R-R46: Rencana Dimulai
KEADAAN kantin yang berisik dan penuh dengan orang-orang berlalu lalang, tetap tidak bisa melunturkan pesona ketiga cowok yang sekarang sudah duduk di tengah meja kantin, sorotan para perempuan terpusat padanya.
Hingga cowok yang lebih banyak menarik perhatian mereka memanggil seorang perempuan yang tengah mengantri di stan bakso. Perempuan itu bersama sepupu dari sang cowok, yang bukan lain ialah Regha.
Regha menarik Retta dan Linzy untuk duduk di mejanya, yang sontak mendapat lebih banyak perhatian dari sebagian populasi kantin.
"Gue boleh nambah kan, Ven?" pinta Zion dengan wajah sok manis.
Setelah acara serah terima jabatan di aula tadi, Arven mengajak kedua temannya untuk menunaikan janji yang sempat diucapkan. Sebenarnya dia tidak pernah menjanjikkan itu, tapi entah kenapa cowok tengil yang bisa menjadi sahabatnya itu terus menodongnya, meminta traktiran jika bisa memenangkan jabatan sang ketua osis.
Arven menghela napas perlahan. Sangat sabar dirinya memiliki sahabat seperti ini. "Kalo lo mau nambah tinggal nambah, kan Yon. Yang penting kan gue yang bayar."
Zion menyengir sambil mengacungkan jempolnya. Jika soal makanan gratis atau apapun yang tidak melibatkan uang sakunya, Zion akan selalu berdiri paling depan.
Setelah mendapat perizinan dari Arven, tentu saja dia langsung memesan baksonya pada Kang Maman. Meski dia yang sejak tadi banyak bercoleteh, paling berisik, tapi dia yang paling peka. Apalagi soal perempuan, Zion pakarnya. Tapi ini bukan tentang perempuan, ini tentang Regha yang sedari tadi sudah bermetamorfosis menjadi patung hidup.
Mangkok bakso itu hanya tergeletak bisu, persis seperti pemiliknya yang hanya diam sejak tadi. Bahkan Retta yang sudah duduk di sebelahnya tak diacuhkan.
"Kasian banget, Gha, baksonya lo anggurin gitu," perkataan Zion berhasil menyentak Regha dari lamunan. "Daripada lo anggurin mending lo apelin atau kalo boleh lo jerukin."
"WOAHH SANTAI MAS BRO!" Zion langsung mengangkat tangannya saat mendapat pelototan Regha. Seolah mata Regha bisa kapan saja menembakkan laser padanya. Seperti yang ada di Film kartun. Kok goblok ya...
"Lo kenapa sih, Gha? Dari tadi diam mulu, ditolak Retta lagi pas mau minta balikkan," celetuk dia santai sambil menyuapkan kuah ke mulutnya.
Bahkan Zion tidak peduli dengan Retta yang tersedak kuah bakso dan bola mata Regha semakin melebar. Seharusnya mulut Zion memang harus dirukiyah. Agar Jin-jin atau para setan itu keluar dari mulutnya yang sangat tak kenal tempat.
"Emang bukannya udah ditolak." Ini lagi satu, Linzy malah ikut-ikutan. Retta melotot pada Linzy, dan orang yang dapat pelototan hanya memasang senyum lebar.
Zion terbahak keras-keras hingga membuat setengah populasi di kantin menoleh. Hanya beberapa detik orang-orang itu akhirnya kembali pada dunianya masing-masing.
"Gimana ya," Zion lagi-lagi bersuara. "Kalo satu sekolah tau, Regha cowok populer di sekolah, yang katanya paling ganteng—eh nggak-nggak cowok paling ganteng gue."
"NAJIS!" Linzy menyahuti ucapan terakhir Zion. Tapi ucapan itu tak dipedulikan oleh Zion seolah hanya angin lewat.
"Ditolak sama mantannya saat minta balikkan." Kali ini Zion berbisik di meja mereka. Dan ucapan itu berhasil menjadikkan mata Regha dan Retta benar-benar membulat penuh. "Padahal kalo di novel-novel, mantan cewek yang selalu ngejar-ngejar, ini malah kebalik." Zion geleng-geleng kepala.
Regha mengembuskan napas kasar. Zion benar-benar harus dibawa ke rumah sakit jiwa. Dia tahu cowok itu tidak ada maksud apapun, hanya menganggapnya gurauan. Tapi tetap saja itu menusuk harga diri Regha.
"Lo bisa nggak sih sehari aja nggak bercanda, Yon?" tanya Arven.
Zion menoleh pada Arven, lalu mengedikan bahu. "Hidup itu nggak harus selalu dibawa serius, kan?" tanya dia balik sambil tersenyum lebar, menampakkan dagunya yang terbelah.
