R-R47: Kesalahan
LANGIT sore terlihat cerah, sang mentari tersenyum bahagia memancarkan sinarnya. Awan putih menggelantung di sana, menambah kesan kebahagian sang surya.
Dalam perjalanan pulang Retta mendongak memandang lingkung langit, entah kenapa Retta merasa angkasa raya seperti mengejek keadaannya sekarang. Dia menunjukkan sinar bahagia, tapi tidak peduli dengan suasana hati Retta yang suram tanpa cahaya.
Lampu merah menghentikan hilir mudik kendaraan yang ada di jalan. Termasuk motor Ragel, cowok itu melirik Retta dari spion motor. Sejak tadi perempuan itu seperti tidak mood untuk diajak bicara. Dia diam tanpa peduli pada apapun.
Ketika itu ide terlintas, di pikiran, membuat senyum di bibir Ragel terukir.
Dia melihat Retta melalui spion. "Ta?"
Retta ikut memandang Ragel lewat pantulan kaca. "Kenapa, Gel?"
"Gue laper," Retta mengernyit, tapi Ragel tetap tersenyum. "Kalo kita mampir ke Café dulu lo mau nggak?"
Retta diam untuk berpikir. Ragel sudah berbaik hati untuk mengantarnya pulang. Lagipula belum kelihatan terlalu sore, mungkin tidak apa-apa kalau Retta menerima. Saat itulah kepalanya mengangguk, mengiyakan.
Senyum Ragel makin mengembang lebar.
Lampu sudah berubah menjadi hijau, motor Ragel kembali melaju di jalanan besar. Lagi-lagi matanya melirik Retta. Dan tanpa bisa dikendalikan, Ragel menarik kedua tangan perempuan itu ke pinggangnya. "Gue mau lo pegangan, Ta."
Tercenung dibuatnya, Retta hanya mampu membiarkan kedua tangannya melingkar di sana.
Ragel menunduk, menatap tangan Retta. Nyata, Retta memeluknya. Ragel tidak bisa menyembunyikan rasa yang membuncah di dada, membuat senyumnya semakin melebar tak terkira.
***
Motor Ragel berhenti di depan COFFE CAFÉ. Dia memarkirkan motornya, keduanya melepas helm masing-masing. Retta memberikan helm putih itu pada Ragel.
Setelahnya, Ragel menuntun Retta untuk masuk ke dalam. Retta sekali lagi dibuat tertegun ketika kelima jemari lelaki itu mengisi celah kosong di telapak tangannya. Menggenggamnya begitu erat seolah enggan untuk dilepaskan.
Ragel langsung memanggil waitress saat mereka berdua sudah menemukan tempat yang pas untuk mengobrol. Tempat yang berada di pojok dekat dengan jendela, yang menampakkan langsung pemandangan lalu lalang kendaraan di jalan.
"Lo mau apa, Ta?" Ragel bertanya.
"Chocolate caramel aja," jawab Retta sungkan.
"Nggak mau makan?" tanya Ragel lagi, yang dijawab dengan gelengan kepala oleh Retta.
Cowok itu mengangguk, lalu menyebutkan pesanan miliknya dan Retta. Selepasnya, waitress itu pergi meninggalkan kecanggungan di antara mereka.
Ragel mengetuk-ngetuk meja, usaha untuk menghilangkan rasa gugup yang memerangkapnya. Dia mendongak memandang Retta yang menatap luar jendela. Bahkan tidak ada niat untuk membalas tatapannya.
"Retta?"
"Mm...." Retta menoleh.
Gerakan ketukan Ragel di meja melambat karena netra cokelat itu membalasnya. Jangan tanya jantungnya yang sudah berokestra di dalam sana.
"Sebenarnya gue ngajak lo ke sini karena ada..." Ragel berpikir untuk mencari kata-kata yang pas. Tapi kata-kata itu langsung menghilang seakan memang ingin menjebak Ragel.
Retta menunggu dengan alis terangkat. "Bukannya lo laper, makanya lo ngajak gue ke sini?"
"Ah—iya," Ragel kebingungan, dia terdiam sebentar. "Emang gue laper, tapi ada hal lain yang juga mau gue omongin."
Tatapan kebingungan yang ditunjukkan iris cokelat itu menambah irama detak jantung Ragel di luar Kendali. Oh God...
"Gue mau ngomong—" Lagi-lagi Ragel tak dapat menyelesaikan perkataannya, karena kedatangan waitress yang mengantar pesanan mereka.
"Makasih, Mbak." Retta tersenyum. Pelayan itu mengangguk, lalu membungkukan punggung kepada mereka berdua.
