2 - Cinta Salah Sasaran

Lapangan Outdoor Cakrawala menunjukkan nuansa berbeda, lebih dari setengah persen siswa siswi ada disini, meneriakkan nama pemain dan yel-yel untuk menyemangati sepanjang latihan berlansung dan lagi-lagi Ify menemukan siluet Gabriel berlari di lapangan yang membuatnya semakin penasaran dengan sosok itu.

"Eh Shill, Dia anak basket juga ya?" tanyanya tidak sabar

"Siapa?"

"Gabriel lah!"

Shilla mengangguk "Kak Iyel mah emang tim inti basket sekolah"

"Ooooh..." Ify mengangguk, semakin terpesona saja dia rasanya melihat seorang Gabriel bermain dengan begitu lincah.

Kok bisa ya ada manusia seperti Gabriel, sudah tampan, ramah, baik hati, ketua Osis, jago main basket, ah rasanya dia nggak bakal nolak kalau misal harus berumah tangga dengan cowok itu.

Ify menikmati permainan sembari menunggu sopirnya datang, meskipun dia tidak tahu banyak soal basket, tapi melihat mereka bermain seperti itu rasanya dia ingin belajar supaya suatu hari dia bisa merasakan sensasinya bermain basket itu seperti apa.

Sementara itu di di tengah lapangan tampak para pemain mulai menepi setelah 30 menit, digantikan oleh tim lain yang sudah dibentuk sebelumnya oleh Pak Jo sebagai guru olahraga.

"Gila sih, makin keren aja lo mainnya!" Alvin merangkul Rio mengajak lelaki itu menepi.

"Bacot!"

"Yey! keren banget sih mas Bro..." Agni melempar dua botol minuman dan handuk, kemudian duduk diantara Rio dan Alvin.

"Menurut lo, gue tadi mainnya bagus nggak Ag?" tanya Alvin sembari mengelap keringat.

"Bagus dong..."

"Tapi gue ngerasa kurang greget sih."

"Itu mah lo kurang pemanasan, aja. Iya nggak Yo?" jawab Agni seraya menoleh ke Rio untuk meminta pembelaan.

"Yo," Agni menoleh saat tak mendengar respon apapun. Dilihatnya Rio sedang memandang kearah lain dengan tatapan yang sulit diartikan. Agni dan Alvin mengikuti arah pandang Rio dan ternyata Rio tengah menatap Gabriel yang sibuk bercanda dengan gadis cantik diujung sana, Sivia namanya. mereka kelihatan dekat. Gabriel tampak menatap mesra Sivia yang membuat gadis itu tidak berhenti tersenyum. bagaimana Rio tidak goyah melihat mereka berduaan begitu, apalagi mereka tahu Rio suka sama Sivia sejak mereka masih kecil dulu.

"Betapa sakitnyaaaa... betapa perihnya hatiku..." Alvin bernyanyi keras-keras mengacaukan perhatian, Rio menoleh sangar lalu menggeplak kepala alvin sekenanya.

"Eh, anjir! Sakit keles!" heboh Alvin.

"Lagian niat banget sih!" dumelnya sebal.

"Duileh, merasa nih yee..." Alvin terus menggoda dengan wajah tanpa dosa yang membuat Rio semakin sebal.

"Udahlah! Nggak usah dibahas!" Rio menengguk minumannya, berharap air itu mampu mendinginkan hati dan pikiran yang terasa mau meledak.

"Lo sih, kan dari dulu gue udah bilang tembak Yo, tembak! tapi lo lama," tambah Alvin belum puas.

"Ya udah sih, keliatan juga Sivia sukanya sama siapa" pasrah Rio masih menatap Gabriel dan Sivia.

"Kayak lagunya Ungu, yaaa... Cinta dalam Hati" sambung Agni berhadiah jitakan maut dari korbannya.

"Belom ngerasain sih lo!"

"Biarin, Wlee... Eh, Vin ada Shilla tuh" Agni gantian menggoda Alvin begitu melihat Shilla lewat tidak jauh dari mereka.

Pluuk.

Alvin melempar botol kosong kearah Agni.

"Apaan sih?" Sela agni

"Menurut Lo!" sewot alvin.

Agni malah meringis.

PRIIIIIITTTT...

PRIIIT...

PRITTTT...

