R-R48: Reuni?

TAK DAPAT dipungkiri lapangan outdoor sekolah SMA Taruna jaya sudah penuh dengan para perempuan yang duduk di pinggir lapangan. Terik sinar yang menyuar di lapangan merasa terabaikan. Sang mentari hanya menyaksikan di atas sana memberi cahaya yang bisa kapan saja membakar tubuh para lelaki yang tengah bertanding basket.

Peluh keringat yang membasahi tubuh mereka tak dipedulikan. Titik fokus para lelaki itu hanya pada bola bewarna jingga yang tengah memantul di tangan Regha. Regha yang sejak SMP sudah diagung-agungkan karena kelihaiannya bermain apapun yang menyangkut kegiatan ekstrakulikuler, terutama yang berhubungan dengan olahraga.

Regha memang tidak pintar dengan akademik tapi kalau urusan non-akademik, dia ahlinya.

Bola jingga itu melambung tinggi, lalu seperti gerakan slow motion bola itu masuk dengan sempurna di ring sang lawan. Senyum Regha sontak melebar, menampilkan lesung pipi sebelah kanannya.

Jeritan para perempuan langsung terdengar, memekakkan telinga siapa saja yang berada di sana. Cowok tampan itu berhasil mengalahkan tim Lian, yang tak lain adalah kapten basket. Meski sang ketua berhasil dikalahkan oleh tim Regha-Arven, Zion dan dua temannya lagi. Dia tetap menepuk pundak Regha, seolah memberikan selamat.

Ragel, anggota basket, yang kini berada di tim Lian, melawan tim Regha yang telah mendapatkan point lebih unggul dibanding timnya. Dia tersenyum kecut saat pertandingan kembali dimulai.

Posisi Ragel sekarang tengah membayang-bayangi Regha yang kembali bisa merebut bola dari timnya. Dia menampilkan raut sedatar mungkin saat berkata, "Mungkin lo emang ditakdirin untuk selalu menang, Gha. Tapi nggak setiap hal lo bisa menangin."

Gerakan Regha perlahan melambat, menaikkan satu alisnya. "Maksud lo?"

Mata Ragel melirik perempuan yang tengah duduk di bangku depan kelas dua belas yang berada tepat di depan lapangan. Sontak Regha mengikuti dan semakin mengerutkan kening tak mengerti. Perempuan itu Retta, dia membalas tatapan Regha kemudian tersenyum.

Kesempatan itu langsung diambil oleh Ragel dengan merebut bola dari tangan Regha karena cowok itu lengah. Regha terperanjat.

Ragel tersenyum kemenangan. "Kayak bola ini, mungkin lo yang ada di hatinya, tapi suatu saat gue yakin gue bisa ngerebut hatinya dari lo."

Regha tak berniat mengejar Ragel yang mendribble bola bewarna jingga itu ke arah ringnya. Dia terpaku di tempatnya berdiri, pandangan Regha menelisik ekspresi Retta di sebrang. Perempuan itu tidak menatapnya tapi iris cokelatnya jatuh pada Ragel yang berhasil mencetak poin.

Apa Regha tidak salah lihat dengan raut bersalah yang ditunjukan netra milik Retta saat memandang Ragel?

Sekitar tiga puluh menit permainan basket akhirnya selesai. Score imbang, tidak ada pemenang di pertandingan itu, hasilnya seri.

Regha membasuh wajahnya dengan air keran di wastafel yang berada di lapangan. Air itu menetes dari rambut Regha yang sengaja cowok itu basahkan. Berusaha menghilangkannya, Regha mengibaskan rambut hitam legamnya.

Tentu saja hal itu menarik semua perhatian dari para perempuan yang masih belum beranjak dari pinggir lapangan.

Retta yang hanya menyaksikannya mendengus. "Dasar caper."

Dia dari dulu terbiasa melihatnya, tapi entah kenapa tetap membuat Retta kesal setengah mati.

Lelaki itu berjalan mendekat pada Retta. Bukannya duduk di sampingnya, Regha malah duduk di lantai, di depan kakinya. Lantas saja mata Retta memelotot, karena Regha berhasil membuat pandangan orang-orang terpusat padanya.

Regha hanya merespon dengan senyuman. Menyebalkan!

"Mana handuk kecil gue," pinta Regha sambil menjulurkan tangan.

Retta melempar handuk biru muda itu tepat di wajah Regha. "Lo tau gak sih, gue duduk di sini sambil megangin handuk berasa jadi pacar lo tau nggak!" kesal Retta.

"Lo emang pacar gue," ucap Regha tanpa pikir panjang. Dia mengelap wajahnya dengan handuk sambil memerhatikan Retta.

Mata Retta membulat, tercenung untuk sesaat. Sebelum memukul keras pundak Regha. "Gue udah bukan pacar lo, kalo lo lupa! gue ini cuma mantan lo!"

