R-R56: Akhir Jalan
Part ini panjaaang banget, semoga nggak bosen ya bacanya :)
__________
SUDAH lima hari berlalu saat terakhir kali Retta melihat wajah terluka Regha. Mendengar perkataan yang membelenggunya pada keadaan menyesakkan. Lima hari, cowok itu menghindarinya. Berusaha menyembunyikan diri dari semua penjelasan yang ingin diungkapkan.
Kesalahpahaman yang menciptakan jarak jauh di antara mereka. Seolah semakin tak terkendalikan lagi. Kesalahpahaman yang membekukkan sikap Regha padanya.
Sudah beberapa kali Retta berusaha mencari Regha di berbagai tempat di sekolah. Tapi hanya akan berujung pada waktu yang terbuang, dia tidak berhasil menemukan keberadaan Regha.
Di dalam kelas, pada waktu jam istirahat, seharusnya yang Retta lakukan adalah berlarian seperti anak lain menuju kantin. Namun, yang bisa dia lakukan hanya duduk di bangkunya sambil membaca novel.
Meski begitu keadaannya. Retta tidak bisa memfokuskan diri pada setiap bait aksara yang tersusun di sana. Semuanya buyar, semuanya berantakan untuk bisa masuk ke dalam pikiran Retta.
Di kelasnya masih ada beberapa anak, salah satunya Zion—teman Regha.
Sebenarnya Retta ingin menanyakan keberadaan Regha pada Zion, tapi mengingat sifat Zion yang bawel dan tidak bisa menyimpan rahasia. Membuat Retta mengurung niatnya. Cowok itu pasti akan bertanya yang tidak-tidak.
Arven. Retta juga sudah bertemu cowok itu kemarin di perpustakaan. Tanpa basa-basi Retta langsung bertanya.
"Lo tau Regha ada di mana, Ven?" tanya Retta. "Soalnya gue udah cari dia kemana-mana, tapi nggak ketemu!"
Arven menaikkan alisnya. "Ruang boxing mungkin," jawabnya acuh tak acuh. "Sedikit lagi dia kan mau lomba, paling lagi latihan di sana."
Retta menghela napas lesu. "Gue juga udah ke sana! Tapi dia nggak ada!"
Arven menarik wajah dari buku yang tengah dia baca lalu menutup buku tebal yang terbuka di depannya. "Regha nggak ngomong apapun ke gue pas di kelas," ucapnya, keningnya mengerut. "Bukannya lo selalu tau dia ada dimana, lo berdua selalu bareng-bareng."
Arven melepas kacamata berbingkai hitam yang bertengger di hidungnya, matanya menyipit memandang Retta. "Kenapa lo nggak tau Regha ada di mana?" cowok itu cepat tanggap ternyata. "Kalian berdua lagi ada masalah?"
Retta menggeleng cepat. "Nggak! Nggak ada!"
Arven mendengus dan kembali membuka bukunya. "Nanti pas jam istirahat abis, gue ngasih tau dia di kelas, kalo lo nyariin."
"Jangan!" tolak Retta. Dia tidak mau cowok itu tahu kalau dalam beberapa hari ini dia mencari keberadaannya. Bukankah saat Regha tahu, cowok itu justru makin berusaha bersembunyi darinya.
"Lo nggak usah ngasih tau dia," ucap Retta sambil tersenyum. "Gue cuma pengin tau kalo keadaan dia baik-baik aja."
Itulah percakapan Retta dan Arven kemarin. Arven menepati janjinya pada Retta untuk tidak memberitahu Regha jika dia mencarinya. Tapi satu kalimat yang terlontar dari mulut Arven, saat dia berbalik untuk pergi, cukup berhasil membuat gemuruh sesak datang menghampirinya.
"Gue nggak tau sebenarnya ada masalah apa antara lo sama Regha," ucap Arven, nadanya datar. "Tapi satu hal yang harus lo tau, makin ke sini, Regha makin deket sama Farah."
Retta menutup buku novelnya kasar. Kata-kata itu masih menempel erat di dalam pikirannya, enggan untuk menghilang. Pandangan Retta jatuh pada papan tulis putih di depan, mengembuskan napas perlahan.
