R-R57: Jalannya Selesai

MATAHARI sudah mengawali hari pagi dengan paparan sinar yang menelusup lewat sela-sela gorden. Sudah berjam-jam, sinar mentari itu menunjukkan sinarnya. Tapi kebahagian sang mentari sepertinya tidak berpengaruh apa-apa pada gadis yang tengah berbaring di ranjang putih itu.

Hari sabtu yang indah, menikmati hari libur di rumah. Hari yang seharusnya bisa membuat Retta merasa bahagia. Tapi karena tidak ada tugas-tugas yang menyibukkannya, tugas yang bisa mengalihkan pikirannya. Hal itu justru mengundang kesesakkan yang sudah berhari-hari berusaha Retta lupakan.

Kepala Retta bersandar, napas beratnya memecah keheningan yang menjalin Retta sejak tadi di dalam kamar—kamar yang sudah seminggu Retta tempati, kamar yang bernuansa putih biru itu menjadi tempat Retta menyendiri selama seminggu. Salah satu kamar yang berada di rumah tantenya. Tante Veni.

Jika bukan karena sang ayah yang memaksa, tidak mungkin Retta ada di sini sekarang. Sudah seminggu Retta tinggal di sini. Sejak Ragel datang ke rumah untuk menjemputnya. Sejak Regha mendapat kesalahpahaman itu.

ARGHHH! Seharusnya Retta jangan mengingat Regha lagi!

Retta menghela napas. Tiba-tiba suara ketukan bisa sedikit menyingkirkan pikiran kalutnya. "Retta, buka pintunya dong! Lo dari kemarin belom makan! Nanti gue yang kena omel sama Nyokap!"

Ketukan itu perlahan berubah menjadi gedoran. Karena tak mendapat respon dari dalam. "WOY, TA! BUKA PINTUNYA!"

Retta mendengus, mendengar suara laki-laki—yang entah kenapa jadi menyebalkan di mata Retta. Hampir setiap hari cowok itu menjahilinya dengan sengaja menganggu kesunyian yang Retta butuhkan.

"Gue nggak laper, Gel!" balas Retta, dia menelungkupkan badan sambil mengambil guling, menutupi kedua telinganya.

Gedoran itu semakin menjadi-jadi. "LO HARUS MAKAN RETTA! Gue tau lo lagi galau karena Regha! Tapi seharusnya lo ingat, kalo lo nggak makan lo bisa sakit!"

"Gue nggak laper, Gel! Kalo gue laper juga, gue bisa turun buat makan sendiri!" seru Retta kesal, tapi karena kepalanya tertutup bantal di depan, suaranya jadi terdengar aneh.

"Lo ngomong apaan, Ta, gue nggak denger?!" Retta memutar matanya malas, apa cowok itu tidak memikirkan pintunya yang bisa rusak karena diketuk sampai segitunya?

"Lo keluar dong, Ta! Gue baru beli persediaan cokelat banyak buat lo!"

Retta mendengus. "Cokelat gue juga masih banyak, Gel!"

Hening. Mendadak ketukan di pintu berhenti, bersamaan dengan langkah lelaki itu yang menjauh, Retta tersenyum. Mungkin cowok itu sudah menyerah.

Beringsut bangun, Retta duduk di tepi ranjang. Piyama cokelat masih melekat di tubuhnya. Sejak pagi Retta malas untuk melakukan apapun, sehingga membuatnya hanya merenung di atas ranjang seperti orang sakit.

"Si bego!" Suara Ragel terdengar lagi di luar pintu. "Ngapain dari tadi gue capek-capek gedor-gedor nih pintu!"

Alis Retta menyatu, mendengar lelaki itu mendumel sendiri.

Suara besi beradu terdengar setelahnya, mata Retta melebar, melihat daun pintu perlahan terbuka. Lelaki itu masuk ke dalam. "Nahkan gue bisa masuk! Buang-buang waktu aja gue dari tadi, padahal ada kunci cadangan!"

"Ngapain lo masuk?!"

