13 - Satu Langkah Lebih Dekat.
Banyak yang sudah terjadi dalam beberapa minggu terakhir, latihan dan pembekalan olimpiade menjadi aktifitas harian luar biasa penting daripada urusan pribadi para penanggung jawab acara, anak-anak basket dan peserta olimpiade.
Gabriel masih gencar mendekati Ify pasca insiden pacar sehari kala itu, Ify yang juga mengagumi Gabriel tentu merespon dengan senang hati beberapa ajakan pulang, jalan-jalan, dan olahraga yang ditawarkan lelaki itu meski tidak setiap hari mengingat aktifitas tim basket sedang sibuk-sibuknya.
Cakka melakukan hal yang sama, sejak berhasil mengembalikan gitar Agni sekaligus minta maaf, mereka sering terlihat bersama, Agni tidak lagi menghindar, tapi tidak juga bersikap baik layaknya gadis biasa, mereka masih sering bertengkar, namun tekat Cakka untuk mendekati Agni tidak pernah surut, Dia merasa mereka adalah pasangan yang cocok, bersama Agni dia selalu merasa tertantang, baginya Agni itu spesial, dia tidak mudah dirayu seperti gadis-gadis pada umumnya.
Alvin dan Shilla menunjukkan suasana berbeda, sejak aksi kejar-kejaran tempo hari gara-gara curhatan bocor itu, mereka tampak lebih bersahabat meski tetap tidak menanggalkan aktifitas menyebalkan mereka berdua yaitu, berdebat.
Rio menjadi yang paling sibuk diantara mereka berempat, diluar dua kejuaraan itu dia masih harus mengurus beberapa keperluan perusahaan dibantu beberapa orang kepercayaan Ayahnya semasa beliau masih hidup. Semua kesibukan itu berjalan seiring, selaras dengan penepatan janjinya untuk membahagiakan Sivia, sesekali mereka menyempatkan pulang bersama, menghabiskan waktu sejenak, bersantai layaknya seorang teman dekat dikala kesibukan tidak seberapa parah.
Rio bahagia setiap melihat Sivia tersenyum, meski dia tidak bisa memungkiri jika pesona Gabriel masih sangat nyata dalam hati gadis itu. Tidak terhitung berapa kali pembicaraan mereka yang semula menyenangkan tiba-tiba beralih dengan pertanyaan dan pernyataan tentang Gabriel, kehebatannya, kesibukannya, kepiawaiannya dalam banyak hal dan masih banyak lagi.
Kecewa? Jelas.
Sakit hati? Tentu saja.
Sivia tampak begitu semangat setiap kali nama itu disebutkan, matanya berbinar, cerah, dan tentunya lebih cantik. mana mungkin dia tega memotong pembicaraan mereka hanya karena merasa tidak nyaman? Bagaimanapun juga, dia tidak bisa memaksa Sivia untuk mencintainya, apalagi membatasi hidupnya. Dia hanya sedang berusaha, menunaikan janjinya untuk membantu Sivia, bukan lagi untuk melupakan Gabriel, tapi untuk menguatkan hatinya, menetapkan kemana sebenarnya dia harus pulang dan bahagia dirumah yang tepat.
"Woy! Bengong aja lo!" Alvin menoyor pundak teman disampingnya, lagi-lagi Lapangan outdoor Cakrawala menjadi tempat singgah terakhir untuk mereka berempat setelah latihan selesai.
"Capek, gue" keluh seseorang yang tengah berbaring itu, satu tangannya dia gunakan untuk menutupi wajah dari silaunya matahari.
"Sama, nggak kerasa ya udah seminggu lagi" sambung Alvin, wajar kalau kini mereka capek berat, satu minggu ini memang sangat melelahkan, mereka terpaksa kehilangan waktu istirahat karena berbagai alasan.
"Huaaah, pegel bangeeet" Cakka merebahkan badannya disusul Gabriel, mereka baru selesai mengembalikan bola dan beberapa atribut latihan dengan Riko dan tim, meskipun hanya peran pembantu, tetap saja tenaganya terkuras.
"Aman kan, Yel?" Tanya Rio pada Gabriel yang baru datang.
Gabriel mengangguk, mereka sama-sama beristirahat, menikmati menit-menit berharga mengembalikan tenaga yang hilang sampai kemudian terdengar suara grusak-grusuk dari belakang.
"Hai semuanyaaaa..."
Alvin, Rio, Cakka dan Gabriel lansung bangun saat melihat para gadis berjalan kerah mereka.
"Kalian kok belum pulang?" tanggap Gabriel.
