R-R59: Hilang Harapan
Part ini panjaaang... semoga kalian gak jenuh bacanya.
___________
KETENANGAN itu tidak akan pernah Regha dapatkan. Kecuali jika matanya bisa melihat iris cokelat itu, bisa memeluk sang pemilik yang membuat Regha tenggelam di debaran jantungnya.
Bayangan Retta yang berlari dari arah pintu masuk, lalu melangkah mendekat ke arah pintu kaca di depan Regha, sudah mulai meruah dan menenggelamkan pikirannya.
Di dalam ruangan kaca itu Regha menunggu. Membiarkan dirinya disekap oleh harapan.
Harapan yang seharusnya sudah Regha hilangkan karena tak kunjung melihat sang perempuan. Ini sudah ronde terakhir, tapi Ragel belum juga bisa membawakan Retta ke hadapannya.
Membawa perempuan itu pada penjelasan yang sebenarnya.
Rasa gelisah kian menerpa Regha. Apa perempuan itu benar-benar akan datang? Apa perempuan itu akan datang di akhir Regha bertanding? Atau semua itu akan menjadi khayalan, dan membiarkan dirinya kembali merasakan kehilangan?
"Apa lo yakin Retta bakal dateng?"
Pertanyaan yang seharusnya tidak ditanyakan pada kondisi Regha yang seperti ini menelusup di telinga. Dibiarkan matanya memejam sesaat, sebelum Regha menoleh pada orang yang bertanya—Arven.
"Gue nggak yakin," ucap Regha pelan.
Arven memandang wajah mengenaskan Regha yang penuh dengan luka lebam di berbagai tempat. "Lo udah lewatin semua ronde, Gha. Dan gue yakin lo bisa menang, tanpa ada Retta."
Meski Arven mengucapkan kata penyemangat itu dengan lancar, tapi dia juga merasa gusar di saat bersamaan. Apa Regha akan memenangkan pertandingan di ronde terakhir ini jika kefokusan Regha menghilang?
"Gue cuma berharap dia datang di saat terakhir pertandingan gue."
Arven termenung mendengarnya.
"Gue cuma berharap dia nggak pergi dan ninggalin gue lagi," ucap Regha getir, sebelum mengacak-ngacak rambutnya. Bola matanya memerah, berbagai emosi mulai berkumpul di sana. Menyingkirkan segala kefokusan Regha.
"Lo tau, Ven seberapa kacaunya gue saat Retta ninggalin gue dua tahun lalu." Sekuat mungkin Regha mengendalikan seluruh emosinya. Dia memejamkan mata, mengeluarkan napas beratnya.
"Gue ngerti sama perasaan lo, Gha," ujar Arven santai. "Tapi lo nggak bisa kacau kayak gini cuma karena Retta. Lo harus tenang. Lo sekarang lagi ada di arena pertandingan, Gha. Dan saat bertanding lo butuh fokus untuk menang."
Untuk beberapa waktu, perkataan itu berhasil menggelung Regha. Sebelum dia menghela napas lelah. "Gue paham maksud lo. Tapi gue nggak bisa fokus, Ven. Nggak bisa kecuali gue bisa ngeliat Retta, bisa tau kabar dia sebelum pergi ninggalin gue."
Kali ini Arven yang dibuat tidak bisa berkata-kata.
Suara pelatih terdengar, memanggil Regha untuk mulai bertanding kembali. Regha memejamkan mata, menghapus harapan yang tersisa. Retta tidak akan datang! Retta tidak akan pernah mau bertemu dengannya lagi!
Tiga undakan tangga yang sudah Regha lalui beberapa kali, menuju ring untuk kembali memulai pertandingan. Tangga itu masih sama, tapi kenapa Regha merasa semua langkahnya terasa berat, sekadar hanya untuk meloloskan tubuhnya ke sela karet ring.
Saat tangan wasit terjulur di antara tubuh dirinya dan Davel. Regha tahu ini saatnya untuk dia melepaskan semua imajinasinya.