Waktu istirahat selesai. Pak Jo memberi Intruksi pada semua pemain untuk berkumpul, Rio dan Alvin berlari ketengah lapangan disusul Gabriel dan teman-temannya yang lain.

"Lansung saja ya anak-anak, berdasarkan latihan hari ini dan minggu sebelumnya. Bapak sudah melihat dan menilai kemampuan kalian. Semuanya bagus, teknik dan penguasaan bola juga sudah mulai tepat, untuk itu kalian pertahankan, oke?"

"Siap, Laksanakan!"

"Bagus. kalau begitu sekarang Bapak akan meminta Rio dan Gabriel untuk bermain One and One demi menentukan formasi tim inti yang baru mengingat kakak-kakak kalian yang kelas 3 akan jarang masuk tim karena kebijakan sekolah seperti yang sudah kelian ketahui. Gimana, Rio? Gabriel? Ready?"

Keduanya mengangguk.

Priiiiiiit...

Permainan One and One dimulai.

"RIO... RIO... RIO..."

"IYEL... IYEL... IYEL..."

Riuh, sorak-sorai suporter menyebut nama jagoan mereka membuat permainan menjadi meriah, bagaimana tidak? Dua pemain basket yang sedang bertanding kali ini bukan lawan sembarangan, keduanya memiliki kemampuan dan refleks penyerangan yang bagus. keduanya sama-sama jago bermain, luwes, dan pintar mengambil peluang, jangan lupakan kepiawaiannya memanfaatkan bola dan Teknik serangan beruntun yang bisa membuat lawan kalah dengan cepat.

Saat ini, Gabriel menguasai bola, melakukan operan pendek dan shoot up untuk mengumpulkan poin. Rio berusaha mangambil alih bola, tidak begitu sulit, hanya dengan melakukan beberapa gocekan ringan akhirnya dia menguasai bola.

Gantian, Rio yang menguasai bola, berusaha mencari celah untuk mencetak angka sedangkan Gabriel membayangi dari belakang.

"Permainan lo tambah bagus aja" puji Gabriel pada Rio yang masih mendrible bola.

"Makasih, tapi gue nggak gila pujian" Rio melewati Gabriel dan cepat mengarahkan bola ke dalam ring, tembakan three point, shoot dan ...

"Masuk..."

Prriiiiittt

Peluit panjang membuat tembakan tadi menjadi akhir pertandingan kali ini, Rio menang tipis dari Gabriel dengan score 18-16.

"Jadi, setelah melihat permainan kalian tadi, Bapak semakin yakin untuk menempatkan kalian berdua dalam satu tim. Di tim inti yang baru. sanggup?" Pinta pak Jo setelah menyelesaikan wejangan sebelumnya.

"Bi—

"Maaf, Pak. Tapi saya tidak bisa!" intrupsi Rio cepat.

Seketika Gabriel bungkam, baru saja dia hendak menyanggupi permintaan tersebut saat suaranya justru terputus oleh jawaban lantang Rio yang tahu-tahu sudah berdiri dibelakangnya.

"Kenapa tidak bisa, Rio?"

"Karena saya merasa kita tidak cocok, Pak. tidak akan pernah cocok lebih tepatnya" kata Rio yakin.

"Tapi menurut bapak kalian berdua cocok..."

Rio keukuh menggeleng, "Maaf pak, tapi saya tidak bisa satu tim dengan Gabriel. Saya lebih baik mengundurkan diri jika Bapak tetap memaksa saya!"

"Kalau menurut kamu, Gabriel?" Pak Jo mengalihkan pembicaraan kepada Gabriel yang sejak tadi betah diam.

"Hmm... kalau saya sih," Gabriel melirik Rio sebentar sebelum melanjutkan kalimatnya, jelas ada tatapan penuh kebencian disana. "saya bersedia, Pak. Tapi kalau pihak kedua tidak berkenan ya mau bagaimana lagi. Saya menerima apapun keputusan bapak"

"Ya sudah kalau begitu, bapak akan diskusikan ini dulu dengan yang lain, kalian boleh pulang..."

Rio melangkahkan kakinya lebar-lebar, berusaha membuat jarak dengan Gabriel yang terus berusaha menyamakan langkah dengannya, sampai mengejar bahkan menghadangnya.