"Sengaja, soalnya kita bawain ini buat kalian" Sivia menunjukkan empat kotak makanan yang dibawanya bersama Shilla.
Rio bergerak mendekat hendak melihat isinya saat Sivia dengan sigap menjauhkan kotak itu dari jangkauannya, "Apaan tuh Vi?"
"Ada deeeh, pada ganti baju terus cuci tangan gih" suruh Sivia galak
Tanpa membutuhkan komando kedua, mereka beranjak dari tempatnya, menuruti kemauan Sivia untuk membersihkan diri. Tidak lama kemudian mereka kembali dengan seragam sekolah dan rambut yang basah, berjalan mendekati gebetan masing-masing.
"Jadi, tadi kita buat ini di lab tataboga diajakin si Rahmi, ini buat Alvin, ini Cakka, ini buat Rio terus yang ini buat kamu Yel" Sivia menyerahkan kotak itu pada pemiliknya.
"Ini semua lo yang buat, Vi?" Cakka mengangkat kotak bekalnya, membukanya perlahan.
"Bukan, itu gue yang buat..." sahut Agni cepat.
Cakka menatap Agni tidak percaya, "Serius, Ag?" tanggapnya senang.
Agni mengangguk, "Tapi gue nggak tahu ya, rasanya enak apa enggak"
"Terus yang bikin donat ini siapa?" Alvin menunjuk kotak bekalnya.
Shilla mengangkat tangannya sambil cengar-cengir, "Gue dong, tadi di ajarin ibu kantin, ternyata bikinya gampang, Vin"
"Mmmm... berarti bisa dong nih..."
"Bisa apa?"
"Bisa... jadi babu di rumah, lumayan ada yang bikinin donat tiap hari"
Shilla memanyunkan bibirnya sebal, Kapan sih alvin nggak bikin dia kesel?
"Babu pribadi maksudnya, Shill..." seloroh Rio yang seketika membuat cengiran konyol di wajah Alvin memudar, pipinya terasa panas.
"Kalau ini, aku tadi bikin omelet isi keju sama pisang kremes buat kamu" Sivia mengalihkan perhatian obrolan mereka pada kotak yang dipegang Rio, memberi tahu isinya.
"Waah, menu baru ya? pasti enak nih?" balas Rio senang sembari membuka kotaknya, bentuknya yang cantik semakin menggugah selera.
Sivia mengangguk mantap, "Enak dooong, Ify loh yang ngajarin"
"Iya tuh, mereka mah mojok terus, susah emang kalau pada jago masak" curhat Shilla.
"Terus kamu bikin apa buat aku Fy..." Tanya Gabriel sebagai sasaran terakhir, dia masih belum membuka kotak makannya.
"Salad. 'kan Lo nggak boleh makan daging, nggak begitu suka manis juga, di jamin enak pokoknya" jelas Ify bangga.
Gabriel melihat isi kotaknya, tersenyum senang, "Waaah, kamu stalkerin aku ya? tahu dari mana coba aku nggak boleh makan daging dan nggak suka manis? Cieee..." ujarnya menggoda.
"Via yang bilang" balas Ify menunjuk Sivia yang tersenyum lucu di tempatnya.
Rio mengamati mereka berdua. Lagi, Sivia menatap Gabriel dengan mata berbinar, jangan lupakan senyuman cerah di bibirnya. Dia menunduk dalam, sedikit memalingkan wajah dari pemandangan yang serasa menikam perasaannya, Sivia memang perhatian pada semua teman-temannya, tapi tetap rasanya tidak sama dengan cara dia memperhatikan Gabriel sampai menghafal seleranya di luar kepala.
***
Ify tidur-tiduran di kasur dengan pensil dan kertas gambar di tangannya, meneruskan sketsa wajah yang belum selesai, sketsa wajah nomor sekian dengan objek yang sama, entah kenapa dia suka menggambarnya dalam berbagai kesempatan, dia suka memandanginya, membayangkan ekspresi lucu laki-laki itu dalam fikiran.
Dia tidak tahu sejak kapan teman sebangkunya itu menjadi lebih menarik dari biasanya, mereka masih sering saling serang, mengerjai satu sama lain, membuat kehebohan di kelas sampai dihukum bersama karena masalah sepele dengan wali kelas paling ajaib di dunia, Bu Winda.
Kalian belum lupa jika Alvin dan Rio adalah murid kesayangan beliau, bukan?