***
"Gue mohon, Ta," ucap Ragel penuh sabar. "Lo harus ke sana. Regha nunggu lo!"
Retta menghela napas lelah. "Gue nggak mau! Harus berapa kali gue bilang kalo gue nggak mau!"
Mengusap wajah kasar, Ragel lelah dengan sikap keras kepala Retta. "Gue udah jelasin semuanya, Ta! Regha sama Farah nggak pacaran, Farah itu sepupunya Davel. Regha nerima Farah cuma karena nggak permaluin dia depan semua orang."
Retta tak mengacuhkan Ragel, dia menggeret kopernya untuk dimasukan ke dalam bagasi mobil. "Retta," tahan Ragel. "Gue mau lo nyelesain masalah lo sama Regha. Gue yakin setelah itu lo bakal bahagia, Ta!"
Kalimat itu memicu Retta untuk terdiam. Sorot Retta jatuh tepat di manik Ragel. "Kenapa lo pengin gue dateng ke sana? Kenapa lo mau gue kembali ke Regha?" sejenak Retta memberi jeda. "Lo nggak akan kenapa-napa?"
Akhir tanya itu berhasil membungkam mulut Ragel untuk beberapa waktu. Setelahnya dia tersenyum. "Lo nyuruh gue untuk nerima takdir gue bukan? Gue udah bisa nerima itu. Gue ikhlas kalo lo sama Regha, asalkan lo bahagia, Ta. Gue nggak pa-pa."
Ragel tersenyum tulus. Sementara Retta tidak bisa menggerakan bibirnya untuk membalas. Ungkapan itu menarik emosi dan rasa bersalah Retta. Tanpa bisa dikendalikan, kedua lengan Retta bergerak sendiri memeluk Ragel.
"Thanks, Gel," lirih Retta dan merasakan Ragel membalas pelukannya. "Lo cowok baik. Dan gue yakin lo bakal bahagia sama cewek lain, Gel."
Kian lebar senyum Ragel, dia melepaskan pelukan. Retta membalas senyumnya. Tanpa bisa dicegah tangan Ragel mencubit hidung Retta. "Jadi lo mau ikut sama gue?"
"Ayo Retta kita berangkat!"
Belum sempat Retta menjawab pertanyaan Ragel, Sang Tante—Mama Ragel. Keluar dari pintu utama. Berjalan anggun mendekati Retta.
"Ayo sayang." Mama Ragel menarik pergelangan tangan Retta. Menuntunnya masuk ke dalam mobil.
"Ma," panggilan Ragel menghentikan langkah sang Mama. Dua perempuan itu menoleh.
"Kenapa Lio?" tanya Veni. "Kenapa kamu di sini? Bukannya kamu mau pergi ke pertandingan boxing sekolah kamu itu?"
Veni sempat bingung melihat Ragel. Anaknya tadi meminta izin untuk pergi. Lalu tiba-tiba ada di rumah kembali.
"Ma, boleh nggak Mama batalin keberangkatan Retta hari ini ke rumah Nenek?" Ragel bertanya agak takut. "Soalnya Lio mau ngajak Retta pergi untuk nyelesaiin masalahnya."
Veni terlihat makin bingung. "Masalah apa?" tatapnya curiga.
"Mama nggak perlu tau ini urusan anak remaja." Mendapat pelototan Mamanya Ragel hanya tersenyum
Veni memandang lembut Retta. "Itu tergantung Retta, kalo dia mau, Mama nggak bisa berbuat apa-apa. Retta mau batalin kepergian hari ini sayang?"
Pandangan Retta menatap Tante dan sang sepupu bergantian. "Apa nggak pa-pa kalo hari ini kita nggak jadi berangkat ke rumah nenek, Tante?"
Veni tersenyum. "Nggak pa-pa, sayang. Lagian Nenek kan nyuruh kamu berangkat minggu depan. Tapi kamu malah mau minggu ini."
Retta mengangguk, mengulas senyum. Sebelum perhatiannya kembali pada sang sepupu. "Gue ikut lo."