"Tunggu, Yo! kita harus bicara!"

"Minggir!"

"Sebentar aja, yo" Gabriel menahan lengan Rio sebelum anak itu semakin jauh dan membuat mereka kembali berhadapan.

"Lepas!"

"Nggak! Sebelum lo kasih tahu gue kenapa lo kayak gini? Salah gue apa?"

"Banyak!"

"Kalau gitu bilang! Gue butuh penjelasan kenapa lo sebenci ini sama gue!"

"Pikir aja sendiri!" Rio berjalan menjauh.

Gabriel menarik lengan Rio sekali lagi dan memaksanya berhenti, "Tapi ini udah 5 tahun, yo! gue nggak bisa kayak gini terus"

"Gue.nggak.pe-du-li!"

"Oke! oke! tapi setidaknya lo pulang sesekali, kasihan Mama, dia nanyain lo terus"

"Bacot lo!" Rio menepis kasar tangan Gabriel hingga membuatnya terdorong kebelakang.

Sivia yang melihat kejadian itu berlari menghampiri mereka, membantu Gabriel bangun lalu menarik lengan Rio yang refleks berhenti tidak jauh darinya, "Kamu apa-apaan sih? nggak bisa banget ya diajak ngomong baik-baik? Biar gimanapun Iyel itu kakak kamu, yo. nggak seharusnya kamu kelewatan sama kakak kamu sendiri"

"Terus, terus aja, belain aja dia terus. Emang di mata kamu aku nggak pernah ada benarnya dibandingin sama anak mama kayak dia!" Rio melangkah pergi tanpa menoleh, menyisakan Gabriel yang menatap miris kepergian Rio yang sekaligus menamparnya pada kenyataan bahwa perjuangannya masih sangat panjang.

***

Ify melangkah ringan menaiki tangga, senyumnya merekah cerah mengingat pertemuannya dengan Gabriel di sekolah tadi. Sepanjang perjalanan pulang dia masih dibayang-bayangi pertemuan mengesankan dengan ketua osis Cakrawala yang jago main basket, ganteng dan baik hati hingga...

BLUKK...

Bayangan indah tentang Gabriel seketika buyar saat tiba-tiba ada benda empuk dengan aroma luar biasa melayang tepat di depan wajahnya, dia menatap pintu kamar adiknya yang terbuka. Deva mematung di depan pintu.

"DEEEVAAA... !" teriak Ify kencang

BRAAKK...

"Woy setan bali, buka pintunya! gue bakal bikin perhitungan sama Lo" marah Ify dari luar pintu yang tertutup dalam hitungan detik.

"Bukan gue kak yang ngelempar tuh bantal, Ray tuh! Suueer deh! bukan gue"

"Bodo amat, buka nggak pintunya!"

"Ogah, Gue masih pengen hidup dengan layak" balas Deva membuat Ify semakin kesal.

"Awas Lo, tunggu pembalasan gue!"

Mendengar langkah kaki menjauh, Deva dan Ray mendesah lega.

"Lo sih Ray, hampir aja kita mati muda" Deva bersandar dibalik pintu.

"Lah, siapa suruh lo mau kabur terus buka pintu!" bela Ray duduk dikasur Deva.

"Gue jamin lo nggak bisa keluar dari sini dengan selamat" kata Deva sok dramatis

"Hamasah! sadis banget dong Kak Ify" kata Ray lebay

"Gue tersiksa lahir batin tiap hari sama dia"

"Ya Tuhan... Gue belom mau temenan sama malaikat kali, Dev. lo cari cara dong buat selametin gue"

"Kak Ify Cuma jinak sama cowok Cakep, Ray!"

"Lah, Lo nggak sadar apa kalau gue cakep" kata Ray menunjuk dirinya sendiri.

"Yaaah, mana mau Kak Ify sama bocah"

Ray menggaruk kepalanya yang tidak gatal, binggung harus melakukan apa. 'cowok cakep, cowok cakep, hmmm' rapalya dalam hati.

"AHAAA...! gue tahu siapa cowok cakep yang bisa nyelametin gue" kata Ray bangga dengan idenya sendiri.

"Siapa ndrong?"

Ray membisikkan sesuatu yang lansung diangguki Deva, mereka berdua mulai memperlihatkan cengiran aneh khas keduanya saat mendapatkan ide brilliant.

