14 - Sebuah Seni Merelakan

Bugh...

Bugh...

Bugh...

"Lo yang bener kalau ngomong!" Gabriel melayangkan pukulan telak di wajah lawan bicaranya yang lagi-lagi hanya diam, tidak habis fikir dengan pikiran anak itu, bisa-bisanya dia meminta bertemu sepagi ini hanya untuk mengatakan hal yang sama sekali tidak penting. "Kalau lo beneran sayang sama dia, pertahanin! Kejar terus, jangan jadi pengecut. Lo pikir dia bakalan seneng kalau lo ngelakuin itu, hah? Jangan gila!" sentaknya marah.

"Justru itu, Yel. justru karena gue sayang sama dia, makanya gue ngelakuin ini" Rio menyeka darah yang keluar dari ujung bibirnya, menatap pasrah lawan bicara yang masih menampakkan wajah padam, rencananya sudah bulat dan dia tidak akan mundur hanya karena penentangan kecil.

"Maksud lo? sayang macem apa yang malah nyuruh orang lain buat nerima keputusan cewek yang dia suka? sayang macem apa gue tanya!"

"Sayang gue sama dia lah yang jelas" balas Rio enteng.

"Plis, Yo. jangan bercandain gue disaat kayak gini"

Rio tersenyum miris, kalau saja dia bisa tiba-tiba tertawa dan mengatakan semua ini hanya tipuan, tentu dia akan melakukannya, dengan senang hati malah.

"Apa gue keliatan lagi bercanda sekarang, Kak?"

Gabriel tergugu, apa ini? apa dia tidak salah dengar? Rio tadi memanggilnya kakak, ah... benarkah?

"Gue sayang sama dia udah lama, tapi gue juga tahu dia sayangnya sama lo. Gue juga nggak mau kehilangan dia, tapi gue sadar dia jauh lebih takut kehilangan Lo daripada gue. Gue nggak mau egois, Yel. gue nggak bisa biarin dia terjebak dengan permintaannya sendiri" Rio menghela nafas lelah, mengakui kebenaran memang berat, karena itu banyak manusia sengaja menyembunyikan kebenaran dengan berbagai alasan meski mereka tahu semakin lama sembunyi maka semakin banyak juga alasan yang diperlukan.

"Gue sayang sama dia, tapi bukan berarti gue bisa maksa dia buat sayang sama gue juga, kan? Terlepas dari gue sayang sama dia apa enggak, selama dia bahagia buat gue itu udah cukup. So, lo pikirin tawaran gue baik-baik, Lo nggak usah muna, deh. jangan pikir gue nggak tahu gimana belingsatannya lo ngeliat kita deket belakangan ini, Sumpah, Yel. jangan pikir gue nggak tahu!" Rio melangkah pergi dari pekarangan rumah Gabriel setelah menyelesaikan niatnya tanpa memberikan kesempatan si Tuan Rumah untuk membalas atau sekedar menyanggah pernyataan itu.

***

Rio menahan tubuhnya pada sisi wastafel setelah aksi muntahnya selesai, badannya lemas bukan main, perutnya masih sakit sekali, melilit, perih seperti di pelintir.

Sepanjang pembelajaran berlangsung, dia tidak bisa menyerap materi dengan baik. perutnya tiba-tiba sakit, mual, seperti diremas tangan raksasa. Padahal seingatnya, dia belum sempat makan sejak semalam, bagaimana bisa sakit?

Awww, dia meringis tertahan, badannya sudah payah, tenaganya terkuras, bersandar di dinding kamar mandi, nafasnya tersengal hebat.

"Yo... buka pintunya! Lo nggak apa-apa kan?"

Ketukan dari luar membuatnya tersadar, dengan tenaga seadanya dia berusaha meraih handel pintu

Ckleek...

"Udah?" tanggap Alvin datar seraya menahan tubuh Rio yang seolah bisa jatuh kapan saja, jangan tanya lagi bagaimana berantakkannya dia, bajunya lecek, rambutnya acak-acakan, wajahnya pias, ujung matanya sampai berair. "Kita ke UKS" pungkasnya kemudian.

Sesampainya disana, Alvin membantu Rio berbaring di salah satu mistar kemudian beranjak menuju kotak obat, mencari tablet pereda sakit perut.

"Nih," Alvin menyodorkan dua tablet berwarna hijau dengann segelas air pada laki-laki yang masih meringis sambil memegangi perutnya, menerima tablet itu dengan tangan bergetar.

"Thanks,"

Alvin terdiam agak lama, memandang iba sahabatnya yang tampak sangat kepayahan, saking sibuknya anak itu sampai lupa makan, lupa istirahat, Alvin sudah bosan mengingatkannya seperti ibu-ibu arisan, "Gue panggilin Via ya, biar dia bisa jagain Lo" ujarnya.

