R-R43: Problem again
SEPERTINYA baru beberapa menit Regha meninggalkan Retta sendiri, saat tiba-tiba ada ke-empat sepasang sepatu berjejer di depan. Lantas kepalanya terangkat, menyipit menatap empat perempuan yang sudah berdiri di depannya.
Sangat kentara wajah angkuh yang tampak di wajah empat perempuan itu. Retta menyipitkan mata, tatapan mereka naik turun memandangnya. Membangunkan rasa risih di relungnya.
Sekali lihat saja Retta sudah tahu, kalau mereka adalah anak-anak yang suka menghambur-hamburkan uang orang tua. Pergi hang-out bersama teman-temannya, menghabiskan uang dengan pergi shopping. Atau membuang-buang waktu di salon.
Retta bukannya ingin berburuk sangka dengan sifat mereka, tapi hanya melihat penampilannya saja pasti semua orang bisa menilainya sendiri.
"Lo Retta?" tanya perempuan berambut brunette, bulu matanya terlihat lentik, bibirnya bewarna pink cerah. Namun, sayang kecantikan itu hilang karena sikap angkuh yang dia tunjukkan pada Retta.
"Iya." Retta mengangguk santai, tampak tak peduli dengan tatapan mengintimidasi mereka.
"Lo perempuan yang ada di foto ini, kan?" Teman yang berdiri di sebelah kanan perempuan itu menyorongkan ponsel mahal yang berada di tangannya.
Mata Retta lagi-lagi menyipit, memandang foto dirinya yang berada di pelukan Regha. Dia mendengus. "Ya, emang kenapa?"
"Emang kenapa?" perempuan berambut brunette itu mengulang ucapan Retta dengan tajam.
Retta mengangkat bahunya tak acuh. "Emang ada yang salah dengan foto itu?" tanya Retta lagi sambil memakan es krimnya santai.
Emosi itu bangkit di iris hazel miliknya. Dia menghunuskan tatapan tajam pada Retta yang terduduk santai. Sama sekali tidak terpengaruh dengan sikap mereka yang mengintimidasi. Sementara ketiga teman setianya hanya melipat kedua tangan di dada.
Angkuh sekali... Ada keinginan mencakar wajah angkuh mereka di benak Retta. Sikapnya benar-benar tak pantas untuk ukuran anak sekolah.
Tetapi perempuan seperti itu memang tak pernah ingin dikalahkan, bukan? Dia menyenggol es krim milik Retta, hingga es krim itu mengotori seragam putihnya. Iris cokelatnya membulat, melihat noda cokelat di sana.
Sontak Retta bangkit berdiri. "Sebenernya mau lo apa sih?!" tanyanya, kekesalan di benaknya sudah tidak terbendung lagi.
Dia tersenyum miring, kepalanya terangkat, menunjukkan wajah pongahnya. "Dengerin gue, ya, kalo mau hidup lo tenang, dan aman di sekolah ini. Lebih baik lo ngejauh dari Regha dan teman-temannya."
Sekali lagi, Retta dibuat terperangah oleh perempuan tak tahu diri ini. Napasnya berembus kasar, netranya berubah tajam. Retta memang perempuan pendiam, tapi saat dirinya ditindas, dia tidak akan tinggal diam. Dia ini Retta, perempuan yang selalu menjaga harga dirinya agar tetap utuh.
"Lo siapanya Regha?" Retta balik melempar pertanyaan dengan mengikuti nada perempuan itu. "Lo itu bukan siapa-siapanya, jadi lo nggak punya hak buat nyuruh gue ngejauh dari Regha."
Wajah perempuan itu memerah, iris hazelnya semakin berapi-api. Sudut bibir Retta terangkat jadinya. Dia melirik bet nama perempuan itu. Jeslyn. Retta mendengus.
"Lagian, lo tuh buang-buang waktu dengan nge-bully cewek-cewek yang dekat sama Regha," Retta tersenyum prihatin. "Cara lo itu malah ngebuat Regha ilfeel sama lo."
"Gila dia berani sama, Jessy," bisik temannya yang berdiri di ujung kiri, ke teman sebelah kanannya.
"Gue yakin dia udah balikkan sama Regha," sahut temannya. "Kalo nggak, nggak mungkin dia berani kayak gitu."
"Tapi Farah gak berani sama kita, walaupun dia dekat sama Regha."
Bisik-bisik dua orang di antara keempat perempuan itu, masih bisa Retta dengar. Dan nama Farah disebut, membuat alis Retta tertaut. Jadi bukan hanya dirinya yang di-bully oleh perempuan bernama Jessy ini. Tapi juga Farah?
"Gue cuma ngasih tau aja sih," Retta kembali bersuara. "Seenggaknya gue pernah jadi milik Regha, enggak kayak lo yang sibuk nge-bully sana-sini tapi nggak pernah dapetin Regha," kata Retta sambil tersenyum kemenangan.
Cukup sudah! Ucapan itu benar-benar menyentil harga diri Jessy. Wajah perempuan itu sudah memerah seperti kepiting rebus. Tangannya terkepal, netranya sudah bersiap untuk membunuh orang.