Selama persiapan olimpiade ini, Bu Winda sangat baik dengan anak-anak kelas sepuluh IPA 1. Beliau jarang memberi tugas lisan atau meminta mereka mengerjakan soal di depan kelas lantaran dua murid super bandelnya mendadak jadi super sibuk sehingga sering absen pelajaran karena begitu banyak persiapan yang harus dilakukan.
Drrrt... drrrt...
Ify melirik ponselnya yang bergetar di atas meja belajar, ada pesan masuk 'Waaaah, panjang umur nih orang'
Ify segera memainkan ponselnya, memeriksa pesan itu dan betapa terkejutnya dia melihat isi pesan yang mengatakan jika Rio ada di depan rumahnya. Dia menatap keluar jendela, dia mendekatkan ponselnya ke telinga, menghubungi nomor si pengirim.
"Hallo, Fy..." suara serak diujung sana cepat menyambutnya.
"Hallo, Yo! Lo serius lagi dirumah gue? dimananya?" Ify celingukan mencari sosok itu dari balkon kamar.
"Di depan pagar"
"Oke, tunggu. gue turun!" Ify menutup telepon setelah yakin siluet gelap yang dilihatnya dibawah pagar itu benar adanya, Dia berlari cepat menuruni tangga.
Mereka duduk di bangku taman yang tidak begitu ramai, hanya ada beberapa orang yang tampak berkunjung menghabiskan waktu santai mereka disana, Ify menyilangkan kedua tangannya di depan dada dengan wajah sangar, belum hilang rasa penasarannya sejak Rio tiba-tiba datang kerumahnya, meminta Izin pada Pak Hanafi untuk mengajak anaknya keluar sebentar kerena ada yang ingin diselesaikan. Pak Hanafi mengizinkan, Ify menyanggupi dengan senang hati, setelah mengambil tas dan sedikit bersiap mereka pergi dengan menggunakan motor, dia sudah membayangkan mereka akan bersenang-senang malam ini, makan es krim, membeli gula kapas, jalan-jalan atau apa saja yang menyenangkan. Tapi ternyata harapannya salah. "So, lo ngajakin gue kesini cuma buat ngeliatin lo jadi patung doang, gitu?" Sewot Ify setelah cukup lama mereka hanya saling diam.
"Bentar..." Rio berdiri dari posisinya, berjalan meninggalkan bangkunya menuju kerumunan orang-orang di ujung taman, Ify melihat dari kejauhan, menunggu apa yang akan dia lakukan.
Kurang dari sepuluh menit Rio kembali dengan satu cup es krim dan gula kapas ditangannya, memberikannya pada Ify kemudian mengacak pelan surai panjang gadis itu, "Nih, di makan"
Ify menerimanya dengan senang hati, menikmati dua makanan khas taman bermain itu sesekali menatap Rio yang kembali duduk diam di sampingnya, menatap lurus keramaian di depan sana.
Sepuluh menit...
Dua puluh menit...
"Fy...?"
"Hmm" Ify menoleh ditengah aktifitasnya menghabiskan gula kapas yang semakin mengecil di dalam plastic panjang yang membungkusnya.
"Kalau gue bilang Sivia ternyata cintanya sama Gabriel, apa lo percaya?"
"Hah?"
Ify memicingkan matanya menatap lelaki yang kini tampak memandang lurus objek di hadapannya, tatapannya kosong, "L—Lo nggak lagi ngerjain gue kan?" ulangnya ingin tahu.
Rio menggeleng, "Apa gue keliatan kayak lagi bercanda, sekarang?"
"E—eng—enggak sih" balas Ify kikuk, "Ah, tapi yang bener dong, Bukannya kalian lagi pedekate, ya? Lo bilang, Kak Sivia udah mulai suka sama lo. Kenapa sekarang lain?" tanggapnya serius. Setahunya, Sivia dan Gabriel bersahabat sejak kecil, tidak ada dari mereka yang pernah membicarakan atau menyinggung masalah perasaan satu sama lain. Saat Gabriel mengajaknya pergi, mereka jarang membicarakan urusan pribadi, hanya sesekali Gabriel menceritakan masa kecilnya bersama Sivia, Alvin, dan Cakka juga Rio, hanya sebatas itu.
