, mereka disini?'

'Gue nggak lagi mimpi kan?'

Demi menjawab kerisauan hatinya, Riko mengambil langkah cepat berlari menghampiri sudut yang dia lihat dari kejauhan tadi dan benar saja, ada Rio dan teman-temannya disana.

"Ya ampun, gue pikir cuma mimpi!" pekik Riko memeluk mereka bersamaan.

"Gila! masih kuat aja lo bekep kita sekaligus" gerutu Alvin

"Akhirnya kita ke final" Gabriel menepuk pundak Riko menyemangati

"Lo tahu nggak sih, gue kerja keras banting tulang, sedot lemak, tarik urat buat menang...."

Gabriel mengangguk, "Iya, Gue tahu. 'kan gue liat,"

Riko menatap Gabriel penuh selidik

"Udahlah, yang penting kita menang, kan?" tutup Rio.

Riko menggeleng tidak terima, "Nggak, nggak bisa! Kalian kapan sampai?"

"Hari ini" balas Alvin

"Jadi kalian nonton dari quarter berapa gue tanya?" tanya Riko Lagi.

"Dari awal..." Rio tersenyum lebar

"Hah? Apa lo bilang? dari awal? maksudnya dari quarter satu?" serang Riko membabi buta.

Cakka menggeleng, "Bukan dari quarter 1 kok, tapi dari kalian mulai streaching tadi" lanjutnya jujur.

Alvin dan Rio menepuk keningnya pasrah. Gabriel menjitak kening Cakka keras.

Ctakk!

"Sakit, Nyet. Apaan sih lo!"

"Lo bego sih! kenapa lo bilang Caaaakkkaaaa" Gabriel menatap Riko yang sudah berwajah neraka. Cakka jadi jiper sendiri, dia mengangkat telunjuk dan jari tengahnya bersamaan membuat huruf "V".

"Peace Ko, damai ya, Man! Ini idenya Rio kok, kan dia kaptennya kita sih nurut aja" Jelas Gabriel.

Alvin dan Cakka menganguk sementara Rio semakin melebarkan senyumannya.

"Jadi, dari tadi kalian tuh cuma duduk aja gitu ngeliatin kita dibantai? nggak ada sedikitpun niat buat turun?" kata Riko galak.

"Nggak juga, nggak adil aja kalau kita maksa turun, kalian main dari awal, jadi udah sepantasnya kalian dapat kesempatan buat ngalahin Goldi. Dan hipotesa gue terbukti juga akhirnya, kita masuk final!" jelas Rio.

Riko diam, adu argumen dengan orang ini memang membutuhkan kecerdasan diatas rata-rata. Rio selalu benar, masuk akal, dan sulit dibantah. "Iya sih, ya tapi kan—

"Udahlah, yang penting ke final besok! Thanks ya, ko!" Rio menepuk pundak Riko pelan, bersalaman.

"Makasih juga kalian udah percaya sama kita"

"Sip!"

"Oiya, ngomong ngomong ini ciwi-ciwi pada kemana ya? kangen ngerjain mereka nih gue" sela Cakka memainkan mata melihat banyaknya manusia disekitar stadion meski pertandingan sudah berakhir.

"Kalau Shilla, Sivia sama Ify, gue nggak tahu, kalau Agni tuh dia, disitu," Riko menunjuk Agni yang berada disisi timur lapangan, "Ag... Agni..." panggilnya keras.

Agni menoleh, pandanganya beralih pada sosok lain yang berdiri di samping Riko, melambaikan tangan padanya.

"Ih, Riooo... alviiin..." Agni memeluk Rio dan Alvin gantian.

"Hebat, Ibu Pelatih! lo keren!" Puji Alvin.

"Makasih ya Ag, kita kebantu banget..." sambung Rio

Agni mengangguk

"Kali ini gue setuju sama Riko kalau galaknya lo itu keren" Gabriel mengelus rambut Agni gemas, gadis itu tertunduk.

"Lo juga satu-satunya rival terhebat gue, Ag..." Agni mengangkat wajahnya, menatap Cakka yang berdiri tepat di depan matanya.

"C... Caakka..."

"Inilah kenapa, gue nggak pernah nyesel dengan pertemuan pertama kita yang nggak ada romantis-romantisnya. karena cuma lo yang bisa jadi rival abadi gue" Cakka mengangkat dagu Agni yang tertunduk, memberikan senyum terbaiknya.

Agni hampir menangis, bohong jika dia tidak tersentuh dengan kata-kata tadi. "Nyebelin banget sih lo!" Agni berhambur kepelukan Cakka, air matanya tumpah sudah.

Cakka mengeratkan pelukannya, "Jangan nangis dong, masa gue dateng lo mewek sih, nggak romantis tahu!"

"Lo emang nggak pantes diromantisin"

Cakka menyerah, jemarinya mengusap pelan kepala gadis itu dalam pelukannya

***

"Shil, anak-anak pada kemana ya? Agni sama Ify kok tiba-tiba ngilang" tanya Sivia.

Shilla menggeleng, "Ya mana gue tahu, mereka ngilang nggak bilang sih!"

"Yakali, ngilang bilang-bilang..." sahut Sivia

"Lagi nyariin siapa sih, kalian?"

Shilla menoleh, kata-kata yang hendak diucapkannya tertelan begitu saja karena terkejut dengan siluet yang tertangkap inderanya.

"Heh, Nenek lampir! Nggak bisa biasa aja ya ngeliatin guenya?"

"Yaa tuhan, gue kok berasa Alvin ada disini ya? saking nyebelinnya tuh anak sampe kebawa kemana-mana, yaampun..." Shilla mengucek matanya, menutup wajahnya kemudian membukanya lagi.

Cha! tidak ada siapa-siapa, Sivia juga tidak ada.

Dia menghela nafas, "Tuh kan? gue ngayal, mana mungkin si Alvin ada disini,"

"Kenapa nggak mungkin?" Alvin meletakan botol minuman dingin diatas kepala Shilla yang kembali tertegun, menjitaknya sengaja.

"Dasar bodoh, jangan ngeliatin gue kayak gitu kenapa! gue baru sampai jadi nggak mungkin kalau gue balik lagi ke berlin."

"Astaga ini beneran elo, Vin?" Shilla mencolek pipi Alvin, ah ralat mencubitnya.

Alvin meringis. "Sakit Shill..."

"Eh, jadi ini beneran nggak mimpi?"

"Iyalah, kan tadi gue udah bilang" Alvin masih memegangi pipinya yang dicubit Shilla sampai gadis itu berhambur ke pelukannya.

"Kenapa nggak ngasih tahu! gue cemas lo nggak ada kabar dari semalem, dasar kodok!" Shilla sesengukan di balik dada cowok itu.

"Dasar Dramaqueen, cengeng lagi, gue tahu gue ngangenin, tapi ya jangan nangis gini doong. Sayang banget baju gue baju di cuci nih"

Shilla melepas pelukannya sebal lalu berbalik, "ngeselin banget sih lo!" ujarnya memukul pundak Alvin keras.

"tapi lo suka kan?"

"Kata siapa? Nggak! gue ogah ya punya anak matanya kayak lobang celengan..." Shilla melenggang meninggalkan Alvin yang komat-kamit gara-gara ledekan itu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top