"LO?!" Telunjuknya teracung pada Retta, lantaran tidak ingin terlihat dikalahkan, tangan perempuan itu terangkat. Retta terperanjat dan hanya bisa menutup mata.
Satu... dua... tiga...
Retta menghitung dalam hati, tapi tidak merasakan apapun. Dia perlahan membuka mata. Lebih terkejut lagi karena melihat Arven menahan tangan Jessy dengan sebelah tangan. Sebelah tangannya dipakai untuk membawa setumpuk buku.
"Arven..." gumam Retta pelan.
Arven menoleh pada Retta sebentar, sebelum kembali menatap Jessy dengan dingin. Dia menyentak tangan perempuan itu kasar, hingga jessy mengaduh kesakitan.
"Sakit, Ven!" kata jessy sambil memasang wajah polos.
Cowok itu menghela napas. "Farah, lima adik kelas, tujuh teman angkatan dan sekarang Retta. Sebenarnya lo mau apa?"
Wajah Jessy berubah salah tingkah, dia tergagap. Namun, detik berikutnya dia tersenyum manis seolah tidak terjadi apa-apa tadi.
"Arven," perempuan itu tersenyum, bergerak mendekat pada Arven lalu melingkari tangannya di tangan cowok itu. "Aku cuma mau ngasih pelajaran cewek ini," Mata Jessy menatap Retta tajam. "Dia cewek yang udah ninggalin sahabat kamu tanpa alasan, kan?"
Kening Retta mengernyit jijik. Aku? ingin sekali Retta muntah mendengarnya. Ditambah lagi, sikap cewek ini yang berubah drastis, menampilkan raut semanis mungkin.
Menjijikan! Lagipula bukannya perempuan itu menyuruhnya untuk menjauhi Regha. Tapi sekarang lihatlah dia malah berusaha mendekati Arven.
Arven menarik tangan Jessy, agar terlepas dari tangannya. "Gue nggak mau denger alasan lo lagi," ujar Arven dingin. "Mending sekarang lo pergi, sebelum gue laporin perbuatan lo ke guru BK."
Jessy memberengutkan bibirnya, memandang Arven. Sebelum menatap Retta dengan tajam. Dia menghentak-hentakkan kakinya marah lalu pergi diikuti ketiga temannya.
"Lo nggak pa-pa?"
Pertanyaan Arven sontak membuat Retta mengalihkan pandangannya dari punggung Jessy yang menjauh. "Gue nggak pa-pa, thanks ya, Ven." Retta tersenyum.
Arven mengangguk, mimik wajahnya masih saja datar. "Lo bukannya lagi sama Regha?"
"Iya, tadi gue sama Regha tapi dia lagi ke kantin sama Farah, katanya mau diskusiin tugas kelompok sama anak-anak lain." Jawab Retta. Dia memandang wajah Arven yang seperti sedang berpikir. "Lo habis kemana?" tanyanya.
Arven menoleh lagi menatapnya. "Abis dari perpus."
Retta terkekeh menatap setumpuk buku di tangan Arven, sebelum kembali menatap cowok itu. "Ternyata lo gak berubah ya, masih aja pacaran sama buku." Retta tertawa. "Pantes aja Andien putusin lo."
Arven tersenyum tipis—sangat tipis. "Lo juga sebelum pacaran sama Regha, cuma ditemenin sama buku-buku," kali ini Arven terkekeh. "Gue duluan ya."
Retta mengangguk, tersenyum. Memandang punggung Arven yang perlahan menjauh. Dia menoleh ke samping kiri, dan seketika tertegun melihat Farah dan Regha yang tengah berjalan bersama sambil tertawa. Awalnya Retta hendak untuk menghampiri, namun bunyi bel masuk mengurungkan niatnya.
***
"Lo beneran hampir dibully jessy?" itu sepertinya pertanyaan yang ke sepuluh kali yang Linzy lontarkan. Pertanyaan yang sama hingga Retta bosan mendengarnya.
"Iya," jawabnya sambil menyandang tas keluar kelas diikuti kedua temannya itu.
Bel pulang sudah berkumandang bagai surga dunia bagi semua murid. Lorong kelas sebelas mulai berisik dengan anak-anak yang beramai-ramai berjalan mendekat ke arah tangga.
"Tuh cewek bener-bener!" Linzy mulai gregetan sendiri. "Gue bingung dia maunya apa sih! Gangguin sepupu gue mulu! Kalo nggak Regha, Arven yang digangguin! Terus tadi dia ngapain lo?"
"Dia nggak sempet ngapa-ngapain gue. Cuma hampir nampar, tapi untungnya ada Arven." kata Retta menjelaskan.
"Arven?" Shena mengerutkan keningnya. "Bukannya lo dari tadi sama Regha?"
Linzy juga baru sadar. Dia menoleh pada Retta dengan alis tertaut, meminta penjelasan.
Retta menunduk lesu, melangkah menuruni tangga bersama Linzy dan Shena. "Ya, emang. Tapi tadi Farah dateng, ngajak Regha ke kantin. Ngerjain tugas kelompok."