Perkataan itu memang kasar, tapi justru semakin membuat senyum Regha melebar. "Tinggal tunggu waktunya aja lo balik ke gue," ucapnya percaya diri.

Tak bisa dibuat berkata-kata, Retta tertegun. Dia memandang senyum Regha. Kebingungan itu kembali melandanya, apa ucapan Regha bukan imajinasi? Apa Retta boleh berharap pada sesuatu yang masih menjadi ilusi? Retta tidak ingin tersakiti lagi, apalagi mengingat kedekatan Regha dan Farah.

Jalan takdir seakan sudah memberikan petunjuk pada Retta. Menunjukkan padanya bahwa Farah yang akan membawa Regha menjauh darinya. Entah itu hanya imajinasi Retta atau memang akan menjadi kenyataan.

"Aw...!" Retta langsung keluar dari lamunan, dan memekik sakit saat merasakan hidungnya dicubit dengan sangat keras. Tidak perlu berpikir, untuk tahu siapa pelakunya. "Sakit, Gha!"

Regha tertawa memandang Retta dengan hidung memerah. "Lagian diajak ngobrol malah bengong."

"Tapi nggak usah dipencet juga!" Retta memberutkan bibir sambil mengusap hidung.

"Sori," ucap Regha sambil tertawa. Tangan cowok itu bergerak mengusap hidung Retta dengan pelan-pelan.

Lagi-lagi Retta dibuat tertegun. Sontak dia langsung menyingkirkan tangan Regha, saat merasakan rasa panas menjalar di pipi. "Nggak usah dipegang hidung gue nanti lo pencet lagi."

Perkataan Retta disambut gelak tawa Regha.

Regha berdeham, mengusap tenggorokannya dengan gerakan dramastis. "Ekhem... gue haus."

Kelopak mata Retta menyipit lalu mendengus bersamaan. Dia sangat paham maksud ucapan itu. Lantas Retta langsung berusaha merogoh plastik yang berada di belakang tubuh untuk mengambil botol minuman. Namun, Retta terlambat ada tangan yang lebih dulu mengulurkan botol kemasan itu ke arah Regha.

Mereka berdua sontak menoleh, melihat Farah yang mengulurkan minuman itu.

"Lo haus, kan, Gha? Tadi di pinggir lapangan gue nunggu lo untuk ngasih ini." Farah tersenyum.

Retta memandang diam, melihat Regha yang perlahan menerima botol kemasan itu. Dia melirik Retta sejenak, sebelum memandang Farah. "Thanks, Far. Tapi lo nggak perlu ngasih ini..."

"Kenapa?" potong Farah langsung, kekecewaan itu terlihat jelas di wajahnya. "Karena Retta udah bawain lo minuman?" Farah tersenyum kecut karena tidak ada yang respon. "Kayaknya gue nganggu kalian, ya?"

Melihat Farah yang ingin berbalik pergi, refleks Regha berdiri, tangannya menahan pergelangan perempuan itu. Terpaku Retta di tempatnya, bibir itu hanya bisa tertutup.

"Bukannya gitu, Far," jelas Regha. "Gue cuma nggak mau ngerepotin lo aja."

Tak bisa berkata-kata, Retta terdiam melihat pemandangan yang ada di depan. Kenapa Retta membenci sifat Regha yang sekarang? Cowok itu benar-benar berubah, tidak ada lagi Regha yang cuek, arogan pada siapapun. Kini cowok itu terlalu memikirkan perasaan orang lain.

Menghela napas, Retta merindukan sifat Regha yang hanya perhatian padanya, bukan Regha yang baik pada semua orang seperti sekarang ini.

Farah mendongak menatap Regha. "Beneran?" Regha mengangguk, sontak membuat Farah tersenyum. Kemudian dia menatap tangannya yang berada di genggaman Regha. Senyum itu makin mengembang tak terkira.

"Ya udah diminum ya airnya. Gue tau lo pasti haus," ucapnya penuh perhatian. Dia tersenyum pada Regha sebelum senyumnya menyorot pada Retta. Kemudian dia berlalu pergi menghampiri temannya yang masih duduk di pinggir lapangan.

Masih belum bisa bersuara, Retta menetralkan rasa sesak yang menghampirinya. Kali ini Regha duduk di sampingnya sambil membuka botol minuman dari Farah.

"Perhatian banget ya dia sama lo." Itu perkataan pertama yang bisa Retta katakan.

Regha menoleh pada Retta, salah satu alisnya terangkat. "Siapa?"

"Ya siapa lagi, kalo bukan Farah!" kesal Retta.

Regha tertawa, meneguk air dalam botol. "Dia emang baik sama perhatian."

"Karena dia suka sama lo!"

Regha memberikan perhatian penuh ke Retta, senyumnya mengembang. "Terus kalo Farah suka sama gue, gue harus apa?"

Pertanyaan balik yang Regha lemparkan, justru semakin membuat Retta kesal. "Ya menurut lo?!"