Ragel memutar matanya malas, melihat sang iris cokelat memandangnya tajam. Langkahnya mendekat pada nakas di samping ranjang. Meletakan nampan berisi makanan yang sejak tadi dia bawa. "Nih lo harus makan!"

Retta menghela napas lelah. "Gue nggak laper, Ragel!"

"Gue bawain lo susu cokelat sama sup kentang!" ucap Ragel, tak mengindahkan ucapan Retta tadi. "Tenang aja itu bikinan Nyokap, jadi pasti rasanya enak."

"Ragel gue nggak—"

Ucapan Retta dipaksa berhenti, melihat sang lelaki di depannya, mengikis jarak di antara mereka. Tubuh Ragel terbungkuk, hingga wajah mereka sejajar. "Lo harus makan! Kalo nggak..." Ragel mengusap bibir Retta, membuat tubuh perempuan di depannya menegang.

"Gue bilangin, Nyokap," lanjut Ragel, sedetik setelahnya tawa menyebalkannya terdengar. "Tampang lo lucu banget, Ta!"

"RAGEL!" pekik Retta, melemparkan bantal pada cowok itu. "Keluar!"

Retta bangkit berdiri, mendorong tubuh cowok yang masih saja mengeluarkan tawa menyebalkannya ke arah pintu.

Ragel semakin tertawa terbahak-bahak. Entah kenapa menjahili perempuan itu kini menjadi kesenangan sendiri bagi Ragel. Sudah seminggu Retta tinggal di rumahnya, mengusilinya setiap hari membuat hidup Ragel merasa bahagia. Meski Ragel tahu dia tak bisa memiliki perempuan itu.

"Iya! Iya gue keluar!" ucap Ragel, susah payah dia menghilangkan sisa tawanya. Namun, mendadak tubuh Ragel terasa kaku untuk digerakan. Pandangannya jatuh pada koper yang berada di sudut kamar.

Netra cokelat Retta juga mengikuti arah pandang lelaki itu, dan ikut tertegun.

"Lo beneran mau berangkat ke Makasar besok?" tanya Ragel pelan. "Lo tau, Ta, Nenek nyuruh lo berangkat minggu depan, bukan minggu ini. Kenapa lo mau berangkat besok? Lo nggak mau dateng ke perlombaan boxing antar sekolah? Lo nggak mau ngeliat Regha bertanding?"

"Buat apa gue dateng?" Setelah mengendalikan diri, Retta baru bisa membuka suara. "Dia nggak butuh gue... lagian di sana pasti ada Farah. Regha lebih butuh pacarnya, bukan mantannya."

"Dia pasti udah ngelupain gue." Rasa sesak itu kembali merayap di hati Retta.

Ragel memutar tubuh, memandang guratan sedih dan air mata yang mulai berkumpul di pelupuk Retta. "Gue yakin Regha nggak pernah ngelupain lo, Ta." Ragel menghela napas. "Sebenarnya lo tinggal bilang ke Regha kalo kita ini sepupu, bukan apa yang dia sangka. Lo cuma tinggal jelasin itu semua ke dia, Ta!"

"Gue nggak bisa, Gel! Gue nggak bisa!" Air mata mulai meluncur membasahi pipi Retta. "Gue nggak mau ngerusak hubungan mereka! Gue nggak mau disebut sebagai penghancur!"

"Lo bukan penghancur Retta," ujar Ragel pelan. Berusaha membesarkan hati sepupunya.

"Kalo gue jelasin semua kesalahpahaman itu," bibir Retta bergetar, "Sama aja gue ngehancurin hubungan mereka, Gel. Gue nggak mau...." Retta menggeleng, isakan pedih itu mulai terdengar di sela-sela bibirnya.

"Gue bukan tokoh jahat di sini," lirih Retta. "Gue nggak sejahat itu!"

Retta mencengkeram piyama cokelatnya, di bagian dada. Kali saja dengan melakukan itu, semua kesesakkan akan menyingkir dari sana. Membiarkan jantungnya berdetak normal. "Gue cuma mau Regha bahagia... walaupun cewek yang buat dia bahagaia, bukan gue lagi."

