11 - Gara-Gara Olimpiade

Rio terpaku di depan pintu rumahnya, menajamkan pengelihatan, meyakinkan jika kini dia tidak sedang berhalusinasi.

"I-Iyel"

"Lo... Ngapain, emmm- maksud gue, Lo ko... kok bisa tahu rumah gue, eh... maksudnya gue tinggal disini, aduh!" Rio meruntuki kebodohannya, saking terkejutnya dia sampai bingung harus merespon seperti apa hingga yang bisa diucapkannya hanyalah kalimat yang justru membuatnya tampak bodoh, jangan lupakan suara putus nyambung yang sudah mirip anak salting jaman now.

Hahahaha...
Gabriel tidak bisa menahan tawa, wajah bingung Rio dan sambutannya saat ini sungguh sempurna untuk ditertawakan. "Sss... sorry, sorry, abis kocak banget sih sambutan lo, kayak ketemu mantan aja." ujarnya setelah berhasil menguasai diri.

Rio kembali memasang wajah tanpa makna, mencoba menyembunyikan ekspresi sebenarnya. "Ngapain Lo kesini, Tuan Gabriel?" Ulangnya.

Gabriel mengangkat dua plastik besar yang tadinya dia letakkan di teras tinggi-tinggi. "Kita mau nginep disini"

"Hah?" sentak Rio tidak habis fikir, apa-apaan Gabriel ini main datang dan main menginap seenaknya, "Lo pikir rumah gue tempat penampungan?"

"Selow, Bro. Kita juga kesini buat nurutin maunya Bu Winda kok, Lo nggak lupa kan, olimpiade udah di depan mata. Gue ogah ah, di samperin beliau terus gara-gara kita kurang prepare" sambung Cakka yang datang di belakang Gabriel dengan plastik berlogo supermarket di tangannya, sudah bisa dipastikan isinya adalah makanan.

Detik berikutnya, Rio hanya bisa memandangi kelakuan ajaib Cakka yang masuk begitu saja sambil mengandeng Gabriel, menyapa hangat Alvin yang sedang menonton televisi tanpa menunggu persetujuannya selaku tuan rumah.

'Sabar, Yo... Sabar, orang sabar di sayang Tuhan..'

Rio menutup pintu dengan setengah hati, mengekori tamu tak diundangnya malam ini keruang tamu. Ah, tidak, bukan, rumah kos ini terlalu sederhana untuk bisa menyisakan ruang tamu didalamnya, bangunan dengan lebar 6x6 ini hanya berisi dua kamar tidur, satu kamar mandi, dapur dan sisanya difungsikan sebagai ruang serbaguna, ada kursi kayu, kasur lantai dan televisi kecil yang cocok untuk di jadikan teman santai di sudut itu.

Seakan tidak peduli, Cakka mulai membongkar makanan yang dibawanya di atas Kasur lipat tempatnya duduk, membuka salah satu jajanan yang tampak menggugah selera.

"Kalau lo mau ambil aja, Vin. Toh, ini semua bukan gue kok yang beli" selorohnya yang di balas anggukan semangat Alvin.

***

Malam semakin larut, tapi kehebohan yang terjadi di rumah petak ini seakan tidak ada habisnya, niat awal mereka datang untuk belajar bersama dan prepare olimpiade hanya bertahan dalam hitungan jam.

Canggung, enggan, dan berbagai kata serupa yang sempat mendominasi perlahan menghilang, digantikan keakraban dan kehebohan masing-masing penghuninya. Mereka bermain bersama, bercanda, bercerita, melakukan banyak hal bersama, bersenang-senang sampai bosan.

Rio mengamati kelakuan dua tamu tak di undang ditambah satu penghuni lama yang kini tertidur pulas, saling tumpang tindih di atas kasur lantai yang tidak seberapa besar. Mereka ini benar-benar ajaib, entah siapa dalang utamanya tapi yang jelas dia senang bisa berada diantara mereka, senyumnya kembali merekah mengingat apa saja yang mereka lakukan hari ini.

Bisa dibayangkan, sebagai tuan rumah yang sudah kalah dari awal, Rio hanya bisa menurut saat Cakka dan Alvin kompak mencoreng wajahnya dengan spidol karena kalah main poker, dia juga menurut saat Gabriel menguncir rambutnya dengan karet warna-warni karena salah tebak gaya, dan masih banyak tingkah konyol lainnya.

Rio tersenyum tulus, diakui atau tidak, bisa menghabiskan waktu bersama mereka membuatnya merasa lebih hidup. Terlebih dengan hadirnya Gabriel, setiap kali melihatnya tersenyum, bercanda bahkan tertawa, seketika itu juga ingatan tentang kejadian di rumah sakit waktu itu terasa membelenggu lidahnya, membuatnya kelu dalam besarnya rasa bersalah karena sudah bersikap begitu buruk sampai tidak menganggap laki-laki itu ada meski berada di lingkungan yang sama.

'Maafin gue yel, gue emang brengsek, maafin gue' rio hanya bisa membatin.

Kelakuannya pada Gabriel selama ini tentu tidak semudah itu dihapuskan, Rio bahkan tidak pernah memberi penjelasan tidak peduli berapa kali Gabriel meminta hal itu. jujur dia menyesal telah membuang banyak waktu, tapi dia juga tidak cukup berani untuk meminta maaf.