Arven mendengus sebelum beralih pada Regha. "Lo emang ada masalah, Gha?"
"Nggak ada," jawab Regha tenang.
"Nggak berarti iya," entah kenapa mulut Zion tidak bisa berhenti berceloteh. "Itu salah satu kode cewek."
"Gue bukan cewek!" Regha memelotot.
"Kenapa cewek jadi dibawa-bawa?" Linzy tersinggung. "Cewek nggak akan main kode, kalo cowoknya cepet peka."
"Cowok bakalan peka, kalo cewek ngomong langsung gak pake bahasa isyarat." Zion merasa tidak terima.
"Woy udah-udah, gue lagi nanya kenapa jadi bahas yang lain!" Arven menghentikan aksi lempar pelototan Linzy dan Zion.
"Lo serius nggak ada masalah?" Arven tidak akan berhenti bertanya kecuali dia sudah mendapat jawabannya langsung.
"Lo belum ngasih tau Arven, Gha?" Retta menatap Regha yang tengah membalas tatapannya. Cowok itu menggeleng.
"Ngasih tau apa?" kening Arven mengerut.
Regha menarik napas panjang, sebelum melepaskan dengan perlahan. Dia tersenyum kecut pada Arven. "Dua hari kemarin gue ketemu Davel."
Sesaat tubuh Arven terasa kaku, dia tercenung sebentar. Sebelum membuka suara lagi. "Davel?" tanyanya pahit.
Regha mengangguk, dan memaksakan senyum. "Dia ngasih tau gue kalo sepupunya sekolah di sini, dan dia nyuruh sepupunya itu untuk ngintai gue—entah apa maunya. Itu yang ngebuat gue kepikiran," Regha menghela napas gusar. "Tapi yang ngebuat gue makin kepikiran adalah dia ngasih tau gue kalo dia bakal jadi lawan gue di pertandingan boxing antarsekolah nanti."
Kali ini Arven benar-benar terpaku. Otaknya mendadak buntu. Bibirnya terkatup bisu.
Zion dan Linzy tentu tahu siapa yang tengah mereka bertiga bicarakan. Walaupun begitu, mereka tidak ingin terlibat dalam pembicaraan mereka.
"Mungkin dua tahun lalu gue bisa ngabisin dia karena emosi. Tapi gue nggak yakin bakal bisa ngabisin dia saat di pertandingan. Walaupun gue marah dan benci sama dia," Regha tersenyum getir. "Dia tetap sahabat kecil gue."
Kelima orang itu benar-benar terdiam, menghasilkan keheningan yang menjalar di sekelilingnya. Hingga keheningan itu terputus lantaran ponsel Regha dan Arven yang bergetar.
Mengambil ponselnya di saku celana, Regha menggeser layar, ibu jarinya menggulir pesan-pesan line yang sangat penuh oleh chat-chatan tidak jelas dari perempuan yang tidak dikenalnya.
Sampai, ibu jarinya mendadak berhenti bergerak. Pelinghatannya membulat tak percaya membaca pesan grup alumni SMP-nya.
Dia mendongak cepat pada Arven, dan ternyata temannya itu juga mendongak membalasnya.
"Reuni?" ucap mereka berbarengan.
Retta menghentikan acara makannya dan ikut menaikkan pandangan, menatap Arven dan Regha secara bergantian. Entah kenapa selera makan Retta menghilang karena ucapan itu.
Zion memutar matanya malas. "Lo berdua kompak banget sih. Seharusnya kalo mau kompakkan ajak-ajak gue."
Arven mendelik pada Zion. Lalu terdiam untuk berpikir. "Kenapa mendadak begini? Kenapa baru sekarang sekolah SMP kita ngajak reuni?"
Tanpa bisa dicegah tangan Regha terkepal. "Apa ini rencana Davel?"
Keheningan itu sempurna mengelilingi meja mereka. Sampai satu suara memecah keadaan tak mengenakkan itu. Mereka semua mendongak cepat dan mendapati Farah yang sudah berdiri di samping Regha.
"Kenapa Far?" tanya Regha langsung.
"Ganggu aja," gumam Linzy, tapi gumaman itu terdengar jelas di telinga Retta, yang memang duduk di sebelah perempuan itu.
"Lo apa-apaan sih, Zi." Retta ikut bergumam.
"Hari ini jadi kan, Gha buat beli bahan-bahan tugas kelompok?" Farah bertanya.
Regha terdiam, seolah baru teringat tugas kelompoknya. Bodoh umpat Regha dalam hati. Lantaran pikirannya dari dua hari lalu berkecamuk oleh Davel dia jadi melupakan tugas itu. Tapi lebih bodoh lagi karena Regha sudah menjanjikan pulang bersama Retta.
