🏀 Duodecim Partes

Kembali ke POV Nisa ya ....

Jangan lupa vote dan komennya ❤️❤️

Ancaman yang Tidak Bermutu

🏀🏀🏀

Mencuri adalah mengambil milik orang lain tanpa izin, biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi.

Aku tidak pernah mencuri sebelumnya, tetapi aku harus melakukan perbuatan buruk itu. Jika tidak aku akan menyesal nanti. Tentu saja mencuri bukanlah gaya seorang Nisa Rahma, apalagi target yang aku incar adalah mencuri hadiah ulang tahun milik orang lain. Aku merasa berdosa dan senang sekaligus, berdosa karena merasa bersalah dan senang karena bisa menyelamatkan seseorang.

Jika kalian adalah aku, apa yang akan kalian lakukan?

Menyerah begitu saja?

Aku tidak akan mengambil jalan itu begitu saja. Ingat, aku menyukai warna merah yang memiliki arti berani atau nekad jika diperlukan. Seandainya Hogwarts ada, aku pasti menjadi salah satu penghuni asrama Griffindor.

Aku akan mencuri hadiah dari Celine. Menurutku hadiah itu sangat menjijikan dan sangat murahan, cewek itu selalu saja mempunyai cara untuk menghancurkan siapa saja. Meskipun aku hanyalah murid SMP, anak-anak seusiaku seharusnya menikmati masa-masa remaja, tetapi yang kualami sungguh luar biasa, mulai dari bullying sampai memikirkan hal-hal gila semacam bagaimana cara membongkar sifat busuk Celine dan ayahnya kepada keluarga Felix.

Itu melelahkan.

Aku sangat bersalah kepada Fiona karena mencuri hadiah ulang tahunnya, cepat atau lambat cewek itu pasti sadar kalau salah satu hadiah miliknya hilang. Fiona mempunyai memori yang kuat apalagi mengenai barang-barangnya, bahkan dia sangat hafal apa saja yang Dava pinjam darinya.

Kira-kira apa yang akan terjadi ketika Fiona tahu apa yang aku lakukan?

Saat ini aku duduk sendiri meja paling pojok di kantin sambil menikmati biskuit. Dava dan Fiona mengikuti lomba musikal bersama mewakili sekolah dan Ace tidak masuk sekolah karena demam, akhir-akhir ini dia sangat rentan terhadap penyakit karena cuaca memang dalam kondisi yang gak kondusif.

Sebenarnya banyak sekali anak-anak yang memintaku bergabung dengan mereka. Namun, aku menolak ajakan mereka karena masih ada beberapa hal yang perlu aku perhatikan dengan seksama. Langkah awal yang aku ambil cukup beresiko, aku tidak kesalahan apapun.

Keluarga Felix akan menjadi taruhan jika aku lengah sedikit saja.

BYUR!

“Bagaimana rasanya? Apa kamu merasa segar kembali?” tanya Celine, si muka dua setelah menyiramku dengan es teh. “Kali ini enggak ada Dava yang bakal membantumu.”

“Kenapa kalau enggak ada Dava?” tanyaku tenang sambil mengambil tisu untuk membersihkan seragamku yang kotor. “Kau mau mem-bullyku?”

Sengaja aku memancing amarah Celine untuk cari tahu kenapa dia mengganti targetnya. Celine biasanya menargetkan anak-anak yang pendiam, kurang bergaul, dan juga sedikit kaya.

Apa dia mencurigaiku tentang kejadian kemarin?

Apakah Paman Tito yang menyuruhnya karena dia sedikit bodoh?

Apakah Celine memastikan aku tidak mengetahui rencana busuknya?

Ini menjadi menarik ketika dia terlihat sangat ceroboh. Jika aku mendesaknya, dia akan cepat mengaku.

BRAK!

Celine menggebrak meja keras sekali kemudian meringis kesakitan. Banyak sekali anak-anak di kantin yang menahan tawanya kecuali aku yang tertawa terbahak-bahak. Aku lupa kalau Celine juga menjadi contoh perundung yang bodoh.

“Apa kamu yakin merundung seseorang seperti aku?” tanyaku lagi seraya melirik kedua bawahan Celine. Melihat Jane dan Putri yang biasa aja tidak menakutkan, aku yakin bisa mengatasi masalah ini tanpa melibatkan Ace, Dava, dan Fiona.

“Kau harus menjauh dari Fiona!” perintah Celine dengan mata melotot.