***

Mobil SUV putih itu berhenti tepat di depan gerbang tinggi berwarna cokelat. Kaki jangkung itu turun dari sana, berjalan melewati gerbang yang ternyata telah terbuka. Halaman luas yang beberapa kali sering Regha datangi terpampang di depannya.

Farah, sang pemilik rumah besar berwarna kelabu dan putih itu, memang selalu mengajak Regha ke rumahnya, jika ada tugas kelompok seperti sekarang ini. Regha mendatangi rumah perempuan itu hanya untuk bekerja kelompok. Mengerjakan tugas, tidak ada yang lain.

Kaki Regha menaiki tiga undakan tangga menuju pintu utama, tapi matanya lantas menyipit melihat daun pintu yang telah terbuka lebar. Dia berniat memberi salam, ketika langkahnya mendadak terhenti.

Mata Regha terpaku pada punggung lelaki yang membelakanginya. Farah berdiri di depannya dengan napas tersengal-sengal, perempuan itu seperti terlihat sangat emosi. Tapi Farah masih belum menyadari keberadaan Regha.

"Gue nggak mau, Dav!" teriak Farah. "Harus berapa kali gue bilang kalo gue nggak mau!"

"Lo harus mau!" suara yang terdengar mengancam itu, membuat otak Regha seperti ditarik secara paksa. Dia sangat mengenali suara ini. Suara yang sejak dulu selalu menemaninya.

"Kenapa lo jahat, Dav?! Kenapa lo mau nyakitin Regha lagi?!"

Nama Regha disebut. Namun, kebingungan yang memasungnya, mematikan pita suara Regha untuk berkata. Dia hanya terpaku, diam seperti orang bodoh di belakang mereka.

"Sekali lagi gue tekanin, kalo gue nggak mau nyakitin Regha!" Farah keras kepala, dia menarik kerah sang sepupu. "Gue sayang sama Regha, Dav, lo tau itu!"

Davel berdecak kesal. "Gue nggak pernah nyuruh lo sayang sama Regha! Gue cuma nyuruh lo untuk deketin dia, dan hancurin hatinya!"

Mata Farah terbelalak, terkejut dengan kata kasar sepupu yang sangat dekat dengannya. "Lo nyuruh gue untuk satu sekolah sama Regha, gue turutin itu! Lo nyuruh gue deketin Regha, gue juga turutin. Tapi kalo lo nyuruh gue untuk nyakitin orang yang gue sayang, gue nggak akan lakuin itu!"

Tangan Davel bergerak cepat, secepat setelah kata-kata itu terucap. Farah membisu, merasakan rasa panas yang mulai menjalar di pipinya. Setelahnya, Davel terlihat shock, melihat tangannya yang bergerak ke pipi sepupunya.

"Kenapa lo berubah, Dav?" ucap Farah getir, buliran bening itu membasahi pipinya yang mulai memerah. "Cuma karena dendam, lo berubah, Davel..."

Davel tercenung diam, menatap perempuan di depannya mengeluarkan air mata.

"Nggak cukup lo peralat gue, sekarang lo juga peralat sepupu lo untuk balas dendam ke gue?"

Suara itu terdengar tenang sekaligus tajam secara bersamaan. Sontak kedua saudara itu menoleh. Keterkejutaan itu jelas tampak di iris masing-masing.

"Re-Regha..." Susah payah Farah mengucapkan satu kata itu, tubuhnya mendadak merasa menggigil hanya melihat tatapan Regha.

Setelah bisa menghilangkan keterkejutannya. Tawa hambar Davel terdengar di antara sunyi yang melingkupi. "Lo ada di sini? Mau ngapain lo?"

Regha terlihat tenang, puncak emosinya terlihat bersembunyi dibalik topeng dinginnya. "Gue udah denger semuanya..."

Senyum miring itu terukir di wajah Davel. "Bagus kalo lo udah denger! Gimana rasanya, Gha?"

