10 - Benang Merah

Rio berdiri di depan pintu ruang rawat, mengintip sang empunya kamar dari celah kecil yang ada disana. Dilihatnya Gabriel sedang bersandar dikasur sambil mencoret-coret kertas, entah mengambar atau apa. Ah, anak itu pasti bosan lama di rumah sakit.

Sejak Alvin memberi kabar jika Gabriel sudah sadar dan mulai pulih beberapa hari yang lalu, entah kenapa dia ingin sekali menemuinya, sakit sekali rasanya mengetahui orang yang kita rindukan ternyata jatuh sakit, dan parahnya diagnosisnya tidak main-main.

Meski pada akhirnya dia hanya bisa mencuri pandang dari lubang tak seberapa yang tersedia dibalik pintu, tak apa. tidak penting lagi bisa masuk atau tidak, Selama Gabriel baik-baik saja itu sudah lebih dari cukup.

"Rio..."

Rio menghentikan aktivitasnya, menoleh pada suara familiar yang baru saja terdengar, bahkan dengan jarak sejauh itu dia bisa merasakan jantungnya berdegup cepat, dia menatap pemilik suara itu dalam-dalam. hatinya mendadak sakit, buru-buru dia memutar badan untuk menjauh, dia harus segera pergi dari tempat ini.

Tapp...

Taaaap...

Taapp...

"Rio? Rio? Itu kamu, Nak? Rio...tunggu sayang, ini mama!" Bu Manda berteriak seiring dengan langkah yang semakin jauh di depannya.

"Maa, Mama kenapa, Maa?" Pak Tama yang baru datang kaget melihat Istrinya duduk dilantai sambil menangis.

"Rio, pa! Dia ada disini, tadi dia berdiri didepan pintu ini," cerita Bu Manda sedih, "Aku udah kejar tapi dia cepat sekali perginya..."

"Kearah mana?"

Bu manda menunjuk koridor terakhir dimana Rio meninggalkannya, "tolong cari dia, Pa... Mama mau minta maaf sama dia, Mama sudah banyak salah sama dia selama ini!" pinta Bu Manda lagi, tangis semakin menjadi, Pak Tama memeluk Istrinya kemudian membawa beliau masuk ke kamar Gabriel.

"Loh... Mama kenapa, Pa?" tanya Gabriel binggung begitu melihat siapa yang masuk.

"Nitip Mama ya, Yel! Papa pergi dulu" pamit Pak Tama sebelum keluar.

Gabriel turun dari ranjang menghampiri Bu Manda yang duduk di sofa, memeluknya erat. "Iyel mohon Jangan nangis, Maa..."

***

Rio berlari, terus berlari dan berlari lagi sekuat yang dia bisa untuk menghindari orang itu. Dia berlari sampai kakinya terasa bergetar, nafasnya hilang timbul tidak karuan, paru-parunya seperti menghimpit bebatuan besar menyisakan sedikit rongga untuknya meraup udara.

Sebelum limbung, dia melangkah pelan menuju kursi terdekat di samping taman.

Kejadian beberapa menit lalu berputar dikepalanya. Akhirnya, setelah 8 tahun hampa tanpa sisa, hari ini dia kembali mendengar suara itu lagi, suara surga bak nyanyian bidadari yang dulu sering menyapanya sebelum dan setelah bangun tidur, suara bundanya.

Dia bahagia, mendengar suara yang sangat dia rindukan selama ini, tapi disaat yang sama hatinya sakit karena telah ditinggalkan, dilupakan, dia kembali teringat saat dia masih kecil, dia harus menjalani semuanya sendirian, kesepian, hingga hidupnya dipenuh rasa dendam.

Tes...

Tes...

Tess...

Hujan turun menghancurkan pertahanan, dia membiarkan airmatanya jatuh bersamaan dengan air langit, tanpa berniat menyembunyikannya dari apapun.

"Rio..." Rio menoleh menatap pria paruh baya yang tidak asing sama sekali di matanya, dia tidak pernah sedetikpun melupakan orang ini sejak kejadian di paris 8 tahun yang lalu.

"Untuk apa anda kesini?" Obsidian gelapnya menatap pria paruh baya itu dengan kebencian begitu kuat menguar dari matanya.

"Maaf Rio, boleh kita bicara sebentar..." Beliau menatap Rio lekat-lekat "Ada yang harus saya jelaskan sama kamu" ujarnya.

