15 - Chaos

Dua Minggu kemudian...

Hari ini Rio, Alvin, Gabriel dan Cakka tidak bisa masuk kelas karena ada pembekalan penuh sampai jam 11, setelah itu mereka juga harus ke depdiknas untuk melakukan pertemuan resmi dengan para kandidat olimpiade dari berbagai kota sebelum keberangkatan esok harinya.

Tepat pukul 2 siang mereka kembali ke sekolah untuk latihan, di lapangan semua pemain sudah menunggu, Rio, Alvin, Cakka dan Gabriel mendekati mereka setelah mengganti pakaiannya.

"Up! Up! Up! Ayo pemanasan, pemanasan..." intruksi Rio semangat, bertepuk beberapa kali bersama Cakka dan Alvin.

Tim inti yang dikomandoi Riko menatap mereka speechless "Kalian nggak istirahat dulu? baru juga sampe" katanya

Rio menggeleng, "Nggak ada waktu, besok udah harus berangkat"

"Tapi, Yo..."

"Udah, tenang aja. kita udah biasa kayak gini," jelas Gabriel menenangkan.

"Lagian, daritadi kita cuma duduk kok, dengerin orang ngomong, nggak capek-capek banget!" sela Cakka diangguki Alvin.

"Untuk itu, gue harap latihan hari ini serius! waktu kita udah mepet" pungkas Rio, semuanya mengangguk.

Strategi kali ini sparring tim baru lawan tim Rio di bantu Agni.

"Gue kesel deh! kenapa sih di saat kita punya komposisi pemain bagus kuadrat, jadwalnya malah bentrok" gumam Riko selagi menunggu Agni yang masih mengganti pakaian.

"Nggak usah ngaco, deh! Cakra masih punya kalian, tunjukin dong kalau kita itu mainnya berkelas, nggak kacangan!" balas Cakka dengan gayanya yang khas.

"Ayo mulai, agni udah siap!" lanjutnya, mereka serentak melangkah ke tengah lapangan.
pertandingan dimulai di pimpin Septian.

PRIIITTT....

Bola dilempar septian ke tengah lapangan, Rio memukulnya pelan, di tangkap Cakka yang lansung mencoba menyerang pertahanan, sudah ada Gabriel dan Agni disana. Rio berjaga di belakang, bola di oper ke Alvin lalu Gabriel, mereka bisa menggocek pertahanan Obiet dan Dayat dengan mudah.

Hupp...

Dengan satu gerakan bola berhasil masuk ke ring, lemparan berikutnya dilakukan obiet, bola di oper ke Irsyad, Irsyad mendriblenya dari kiri, sedikit bergerak untuk mengocek Alvin, melempar bola pada Riko, disana ada Cakka, pertahanannya kuat sekali, Riko mengoper bolanya pada Obiet yang ada ditengah. Tapi Rio lebih dulu berada disana, mudah saja dia mengambil bola, dengan sedikit gocekan bola berhasil dikuasainya, Rio melemparkan bola itu ke Alvin yang segera lari kedepan dan mengopernya pada Agni dan shooott....

Hupp... 3 poin untuk tim Rio.

Permainan dilanjutkan, bola ditangan Irsyad, melemparnya ke Riko. Lalu dipotong Alvin, dia mendrible bola melewati Dayat, Abner dan Obiet yang berjaga di belakang
Huuupp! lay up dari Alvin berhasil mencetak angka. Permainan dilanjutkan sampai babak pertama selesai.

Rio meniup peluit mengomando semua pemain istirahat, mereka berkumpul di tepi lapangan. Rio berdiri menatap para pemain tim baru gantian, "Apa-apaan ini? permainan kalian jelek banget!" Koreksi Rio dingin, mati-matian dia menahan diri agar tidak emosi, "gimana kita bisa tenang di olimpiade nanti kalo kalian nggak semangat kayak gini!" lanjutnya.

"Sorry, yo!" Riko menunduk pasrah

"Gue nggak butuh permintaan maaf, Gue butuh semangat kalian, tunjukin sama semua orang kalau Cakra emang berkualitas, bukan tim yang pamer keahlian doang, tunjukin kalo kalian emang suka basket, anggep si oren temen, karena gue juga ngelakuin itu, Si Oren udah kaya pacar gue di lapangan" jelas Rio masih mencoba tenang.

"Kok pacar, sih?" Cakka memotong omongan Rio, Agni menjitak lelaki itu, meruntuki sikapnya yang kerap kali merusuh disaat yang tidak tepat.

"Karena gue nggak punya gebetan kaya lo!"

"Kalian semua ini Kakak kelas gue, selain Obiet. seharusnya hal kayak gini nggak boleh terjadi tahu! apaan minder sebelum tanding! sekarang gue tanya, apa kalian masih ngarep kalo kita nggak jadi pergi besok?"

Semua tertunduk, tidak ada yang berani bicara.