"Gue harus balas perasaan Farah, gitu kan?"

Senyum Regha semakin melebar, menampilkan lesung di pipi kanannya. Retta mendengus, tak bisa mengeluarkan jawaban dari pertanyaan itu. Dia hanya bangkit berdiri dan bergumam, "Gue mau balik ke kelas!"

Berusaha sekuat mungkin Regha menahan tawa, melihat tingkah lucu Retta. Dia menahan pergelangan tangan sang perempuan untuk kembali duduk di sampingnya. "Lo kenapa jadi kesal gitu, Ta?" tanya Regha.

Retta menepis tangan Regha, memberi jarak duduk antara Regha dan dirinya. "Gue nggak kenapa-napa," jawabnya membuang muka.

"Lo nggak pintar bohong, Ta." Regha tertawa. "Lo cemburu, kan?"

Secepat itu Retta menoleh, memelotot pada Regha. "Gue nggak cemburu! Buat apa gue cemburu, gue bukan siapa-siapa lo!"

"Anggap aja gue percaya sama ucapan lo." Mendapat pelototan Retta lagi, Regha tertawa.

Senyum itu menghiasi wajah tampan Regha, kemudian menarik tubuh Retta mendekat padanya, yang sontak saja menimbulkan kebisuan pada Retta karena jarak tipis itu.

"Farah emang suka sama gue, bahkan semua cewek suka sama gue," ucap Regha percaya diri. Seharusnya merespon sikap percaya diri Regha, Retta memutar bola matanya malas. Namun, semua indranya seperti bekerja sama untuk berhenti berfungsi.

"Tapi sayangnya gue cuma suka sama satu cewek, lo mau tau siapa namanya," kepala Regha bergerak ke telinga Retta, napas cowok itu berembus di sana, menggelitik telinganya. "Namanya ... Asharetta Novita."

Seiring dengan nama yang Regha sebutkan. Retta merasa gema jantungnya sudah berpacu tiga kali lipat dari batas normal. Seolah detak itu bisa kapan saja memecahkan rongga yang melindunginya.

Mengontrol dirinya, Retta menjauhkan dirinya dari Regha. "Apaan sih, Gha!"

Retta mengucapkan kata itu dengan kesal, tapi perkataannya berbanding terbalik dengan wajahnya yang sudah tercipta rona merah di kedua pipi.

Regha hanya tertawa, kembali meneguk botol minuman tadi.

"Hari ini lo ikut reuni?"

"Nggak," jawabnya singkat, sorot matanya tak membalas tatapan Regha. "Buat apa gue dateng, gue nggak punya temen selain, Vera. Dan lagian gue yakin dia nggak dateng, karena sekolah di Bandung, rumah neneknya."

"Lo dateng buat nemenin gue," Retta menoleh dan dibalas senyuman oleh cowok itu. "Kan lo tau gue wajib dateng ke sana, kalo nggak mau kena marah kakek gue, dan Arven nggak bisa ikut karena urusan osis. Jadi lo harus ikut!"

Retta melepaskan napasnya kasar. "Gue nggak mau, Gha!"

"C'mon, Ta," kata Regha bersabar, "Gue mau lo ikut." Bujukan Regha tak mempan, Retta tetap menggeleng. Regha mengembuskan napas pasrah. "Ya udah gue juga gak ikut."

Bola mata Retta melebar. "Kok gitu, loh wajib dateng, Gha!" protes Retta. "Masa cuma karena gue nggak ikut, lo juga nggak ikut."

"Ya buat apa gue di sana, kalo nggak ada lo. Lagian bukan gue yang ngadain acara itu," jawab Regha keras kepala.

Retta mengembuskan napas lelah. Dia tak akan menang melawan Regha yang keras kepala. Baiklah! Retta tidak punya pilihan apapun selain mengikuti keinginan cowok itu.

"Ya udah gue ikut," ucap Retta mengalah, yang menciptakan senyum di bibir Regha. "Tapi sebentar aja, gue nggak mau lama-lama di sana."

Regha mengangguk, masih dengan senyumannya. "Oke."

Kedua orang itu sama sekali tidak menyadari, ada mata yang memerhatikan mereka sejak tadi. Sekuat mungkin dia menahan sesak melihat kedekatan kedua orang itu. Apalagi melihat tatapan mata dari satu sama lain, menciptakan hawa panas di tubuhnya.

"Mereka datang?" pertanyaan dari ponsel yang menempel di telinga, membuyarkan perhatian orang itu.

"Ya, mereka datang," mendengar ucapannya mengundang tawa hambar di sana, orang itu menghela napas. "Tapi gue mohon, Dav. Jangan keterlaluan."

Di seberang sana, Davel tersenyum miring. "Take it easy, my cousin. I'm sure the plan will run smoothly."

TBC(28-02-18)
APING♡

_____________

Jangan lupa vote dan comment ya :)

Makasih untuk yang masih setia mampir ke cerita ini♡


Danke❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top