"Beri saya alasan, kenapa saya harus menuruti keinginan anda!" balas Rio singkat, tatapan tajamnya tidak membuat nyali Pak Tama ciut.

"karena Ini tentang Amanda, Gabriel dan Marcel, Papa kamu..." Rio menyerngit saat Pak Tama menyebut nama ayahnya.

"Anda kenal Papa saya?"

"Sangat! untuk itu tolong beri saya kesempatan untuk menjelaskan semuanya sama kamu..." Jelas Pak Tama, mata beliau menatap anak laki-laki di depannya ini sendu,

Rio mengangguk.

Pak Tama mengikuti langkah Rio untuk duduk di teras rumah sakit, menarik nafas perlahan guna menetralkan perasaannya yang mendadak gugup.
"Jadi, Saya, Marcel dan Amanda sebenarnya adalah sahabat, Papa kamu teman saya sejak SMP sampai kuliah, Marcel bertemu Amanda saat kami masih SMA. Disitulah persahabatan kita diuji dengan mencintai wanita yang sama. saat itu, saya lebih beruntung karena bisa pacaran dengan Amanda. Tapi Papa kamu pantang menyerah, sampai akhirnya setelah lulus SMA kita terpaksa putus karena saya harus kuliah di luar negeri.

Waktu saya masih di luar negeri, saya dengar kabar kalau Marcel dan amanda sudah menikah, karena itu saya juga memutuskan untuk stay disana dan menikah, tapi istri saya meninggal setelah melahirkan.

5 tahun berlalu, saat tiba-tiba papa kamu datang menemui saya di paris. Dia menceritakan banyak hal tentang keluarganya yang sangat bahagia dengan dua putra yang lucu-lucu, saya yakin itu pasti kamu dan Gabriel.
Saya turut senang sampai papa kamu bilang kalau dia sakit dan memaksa saya untuk menikahi amanda, mama kamu," Pak Tama menghela nafas berat.
Dilihatnya, Rio menunduk, beliau paham, berat mendengar cerita lama yang sangat pedih ini, tapi kebenaran tetap harus disampaikan meskipun pahit.

"jujur, saya merasa ini keterlaluan tapi entah kenapa semuanya justru terjadi sesuai keinginan papa kamu, Amanda dan Gabriel datang ke paris, satu tahun kemudian kami akhirnya menikah diparis, atas restu papa kamu"

Rio mencengkram kepalan tangannya lebih kuat, tidak percaya dengan apa yang didengarnya saat ini.

"Nggak! Anda bohong! Anda pasti bohong, Papa nggak mungkin melakukan hal seperti itu!" sanggahnya yakin "saya tidak bisa percaya dengan dongeng anda, Bapak Tama yang terhormat!"

Pak Tama tersenyum, beliau memberikan sebuah kertas lusuh yang selalu ada di dompetnya selama ini, "semoga ini bisa meyakinkan kamu"

Rio membuka lipatan itu pelan sekali, selembar kertas tua yang warnanya sudah pudar, tulisan didalamnya sedikit mengabur, Rio tertegun membaca tulisan rapi yang sangat dikenalnya, dalam kertas itu Papanya bercerita tentang kepergian Bunda keparis, pengobatan Gabriel sampai rencana pernikahan itu. Bahkan disurat itu tertulis Pak Tama harus menjelaskan hal ini padanya suatu hari nanti.

"Sampai saat ini, Amanda masih sangat mencintai papa kamu"
airmatanya jatuh bersamaan dengan jatuhnya surat itu ke tanah, seketika badannya lemas, hatinya seakan remuk. "boleh saya bertanya satu hal?" Lirih Rio, Pak Tama mengangguk.

"Apa hari pernikahan anda dengan Mama, Papa juga yang menentukannya?"

"Iyaa, Papa kamu yang mengatur semuanya, dua minggu sebelum pernikahan dia datang menemui saya di Paris" jelas Pak Tama.

Rio semakin tertunduk, satu tangannya dia gunakan untuk menopang kepala yang terasa berat, dia merasa sangat bodoh sekarang, yaa... dia sungguh bodoh hingga bisa dengan mudah dibohongi oleh ayahnya sendiri.

"Maafkan saya, Rio. Saya juga sangat berharap kamu mau memaafkan Amanda dan bertemu dengan dia lagi..." Pinta Pak Tama setelah dirasa penjelasannya cukup.

Rio bungkam. Semua ini masih terlalu membingungkan, susah diterima akal sehat.

"Maaf, bisakah anda meninggalkan saya sendiri?!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top