Shena dan Linzy yang berdiri di sisi kanan-kiri Retta terbelalak.
"Lo seriusan?!" Linzy hampir berteriak di telinga Retta.
"Seriuslah!" Retta balas berteriak.
Shena diam, namun, diam-diam otaknya berpikir keras. "Kok sepupu lo, pilih kasih sih, Zi?" Mendadak Shena melemparkan pertanyaan itu, hingga membuat Retta dan Linzy bersamaan menghentikan langkah. Berhenti di undakan tangga.
"Maksud lo?" tanya Linzy tak mengerti, apalagi Retta, dia mengernyit menatap Shena.
Perempuan itu juga menghentikan langkah menatap kedua temannya. "Lo lupa sama kejadian Farah yang dibully?"
Linzy memelotot, mengode Shena untuk tidak melanjutkan perkataannya. Linzy sangat paham kata-kata Shena akan berlanjut ke arah mana. Tapi, memang Shena kurang peka. Dia tetap melanjutkan perkataannya.
"Emang apa hubungannya sama Regha?" tanya Retta, masih dengan kebingungan.
Linzy menggeleng, mengibaskan tangan ke kanan-kiri. Tapi itu tetap saja tidak ditangkap oleh Shena.
"Waktu itu Farah dibully sama jessy and genk's di gudang. Gue nggak tau juga sih, Farah diapain sama mereka, tapi yang gue tau Farah sampai nangis, terus—seperti cowok-cowok yang ada di dramkor, Regha dateng, nyelamatin Farah."
Shena berhenti sejenak untuk bercerita. Mereka bertiga kembali melanjutkan langkah menuruni tangga. Linzy masih terus berusaha mengode Shena untuk berhenti berbicara. Namun usahanya sia-sia.
Hingga Shena kembali membuka suara. "Dan yang lebih parahnya lagi, Regha nenangin Farah yang nangis sesegukan dengan..." Shena merentangkan tangan, lalu memeluk tubuhnya sendiri. "Pelukan."
Retta tercenung. Perlahan langkahnya terhenti. Sementara Linzy menepuk jidatnya. Shena bego!!
"Pelukan?" tanya Retta lirih.
Dan bodohnya Shena mengangguk semangat. "Iya! Parah kan? Kenapa saat lo digituin dia nggak dateng? Malah sibuk sama Farah. Padahal kan..."
Seolah tali-tali otaknya baru kembali menyatu. Shena terdiam, menggantungkan kata-kata. Mendongak melihat wajah pias milik Retta. "Ehh... so-sorry, Ta. Gue nggak ada maksud—" Shena meringis menoleh pada Linzy yang tengah menatapnya tajam.
Retta mengulas senyum tipis. "Gue nggak pa-pa."
"Jangan terlalu dipikirin, Ta, ucapan Shena." kata Linzy mencoba menenangkan.
"Gue nggak kenapa-napa, tenang aja." Sekali lagi Retta berusaha untuk tersenyum, meski kata-kata itu terngiang-ngiang di pikiran.
Seruan seseorang membuat mereka bertiga menoleh. Ternyata Regha. Cowok itu menuruni tangga terburu-buru, lalu berhenti tepat di depan Retta. Tanpa mengucapkan sepatah-kata pun cowok itu menarik tangan Retta. Bahkan tak acuh dengan seruan protes Linzy dan Shena.
Regha melepas tangan Retta tepat di dekat mading sekolah, di koridor dekat pintu kaca menuju lobi. Cowok itu menatap Retta lekat, dan langsung membuat pipi Retta terasa panas.
"Apa?" tanya Retta ketus untuk mengalihkan rona merah yang tercipta di pipi.
"Lo nggak apa-apa?" Regha bertanya, dengan napas yang tak beraturan.
Retta mengernyit tak paham. "Emang gue kenapa?"
Regha memutar matanya malas, tangannya terjulur, bersandar pada dinding belakang Retta. Melihat jarak wajahnya dengan Regha, kontan membuatnya membuang muka.
"Arven bilang lo hampir dibully sama Jessy," ucap Regha. Oh... Retta mengerti sekarang, dia kembali memutar kepalanya menghadap Regha. "Kenapa lo nggak cerita ke gue, malah ngehindarin gue dari jam istirahat kedua."
Retta menunduk, menarik napas pelan. "Gue nggak ngehindarin lo, gue cuma nggak mau ganggu lo aja yang lagi sibuk ngerjain tugas kelompak bareng Farah."
Regha terdiam sesaat, sebelum menampakkan senyumnya. Dia menatap Retta penuh arti. "Ikut gue yuk!"
Mata Retta lantas mengerjap. "Kemana? Bukannya hari ini lo latihan basket?"
Regha menggeleng. "Nanti gue izin," Dia mengikis jaraknya dengan Retta, hingga membuat sang perempuan menahan napas. Regha tersenyum. "Gue mau ngajak lo ke suatu tempat."
TBC(10-02-18)
APING♡
_________
Part ini nggak aneh kan?
Wkwk.
Semoga suka :) Jangan bosen2 ya sama ceritanya ^^
Danke♡
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top