R-R58: Tanding Boxing
KACA yang mengelilingi ruangan itu menjadi sekat antara arena pertandingan dengan backstage—tempat para peserta berkumpul untuk menyiapkan banyak tenaga agar bisa menang melumpuhkan lawan-lawannya.
Dari dalam ruangan transparan itu, Regha bisa melihat bangku-bangku tribun penonton mulai dipadati para pendukung dari berbagai asal sekolah yang mengikutsertakan anak didiknya untuk pertandingan boxing.
Salah satu dari sekian banyak pendukung yang duduk di sana, pandangan Regha jatuh pada spanduk besar yang bertuliskan 'DAVEL PASTI MENANG'. Dia mendengus, melihat antusias teman satu sekolah Davel yang mengagung-agungkan nama cowok itu layaknya raja.
Di tribun penonton bagian kiri, Regha melihat teman satu sekolahnya yang menyemangati dirinya dengan menyebut namanya berulang kali, mengangkat tinggi-tinggi spanduk 'REGHA KAMI SAYANG KAMU'. Agak aneh rasanya Regha membaca tulisan itu.
Kata-kata semangat yang diteriakan keras-keras, seharusnya bisa membuat kelemahan di seluruh tubuh Regha menghilang atau lebih baik sedikit tersingkirkan, apalagi melihat teman-temannya yang tampak semangat dan antusias, itu salah satu yang sepantasnya bisa membuat Regha bersemangat memenangkan pertandingan—yang sering kali dia menangkan.
Tapi karena manik hitam milik Regha masih belum bisa menangkap sosok yang sangat dia harapkan duduk di bangku tribun, Regha merasa semua semangatnya menguap bersamaan dengan harapan yang perlahan mengikis.
Perempuan itu tidak mungkin datang. Dia tidak mungkin mau melihat Regha lagi. Retta sudah memiliki Ragel lalu untuk apa Retta datang menyemangatinya? Meski memang Regha mengharapkan Retta datang sebagai sebatas teman satu sekolah, tetap saja itu hanya sebuah angan.
Apalagi mengingat sang lawan yang akan Regha tandingi nanti di ring, benar-benar menghancurkan gelora kemenangan yang ingin Regha raih.
Davel. Lelaki yang akan melawan Regha nanti. Seseorang yang belum bisa menghapus dendam yang terjadi di masa lalu. Seseorang yang berambisi untuk melumpuhkan Regha di atas ring.
Sentuhan di pundak, perlahan membuyarkan seluruh lamunan yang sejak tadi terbangun di pikiran Regha. Dia menoleh ke belakang dan melihat Linzy, sang sepupu yang sudah berhari-hari menjauhinya. Dia tahu Linzy kecewa karena sepupunya sendiri menyakiti hati sahabatnya.
Regha tak membuka suara, memandang air mata Linzy yang menggenang di sudut mata.
"Gue udah tau, Gha," dia tersendat sejenak. "Lo sebenernya gak nerima Farah iya kan? Lo bohong, Gha!" kali ini Linzy memukul bahunya, menatapnya penuh amarah. "Kenapa lo bohong cuma karena pengin lindungin perempuan centil itu?!"
Senyum Regha sedikit terangkat, menghapus air mata sang sepupu yang mengaliri pipi. "Lo tau, gue nggak bisa ngeliat orang menderita, makanya gue ngelakuin itu."
Linzy berdecih, mengusap kasar wajahnya. "Tapi karena kebaikan lo itu, lo jadi peralat, Gha! Lo selalu bantuin cewek centil, yang ternyata sepupu dari mantan sahabat lo!"
"LO BEGO, GHA!" tandas Linzy emosi. Justru Regha tersenyum mendengarnya.
"Dan juga karena itu, Retta salah paham, dia ngejauh dari lo!" Linzy menekuk wajah kesal. "Retta milih Ragel, Gha! Dia kecewa sama lo!"