Ergh, rio meringis saat kepalanya terasa berat, buru-buru dia berlari ke kamar mandi untuk bersembunyi sekaligus mencoba menetralisir rasa sakit di kepalanya karena tidak ingin menganggu teman-temannya beristirahat.

Huh...

Huh...

Rio mengatur nafas agar tidak sampai sesak, berusaha menetralisir rasa sakit yang lagi-lagi menghujam kepalanya, tangannya mengepal kuat, matanya dia biarkan terpejam. Agak lama dia menunggu hingga denyutan di kepalanya berkurang, bergerak membasuh wajah sebelum memutuskan untuk kembali ke tempat semula, turut beristirahat di kasur lantai yang sempit.

***

Dengan kesadaran yang belum sepenuhnya terkumpul, Gabriel bangun dari posisinya, menyandarkan badannya di pinggiran kursi, meraih remote di dekat kaki Cakka, lalu menekan tombol power untuk mematikan televisi yang sepertinya menyala sepanjang malam. dia melenguh panjang, kantuk yang amat sangat masih bermanja dalam kelopak matanya.

Entah pukul berapa dia tidur semalam, ide gila Cakka berhasil membuat semua penghuni rumah begadang, menghabiskan malam dengan berbagai aksi dan permainan yang tidak kalah gila. Kali ini, dia harus mengakui ide Cakka memang brilliant, gara-gara ulahnya, Rio yang tadinya jelas menciptakan jarak selama mereka belajar harus rela mengikisnya dengan dalih solidarias, awalnya terpaksa, tapi lama-lama jadi terbiasa.

Gabriel menatap dalam wajah damai saudaranya yang terlelap disamping Alvin, tidak banyak yang berubah dari terakhir kali dia terpaksa pergi 8 tahun lalu. matanya, hidungnya, bibirnya, cara dia bicara, cara dia tersenyum, semuanya tidak berbeda dengan apa yang ada dalam bayangannya selama ini.

Sejenak, Gabriel menerawang kembali masa lampau saat dia masih dalam misi recovery di paris.

Pengobatan yang dijanjikan Bundanya berjalan lancar selama mereka di paris, mereka tinggal di apartemen sederhana sembari Gabriel kecil menyelesaikan pendidikan dasarnya disana, bunda berjanji mereka akan pulang setekah Gabriel mendapatkan nilai kelulusan.

Sampai suatu hari Papa datang bersama seorang laki-laki dan adik kecil di belakangnya. Papa berpesan agar dia selalu sopan dan bersikap baik dengan orang itu beserta saudara barunya karena mereka akan menginap dirumah ini untuk menjaga mama, Gabriel kecil menurut. Papa bilang, kalau gabriel pintar mereka akan segera pulang ke indonesia.

Papa juga sempat menelepon, Papa bilang bulan depan beliau akan mengajak Rio berlibur kesana, Gabriel kecil bersorak senang, dia menyiapkan banyak mainan, makanan, coklat dan baju tidur lucu yang akan mereka gunakan nanti. Dia sudah membayangkan akan melakukan banyak hal bersama Iyo di paris.

Tapi Papa bohong, sampai hari yang dijanjikan Papa tidak datang. Papa hanya memberinya sebuah pesta besar dengan banyak makanan, mainan, dan hadiah. Bunda bilang, Papa juga menghadiahkan seorang Papa dan adik baru untuknya, lagi-lagi Gabriel menunjukkan wajah senang dengan hadiah itu.

Sejak hari itu sampai Gabriel beranjak remaja, Papa tidak pernah datang, tidak pernah menelepon apalagi mengirim hadiah. Gabriel ingin pulang, dia ingin bertemu papa dan adiknya, Gabriel takut mereka sakit disana. Tapi, bunda hanya bilang nanti-nanti terus.

Suatu hari, Bunda mendapat telepon dari indonesia yang mengabarkan jika Papa terkena serangan jantung dan meninggal dunia. Gabriel memaksa pulang ke indonesia dan bunda mengiyakan, mereka sekeluarga sama-sama pulang tapi ternyata sudah terlambat.

Rumah Papa sudah kosong, pemakaman sudah selesai, dan dia tidak tahu kemana dan dengan siapa adiknya pergi. Bunda terus menangisi kepergian Papa, mereka memutuskan untuk tinggal lagi di indonesia, menempati rumah besar keluarga haling yang sempat mereka tinggalkan, menghidupkan dunia mereka kembali dengan harapan suatu hari nanti kebahagiaannya juga akan kembali.

"Yel..."

"Hah, eh..." Gabriel tergagap mendengar namanya dipanggil, dia menoleh ke asal suara, ternyata Cakka yang memanggilnya. "Kenapa, Cakk?"

"Mikirin apa sih? serius banget, btw, kita bolos aja apa gimana nih? Udah kesiangan!" Cakka menunjukkan jam tangannya, pukul 06.30.

Gabriel menepuk keningnya, "Jangan gila, kita ada pendampingan tahu! lo bangunin mereka, ya... gue mandi duluan sebelum si macan betina ngamuk" ujar Gabriel seraya melesat ke kamar mandi, bersiap seadanya lantaran masih ada tiga orang lagi di luar yang juga tidak ingin terlambat ke sekolah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top