12 - Dua Tanggung Jawab
"Siang semua..." sapa Cakka setibanya di lapangan, seperti biasa pulang sekolah setelah pembekalan olimpiade mereka berkumpul untuk latihan sebagai pesiapan pertandingan tingkat nasional yang tinggal menghitung hari.
"Hai Cakk, hai semua" balas Riko lemas melihat kedatangan rekan sesama timnya.
"Kenapa lo?" todong Alvin, Riko menggeleng
Rio berjalan mendekat, menepuk pundak Riko, "Ngomong aja lah, siapa tahu kita bisa bantu" lanjutnya.
Semuanya mendadak diam, tidak ada yang bersuara sampai Dayat menyerahkan selembar kertas yang diterima oleh Rio kemudian dibaca, ekspresinya seketika berubah, Rio memberi isyarat pada Cakka dan yang lain untuk mendekat untuk membaca isi kertas itu.
"Ini serius?" seru Cakka kaget.
"Pengumumannya baru aja keluar, kita harus gimana sekarang? kalian ada solusi?" Riko membuka suaranya setelah Rio dan yang lain selesai dengan aktifitasnya.
Semuanya diam.
"Padahal gue udah yakin banget dengan adanya kalian di tim inti, Cakra bisa jadi juara nasional..." Obiet membanting bola ditanganya ke sembarang arah. Jujur, pikirannya buntu sekarang. "Tapi ini apa? Jadwal tanding kita malah bentrok sama olimpiade"
"Jadi mau nggak mau kalian harus milih, mau lanjut olimpiade atau datang ke pertandingan" ultimatum Riko selaku Koordinator pemain. Di jabatannya sekarang tentu dia tidak bisa memaksa mengingat dia bukan lagi anggota tim inti ataupun kapten mereka lagi.
Cakka mengangkat wajahnya yang semula tertunduk, "Lo gila ya, Ko! nggak segampang itu juga kali!"
"Ya terus gue harus gimana, Cakk? Lo ada cara lain buat mengatasi masalah ini, hah?!"
"ya tapi jangan sepihak dong! Lo pakek otak kalo ngomong! Lo pikir kompetisi ini ajang main-main?" Alvin ikutan kesal, suaranya naik beberapa oktaf.
"Iya, oke! Gue emang nggak punya otak buat mikir, beda sama lo semua. Udah pinter, terkenal, jago ngapain aja, gue mah nggak ada apa-apanya!" Sambar Riko yang juga meninggikan suaranya.
"Diem Lo!" sentak Cakka tidak terima. "Lo nggak tahu gimana rasanya jadi kita, Ko. Lo nggak ta—
"Ya gimana gue tahu, gue 'kan nggak sebanding sama lo semua! Iya kan?"
"Lo keterlaluan tahu nggak!"
"Gue ngomong fakta, Cakk! Lo pikir gue mau diposisi kayak gini!"
"Bangsat lo!" Alvin kali ini bersuara
"Apa lo!"
"Stop, please!" Keduanya nyaris bertengkar kalau saja Rio tidak menarik Cakka dan Alvin yang mulai tersulut emosi untuk menepi, menjauh dari sekumpulan anak-anak basket yang pasti tidak kalah pusing dengannya.
"Kalian tunggu disini, biar gue ngomong baik-baik sama Riko." Rio meminta Alvin dan Cakka untuk duduk tenang di tribun tempat anak-anak biasa nonton sementara dia kembali ke lapangan.
***
"Plislah, tahan emosi dulu, bukan kalian aja yang binggung sama situasi ini tapi kita juga." interupsi Gabriel setelah memastikan Cakka dan Alvin aman bersama Rio disana.
"S... sorry, Yel..." sesal Riko.
"Yaudah, kita masih punya kesempatan kok buat menang, yang penting ada usaha" timpal Rio yang baru kembali.
"Gimana kita bisa menang kalau Tim intinya nggak ada..." Sahut Obiet hopeless
Rio menatap rekannya satu-persatu, "Kalian ini gimana sih! lupa ya? Cakra masih punya pemain berbakat lain di luar kita berempat," Dia menunjuk kaos berlambang nama dan nomor yang mereka kenakan gantian, "Kalian yang akan main di sana, gue percaya dan gue yakin kalian pasti bisa!" putus Rio kemudian.
"Lo jangan gila, Yo! mana bisa ujug-ujug kayak gitu!" seru Riko lagi.
"Bisa kok, nanti gue bakal ngomong sama Pak Jo. Dan gue rasa, ini jalan satu-satunya supaya kita nggak ngecewain banyak orang" sambung Gabriel mendukung ide Rio yang hari ini mulai bersikap hangat padanya.
"Tapi, gue nggak yakin bisa main sampai selesai, Lo tahu sendiri siapa aja lawan kita nanti, bisa sampai semi final aja udah mati-matian banget" timpal Dayat yang diangguki pemain lain.