Senyum kecut berganti di wajah Regha. "Dari awal Retta nggak pernah milih gue. Semua usaha gue selama dua tahun itu sia-sia, Zi! Semua itu nggak ada apa-apa di mata Retta!"
Linzy mendengus. "Lo jelasin aja ke dia, kalo lo sebenarnya lo nggak pacaran sama Farah. Kalo sebenarnya lo nggak nerima Farah sebagai cewek lo!"
Hembusan lelah itu terdengar pelan dari bibir Regha. "Buat apa?" tanyanya. "Itu nggak ada gunanya. Dia udah milih Ragel!"
Linzy bergeming, bingung bagaimana membalas perkataan telak yang Regha lontarkan. Cowok itu menyerah, sepupunya menyerah untuk memperjuangkan sesuatu yang sudah dia perjuangkan selama dua tahun. Semuanya hilang, harapan itu telah menghilang.
"Apa Retta ngejelasin sesuatu ke lo, tentang hubungan dia sama Ragel?" tanya Regha, Linzy menatapnya.
Perempuan itu terkekeh tidak jelas. "Nggak! Dia ngikut jauhin gue! Dia nggak pernah ngangkat telepon dari gue, dia nggak mau lagi ngobrol sama gue! Itu semua karena lo!"
Percakapan dua saudara itu terpaksa terputus saat mendengar nama Regha menggema di speaker. Ini saatnya, Regha menghela napas. Dia mendengar pelatihnya menyuruh dirinya untuk keluar dari backstage dan juga memakai jubah tinju biru tuanya.
Regha menutupi tubuhnya dengan jubah tinju biru tua itu, memandang sepupunya sambil tersenyum. "Gue keluar!"
Tangan Linzy refleks menahan lengan Regha. Pancaran ketakutan jelas di iris kelabunya. "Lo nggak akan kenapa-napa, kan, Gha?"
Regha mengusap kepala sepupunya. "Gue nggak akan kenapa-napa, lo kan udah biasa ngeliat gue ikut pertandingan kayak gini."
Linzy menghela napas. "Gue emang udah biasa ngeliat lo bertanding. Tapi... gue nggak pernah ngeliat lo bertanding sama Davel."
Regha berusaha menampakan senyumnya sambil menepuk pipi Linzy. "Percaya sama gue, gue nggak akan kenapa-napa."
Mendengar pelatihnya berseru agar Regha cepat keluar. Terpaksa, Regha langsung meninggalkan Linzy seorang diri.
Menguatkan diri, Linzy berlari keluar backstage, menaiki tangga untuk duduk di salah satu bangku tribun. Dia mendaratkan tubuhnya di samping Shena, memandang lurus ke arah arena ring.
Dari tangga kiri, Regha menapaki satu persatu tangga menuju ring, sementara dari arah sebrang, Davel melangkah santai. Ketika kedua orang itu masih belum masuk ke dalam ring, berdiri di dekat karet yang mengelilingi arena pertandingan. Mereka melepas jubah yang melekat, menutupi tubuh yang terbalut kaus hitam.
Ini bukan pertandingan boxing luar yang mengharuskan para peserta bertelanjang dada untuk melumpuhkan sang lawan. Namun, ini pertandingan antarsekolah, yang mewajibkan para peserta agar memakai kaos hitam untuk mentupi tubuh masing-masing.
Tangan Linzy meremas satu sama lain, melihat Regha yang perlahan mengangkat kedua tangan yang sudah terbalut sarung tinju bewarna biru. Davel pun melakukannya
Tangan wasit menghalangi tubuh Regha dan Davel. Sebelum perlahan dia mengangkat tangan, sebagai awal perlawanan di antara mereka. Bersamaan dengan itu suara-suara penuh penyemangat mulai terdengar, mengulang nama mereka berkali-kali.
Tidak butuh waktu yang lama untuk melihat mereka berdua bertarung mempertaruhkan nyawa hanya untuk kemenangan dari sekolah masing-masing.