Jalanan itu kering dan ramainya kendaraan yang berlalu lalang. Sinar mentari menelusup di balik awan. Memberikan terik yang tak ingin beranjak sedikitpun.
Tangan Retta mencengkeram kuat jaket kulit Ragel. Salip-menyalip yang dilakukan cowok itu, semakin memperparah gema jantung Retta. Ditambah dengan kecepatan yang sengaja digerakan di atas rata-rata. Ragel gila, tentu saja. Seolah cowok itu ingin mereka berdua mati di usia muda.
Angin yang berderai cepat di sekeliling Retta, membuatnya hanya bisa menutup kedua mata. Meski ketakutan Retta akan cara Ragel berkendara mulai mengurungnya, namun, itu masih belum dapat menyingkirkan kegelisahan Retta pada Regha.
Dia tidak ingin Regha kenapa-napa.
Dia tidak ingin Regha terluka karena pertandingan itu.
"Gel," panggil Retta saat Ragel mulai memberhentikan motornya lantaran lampu merah. "Perasaan gue kok nggak enak ya, kayak ada sesuatu yang—ah gue nggak ngerti."
"Sesuatu apa?" tanya Ragel, melirik lewat spion.
"Gue nggak tau, ada sesuatu yang ngeganjel," ungkap Retta lirih. "Gue takut, Gel...."
Di lain tempat, di arena pertandingan itu. Di dalam kotak ring, tubuh Regha kembali terlempar untuk ke sepuluh kalinya.
Linzy sontak berdiri, napasnya tertahan. Tenggorongkannya tersangkut oleh sesuatu, menahan seluruh kata. Tumpahan air mata itu semakin membanjiri pipinya.
Dia menangis di pelukan Shena, ketakutan itu justru semakin membelenggunya. Melihat sang sepupu yang bersusah payah berdiri dengan kedua kaki. Wajah tampan itu sudah penuh dengan lebam. Cairan merah mengalir dari hidung. Sudut bibirnya sobek, lagi-lagi pekat merah keluar dari sana.
Para pendukung Regha hanya berdiri bisu, sorakan penyemangat mendadak menghilang, seolah semua kata itu hanya sia-sia saat melihat orang yang disemangati, tidak kuat lagi menopang seluruh kemenangan. Dia kalah, kalah karena semua imajinasi.
Berbanding terbalik, para pendukung Davel malah semakin bersorak-sorak penuh semangat, menyiapkan kemenangan di depan mata.
Regha menahan tinju Davel di perutnya, membangkitkan senyum miring terulas di bibir Davel. "Mending lo nyerah. Lo nggak akan bisa menang ngelawan gue. Ini ronde terakhir. Ronde sebelumnya kita seri. Dan sekarang penentunya, lo nggak mungkin menang, Gha!"
"Gue nggak akan kalah," ucap Regha, ditahannya desiran sakit dari ujung bibir. "Gue selalu menang, malahan lo yang bakalan abis di tangan gue!"
Davel terkekeh sinis, mendengar kalimat yang tidak pantas Regha katakan di kala kondisi cowok itu yang sudah terlihat sangat mengenaskan.
"Gue kasian sama lo, Gha," Davel berbisik pelan. "Lo liat di bangku tribun. Perempuan yang lo sayang nggak ada. Dia nggak mau ngeliat lo lagi. Retta udah pergi ninggalin lo, Gha!"
Sial... Davel tahu kelemahan Regha. Cowok itu membeku di tengah arena. Membangkitkan senyum jahat di wajah Davel.
Cepat Davel melangkah ke arah Regha. Kembali melayangkan hantaman yang lebih membabi buta. Regha lengah tidak bisa menahan pukulan itu. Kekuatan Davel sama sekali tidak berkurang, berbeda dengan Regha yang sudah tidak memiliki kekuatan yang bisa menopang seluruh semangatnya.