Karena tak terdengar jawaban dari Regha, Davel tertawa hambar menunjukkan wajah arogannya. "Gue tanya sekali lagi sama lo, Gha. Gimana rasanya saat tau kalo perempuan yang selama ini lo bantuin adalah sepupu gue?"

Regha tak merespon, matanya melirik Farah yang gemetaran memandangnya, ketakutan itu sungguh tampak kentara di wajah perempuan itu.

"Gimana rasanya ditipu, Gha? Dibohongin sama perempuan polos di depan lo ini?" Davel menarik Farah dari belakang tubuhnya, hingga kedua orang itu bisa berdiri berhadapan. "Lo deket sama Farah bukan? Lo bantuin perempuan yang ternyata seorang penipu, Gha!"

Kepala Farah menggeleng, deraian air matanya terus mengaliri pipi.

Regha mendengus, semua perkataan yang seharusnya bisa membangkitkan emosi Regha, tapi justru hanya direspon ketenangan oleh cowok itu.

"Gimana rasanya?" Regha mengulang pertanyaan yang selalu cowok itu lontarkan, sudut bibir Regha sedikit terangkat. "Lo nanyain gimana rasanya gue ditipu sama sepupu lo ini? Mungkin jawaban gue bakal ngebuat lo kecewa, Dav." jeda Regha melanjutkan. "Gue sama sekali nggak berpengaruh sama permainan busuk lo itu!"

Regha melangkah mendekat ke arah Davel. "Lo bilang, lo nyuruh Farah deketin gue buat bisa dapetin hati gue, kan? Maaf Davel, tapi rencana lo... gagal!" Regha tersenyum kemenangan.

Wajah Davel terkejut. Itu hanya untuk beberapa waktu. Setelahnya, cowok itu justru mengurai senyum sinisnya. "Lo jangan bego, Gha! Bukannya kemarin lo baru bilang kalo lo nerima Farah sebagai pacar lo!"

Regha mendengus, sebelum mengeluarkan kekehan tidak jelas. "Lo nggak ngejelasin ke dia yang sebenernya?" tanya Regha pada Farah, namun perempuan itu diam. Regha kembali menatap Davel. "Gue emang bilang, kalo gue nerima Farah di depan anak satu sekolah."

"Tapi satu hal yang harus lo tau, gue nerima dia cuma karena mau ngelindungin dia dari Jessy. Gue sama sekali nggak nerima dia sebagai pacar, gue cuma nggak mau permaluin dia depan semua orang!"

Regha kembali menatap Farah yang menundukkan kepala. "Bukannya begitu, Far? Lo bukan pacar gue? Kita cuman teman kelas, iya, kan? Hubungan kita cuma sebatas temen!"

Farah tak bisa berkata-kata, air mata itu kembali jatuh membasahi pipinya.

Davel hanya berdiri kaku, raut arogan yang selalu tampak di wajahnya menghilang. Namun, kobaran yang terlukis di matanya kian membesar.

"Seharusnya lo sadar dari awal, Dav, kalo semua rencana lo itu bakalan sia-sia!" ucap Regha. "Lo nggak bisa ngebuat gue suka sama sepupu lo. Karena dari dulu lo udah tau kalo hati gue cuma buat Retta..."

Perkataan itu malah mengundang tawa hambar Davel lagi. Dia memandang Regha remeh. "Hati lo emang masih buat Retta, Gha. Tapi sayangnya hati Retta udah berpaling ke cowok lain."

Senyum arogan itu kembali tampak di sana. "Rencana gue emang gagal, tapi gue yakin besok lo yang bakalan gagal, Gha. Mengingat, penyemangat lo lagi ngejauh dari lo!"

"Besok lo bakal kalah di pertandingan!" tangan Davel menepuk pundak Regha. "Retta nggak mungkin datang ke sana!"

TBC(29-03-18)
     APING♡

___________

Nahkan sekarang udah tau siapa sepupu Davel ◉‿◉
Udah banyak yang nebak bener sih awalnya wkwk. Alurnya gampang ketebak nggak sih?

Divote ya, kalo boleh juga dicomment

Danke❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top