Rio menggeleng, "nggak, jangan kasih tahu dia"

"Tapi, Yo..."

"Udah, gue mau tidur aja bentar."

"Oke, nanti abis pembekalan gue kesini lagi" Alvin menyanggupi.

***

"Lo yakin nih, nggak mau tunda besok?"

Entah, sudah berapa kali Alvin mengulang pertanyaan yang sama sejak Rio mulai bangun pasca tumbangnya di toilet sekolah siang ini. Gara-gara itu juga, Alvin nekat menelepon Pak Dedi, orang kepercayaan sekaligus asisten pribadi Pak Marcel yang kini bertugas mengawal putra majikannya yang tidak lain adalah Rio.

Sehingga, disinilah mereka berada sekarang, memanfaatkan waktu beristirahat di kediaman keluarga haling yang sebenarnya, menikmati waktu bersantai dan fasilitas yang tidak bisa mereka temukan rumah petak milik Bu Irma yang juga pekerja disini.

"Lo nggak bosen ya nanyain itu terus..." Balas Rio yang tengah merapikan pakaian di depan cermin dekat meja belajar. Sudah kepalang tanggung untuk pulang ke kost, dan semua ini gara-gara si kodok sipit, Alvin.

Gara-gara aksi nekatnya itu, Pak Dedi sampai memanggil Dokter meski dia sudah menjelaskan berkali-kali kalau tadi itu hanya sakit perut biasa.

Alvin terkekeh, "Kenapa kita nggak stay disini aja sih, Yo! Enak tahu, banyak makanannya" sahutnya tidak nyambung.

"Makanan aja lo cepet! udah ah, gue jalan dulu, baik-baik lo, Jangan nyusahin mbak-mbaknya, kasihan" pesannya sebelum melenggang keluar.

***

Rio mematikan mesin mobilnya di depan halaman rumah Sivia, melangkah masuk menuju pintu utama yang sudah setengah terbuka. Dari celah pintu, tampak Gabriel tengah duduk di ruang tamu seorang diri.

Rio tertegun sebentar, mengingat pertemuan paginya dengan seseorang di dalam sana, membuatnya berfikir jika mungkin Gabriel telah menyanggupi tawarannya, makanya dia datang.

Tok...

Tokk...

Took...

Dia sengaja mengayunkan tangannya menyentuh daun pintu, menunjukkan kedatangannya.

Gabriel menoleh kearah suara, agak terhenyak sebelum mengayunkan langkahnya kearah pintu. "H... Hai... yo, e... i... itu... gue... gu... gue..." sapanya kikuk.

Rio menepuk pelan pundak lawan bicaranya yang mendadak terserang gugup akut hingga kini wajahnya memerah, ekspresi bingungnya itu loh, kentara sekali. "santai, Bro! Pas banget deh, lo disini. Gue mau ngobrol serius nih sama Via, nggak apa-apa kan? Lo nggak cemburu kan?" sahutnya setengah menggoda.

Gabriel meninju pundak lawan bicaranya, "harusnya gue yang ngomong gitu..."

Disaat yang sama Sivia keluar dari salah satu lorong, membawa dua gelas minuman ditangannya, meletakkannya diatas meja.

"Masuk yuk, kayaknya emang harus selesai sekarang, lebih depat lebih baik" Rio mendorong Gabriel untuk masuk, membawanya ke sofa ruang tamu dan seperti biasa mereka berebut tempat duduk

"Loh, kamu udah lama? duduk dulu yo!" sapa Sivia mempersilahkan disela keributan yang terjadi.

"Baru aja, kuenya ya Vi, sekalian" Rio terkekeh disela kegiatannya menahan Gabriel agar tidak pulang apalagi sampai kabur dari sini.

Sivia mengangguk, melangkah kembali ke salah satu lorong dirumahnya. Tidak lama, dia kembali dengan sepiring kue, "Adanya ini, nggak apa-apa ya?" katanya sambil meletakkannya diatas meja. Gabriel memandangi kue itu dengan mata berbinar, dia suka kue bolu.

"Sikat, Yel..." kode Rio sengaja, tentu saja dia ingat bolu adalah kue kesukaan kakaknya sejak kecil.

Gabriel mencomot dua kue sekaligus, memakanya dengan sangat lahap, Kue bikinan Sivia selalu enak dilidahnya, perpaduan rasanya pas.

"Mantap, Vi..." komentarnya puas.

"Iyadong, susunya udah aku kurangin, jadi enggak tinggal di lidah kamu," jelas Sivia senang masakannya di puji.