Retta lelah. Lelah dengan semua permasalahan hidupnya.
Telah selesai masalah dengan neneknya. Retta kembali di datangkan masalah yang lebih sulit dari sebelumnya.
Pandangan Retta teralihkan, melihat Linzy dan Shena yang baru kembali dari kantin. Kedua perempuan itu masing-masing menggenggam minuman.
Linzy meletakkan satu cup minuman bewarna cokelat ke depan Retta. "Buat lo." perempuan itu mengulum lollipop di mulutnya.
Alis Retta terangkat, maksud untuk bertanya. Linzy tertawa. "Gue sebenernya bingung lima hari terakhir ini lo kenapa banyak diam. Diajak keluar kelas nggak mau, kecuali sendiri. Dan karena gue teman yang baik, gue beliin ini buat lo, kali aja lo bakal ceria lagi."
Retta tidak bisa menyembunyikan senyumnya lagi. "Makasih, Zi."
Linzy ikut tersenyum. "Gue temen yang baik, kan?"
Shena mencibir, hingga membuat Linzy melotot. Melihat itu, tawa Retta melebur, di tengah kegetiran hatinya. Beruntunglah Retta karena memiliki teman seperti mereka.
BRAAKKK!!
Bunyi pintu yang dibuka dengan kencangnya, mendapat perhatian dari sedikit orang di kelas.
Zion yang duduk di meja pojok bertanya. "Kenapa lo?"
Retta mengernyit memandang Justin—orang yang menjadi pelaku rusaknya pintu di kelas. Napas lelaki itu berembus tak beraturan. Dia ingin mengucapkan sesuatu tapi terhalang oleh napasnya sendiri. "Di lapangan..." hanya kata itu, dia berusaha mengatur napasnya. "Regha... di lapangan."
Zion langsung melompat dari mejanya mendengar nama temannya. "Kenapa Regha?"
"Regha... Farah...," Justin membungkukkan punggungnya, kali saja dengan cara itu dia berhasil menemukan banyak pasokan udara.
"Kenapa lo nyebut nama sepupu gue sama itu cewek?!" tanya Linzy galak, "lo mau ngomong apaan sih, Tin?"
Retta tercenung diam, mendengar perkataan Justin yang masih belum bisa disebut perkataan karena terputus-putus. Tapi mendengar nama Regha disandingkan dengan nama Farah, entah kenapa kesimpulan buruk yang terbentuk di pikirannya, semakin membuat Retta kalut oleh pilu.
Sedikit tersentak Retta, saat merasakan tarikan tangan Linzy, Perempuan itu membawa Retta keluar kelas. Di belakang Shena mengikuti. Langkah Linzy terburu-buru.
Retta hanya diam, kala Linzy membawanya ke lapangan utama sekolah.
Kerubungan orang-orang, menghalangi pemandangan utama yang sedang terjadi. Linzy mendesak masuk, tangannya masih mengambil alih tangan Retta.
Sampai keduanya berhasil menerobos dan bisa melihat apa yang terjadi. Seolah ada tali yang sengaja diikatkan di kakinya, Retta tidak bisa bergerak. Terpaku di tempat. Udara seakan menghilang, menyulitkan Retta untuk bernapas.
"CUKUP JESS!" itu suara Regha, dia memeluk Farah yang sedang menangis di rengkuhannya. "LO UDAH KETERLALUAN TAU NGGAK!"
Kesesakkan itu justru semakin menjadi-jadi memasung Retta. Seperti ditikam berkali-kali, Retta tersakiti. Jelas ngilu itu menyakitkan untuknya.
"Buat apa lo belain dia, Gha?!" Suara Jessy terdengar tajam. "Dia bukan siapa-siapa lo! Dia cuma cewek lemah yang nggak pantes lo lindungin!"
Linzy membisu, mulut cerewet yang sentiasa menempel erat di kepribadiaannya, seolah menghilang saat itu. Apalagi melihat tatapan getir dari sahabatnya.
"Lo bilang bukan siapa-siapa..." Suara Regha terdengar dingin, menusuk hingga membuat ketakutan itu tampak di mata hazel Jessy. "Perempuan yang lo bully ini... CEWEK GUE!"