Selesai berganti pakaian, Ify buru-buru membuka pintu hendak ke meja makan karena Mamanya sudah memanggil, dan lagi disaat yang sama pintu kamar Deva terbuka dengan seorang cowok yang berjalan keluar. Ify berusaha mengerem langkahnya tapi gagal.

Bruukk...

Double kill

Ify menabrak orang itu, keduanya jatuh.

Ray dan Deva yang masih di dalam kamar hanya mematung.

"Duh..." keluh Ify berdiri sambil memegangi punggungnya yang nyeri sana-sini. "Devaaaaa... Raaay... Lo berdua nggak bisa ya nggak bikin masalah hah!" teriaknya sambil sesekali meringis

"Buu... Bukan kita Kak!" Jawab Deva dan Ray gugup.

"Terus siapa hah! Emang ada berapa bocah aneh disini!" Ify menatap Deva dan Ray yang katakutan.

"Ituuu... Ituu..." Deva menunjuk seseorag lagi yang masih tergeletak dilantai. shock atas kejadian jatuh tadi.

"Hmmm... Sorry ya, gue nggak sengaja" kata orang itu yang masih berusaha mengontrol dirinya dibelakang ify.

Ify yang terlanjur kesal marah-marah lagi "Heh, Bocah! Lo gak punya mata ya!"

"Maaf, gue beneran nggak sengaja" orang itu berdiri lalu memutar wajah menghadap kearah ify, seketika keduanya terdiam.

"Loh, Ify" kata orang itu yang ternyata...

"Kak Gabriel?"

"Kedua kalinya ya, sorry, Gue beneran nggak sengaja" ulang Gabriel, kali ini sambil tersenyum.

"Iya, nggak apa-apa. Lo ngapain disini Kak?"

"Jemput adek gue"

"Ray?" tanya Ify lagi.

Gabriel mengangguk.

Ify menatap Ray dan Gabriel bergantian, "Kok bisa sih!" Ify memandang keduanya heran.

"Apanya?"

"Yaa... lucu aja. Kakak itu kan Ketua Osis, jago main basket, ganteng, kalem, baik lagi. Sementara Ray yang gue kenal itu biang rusuh, berisik, ganteng sih, tapi gimana bisa kalian ternyata saudaraan?"

Ray melirik Ify tidak suka lalu menepuk pundak deva sejenak sebelum berjalan menuruni tangga lebih dulu.

"Yaudah. Fy, Dev, Kakak pulang dulu yaa? Ray ngambek tuh, sekali lagi sorry ya, Fy" pamit Gabriel buru-buru turun menyusul Ray.

Ify masih bengong, tidak percaya dengan apa yang baru saja dia lihat.

***

Gabriel duduk dibangku kemudi dengan Ray disampingnya. sepanjang jalan Ray betah diam, tidak mengomel atau mengomentari isi mobil Kakaknya seperti biasa.

"Udah ya, Ray! Omongan Ify tadi nggak usah di masukin hati" Gabriel menepuk pundak Ray pelan.

"Kak Ify bukan orang pertama yang ngomong gitu, emang keliatan banget ya perbedaan lo sama gue?"

"Gue nggak peduli orang mau ngomong apa. Buat gue lo tetep adek kecil gue, ngerti kan?"

"Gue ngerasa nggak pantes jadi adek lo," Ray menghela nafas berat "Gue malu kak, Gue malu dilihatin orang sebagai adek lo. Gue nggak pinter, Gue nggak keren, apalagi berprestasi. Gue beda sama Lo! Gue juga beda sama adek lo satu lagi, Gueee... Guu... Gueee" Ray tidak sanggup melanjutkan kalimatnya.

Gabriel menepikan mobilnya lalu merangkul Ray memberikan ketenangan.

"Gue tahu, Kalian memang beda. Tapi gue sayang kalian berdua. Buat gue kalian layaknya tangan kanan dan kiri yang selalu gue butuhin dan punya fungsinya sendiri, biarin orang menilai hubungan kita kayak apa, Gue cuma punya lo sekarang, Lo ngerti kan?" Gabriel memberi pengertian sederhana untuk mengembalikan semangat Ray yang hilang.

Ray mengangguk seraya dia menghapus airmatanya dan memasang senyuman lebar.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top