Pergulatan itu semakin menjadi-jadi. Bertambah lebih gila dibanding tadi. semua orang tidak bisa mengeluarkan suara, menciptakan suara adu tinju yang terdengar lebih jelas di tengah sunyi.
Sampai satu titik, para pendukung Regha serempak berdiri. Kedua bola mata itu melebar, bersamaan dengan udara yang mendadak menyingkir keluar. Tarikan suara yang tercekat terdengar saat melihat tubuh Regha yang terlempar, mendorong karet ring itu untuk tertarik mundur.
Tubuh Regha tergeletak jatuh ke lantai ring. Linzy membatu, dadanya terasa sesak oleh ketakutan. Dia tidak dapat bersuara.
Hingga Regha menepuk dadanya dengan tubuhnya yang menelungkup, sedetik setelahnya cairan merah pekat itu termuntahkan dari mulutnya, menyebar di lantai ring.
"REGHAAAA!" teriak Linzy, tangisnya tak bisa terelakkan. Dia berteriak histeris dengan air mata yang kian terjatuh sia-sia. Shena menahan tubuh Linzy yang ingin berlari pada Regha. Bahkan Zion telah melompat turun dari bangku tribun. Berlari cepat ke arah ring.
Regha terbatuk-batuk dengan darah yang bertambah banyak berkumpul keluar. Arven menaiki tangga ke ring, menyela tubuhnya masuk di sela karet. Dia mengangkat kepala Regha di pangkuan, darah itu memenuhi seluruh bagian wajah bawah Regha.
"Gha!" Arven menggoyangkan tubuh Regha yang bergetar lantaran kesakitan. "Gha, bangun, Gha!"
Pelatih Regha pun telah masuk ke dalam ring. Mengecek kondisi anak didiknya.
Tidak ada respon, Regha hanya memandang kosong ke arah Arven. Cairan kental itu mengotori bajunya. Semua hal yang dilakukan Arven tidak ada gunanya, karena kelopak mata Regha lebih memilih menutup diri.
Langkah Zion terhenti tepat di dekat ring, mendengar Arven yang berteriak untuk membangunkan Regha sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya. Jangankan suara, tubuh itu tidak merespon. Hanya mampu mematung Zion saat melihat para medis yang mulai membawa tubuh Regha menjauh.
Pertandingan itu kacau, tetapi tetap saja juri harus menentukan pemenangnya. Dan kemenangan itu layak jatuh untuk Davel.
Davel menang. Seharusnya dia bahagia, tapi kenapa semua kebahagian itu menghilang? Tidak seperti rencana awalnya. Justru dia merasa ada sesuatu yang salah.
***
Satu jam. Mereka baru bisa sampai di arena pertandingan. Retta langsung melompat turun dari motor, meninggalkan Ragel yang tengah memarkirkan motornya. Langkah Retta terbilang sangat cepat, berlari menuju pintu masuk. Pandangan Retta langsung menjelajah, melihat orang-orang yang sudah mulai menyingkir dari bangku tribun.
Kegelisahan itu kian memerangkapnya, pertandingan itu telah selesai. Ringnya sudah kosong, tidak ada lagi pergulatan yang terjadi di atas sana.
Tanpa berpikir lagi Retta berlari ke backstage. Kali saja dia akan menemukan keberadaan Regha di sana. Sesampainya di depan pintu kaca yang terbuka, langkah Retta terhenti melihat seseorang duduk sambil memegang medali. Kepalanya tertunduk.
Pelan Retta mendekat ke arah orang itu, yang perlahan mulai mengangkat kepala. Kali ini kaki Retta sungguh seperti diikat, tidak bisa digerakkan.
Orang itu, Davel. Dia memandang Retta kosong, matanya memerah. Retta mengernyit, bingung oleh semua keadaan di sekitarnya.
"Kenapa lo yang megang medalinya?" tanya Retta bergetar. "Seharusnya Regha yang megang benda itu." kepala Retta kembali berpendar. "Kemana Regha? Kenapa dia nggak ada di sini? Seharusnya dia ada di sini?!"