Rio menyunggingkan senyum ramah, satu lagi bukti nyata sebesar apa gadis itu memperhatikan Gabriel membuatnya hatinya miris, demi mengacuhkan perasaan itu dia memilih mengikuti Gabriel mencicipi kue buatan Sivia.

"Gimana, Yo?"

Rio menganggukkan kepala sambil memainkan ibu jarinya, "Enak banget ini mah, pantesan aja si Iyel doyan"

Sivia tertawa. "Eh, ke taman yuk? bosen ah duduk mulu" ajaknya, dua lelaki itu mengangguk setuju.

Sivia mengamit lengan dua lelaki itu di sisi kanan dan kiri tubuhnya, berjalan beriringan menuju taman belakang.

Tidak banyak yang berubah dari taman ini meski rasanya sudah sangat lama sekali sejak terakhir kali mereka bermain di tempat ini saat mereka masih kecil.

Rio menarik Sivia untuk duduk, mereka berhenti di dekat air mancur buatan yang dulu pernah difungsikan sebagai kolam serba guna, tidak hanya ikan yang boleh berenang disana, tapi juga pemiliknya.

Seraya memandangi panorama malam yang indah dari tempat mereka berhenti, Rio menggenggam jemari gadis itu, memainkan sela-sela jarinya agar dia tidak kedinginan. Dalam diam dia mengkode Gabriel untuk duduk di samping Sivia, disisi yang lain tentunya.

"Vi..." Panggil Rio pelan

Sivia menoleh, tersenyum hangat kearah Rio yang kini menatapnya.

"Aku minta maaf ya, Vi... Aku nggak bisa nepatin janji buat bantuin kamu"

"Maksud kamu?" Sivia menatap Rio penuh tanda tanya. Gabriel belum membuka suara.

"Sebenarnya, aku sama Iyel udah sepakat, kita bakal kasih kamu kesempatan untuk memilih diantara kita berdua"

"Aku, kamu dan Kak Iyel, kita nggak bisa terus-terusan sembunyi dengan dalih kita udah kayak saudara atau semacamnya, biar gimanapun kita juga butuh kepastian. mau sampai kapan kamu bohongin perasaan aku, perasaan kamu cuma karena takut kita nggak bisa pisah satu sama lain"

"Rio bener, Vi... Aku juga pengen kamu yakinin hati sebenernya buat siapa. Aku sayang sama kamu, aku nggak bisa bohongin perasaan aku kalau aku cemburu ngeliat kamu sama Rio belakangan ini. Aku tahu ini udah sangat terlambat. Tapi aku juga nggak mau nyesel kalau sampe aku nggak bisa bilang ini seumur hidup aku" timpal Gabriel.

Sivia mengeratkan genggamannya pada Rio yang berada di sebelah kanan tubuhnya, berusaha untuk tetap tersenyum. "Selama ini, dari kita kecil, kamu selalu bisa jadi pahlawan buat aku, kamu selalu ada saat aku sedih, saat aku butuh, kamu selalu bisa bikin aku tersenyum, aku nggak mau nggak ada kamu..."

"Sementara kamu, kamu pelindung aku, kamu ngerti apa yang aku mau tanpa aku harus bilang semuanya, aku nggak bisa kehilangan kamu" Sivia melakukan hal yang sama pada Gabriel, menatapnya sejenak sebelum kembali fokus pada genangan air di hadapannya.

"Dari dulu sampai kemarin, aku berfikir aku bisa milikin kalian berdua sekaligus, tapi sekarang aku sadar aku nggak bisa milikin dua-duanya, aku harus pilih salah satu, aku sadar ternyata selama ini aku egois! aku udah nyakitin kalian dengan sikap aku yang nggak jelas arahnya kemana" Sivia terisak, dia tidak menahan airmatanya, entah bagaimana perasaannya saat ini.

"Kamu nggak lupa kan, Vi. kita paling benci liat kamu nangis" Rio menghapus airmata Sivia dengan telunjuknya, menarik ujung bibir gadis itu untuk kembali tersenyum. "Kita siap, siapapun yang bakal kamu pilih nanti, kita nggak akan ninggalin kamu"

"Iya, Vi... Apapun keputusan kamu, Siapapun yang kamu pilih kita bakal terima, selama kamu bahagia dan yakin dengan pilihan itu" timpal Gabriel.

Detik berikutnya, keduanya mundur teratur melepaskan genggaman masing-masing dari jemari mungil gadis itu, memberikannya waktu untuk berfikir, meyakinkan diri hatinya sebelum menentukan pilihan.

---

Hening mendominasi atmosfer diantara mereka, Sivia berkali-kali menghembuskan nafas berat, memantapkan pilihan antara dua orang yang mana keduanya memiliki peran penting dalam perjalanan hidupnya sejak kecil.

