16 - Titik Terang

Cakka misuh-misuh karena Rio dan Alvin belum datang, nomor keduanya tidak bisa dihubungi, Bu Ira dan Pak Duta sudah berulang kali datang untuk mengkonfirmasi karena sebentar lagi mereka harus segera check-in.

"Bagaimana Cakka, Rio dan Alvin sudah ada kabar?" tanya Bu Ira lagi. Cakka dan Gabriel menggeleng lesu

"Aduuuh, kemana dulu sih mereka! awas aja kalo—

"Maaf semuanya, kami telat..." Bu Ira tidak melanjutkan kalimatnya sesaat setelah melihat siapa yang datang, menjewer keduanya gemas.

"Kalian ini! Nggak ada bosannya ya bikin ibu panik, Hmmm?"

"I— iya, ma— maaf, maaf bu, kita kesiagan... yang penting 'kan nggak telat, bu" rayu Rio

Bu Ira melepaskan jewerannya, "Ibu mau lapor ke Bu Romi dulu kalau tim kita udah lengkap" Lanjut beliau seraya beranjak.

Alvin dan Rio kompak menunjukkan wajah terbaiknya sepeninggal Bu Ira, wajah sangar teman-temannya ini sangat menakutkan, "Hehe... s-Sorry"

"Bisa dong kalau punya hape tuh aktifin, jangan mailbox terus" Cakka menoyor Rio dan alvin gantian, "tahu nggak sih yang namanya panik!" sahutnya galak.

"Sakit ndut!"

"Makanya, lain kali kalo mau telat tuh ngabarin, Sms kek, nelpon kek!" oceh Shilla.

"Sorry deh, sorry. Bilang aja kalo kangen mah" balas Alvin menggoda.

"Males banget"

"Alaaaah... ngaku aja deh"

"Lo tuh kepedean banget sih, ih...."

"Udah Woy!" Intrupsi Cakka, seketika obrolan keduanya berhenti.

"Sorry nih, kita kudu berangkat sekarang, udahan dulu ya, berantemnya?" Gabriel menepuk pundak Alvin, sebelum menghampiri Sivia untuk berpamitan. "Aku berangkat ya, Vi... kamu hati-hati"

"Iyaa... kamu semangat ya, jangan lupa kabarin aku" Sivia memeluk Gabriel.

"Pasti cantik," Gabriel melepaskan pelukannya.

"Ag, nitip tim yah..." bisiknya pada Agni, Agni mengangguk.

"Fy... Shill, semangatin mereka juga, oke?" lanjutnya, gantian shilla dan Ify yang mengangguk.

Cakka merangkul Agni setelah Gabriel berlalu, "Gue pasti bakal kangen banget sama lo"

Agni menoyor Cakka sebal, "ke-alayan lo tinggalin aja disini, jangan bawa ke berlin, awas aja lo keasyikan disana"

Cakka mengangguk mantap, "Siaap,"

Alvin melakukan hal yang sama pada Shilla, berpamitan. "Nek, gue juga berangkat ya?

"Iya" jutek Shilla

Alvin mendesah lelah, "Yaudah kalau gitu"

Rio mendekati Ify setelah berpamitan pada yang lain, tanpa berkata apa-apa dia lansung memeluk gadis itu, dua minggu ini Ify benar-benar mengabulkan permintaannya, Ify begitu tegar, tidak sekalipun Ify mencoba membuka luka yang harus mereka terima atas rencana malam itu, Ify mampu melewati semuanya, bahkan gadis itu sudah lebih dulu berdamai dengan hatinya daripada dirinya yang sampai hari ini masih dibayang-bayangi rasa bersalah karena rencananya malam itu telah menyakiti dua orang sekaligus, tidak hanya satu. "Makasih buat semuanya, Fy... aku bersyukur ada kamu, disini. aku pergi dulu ya? sampai ketemu di jogja nanti" bisiknya pelan

Ify mengangguk masih dalam posisi yang sama, berpelukan "Lo Hati-hati ya, disana. Jaga kesehatan..."

"Ciiiiieeee.... cieeeee...."

"Pedekate-pedekate nih yee..."