Kalimat pengakuan yang baru saja Regha ucapkan, memperparah keadaan sunyi di sana. Semua hening. Tidak ada yang bisa bersuara.
Seakan ada benda yang sengaja meruntuhkan segala tulang sendi tubuh Retta, hingga hampir membuat tubuhnya terhuyung jatuh, jika Linzy tidak menahannya. Air muka Retta berubah pucat, tanpa bisa mengambil seluruh udara, yang menghimpit tubuh Retta di sela sesak.
"FARAH PACAR GUE SEKARANG!"
Bahkan air matanya memilih bersembunyi dibanding keluar untuk meringankan kesakitan di belenggu hatinya. Tatapannya kosong, seakan semua kehidupannya sudah mati saat itu juga.
"Lo nyuruh Farah untuk nyatain perasaannya ke gue bukan?" pertanyaan Regha membungkam mulut Jessy. "Kalo gue nerima Farah, lo bakal berhenti bully dia. Dan sekarang lo udah tau jawabannya," Regha menghunuskan matanya pada Jessy. "Gue nerima Farah sebagai cewek gue!"
Tegas dan tak terbantahkan. Jessy tak bisa berkata-kata. Bibir pink cerahnya bergetar, seolah semua rasa malu yang mengurungnya sudah tak terkendalikan lagi. Dia memandang Farah tajam, sebelum memandang Regha dengan terluka.
Jessy berbalik pergi diikuti ketiga temannya, yang membuat semua drama itu selesai. Satu persatu orang-orang itu pergi.
"Lo nggak bakal kenapa-napa lagi, Far." Suara Regha menenangkan, dia membelai lembut rambut Farah. Sebelum matanya terpaku pada sang iris cokelat, yang berdiri tak jauh darinya. Iris itu kosong, kehidupannya seolah menghilang. Menyembunyikan semua kegetiran yang sangat menyakitkan.
Ketika mata mereka bertemu, barulah air mata itu keluar, setetes membasahi pipinya. Retta menangis diam, membiarkan sang tirta mendesak berjatuhan.
Ada guratan kecewa yang tampak di wajah Linzy. Regha mematung, melihat sepupunya yang perlahan menarik Retta dari sana.
***
Lorong yang hening seolah menjebak Retta pada kesunyiaannya. Langkahnya terdengar pelan, menggema di lorong menuju ruang guru. Pandangan kosong yang sentiasa melekat di sana, membawa Retta pada kesesakkan yang semakin tak bisa dihilangkan.
Tangan kanannya mendekap hasil print tugas-nya yang akan diberikan ke Bu Ainun—guru fisikanya. Setidaknya karena tugas itu Retta sedikit bisa melupakan pikiran kalutnya.
Kejadian tadi masih terpatri di bayang mata Retta. Kejadian Regha mengaku sebagai pacar Farah. Regha yang memeluk Farah. Regha yang menerima Farah menjadi pacarnya.
CUKUP!
Retta tidak bisa terus-menerus mengingat kejadian menyakitkan itu. Kejadian yang menimbulkan luka di hati.
Langkah Retta terhenti, perempuan yang berjalan di depannya pun berhenti. Keduanya saling menatap satu sama lain. Diam tanpa ada suara yang ingin dikeluarkan.
Lagi-lagi rasa ngilu itu menampakan diri. Semampu mungkin Retta mengulas senyum untuk perempuan yang tak lain ialah Farah. Setelah merasa senyum palsu itu bisa membuat Retta berada di keadaan normal, dia melangkah pergi, melewati bahu Farah yang terdiam.
"Tunggu!" Farah menghentikan Retta. Dia memutar tubuhnya ke belakang. Yang membuat Retta juga balas melakukan itu untuk menatapnya.
Retta menunggu. Farah melanjutkan perkataannya. "Lo nggak marah, kan?" tanya Farah. Sementara Retta mengerut kening tak mengerti. "Karena gue ngambil Regha dari lo?"
Pertanyaan yang mengundang rasa sesak itu lagi, membuat Retta menghela napas. Kepalanya hanya sanggup menggeleng, sebelum berniat melangkah pergi—lagi.