Rio menarik nafas dalam sebelum melanjutkan kalimatnya, "Kenapa sih? Kenapa kalian malah bergantung penuh sama kita? asal kalian tahu aja, kita nggak sehebat yang kalian pikirin. Kalian nggak tahu aja gue hampir mati ngimbangin permainan Cakka hari ini, gue hampir jatuh pas nyoba ngoper si oren ke Alvin, tapi gue tetep pertahanin pacar gue gimanapun caranya, gue ngerubah strategi, berusaha fokus main dan ngelindungin pacar gue, bukan cuma buat menangin poin di lapangan doang!" terang Rio menyadarkan yang lain.

Mereka masih betah bungkam, belum ada yang mau bicara.

"Oke, kalo emang itu yang kalian mau" Rio menghela nafas lelah, berjalan keluar lapangan. "Gue mundur aja dari olimpiade, sekaligus keluar dari tim, biar lo semua puas!"

Semua yang ada di sana terbelalak, Riko berlari cepat menahan langkah Rio bersama anggota lainnya, "Yo! jangan... Lo nggak perlu ngelakuin itu, kita bakal latihan lagi! Kita akan main di turnamen nanti" kata Riko yakin.

"Apa omongan lo bisa gue percaya?"

Riko mengangguk yakin, "Bisa, bisa banget, pokoknya gue tunggu kalian di final, kalian harus datang kesana sambil bawa medali itu buat kita, oke?"

Finnaly, demi kebaikan tim mereka sharing beberapa formasi dan strategi permainan yang mungkin dibutuhkan. Cakka, Gabriel dan Alvin senang melihat semangat yang berkobar diantara mereka.

***

Rio dan Alvin melangkah perlahan menyusuri jalan setapak, karena pulang latihan masih sore mereka memutuskan untuk mampir dulu ke suatu tempat sebelum flight besok, takut tidak sempat.

Dengan buket bunga di tangan masing-masing mereka berhenti diperempatan jalan dekat pintu masuk.

"Gue kesana dulu" pamit Alvin menunjuk arah berlawan, Rio menganguk

Dia melanjutkan langkah berbeda arah dari Alvin menuju pusara sang Ayah di ujung kanan, sampai disana ternyata ada pengunjung lain yang tengah berdoa di depan pusara, Rio memilih untuk mendekat tanpa berniat mengganggu doa anak itu, dia terus menunggu sampai anak itu selesai, meletakkan bunga lily di samping batu nisan kemudian berdiri.

Anak itu berbalik, langkahnya seketika terhenti melihat siapa yang kini berdiri dibelakangnya dengan tatapan tajam.

"K...Kak Rio...?"

Keduanya duduk di bawah pohon dengan keterdiaman yang tak jua berujung, sibuk dengan fikiran masing-masing.

Ray menggigit bibirnya takut, tidak berani menatap Rio yang menyiratkan wajah padam sejak mereka bertemu.

"Ray, nama lo Ray, kan?" Rio mulai membuka suara.

Ray mengangguk perlahan.

"Ngapain lo disini, ralat! maksud gue, ngapain lo ke makan bokap gue?"

Ray tertunduk, suaranya tercekat, "Gu... gue, Gu... gue cuma jenguk Om marcel aja kok, Kak" balasnya terbata.

Rio terseyum tipis, "Jenguk lo bilang?" bentaknya penuh penekanan, tangannya mengepal keras. "Lo nggak pantes jenguk bokap gue, Lo sadar nggak sih, Lo udah ngambil Bunda dan Iyel dari gue!"

Ray terisak, rupanya Rio tidak bisa meresponnya lebih ramah seperti yang pernah dilihatnya di rumah hati itu, saat Rio mengobrol dengan bundanya, Bu Manda. "Gue sama Papa nggak bermaksud ngerebut apapun dari Om Marcel"

"Nggak ngerebut gimana? Lo ngambil Iyel sama Bunda dari gue, Lo ngehancurin hidup gue yang udah berantakkan!"

"Bu... bukan gitu, Kak. gu.. gue. Gue sayang sama Om Marcel, beliau udah kayak bokap gue, begitu juga tante manda, eh mama maksudnya, mereka berdua orang baik, gue nggak tahu gimana jadinya gue waktu itu seandainya nggak ada mereka, mama gue meninggal, Papa gue sibuk, cuma mama Manda yang selalu nemenin gue disana." Ray kembali terisak, dia tidak suka mengulas kesakitan dimasa lalu, tapi mau bagaimana? Kali ini keadaan yang memaksa.

"Gue tahu, Kakak mungkin nggak bisa nerima gue gitu aja, gue sadar gue siapa, kak. Gue cuma mau ngedoain om Marcel, gue mau berterima kasih atas apa yang udah om kasih selama ini, apa gue salah? Apa gue nggak boleh ngelakuin itu?"

Rio tertegun lama, ketulusan yang terpancar dari mata anak ini benar-benar nyata, dia tidak bisa menyalahkan penjelasannya, bagaimanapun juga dia harus ingat kalau semua yang terjadi di masa lalu adalah rencana ayahnya, sehingga meskipun pahit dia tetap tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Rio menatap Ray yang masih tertunduk, bahunya naik turun.

"Thanks, udah doain papa, Ray..."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top