***

Setelah 15 jam perjalanan udara dan 30 menit perjalanan darat. Mereka sampai di hotel yang sudah di booking untuk semua peserta olimpiade. Setelah mendapat kunci kamar masing mereka memutuskan untuk masuk dan membersihkan badan sebelum agenda berikutnya dimulai.

Rio dan Cakka merebahkan tubuhnya di kasur, memejamkan mata sejenak menikmati waktu istirahat setelah menempuh perjalanan panjang.

"Duh, jetlag deh gue" keluh Cakka setelah melempar ranselnya disamping ranjang. "kagak biasa banget perbedaan waktunya..." tambahnya.

"Namanya juga baru landing, Lo mau mandi duluan apa gue dulu nih?"

Cakka bangkit dari posisinya, "Gue dulu deh, 'kan gue mandinya lama, entar keburu disuruh ngumpul lagi" lanjutnya sambil berjalan ke kamar mandi.

Sepeninggal Cakka, Rio kembali membaringkan badannya di tempat tidur, menatap lelah langit-langit kamar yang di dominasi warna corel cerah, pertemuannya dengan Ray semalam menyisakan banyak pertanyaan yang berputar-putar di kepala. Entah kenapa, dia merasa Ray begitu tulus saat menjelaskan niatnya datang ke Makam sang ayah, wajah sedih anak itu membuatnya berfikir mungkin dia dan Ray tidak jauh berbeda, mereka sama-sama menjadi korban rencana orang tua.

Rasanya tidak adil jika dia menolak Ray hanya karena tidak bisa menerima kenyatan, bukankah Ray sendiri yang bilang jika Ayah dan Bundanya memberikan anak itu semangat hidup, bahkan seingatnya Ray sempat berterima kasih padanya karena hal itu.

"Lupain dulu masalah lo, Sob!"

Rio mengalihkan pandangan saat mendengar suara lain di dekat pintu, rupanya Alvin. seperti biasa si China malang itu lansung duduk tanpa menunggu dipersilahkan, "Sebaiknya kita fokus dulu ke olimpiade ini, nanti kalau semuanya udah beres, Lo bisa ketemu sama Ray dan beresin masalah kalian" lanjut Alvin

Rio menatap Alvin dengan wajah menyerngit, "Lama-lama lo kayak dedi corbuzier deh, Vin"

"Lah, emang gue udah mulai botak ya?" Alvin meraba-raba rambutnya panik

Rio menoyornya gemas, "Bukan botaknya, Vin"

"Terus?"

"Lo kayak bisa baca fikiran gue, jadi kayak kang dedi corbuzier toh?"

Alvin cengar-cengir, "oh, yaaaah gimana ya, udah bakat lahir sih..."

"Auk Ah, males gue kalau udah narsisnya keluar" dengus Rio kesal seraya bangkit dari posisinya, menggedor pintu kamar mandi. "Cepetan nduut!"

"Entar, gue lagi nyabunin kuku!"

***

Malam ini heidenberg berteman hening karena tidak ada kegiatan berarti sepanjang hari sejak mereka sampai disini, hanya ada beberapa pengarahan demi kelancaran acara dan sisanya mereka diberi waktu untuk beristirahat demi mendapatkan kondisi prima keesokan harinya, Cakka sudah tidur di kasurnya, sementara Rio berbaring santai dengan fikiran melalang buana ke Indonesia, dia teringat kotak dari ify. Rupanya benar, dia tidak membuka kotak itu sebelum sampai ke Berlin. Dia meraih kotak yang berada di ujung kasur, membuka dan mengeluarkan isinya, sebuah gelang keca berwarna gelap, ada suratnya.

To : Rio

Jadi, ceritanya gue beli gelang ini sengaja, biar bisa couple-an sama lo, nggak apa-apa kan, ya? Gue dan teman-teman tunggu lo di Jogja. semoga si kecil ini bisa bikin lo semangat ngerjain soal-soalnya, yaa...

Ify

Rio tersenyum seraya mengenakan gelang itu di tangan kirinya, detik berikutnya Dia mengambil ponsel yang diletakkan sembarang diatas nakas, menyambungkan pada nomor seseorang di seberang sana.

Tuutttt

Tuuutttttt

Tuuutttt

"Halo..." suara serak terdengar di ujung sana.