Rio menghela nafas berat, menundukkan kepalanya, menahannya dengan kedua tangan, rasanya seperti akan meledak, sejak siang tadi banyak yang mengganggu fikirannya, terlebih perasaannya, dia ingin semuanya cepat selesi tapi tidak tahu harus memulai darimana, "Sebenarnya, gue sama Sivia punya perjanjian..." ujarnya kemudian
"Sivia minta gue buat bantuin dia ngelupain Iyel sejak dia ngerasa Iyel nggak peka sama dia dan lebih milih pedekate sama lo, Iyel udah tahu perasaan Via kayak apa, malah Via juga yang nyuruh dia buat perjuangin lo. Abis itu Via jadi murung terus, karena gue suka sama dia, gue pikir gue bisa bantuin dia move on dari Iyel biar nggak sedih lagi, tapi ternyata gue gagal. Segimanapun gue nyoba buat ngalihin perhatian Sivia dari Iyel, gue nggak pernah berhasil. Gue tahu, gue emang nggak ada apa-apanya dibandingin dia, tapi gue nggak bisa biarin Sivia terkurung dengan harapan kosong yang dia buat sendiri seandainya dia maksa buat bisa nerima gue... gu— gue" Rio tidak sanggup melanjutkan kalimatnya, lidahnya serasa tercekat kuat. "Sebenernya gue berat bilang ini sama lo, secara lo juga suka kan, sama Gabriel. Tapi... gimanapun juga gue butuh bantuan lo, Fy..."
Ify menepuk pelan pundak lelaki disampingnya, mencoba memberi kekuatan meski dia tidak yakin hal itu bisa meringankan atau tidak, dilihat dari caranya bercerita Ify percaya Rio tidak sedang berbohong atau sengaja ingin mengerjainya seperti biasa. tatapannya redup, nada suaranya tidak ada, datar. "emangnya apa yang bisa gue bantu?"
Rio memandang Ify yang juga tengah menatapnya, sekelebat bayangan wajah Sivia muncul di benaknya, Dia memejamkan mata sejenak, memutar kembali memori beberapa minggu lalu ketika dia menyanggupi permintaan Sivia, sejak saat itu hingga hari ini tidak ada perubahan berarti dari gadis itu, perhatiannya, baik budinya, semangat juangnya, semuanya sama, dia tidak akan sanggup melihat Sivia kehilangan semua itu.
***
Alvin memandangi kamera DSLR-nya setelah sekian lama, memandangi beberapa objek dalam SLR itu, setelah mengantar Shilla pulang tadi dia jadi kefikiran Ourel, Adik kecil anak ibu kantin yang tiba-tiba meninggalkannya tanpa penjelasan sampai membuatnya membenci Shilla. Lalu sekarang? Kebencian itu perlahan menguar, menjadi racun memabukkan yang berhasil membuatnya bimbang.
Rio yang baru selesai mandi duduk disamping Alvin. "Kenapa, Vin?"
Alvin membuka lagi SLR-nya, menunjukkan foto shilla dan Ourel pada Rio, "Gue lagi binggung aja, jadi kepikiran"
"Emangnya kapan lo mau nembak?"
"Anjir, nembak pala lo! Gue bingung tahu, belum lagi Ourel..." Alvin menghentikan kalimatnya, tidak menemukan kata yang tepat untuk melanjutkan penjelasan, terlalu rumit, masalahnya.
"Kalau Ourel, lo kasih tahu aja yang sebenernya, dia pasti ngerti"
"Iya... tapi Gue nggak beranilah nembak dia. Lo tahu sendiri Shilla dramaqueen banget! Gue kan nggak bisa romantisin cewek, apalagi perhatian kaya lo! apa iya Shilla mau nerima gue"
Rio tersenyum menanggapi keluhan Alvin, "Tumben lo mikirin itu? Lo mah udah jutek dari sononya, udah mendarah daging"
"Tahu ah! salah gue curhat sama lo!" Alvin malah ngambek, baru saja dia hendak bangkit dari posisinya tapi ditahan Rio.
"Dengerin gue ya, tuan Alvin Jonathan! Lo tahu, kan? Shilla udah suka sama Lo dari SMP. Apa kebenaran itu masih kurang jelas buat ngeyakinin lo kalau Shilla nggak ngelihat lo dari sikap, Dia udah ngertilah, hatinya suka sama siapa! kalau seandainya Shilla emang niat nyari cowok yang perhatian, baik, dan penyanyang mah udah dari lama dia berpaling ke gue, kan kata lo tadi gue perhatian, baik, penyayang lagi..." jelas Rio panjang lebar, kali ini nadanya biasa saja, datar dan tidak tengil lagi. "Lagian nih ya, setahu gue Shilla nggak pernah deket sama cowok, padahal lo tahu yang naksir dia banyaaaak banget" tambahnya yakin.
Alvin terdiam mencermati penjelasan panjang itu, menghela nafas pasrah, "Semoga omongan lo bener deh."
"Makanya buruan tembak!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top