Regha menahan semua pukulan yang Davel layangkan ke arah wajahnya. Tak dipungkiri, Regha juga melakukan hal yang sama. Sayangnya, semua hantaman Regha ditepis dengan mudah oleh lelaki itu. Hingga satu titik Regha lengah untuk melindungi bagian perutnya. Pukulan itu sangat keras, membuat semua pikiran Regha buyar dalam satu waktu.
Sepertinya Davel belum puas, Regha yang masih sibuk memegang perutnya. Dia sudah kembali menghantam wajahnya.
Linzy berteriak melihat Regha yang terdorong ke arah ujung karet di sekeliling ring. Dia berusaha sekuat tenaga untuk bangun, tangannya bertumpu pada perut.
Saat itu juga Linzy merasa ketakutan itu semakin tak terkendali, dia tidak ingin kehilangan sepupunya. Dia tidak mau kehilangan Regha!
"Tenang, Zi, Regha nggak akan kenapa-napa," ucap Shena mengusap bahu Linzy yang mulai bergetar.
"Gue takut... gue takut..." hanya itu yang bisa Linzy gumamkan. Kegelisahan semakin mengurung dirinya, menguncinya tanpa berpikir untuk membebaskan.
Zion melirik dua perempuan yang duduk di sampingnya, lelucon garing yang bisa mencairkan suasana tegang, malah memilih menutup diri di pikiran Zion. Dia tidak bisa bertingkah konyol di saat dirinya juga dalam keadaan gusar.
Sepertinya semua kebodohan itu harus Regha hilangkan, dia harus bisa melumpuhkan semua kelengahan yang mengambil alih tubuhnya.
Dia bangkit berdiri, lalu berjalan cepat pada Davel, sebelum melayangkan tinju wajah lelaki itu.
Dalam ronde satu itu Regha merasa dirinya baik-baik saja. Dia pasti bisa melalui ronde dua dengan baik juga. Wajah lelaki itu telah penuh dengan lebam-lebam lantaran pukulan telak Davel tadi.
Waktunya istirahat sejenak, Regha meneguk satu botol dalam beberapa detik. Dia mengatur napasnya, melirik Davel yang memandangnya remeh. Dua lelaki yang berdiri di kanan-kirinya, bertugas meremas pundak Davel layaknya pemain tinju professional. Regha mendengus geli dan memilih memfokuskan diri dari bayang-bayang Retta yang menggayuti.
Sampai di detik Arven menghampirinya, membisikkan sesuatu yang membuat Regha membeku, kebekuan yang mengurungnya di tengah kebisingan.
"Di backstage ada Ragel, dia mau ngomong sesuatu sama lo ... tentang Retta."
***
Sudah lebih dari lima menit keheningan itu tidak ingin terputus. Pandangan dingin dan sikap santai Ragel seolah sengaja menggantung sunyi yang tidak mengenakkan di antara mereka berdua.
Ragel berdiri dari kursi, melangkah ke depan Regha yang tengah memandangnya seperti musuh yang siap dimusnahkan kapan saja.
"Waktu lo tinggal lima menit." Garis lurus itu terbentuk di bibir Regha. "Kalo lo nggak ngomong juga, gue terpaksa ninggalin lo!"
Senyum yang bertengger di bibir Ragel, sungguh memuakkan bagi Regha. "Ini tentang Retta."
Regha mendengus. "Gue juga tau kalo lo datang ke sini karena Retta. Lo nggak usah basa-basi," ucap Regha tajam, "langsung ke intinya aja, lo mau ngomong apa?!" Ragel terdiam, hingga membuat Regha berdecak. "Jangan bilang lo ke sini cuma mau nunjukkin kemenangan lo karena berhasil ngerebut Retta dari gue. Gitu?!"
Ragel tertawa pelan, kepalanya menggeleng. Perkataan Regha sungguh lucu. "Segitu bencinya lo sama gue?"
Regha mengembuskan napas kasar, melayangkan tatapan tajam pada Ragel. Tanpa sedikitpun ingin mengucapkan kata.