"Lo bisa lanjutin," kata Retta sambil menyedot minuman miliknya. Cokelat selalu bisa membuat Retta merasa tenang.
"Lo nggak bakal kaget, kan?"
Pertanyaan polos itu membuat tawa Retta berderai. "Emang lo mau ngomong apaan sampe buat gue kaget," Retta berbicara di sela-sela tawanya. "Tenang aja gue gak punya riwayat jantung, jadi kalo gue kaget gue nggak langsung mati."
Retta kembali tertawa. Tawa itu seperti bius yang langsung menyebar pada Ragel. Dia ikut tertawa sebelum menampilkan sorot serius.
Ragel menarik tangan kanan Retta yang tengah memegang sedotan. Yang sontak menghentikan mulut Retta untuk menyesap minuman. Dia mendongak menatap Ragel. Iris yang mirip dengan miliknya itu memancar kehangatan, membuat Retta bergeming.
Ragel membawa tangan Retta bertumpu di depan wajahnya. Tak bisa dibuat berkata-kata, Retta mematung merasakan kecupan Ragel di tangannya.
"Gue..." Ragel memejamkan mata, sebelum kembali membukanya. "Gue suka sama lo, Ta."
Sesaat detak teratur jantung Retta seperti berhenti mendadak. Perkataan itu mengikat Retta di dalam pikiran, membuat dirinya tertegun sekaligus kebingungan. Dia merasa de javu untuk kesekian kalinya. Pernyataan itu, café. Itu semua mengingatkan Retta pada Regha.
Keheningan itu sentiasa menemani. Enggan untuk pergi.
"Lo bercanda?!" itu ucapan yang bisa Retta ucapkan, setelah dikurung oleh keterkejutan.
Respon di luar dugaan. Ragel menggeleng, Retta menarik tangannya. "Gue serius, Ta. Gue sayang sama lo. Gue nggak bisa nganggep lo cuma sebagai temen, Ta."
Melihat kepala Retta yang menggeleng tak percaya, Ragel menghela napas. "Gue serius, Retta!"
"Gel..." Suara Retta bergetar. Dia langsung merasa bersalah. Ragel baik, cowok itu memiliki apapun yang Retta inginkan. Namun, jangan salahkan dirinya yang tidak bisa membalas perasaan Ragel. Hatinya masih terikat pada Regha. Retta tidak pernah bisa menyingkirkan nama Regha yang melekat di sana.
"Gue nggak bisa, Gel...." Retta menggeleng, membuat air mata yang berkumpul di pelupuk runtuh. Semuanya salah, keadaan ini salah. Tidak seharusnya cowok seperti Ragel menyukainya.
Retta hanya perempuan biasa. Yang tidak memiliki kecantikan sempurna seperti perempuan yang lebih pantas Ragel suka. Bahkan Retta yakin Linzy lebih cantik darinya. Kenapa harus dirinya? Kenapa Ragel harus menyukainya?
"Maaf, Gel, gue nggak mau nyakitin lo. Gue nggak mau bohongin perasaan lo," suara Retta semakin bergetar menahan isakan. "Maaf..." Dia merasa bersalah. Sangat bersalah.
"Karena Regha?" ucap cowok itu pahit. "Karena lo masih sayang sama Regha?"
Tatapan nanar yang menyimpan luka itu membuat Retta ingin mati sekarang juga. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Dilingkupi rasa dilema, Retta bingung. Bingung antara menerima cowok itu tapi membohongi perasaannya atau menolak pernyataan itu tapi menyakiti hatinya.
"Jawab gue, Ta," desak Ragel. "Lo masih sayang sama dia, kan?"
Retta ingin menyangkal. Namun, itu kenyataan. Dia masih menyayangi Regha, menyayangi cowok itu melebihi apapun.
Lelaki itu tertawa hambar. "Gue udah tau jawabannya, dari diam lo, Ta."
Kepala Retta terangkat menatap Ragel, air matanya terus bergulir tanpa henti. "Gel, gue..."
"Gue bego," ucap Ragel bergetar. "Gue bego karena sayang sama seseorang yang masih terikat sama masa lalunya!"
Retta sudah tidak mampu menahan deraian air mata yang seakan tak ada waktu lain untuk keluar. Dia menggeleng, menatap wajah Ragel yang penuh kekecewaan.
Tubuh lelaki itu tercondong mendekat pada Retta. "Kalo lo masih sayang sama Regha, kenapa lo nolak saat Regha minta balikkan sama lo? Lo malah selalu jauhin dia? Kenapa?"