Aku tertawa mendengar sesuatu yang lucu seperti itu. “Kenapa? Apa kamu suka dengan Fiona? Maafkan aku karena enggak tahu kalau kamu agak bengkok ... kamu tahu itu bukan?”

Tawa meledak setelah aku mengucapkan itu dengan suara keras. Bahkan pedagang bakso yang berjualan di sekolah sampai lupa mengantarkan pesanannya. Wajah Celine langsung memerah, mungkin karena marah atau malu.

“Diam!” teriak Jane seraya mendorong kepalaku. “Cepat minta maaf ke Celine, Nisa!”

“Sepertinya kamu buta, Jane. Siapa yang seharusnya minta maaf di sini?” tanyaku sambil menunjukkan seragamku yang kotor kepada Jane supaya dia bisa melihatnya.

Serius, dia sangat membutuhkan kacamata.

“Aku enggak mau tahu, pokoknya kau harus menjauh dari Fiona, Ace dan Dava!” Celine berkata sambil menendang meja. “Kau enggak pantas berteman dengan mereka. Kau itu parasit tahu!”

Aku hanya mengangkat bahu acuh tak acuh, mengabaikan acamannya yang terdengar konyol ditelingaku.

“Apa kau enggak bisa memakai bahasa manusia?” tanya Putri. “Kau itu pelacur!”

Kini aku mengerti kenapa Ace dan Dava kerap sekali memberi wejangan kepadaku tentang pentingnya melawan musuh dalam keadaan terdesak. Keduanya selalu berkomentar kalau aku terlalu lemah, apalagi mengingat aku selalu diam ketika diejek.

“Nisa itu enggak lemah, dia hanya gak mau orang lain terluka,” kata Fiona waktu itu yang langsung mendapat protes dari Ace dan Dava.

Tanpa sepengetahuan Fiona, diam-diam Ace dan Dava memberikan pendidikan mental kepadaku.

Kalau ucapan Ace seperti ini. "Laki-laki kalau merasa dalam bahaya pakai tenaganya tetapi kalau perempuan dalam bahaya harus pakai otaknya."

Aku sudah memakai otakku dengan maksimal hari ini dan si Celine sama sekali tidak terpengaruh.

Beda lagi kalau ucapan Dava. "Kalau gak bisa pakai otak langsung pukul saja. Jangan membuat hidupmu menjadi sulit."

Tipikal manusia yang tidak benar sekali. Apa boleh buat, saat ini aku memilih cara Dava yang menurutku dapat membungkam Celine.

PLAK!

Aku menampar Putri sampai dia terjatuh. Bisa-bisanya dia mengatakan hal yang sangat menjijikan ditelingaku. Dasar manusia tidak beradab! Aku harus menjauhkan orang-orang ini dari Fiona sebelum berbuat yang lebih aneh daripada ini.

Celine yang terlihat marah langsung mencengkram kerah seragamku. Kami berdua bertatapan dan aku bisa merasakan deru napasnya yang cepat, dia terlihat tidak tampak baik-baik saja. Aku menebak kalau Celine masih menyembunyikan sesuatu dan dia semakin menatapku tidak suka. Semua anak-anak dikantin berseru heboh melihat pertarungan kami, mereka bertaruh siapa yang akan menang.

Sebenarnya aku khawatir sekali, aku tidak tahu apa yang mereka katakan kepada Fiona, Ace, dan Dava ketika mereka kembali besok. Bisa saja kejadian ini termasuk jebakan untukku.

“Kenapa? Apa kau enggak mau rahasiamu terbongkar, Celine?” tanyaku sambil tersenyum miring.

Aku hanya bisa bertaruh juga.

Celine hanya diam. Dia masih menatapku tetapi cengkraman tangannya sedikit melonggar dan gemetar.

Apa dia takut?

“Hmm ... Kamu sangat kekanakan sekali, cara seperti itu enggak akan bisa memengaruhiku. Asal kamu tahu, aku enggak akan menyerah dengan mudah. Aku sangat keras kepala,” tambahku lagi.

Celine berdecih kemudian melenggang pergi sesudah dia melepaskan cengkraman kerah dan satu kali tendangan kepada kursi yang tidak bersalah. Aku juga menangkap sedikit sesuatu, selain tangannya yang gemetar, matanya juga tidak fokus.

Dia sangat ketakutan.

Tanpa sadar aku juga menggenggam erat tanganku yang juga gemetar.

Aku juga merasa takut.

***

Love

Fiby Rinanda🐝
12 Mei 2019
Revisi : 22 Juli 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top