Lantaran tak terdengar jawaban, Retta berjalan mendekat lalu mengguncang-guncangkan tubuh Davel. "Dimana Regha?!"
Lagi-lagi tidak ada respon. Retta semakin mengeratkan cengkramannya. "JAWAB GUE DAVEL!" teriak Retta kalap.
Davel refleks mendorong tubuh Retta, memandangnya tajam. Meski begitu, tatapan kesedihan yang terpancar di sana tak dapat dielakkan. "Kalo lo mau tau Regha di mana? Lo dateng ke rumah sakit. Lo liat keadaannya di sana. Apa Regha masih hidup atau ... udah mati!"
Sontak Retta terdiam, jantungnya kian berdetak tak beraturan. Ketakutan itu semakin mengikatnya. Dia menggeleng, menolak percaya. "Nggak, nggak mungkin Regha ada di rumah sakit. Regha nggak mungkin kalah. Lo bohong. Iya, kan?! Lo bohong!!"
Davel menarik tangan Retta yang memegang kerah bajunya. Rautnya sama sekali tak terbaca, berbanding terbalik dengan wajah perempuan itu yang dipenuhi oleh ketakutan. Bahkan air mata itu mulai berkumpul di pelupuk.
"Gue nggak butuh kepercayaan lo..." ucap Davel dingin. "Terserah lo mau percaya atau nggak. Yang penting gue udah ngasih tau!"
Setelahnya Davel berjalan pergi, bersamaan dengan Ragel yang datang. Keduanya saling memandang satu sama lain di dekat pintu. Sebelum langkah Davel kembali mengambil alih.
"Kita harus ke rumah sakit sekarang!" gusar Retta, memegang tangan Ragel.
"Kenapa, Ta? Lo kenapa?" tanya Ragel, Retta tak bisa menjawab, dadanya sesak, air matanya mulai meluncurkan diri.
"Gue takut..." Retta menggeleng. Menumpahkan seluruh air matanya, terisak penuh sakit. "Bilang ke gue kalo Regha nggak akan kenapa-napa, Gel! Bilang itu ke gue!" Retta terjatuh duduk, menutupi isakan pedih yang tidak dapat dihilangkan.
Retta tidak ingin Regha kenapa-napa. Dia tidak mau ucapan Arven tempo lalu menjadi kenyataan.
"Gue berharap lo bisa maafin Regha, dia bener-bener nyesel. Jangan sampai nanti ke balik, lo yang bakal nyesel."
Retta menggeleng. Nggak. Nggak. Dia tidak ingin mengalami itu. Dia tidak mau kehilangan Regha! Bibir Retta kian bergetar karena ketakutan. Isakannya terdengar jelas di kesunyian.
Isakkan itu dipaksa untuk dihentikan saat suara ponsel di saku Retta terdengar di keheningan. Tanpa bisa melihat id caller yang terpampang di layar karena tertutup oleh deraian air mata. Retta mengangkatnya. Tangannya bergetar, bahkan sekadar untuk mengucapkan kalimat pembuka dirinya tak bisa.
Dia hanya mematung mendengar isakan yang terdengar di sebrang sana. Semua indra Retta terpecahkan, terputus secara paksa mendengar kata dari sang penelpon. Ruangan seolah perlahan mengecil, menghimpit Retta di selanya.
Pandangan kosong itu menemani iris cokelatnya, Ragel mengernyit. Sebelum suara dentum lantai yang beradu dengan ponsel memecah senyap yang menggantung.
Ponsel Retta terjatuh. Perlahan mulut Retta terbuka, mengeluarkan suara yang sarat akan putus asa.
"Me-meni-meninggal...."
TBC(07-04-18)
APING♡
___________
Jeng... jeng... Tinggal satu part lagi.
Gimana sama part ini?
Makasih untuk semua yang selalu setia mampir. Kalo nggak ada kalian, nggak mungkin cerita ini bakal ending. Terharu aku ;')
Danke❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top