Retta meremas rok abu-abunya. Wajah Ragel makin mendekat pada Retta. "Lo munafik, Ta! Kalo lo masih sayang sama dia, kenapa lo nggak langsung nerima Regha lagi saat dia minta balikkan?! Lo bohongin perasaan lo sendiri, Ta! Gengsi lo terlalu besar!"
Ragel berdiri sambil memakai jaket kulitnya. "Gue anter lo pulang."
Retta menggeleng, dan berusaha untuk tersenyum. "Gue bisa pulang sendiri," ucap dia susah payah.
Ragel mengangkat dagu Retta untuk bisa melihat wajah perempuan itu. Sebisa mungkin Ragel mengurai senyuman, mengusap air mata perempuan itu. "Mungkin hari ini lo nolak pernyataan gue, tapi gue nggak bisa biarin lo pulang sendiri. Gue yang ngajak lo ke sini, jadi gue juga yang harus nganterin lo pulang."
***
Kegelapan dan kesunyian dalam kamar seakan mengurung Retta pada kesalahan. Diam sambil menatap langit-langit kamarnya dan berbaring di ranjang. Retta masih belum juga menyingkirkan tatapan kecewa yang terlukis di mata Ragel.
Retta salah, tentu saja. Tapi Retta akan lebih bersalah jika dia menerima Ragel. Itu sama saja dia membohongi perasaan cowok itu. Lebih baik seperti ini, setidaknya Ragel tidak akan tersakiti.
Bernapas saja rasanya sangat berat untuk Retta lakukan. Setelah Ragel mengantarnya pulang cowok itu langsung pergi tanpa kata-kata. Bahkan tawaran Retta untuk masuk ke dalam, hanya dijawab suara motor yang melesat.
Ketukan di pintu membuat Retta sejenak bisa menghilangkan pikiran kacaunya. Dia mendongak melihat Fahmi yang berjalan. Kemudian duduk di tepi ranjang.
"Kamu kenapa?" Pertanyaan bersamaan dengan usapan di kepala langsung membuat Retta beringsut bangun.
"Retta nggak kenapa-napa, Yah." Jawabnya lesu.
Ayahnya terlihat tak yakin. "Terus kenapa, pas ayah pulang kamu nggak antusias kayak biasanya?" kening Fahmi mengerut.
Retta hanya menggeleng, tanpa kata.
Fahmi menghela napas dan tersenyum. "Ayah cuma mau ngasih tau, kalo nenek kamu tadi nelpon."
Tubuh Retta menegang, kemudian menoleh tak percaya. "Nenek nelpon?" tanyanya seolah baru saja mendapat berita menakjubkan. "Setelah enam belas tahun, Nenek baru nelpon?"
"Retta," tegur ayahnya karena nada suara Retta. "Mungkin kamu marah atau apapun tapi Ayah mohon jangan bersikap kayak gitu. Dia tetap Nenek kamu."
Kenapa masalah tidak pernah selesai-selesai menimpa Retta? Belum selesai urusan Davel, Ragel dan sekarang neneknya?!
"Nenek ngomong apa?" tanya Retta terdengar malas.
"Nenek minta kamu datang ke Makasar. Nenek sakit dan pengin banget ngeliat kamu," jelas sang ayah.
Retta tertawa hambar. "Pengin ngeliat, Retta?" tanyanya takjub, "ayah bercanda? Nenek nggak pernah mau ketemu sama Retta!"
Fahmi mengulas rambut Retta perlahan. "Itu dulu, sekarang udah beda Retta. Dia kangen kamu dan pengin ketemu kamu."
"Tante Veni—kakak dari ibu, bakal jemput kamu untuk berangkat ke sana. Tapi sebelum itu kamu harus kenal dulu sama dia," sang Ayah mengurai senyuman. "Tante Veni ngajak kamu ketemuan di café untuk kalian berdua saling kenal."
"Tante Veni?" tanya Retta bingung. Dia tidak mengenal siapapun dari keluarga sang ibu. Tante, sepupu-sepupunya. Jangan tanyakan itu, Retta sama sekali tidak tahu-menahu tentang mereka.
"Iya, asal kamu tau, Tante Veni mirip banget sama Ibu."
Mendengar kata-kata ayahnya, Retta tercenung. Dia mendongak menatap mata tulus sang Ayah. "Tante Veni datang ke Jakarta cuma karena mau jemput Retta?"
"Nggak..." ayahnya menggeleng. "Dia emang tinggal di Jakarta—ayah juga baru tau." sang ayah tertawa pelan.
Lagi-lagi Retta dibuat tertegun. Tantenya tinggal di Jakarta?
TBC(24-02-18)
Aping♡
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top