"Lo kemarin itu salah paham, Gha," lanjut Ragel. "Gue nggak ngerebut Retta dari lo. Dia selalu milih lo, Gha. Dia nggak pernah milih gue. Hati dia cuma buat lo."
Melihat wajah Regha yang terlihat sama sekali tidak percaya, Ragel menghela napas, berusaha sekuat mungkin dia mengatakan kata-kata yang sebenarnya sangat menyakitkan untuk dirinya sendiri. "Retta selalu sayang sama lo, Gha. Dan sampai kapan pun perasaan dia itu selalu buat lo, walaupun gue udah berusaha untuk merjuangin dia, perasaan itu nggak akan berubah."
Regha memandang diam, raut luka yang tergambar di wajah Ragel. "Semua usaha gue untuk merjuangin Retta cuma berakhir sia-sia, Gha. Usaha itu nggak akan bisa ngebuat gue milikin dia, nggak akan bisa ngubah hubungan yang ada antara gue sama Retta!"
Mendengar kata-kata ganjil yang butuh penjelasan, Regha tak tahan untuk tidak bertanya, "Maksud lo apa?"
"Gue nggak bisa ngebuat Retta jadi milik gue," ucap Ragel pahit. "Nggak akan pernah bisa gue sama Retta pacaran. Karena kita... sepupu."
Kata terakhir itu hanya bisa menciptakan kebisuan di diri Regha. Ragel tersenyum miris. "Kita sepupu," lanjut Ragel. "Kita saudara, kita satu Nenek dan Mama Retta adalah adik dari Nyokap gue."
Seperti baru saja diberikan gunting besar, yang memutus semua tali di otaknya, Regha bergeming. Menatap Ragel shock. Benang pikirannya berbelit, sengaja menyulitkan Regha untuk berpikir.
Salah paham. Jadi yang yang semua Regha lihat hanya kesalahpahaman. "Terus kalo semua itu salah paham, kenapa Retta nggak berusaha ngejelasin ke gue?"
"Karena drama konyol lo!" jawab Ragel langsung. "Karena drama lo yang nerima Farah di depan semua orang," Ragel tertawa hambar. "Lo sama Farah nggak pacaran. Lo cuma mau nolongin Farah dari rasa malunya, ya kan?"
Melihat kening Regha berkerut, Ragel menjelaskan. "Gue denger pembicaraan lo sama Linzy tadi di backstage."
Seperti orang bodoh, Regha tak bisa berkata-kata, membisu layaknya batu yang berada di tumpukan karang. Tapi Ragel sepertinya tidak mau melihat Regha berada di ikatan pikirannya sendiri.
"Itu sebenarnya bukan informasi penting yang mau gue omongin. Ada hal lain yang harus lo tau," sejenak Ragel berhenti, Regha memusatkan pandangannya pada Ragel. "Hari ini Retta bakal berangkat ke Makassar, rumah neneknya. Nenek gue sakit dan berharap Retta datang ke sana. Bahkan Nenek gue minta Retta untuk tinggal di Makassar bareng beliau."
Kalimat akhir itu berhasil menimbulkan ketakutan di diri Regha. Ketakutan untuk kembali merasa kehilangan. "Lo bercanda iya, kan?!" kerah baju Ragel tertarik tangan Regha. "Nggak mungkin Retta mau ninggalin gue untuk kedua kalinya!"
Regha emosi, Ragel berusaha tenang. Dia menggeleng. "Gue serius. Dia bakal pergi."
Perlahan Regha melepas kerah baju Ragel dan tercenung.
"Tapi kalo lo butuh bantuan, gue siap untuk bantuin lo." Secepat itu Regha menoleh lagi pada Ragel, menunggu lanjutan perkataannya. "Gue bisa bantuin lo untuk bawa Retta ke sini."
TBC(31-03-18)
APING♡
__________
Regha jangan galak2 ih. Ragel udah baik itu mau bantuin wkwk.
Siap2 buat dua part lagi (*≧▽≦)
Danke❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top