"Nggak ada yang tahu apa yang akan terjadi di lapangan, kalau seandainya situasinya emang nggak memungkinkan, gue minta tolong banget ke kalian usahain sampai final" yakin Rio, "Kita olimpiade murni sepuluh hari, ditambah jam pulang jadi sebelas hari. jadi, kita masih punya waktu buat main di final nanti"
"Ta-tapi yo—
"Ayolah. Semangat dong. demi mimpi kita nih, demi sekolah kita tercinta, apa salahnya kita usaha dulu sampai final" sahut Cakka yang tiba-tiba sudah berada di belakang Gabriel, bersama Alvin.
Riko mengangguk "Oke, kita bisa usahain" putus Riko yang disambut sorakan semangat dari para pemain, "janji ya, kalian main di final nanti?"
"Pasti, kita pasti main di final" sanggup Rio.
Riko menyerahkan ban kapten pada Rio "Pegang, Gue serahin ban ini sama Lo sebagai tanda kesepakatan kita!"
Rio menggenggam Ban Kapten itu tanpa berniat mengambilnya, "Diterima, tapi Gue nitip lo dulu selama gue nggak ada, iya kan temen-temen?" ujarnya meminta persetujuan pemain yang lain.
"Setuju!"
Karena bentroknya jadwal akhirnya Tim inti dirombak total, Cakka, Alvin dan Rio membantu menyiapkan strategi, sedang Gabriel menemui Pelatih untuk menjelaskan kondisi mendesak serta rencana yang sebelumnya sudah disepakati oleh tim baru.
Dalam formasi baru ini, semua peran penting di gantikan oleh Riko, Obiet, Dayat dan Lintar. Sementara pemain tersisa berperan sebagai tim lawan sekaligus tenaga bantuan demi mewujudkan strategi yang cocok untuk semua pemain.
***
Gabriel melangkah ringan meninggalkan ruang guru dengan cengiran lebar diwajahnya, setelah melalui perdebatan panjang dengan beberapa guru dan staf, Akhirnya Pak Jo dan Bu Ira menyetujui masukannya menurunkan tim baru dalam pertandingan nanti, tentu dengan jaminan jika sampai keberangkatan mereka ke Berlin, dia dan tim yang semestinya bermain bisa bertanggung jawab dan mengusahakan yang terbaik agar permainan tim baru itu tidak mengecewakan. Dia menyanggupi karena posisi mereka yang sulit. Olimpiade dan pertandingan tingkat nasional dua-duanya sangat penting.
Gabriel menghela nafas lega, hari ini banyak kejadian menyenangkan dan diluar dugaan yang membuatnya begitu bahagia, salah satunya adalah bisa berangkat bersama Rio, Alvin dan Cakka dalam satu mobil ke sekolah, berantem gara-gara skip sarapan, rebutan kamar mandi dan dengan sengaja membiarkan kosan Rio seperti kapal pecah sebagai bayaran keisengan semalam. Sungguh, semua itu diluar bayangannya dan dia sangat bahagia bisa merasakan kebersamaan itu lagi.
Tidak Ingin membuat banyak orang menunggu, Gabriel mempercepat langkahnya menuju parkiran, tidak sampai 10 menit dia sudah melewati koridor terakhir, tinggal belok kiri sedikit saja mobilnya sudah bisa terlihat.
Gabriel tersenyum cerah, dari kejauhan tampak Cakka melambaikan tangan tidak jauh dari mobilnya, semangat sekali anak itu. baru saja dia hendak membalas saat tiba-tiba kakinya terasa lemas, seperti kehilangan tenaga, dadanya agak sesak, dia berusaha mengatur nafas, menariknya panjang-panjang lalu menghembuskan perlahan, dia mencoba beberapa kali sampai nafasnya perlahan membaik. Dia menyunggingkan senyum tipis, bersyukur jantungnya bisa diajak kompromi.
"Gimana, Yel? berhasil?"
Gabriel mengangguk pelan, meski samar dia masih bisa mengenali suara sopran yang baru saja menyapa indera pendengarnya, siapa lagi kalau bukan Cakka.
"Sip, kalau gitu balik yuk? udah sore juga!"
"Lo yang nyetir yak!" Gabriel membuka pintu belakang setelah menyerahkan kunci mobil pada Cakka yang bertugas menjadi driver hari ini. matanya sudah berat untuk dibuka, dia ingin beristirahat setidaknya selama perjalanan nanti.
Gabriel yang terlanjur lelah tidak menyadari jika di samping kemudi ada satu orang lagi yang kini menatapnya dengan kening berkerut.
***
Rio memarkirkan mobilnya, eh ralat, maksudnya mobil Gabriel di depan sebuah rumah besar berwarna pucat yang sangat dikenalnya, agak lama dia menunggu sampai seseorang membuka gerbang, membiarkan mobil itu masuk.