Cepat menanggapi, Farah menahan bahu Retta. "Lo tau nggak sih kedatangan lo, setelah dua tahun ninggalin Regha, ngebuat hubungan gue sama Regha renggang," kesinisan itu terdengar jelas di nada suara Farah. "Karena lo Regha ngejauh dari gue!"
Dipaksa untuk menatap mata Farah, Retta tercenung. Apalagi kalimat menyalahkan yang perempuan itu ucapkan, menusuk harga diri Retta.
"Kenapa lo harus balik lagi Retta?!" tanya Farah tajam. "Kenapa lo harus balik lagi ke kehidupan Regha?!"
Mengepalkan tangan erat, Retta menahan rasa getir yang merebak cepat untuk menjebak Retta pada keadaan menyakitkan. Apa memang Retta salah datang ke hidup Regha lagi? Apa Retta salah mengharapakan masa lalunya berubah jadi masa depan?
Bodoh! Retta bodoh! Seharusnya memang sejak awal dia sadar, jika masa lalu akan sentiasa berdiri di belakang, bukan berdiri di depan!
"Lo ngehancurin segalanya!" Getir, air mata Farah jatuh mengenai pipinya. "Lo ngehancurin hubungan dekat gue sama Regha!"
Membisu oleh semua kegetiran. Hanya iris cokelatnya yang memandang nanar Farah.
"LO ITU PENGHANCUR RETTA!!" teriak Farah kalap, air mata itu semakin banyak berjatuhan. "SEMUA HUBUNGAN UDAH LO HANCURIN! TERMASUK PERSAHABATAN REGHA!"
CUKUP SUDAH! Diingatkan dengan semua masa lalu, Retta tak tahan lagi. Refleks semua indranya bergerak sesuai emosi. Tangan Retta bergerak dengan sendirinya, melayang ke pipi Farah.
Tamparan itu menggema di koridor, Farah tersentak bisu. Jemarinya bergerak memegang pipinya, yang perlahan berubah warna.
"Gue bukan penghancur!" kata Retta penuh penekanan. "Gue nggak pernah ngehancurin hubungan siapapun!"
"Lo nampar gue?!" tanya Farah tak percaya. Kesadarannya benar-benar kembali. "LO?!" Kali ini tangan Farah yang terangkat.
"FARAH?!"
Panggilan itu, menghentikan gerakan tangan Farah di udara. Kedua perempuan itu menoleh ke belakang. Diam, mereka berdua membisu melihat Regha yang melangkah tergesa-gesa ke arah mereka.
"Lo mau ngapain, Far?" tanya Regha, berhenti tepat di samping Retta yang membuang muka.
Perlahan, Farah mengembalikan tangannya ke sisi tubuh. "Lo bisa tanyain ke mantan lo itu? Apa yang baru dia lakuin ke gue?!"
Regha berpaling menatap Retta, memandang sang perempuan yang tak ingin membalas tatapannya. "Retta?" panggil Regha. Tidak ada suara.
Regha kembali menatap wajah Farah, menelisik seluruh sudut wajah, dan sontak matanya menyipit melihat pipi yang memerah.
Kembali memusatkan matanya pada Retta, Regha menghela napas. "Lo baru nampar Far—"
"Iya emang kenapa?" Kepala Retta menoleh pada Regha, menunjukkan iris cokelat yang tertutup air mata. "Lo mau balik nampar gue?! Lo mau marah karena gue nampar cewek baru lo?!"
Seperti ditikam berkali-kali menyebut kata terakhirnya, Retta berusaha sekuat mungkin menahan tirta di pelupuk.
Regha hanya memandang datar, rautnya tidak terbaca. "Gue nggak pernah berbuat kasar ke cewek." Tangan Regha merogoh saku celana, mengeluarkan sapu tangan lalu mengulurkan benda itu pada Retta. "Lo bisa ngehapus air mata lo sendiri, kan?"
Melihat sang perempuan di depannya membisu memandang sapu tangan yang terulur. Regha memaksa tangan Retta menerima benda itu sambil bergumam, "Maaf Retta."
Setelahnya, Regha menarik tangan Farah menjauh, meninggalkan Retta seorang diri.
TBC(24-03-18)
APING♡
____________
Jangan lupa divote ya ;) kalo boleh sih sekalian di comment wkwk (=^_^=)
Danke❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top