Rio, meski sempat terpisah cukup lama, nyatanya lelaki itu masih sama mengesankannya seperti waktu kecil dulu, senyumnya selalu cukup untuk menumbuhkan semangat yang hilang, caranya menghibur dan memperhatikan kawannya selalu unik dan tidak mudah ditebak, dia sangat pantas di sayangi, rasanya Sivia tidak akan sanggup untuk kehilangan setiap momen yang sudah dan akan mereka ciptakan.

Sementara Gabriel, laki-laki yang menemaninya nyaris setiap hari, sosok dewasa yang perhatian, pengertian dan dicintanya sejak lama, terlalu banyak yang sudah mereka lakukan hingga Sivia tidak bisa melupakan kebahagian keduanya barang sedetik. Lalu? Bisakah jika seandainya mereka tiba-tiba saling menjauh? Apa dia sanggup melalui semuanya seorang diri? Ah, rasanya tidak mungkin.

Sivia berlari sekuat tenaga, memeluk erat tubuh jangkung di sebelah kanannya, menikmati setiap detik yang tak akan terulang, tanpa kata, tanpa suara dia terus mendekap tubuh itu kuat-kuat seakan dia akan kehilangan aroma tubuh itu jika pelukannya terlepas.

Seketika seseorang yang juga menunggu jawaban disisi sebelah kiri menunduk dalam, menahan debaran keras di dadanya, rasanya dia mulai sulit bernafas, meski demikian senyumnya tidak pudar, bukankah mereka sudah sepakat untuk menerima keputusan apapun dari gadis itu, maka jelas seharusnya dia tidak boleh merasa sakit hati. Tapi, cinta sungguh egois, sekeras apapun dia mengelak, rasa itu tetap keukuh untuk tinggal.

Tidak terasa wajahnya basah perlahan, badannya bergetar, dia menunduk menyamarkan kepedihannya, tampak dari kejauhan Sivia baru saja melepas pelukannya, berjalan mendekat kearahnya bersama laki-laki itu.

"Akhirnya, Via udah milih, Yel" ujar Rio pelan.

Gabriel menunduk dalam kebisuan, tidak berani bicara atau menegakkan badan untuk menatap mereka, meski hanya untuk mengucapkan selamat.

Rio melepaskan genggamannya, menautkan jemari lentik gadis itu dengan tangan lain yang mulai bergetar di dekat mereka.

"Gue akan selalu berdoa buat kebahagiaan kalian, jagain dia, buat dia bahagia karena kalau enggak, gue nggak akan segan-segan buat ngehajar Lo!"

"A... Apa... Apa ini?" cicit Gabriel seraya menegakkan wajahnya, menyerngit bingung langkah Rio yang mulai menjauh. "K... kok i... itu, Rio malah pergi"

"Aku pilih kamu, Yel..." Sivia menggenggam jemari Gabriel, memeluk tubuhnya kuat-kuat.

"M... maksud kamu? bu... bukannya tadi kamu udah--"

"Aku udah bicara sama Rio, aku udah yakinin perasaan aku, resapin isi hati aku, dan kamu jawabannya"

"Kenapa aku?"

"Apanya?"

"Kenapa bukan Rio?"

Sivia menggeleng, "hanya hati aku yang tahu jawabannya"

"Kamu sayang kan, sama Rio?

"Iyalah, dia baik banget orangnya, Yel. nggak susah buat bisa sayang sama dia. Tapi tetep aja, sayangnya aku ke dia, beda dengan sayang aku ke kamu, kalian berdua punya tempat tersendiri di hati aku"

"Kamu tahu kan, Rio itu adik aku yang paling aku sayang?" Sivia menganguk

"Kamu juga tahu kan, aku nggak mungkin ngebiarin seorangpun nyakitin dia?" Sivia kembali mengangguk.

"Tapi kenyataanya apa, malah aku yang ngelukain dia, dia pasti sedih banget sekarang, dan itu gara-gara aku. Padahal kita hampir aja baikan setelah sekian lama, Vi..."

"Harusnya kamu salahin aku, Yel. Aku yang udah mulai semua ini, Aku yang nyakitin kalian, aku yang salah, kamu boleh marah sama aku, tapi please... Kamu jangan tinggalin aku, ya? aku nggak sangup tanpa kamu, you is my soul..."

Gabriel mencubit pipi sivia gemas, "Nggak akan cantik, kamu nggak tahu gimana sakitnya aku ngelihat kamu hampir ninggalin aku hari itu, aku nggak akan ngelakuin hal sama karena itu juga nyakitin aku!"

Sivia terseyum menyandarkan kepalanya di pundak Gabriel. "Aku sayang banget sama kamu..."

"Aku juga..."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top