Di jok belakang sang empunya mobil masih betah tidur tanpa menunjukkan tanda-tanda akan bangun. Gabriel memang luar biasa ya? Padahal jarak rumah Cakka dan kawasan perumahan ini cukup jauh jika ditempuh menggunakan mobil, sekitar 40 menit jika tidak macet. Dan sayangnya, selama perjalanan sampai sekarang, si pelor Gabriel belum ingin bangun.
"Maaf, mau mencari siapa ya..." Rio mengalihkan pandangannya ke samping saat melihat wanita paruh baya tengah mengetuk kaca mobil yang masih tertutup, wanita itu tampak tidak asing, kerutan di kulitnya tidak membuat rona cerah di wajah itu berkurang, tidak salah lagi, dia adalah wanita yang sama, seorang abdi yang pernah mengendongnya saat dia masih kecil.
Rio membuka kaca mobilnya perlahan sembari tersenyum. "Bi Inah..." ujarnya lirih.
"Eh,." Wanita paruh baya itu menatapnya heran, seperti bertanya-tanya pada dirinya kenapa pemuda ini seolah sudah mengenalnya, bukankah mereka baru kali ini bertemu? Bi Inah mengamati wajah itu sekali lagi dengan seksama, beliau tertegun lama saat melihat sorot mata yang begitu dalam, sorot penuh rindu yang selalu diingatnya.
"Den Rio...? Ini teh Den Rio, kan? Ya tuhan... Aden kemana aja, mari masuk, Den!" Bi Inah tergopoh-gopoh membuka pintu rumah setelah memastikan siapa yang datang.
Rio membuka pintu belakang kemudi, memapah Gabriel yang masih tidak mau bangun kedalam rumah, membaringkan lelaki itu di sofa yang kosong.
"Ya allah, Den Gabriel. Kenapa ini, Den?"
"Nggak apa-apa kok, Bi... iyel ketiduran aja, udah Rio bangunin tapi nggak mempan, pelor banget heran" gerutu Rio sambil duduk di sofa.
"Den Iyel kalau kecapekan emang suka gitu, lama tidurnya." Bi Inah menjelaskan, "Aden apa kabar? kurusan ya sekarang? Makan yang benar atuh, Den?" Lanjut beliau lagi.
Rio tersenyum mendengar celotehan Bisa Inah seperti itu, rasanya sudah lama dia tidak diperhatikan oleh seseorang hingga hatinya terasa begitu tenang.
Ya tuhan... jangan buat aku berharap terlalu tinggi jika kenyataannya aku akan jatuh lagi, aku takut tuhan... Aku takut tidak sanggup untuk bangkit saat hal itu benar-benar terjadi.
Tanpa terasa airmatanya menetes memikirkan berbagai kemungkinan yang bersarang di kepalanya.
"Aden kenapa jadi sedih? Jangan sedih, Den. Nanti Den Iyel ikutan sedih melihatnya..." Rio memejamkan mata saat merasakan sentuhan lembut dan hangat di pundaknya, badannya tiba-tiba bergetar, dia merasa damai dan tenang, sudah lama dia tidak merasakan sentuhan selembut dan seikhlas ini.
"R-Ri... Rio?"
Rio terperanjat, belum sempat dia mengucapkan terima kasih atas hiburan Bi Inah saat suara lain yang begitu familiar tiba-tiba terdengar dari ujung ruang. Bahkan, tanpa harus menolehpun Rio bisa langsung tahu siapa pemilik suara lembut itu, seketika badannya menegang "B... Bu... bunda...?"
Rio berdiri, memutar wajah pada wanita cantik yang berdiri tidak jauh dari pintu utama. Keduanya saling beradu pandang, jangan tanyakan lagi betapa besar kerinduan yang tersimpan begitu dalam dalam sorot teduh keduanya.
Perlahan, mereka saling mendekatkan diri, langkah demi langkah laksana menguapkan rindu dan sesal yang membelenggu sejak lama.
"Bun... Bundaaaa..."
Rio menundukkan tubuhnya hampir bersujud kalau saja bundanya tidak menyambut badannya dengan pelukan erat.
"Sa... Sayang... Rio, ma... maafkan bunda, Nak..."
"Enggak, bukan bunda... Rio yang seharusnya minta maaf, Rio yang salah, Rio yang nggak tahu apa-apa dan malah nuduh bunda... Rio, hiks..." Rio merangsek semakin dalam, menikmati eratnya pelukan hangat ini. Sekali ini saja, biarkan dia melepaskan semuanya, segala kepahitan dan kepedihan yang ditanggungnya selama bertahun-tahun, perasaan bersalah, dan kerinduan tiada tara yang terasa mengoyak perasaannya, Sekali ini aja biarkan dia egois.
Sekali ini saja!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top