"Halo Fy, nungguin ya?"

"ng... ng... nggak kok! sok tahu deh lo"

"Bohong ah, kenapa belum tidur kalau gitu?"

"Itu, ehmm gue..."

"Mikirin gue, hmm..." potong Rio menggoda.

"Apaan sih, Yo..." balas ify pelan, wajahnya bersemu meski dia yakin Rio tidak bisa melihatnya, ya tuhan... secepat itukah rindu mempermainkan perasaannya, dia sangat jahat, rindu tidak pernah mau bertolerir pada hati manusia. Belum hitungan hari mereka berpisah, hatinya sudah tidak karuan seperti ini.

Rio lelaki yang hebat, dia bisa membuat siapapun jatuh cinta dengan begitu mudah, perhatiannya, pengertiannya, dan semua perilakunya membuat siapapun bisa menyayanginya dengan mudah tanpa membutuhkan waktu yang lama, seperti dirinya saat ini. Hanya dalam hitungan hari dia bisa merasa sebegitu bahagia dengan keadaan mereka sekarang, tidak ada keterpaksaan meski posisi mereka sebelumnya tidak begitu baik. "Gue udah pernah bilang kan sama lo, Gue janji, gue bakal berusaha memberikan yang terbaik buat lo, Gue bakal belajar mencintai lo, menyayangi lo sepenuh hati gue, tapi sekarang ini gue nyesel, Fy" tangannya menggenggam erat gelang pemberian gadis diseberang sana, kalau saja gadis itu dekat, dia pasti sudah merengkuhnya kaut-kuat.

"Nyesel Kenapa?"

"Nyesel karena gue cuma bisa bikin lo nangis tiap mikirin gue" suaranya berubah serius, "Padahal, gue udah bayangin lo bakal senyum-senyum cantik gara-gara gue telepon, gue udah ngebayangin suara cempreng lo marah-marahin gue gara-gara enggak ngabarin, tapi ternyata apa—" Rio menghela nafas sebentar "kita lagi jauh aja, gue masih harus denger lo nangis gara-gara gue..."

Ify menutup wajahnya yang basah, dia sudah berusaha menahan airmatanya agar tidak jatuh tapi sekali lagi rindu itu jahat, Ia menyerang hati manusia dengan begitu kuat hingga semakin dan semakin membuncah setiap detiknya, seperti rindunya saat ini. "Maaf ya, yo... hiks, maafin gue, gue Cuma— suaranya bergetar.

"Ssst! udah yaa... plis, jangan nangis. gue lagi nggak bisa ngehapus air mata lo nih" sesal Rio, nada lucunya secara tidak lansung membuat Ify tersenyum, "E—Emm, gue pinjem tangan lo dulu deh buat apus tuh air mata!"

"Enak aja minjem!" Ify menghapus airmata dengan punggung tangannya.

"Ayolah, cuma hari ini doang, kok! Makanya, Lo jangan nangis ya, sampai tangan dan pundak gue balik lagi disamping lo"

"Makasih ya yo..."

"Harusnya gue dong yang bilang makasih, Gelangnya bagus banget, makasih yaa..."

"Lah, udah dibuka, ya? Aduh!" Ify menepuk keningnya frustasi "Jangan bilang lo ketawain suratnya"

Rio menggeleng, "Enggak kok, nanti pas gue pulang kita nyanyi bareng, ya? Gue pegang gitar lo pegang sapu, hahhahaha"

"Kalo nggak niat nggak usah ngajak ish!"

"Ih, ngambek, pasti muka lo jelek banget deh disana!"

"Awas aja ya, kalo lo suka sama muka jelek gue!"

"beda lagi dong, kalo udah sama gue mukanya jadi cantik!"

"Yee, ogah gue sama lo! Udah item, cungkring, nyebelin, rese, nggak ngerti apa disini ada yang rindu!" kata Ify galak.

"Kalau nggak ngerti ngapain gue nelpon?" Rio terseyum penuh kemenangan diujung sana. "Gue juga kangen kok sama lo"

"Gombal"

"Iya udah, kalau gitu lo tidur gih, udah mau pagi" " putus Rio di akhir kalimatnya.

"Lo juga ya..."

Klik.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top