Gimana nih?
Seakan bisa melihat kegelisahan Regha, Retta tersenyum. "Gue nggak pa-pa, kok Gha kalo pulang sendiri."
Regha menoleh cepat ke arah Retta. Perempuan itu tersenyum tulus. Bingung memerangkap Regha, apa yang harus dia lakukan? Tugas kelompok itu penting tapi dia tidak enak hati dengan membatalkan janji itu. Sial kenapa jadi rumit begini?
"Kalo emang lo udah janji sama Retta," Regha berpaling pada Farah. "Kita kerja kelompoknya hari lain aja, nggak usah hari ini." Farah tersenyum.
Siapapun pasti bisa dibohongi oleh senyum tulus perempuan itu, tapi tentu pengecualian untuk Retta.
"Sorry ya, Far. Gue nggak bi—"
"Jangan!" pekik Retta membuat ucapan Regha menggantung tanpa selesai. "Gue bisa pulang sendiri, jadi nggak apa-apa kalo lo pergi sama Farah. Lagian gue nggak punya hak buat ngelarang lo."
Regha memandang Farah dan Retta bergantian. Dia terdiam, mendadak kepalanya makin terasa pusing.
"Gue kalo jadi lo juga pusing, Gha." Tiba-tiba Zion berbisik di telinganya. "Tapi gue pasti pilih salah satu di antara mereka. Jadi lo juga harus gitu, lo pilih siapa Farah atau Retta. Pilih masa lalu atau masa depan."
Cepat Regha menoleh pada Zion, dan mendapat cengiran andalan cowok itu. Lagi-lagi Regha terdiam, tapi perlahan dia mendongak menatap Farah. "Ya udah hari ini kita jadi kerja kelompok, kayak biasa lo tunggu gue di parkiran pas pulang sekolah."
Rona kebahagian itu kelihatan jelas di wajah Farah. Dia mengangguk pada Regha kemudian tersenyum. Dia juga menoleh pada Retta, mengulas senyuman.
Lalu perempuan itu beranjak pergi dari meja mereka. Sempurna, Retta benar-benar kehilangan nafsu makannya hari ini.
***
"Gue duluan ya, Ta."
Jam pulang sudah berkumandang, bagai surga dunia bagi anak-anak yang kelelahan belajar di sekolah. Semuanya sudah berbondong-bondong untuk pulang sambil menyandang tasnya masing-masing.
Termasuk Retta, dia berdiri di lobi sambil menggeser layar ponselnya untuk memesan ojek online ketika mobil yang sangat dikenalnya berhenti tepat di depannya.
Itu Regha bersama Farah di dalam mobil. Dia tercenung, dan saat mendengar ucapan Regha, dia hanya bisa mengangguk kaku.
"Lo gak pa-pa pulang sendiri, kan?" cowok itu bertanya lagi.
Retta tersenyum. "Gue bener-bener nggak pa-pa. Nanti juga tukang ojeknya dikit lagi sampe." Padahal Retta belum sempat memesannya karena mobil Regha yang berhenti.
"Kita duluan ya, Ta." Itu suara Farah, dia melambaikan tangannya pada Retta. Retta pun jadi membalas lambaian tangan itu sambil tersenyum. Setelahnya, mobil itu melaju meninggalkan Retta.
Retta menarik udara sebanyak-banyaknya, mendadak di sekelilingnya seakan menyempit dan terasa sesak untuk bisa mengambil pasokan udara.
Dia kembali menggulir layar untuk melakukan niat awalnya, memesan ojek online.
"Ngapain mesen ojek. Kalo ada orang yang mau nganter-jemput kemana aja."
Retta mendongak cepat, terlalu cepat sampai matanya jadi ikut terbelalak kaget. Ternyata Ragel, cowok itu sudah duduk manis di atas motornya.
"Mau gue anterin pulang?" Dia bertanya.
Retta ragu. "Emang nggak ngerepotin?"
Ragel menggeleng sambil tersenyum. "Lo nggak pernah ngerepotin gue."
Hanya karena ucapan itu, bisa membuat kedua sudut bibirnya terangkat.
"Mau nggak nih?" Ragel bertanya sambil menyodorkan helm putih di tangannya.
Retta menerima helm itu dengan tersenyum. "Makasih, Gel."
"Belum nyampe lo udah bilang makasih," Ragel terkekeh, Retta jadi ikut tertawa. "Ayo naik."
TBC(21-02-18)
APING♡
__________
Udah part segini aja ya wkwkwk, jangan bosen2 ya sama ceritanya :) dan jangan tanya ini kapan endingnya XD. Tenang aja ini cerita pasti ending :)
Danke♡
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top