R-R41: Problem Forgetten

SEDIKIT tergesa-gesa Retta menuruni tangga, sebelumnya saat masih bercermin di kamar sambil memakai bandana putih di kepala, dia mendengar bel rumahnya berbunyi. Tanpa melihat siapa yang datang, Retta sudah bisa menebak siapa yang sudah bertamu pagi-pagi. Bayangan di cermin tersenyum.

Retta langsung mengecek seluruh atribut seragamnya, lalu menyandang tasnya keluar kamar. Diundakan tangga kelima Retta berhenti, memandang lelaki yang baru saja melewati ruang tamu, dan ikut berhenti di dekat tangga. Kepala Regha mendongak, menatap Retta. Senyum pun sudah terulas di sana.

Pembantu Retta, Bi Sani berdiri di samping Regha. Mungkin tadi Bi Sani yang membukakan pintu, beliau terus berceloteh mengatakan kalau dirinya sangat merindukkan 'Den Regha'—Panggilan yang selalu Bi Sani gunakan untuk Regha.

"Udah dua tahun ya, Den, kita nggak ketemu." Bi Sani terlihat menghela napas lesu. "Sejak Bapak pindah ke Bandung, Den Regha jadi nggak bisa ketemu sama Non Retta. Jadinya Non Retta di sana keliatan murung terus."

"Jangankan Non Retta, Den. Bibi juga sedih nggak ketemu Den Regha. Jadi nggak bisa cuci mata."

Untuk lontaran kali ini Retta tertawa. Bi Sani memang selalu mengucapkan kata-kata frontal. Sementara Regha hanya terkekeh mendapat pujian tak langsung itu.

"Tapi sekarang Bi Sani senang banget Den balik ke Jakarta, ketemu Den Regha lagi. Den Regha makin kasep sekarang."

Retta melongo mendengar pujian itu, dasar Bi Sani yang terkadang suka lupa umur. Tiga undakkan tangga terakhir, Retta turuni, saat bersamaan dengan kamar dekat tangga terbuka—kamar ayahnya—orang tua itu sudah rapi dengan jas dan dasi yang melekat di sana.

"Pagi Om." Lantas Regha menyapa, bergerak menyalimi ayah Retta itu.

"Jadi pagi-pagi yang bertamu itu kamu." Fahmi tersenyum, yang dibalas senyuman juga oleh Regha.

"Iya, Om, saya pengin..."

"Jemput Retta untuk berangkat sekolah bareng." Langsung saja, Fahmi memotong ucapan Regha. Nada jahil tersirat di sana.

Pipi Retta kontan bersemu merah. Regha terkekeh, tanpa canggung sedikitpun. "Iya Om, nggak apa-apa, kan Retta berangkat bareng saya."

"Emang Om pernah larang kamu untuk jemput Retta?" tanya balik ayah Retta dengan senyuman jahil.

Regha menggeleng sambil tersenyum.

Fahmi ikut mengangkat kedua sudut bibirnya, menepuk bahu Regha. "Om kira kalian berdua lagi berantem. Karena setelah Retta balik lagi ke Jakarta, kalian kayak jaga jarak. Bahkan kamu nggak pernah jemput Retta lagi, Gha. Kenapa?" Fahmi menatap Regha dan Retta bergantian.

"Kita berdua, nggak kenapa-napa kok, Yah." Retta tersenyum tipis, melirik Regha yang berdiri kaku sambil balas menatapnya. Retta mengangguk meyakinkan.

Ayahnya pun akhirnya hanya mengangguk, dan Retta harus berterima kasih pada Bi Sani yang mengajak ke ruang makan untuk sarapan pagi. Jadi ayahnya tidak akan melihat wajahnya berubah pucat hanya karena pertanyaan itu.

Dia dan Regha sudah sama-sama berusaha untuk tidak mengingat itu semua. Melupakan sebisa mereka, dan memulai dari awal. Meski sebatas teman.

"Den Regha udah sarapan?" tanya Bi Sani saat semuanya sudah duduk sempurna di meja makan.

"Udah, Bi, saya udah sarapan." Regha menjawab.

"Yah..." wajah Bi Sani berubah lesu. "Tapi Bibi udah buat nasi goreng spesial untuk Den Regha, dimasak dengan penuh cinta."

Mata Retta membulat, sementara Regha terkekeh.

"Kalo, Den Regha udah sarapan, nasi gorengnya Bi Sani taruh di tempat makan aja ya, supaya bisa dimakan di sekolah." usul Bi Sani sambil bergerak ke meja pantry.

"Eh, nggak usah Bi ngerepotin..."

"Nggak ngerepotin kok, Den." Potong Bi sani, sambil memasukkan nasi goreng di wajan ke dalam tempat makan. "Lagian Den Regha nggak pernah ngerepotin Bibi."

"Nggak pernah ngerepotin, ya Bi?" Retta mengulangi ucapan Bi Sani.

"Aduh... Non Retta jangan cemburu, gitu ah." Bi Sani berucap sambil menutup tempat makannya. "Den Regha nggak mungkin suka sama Bibi. Jadi nggak usah cemburu."

Sekali lagi mata Retta membulat, pipinya terasa panas. Apalagi mendengar ayahnya yang terkekeh dibalik koran bacaannya. Dan jangan tanya wajah Regha yang sudah berubah menyebalkan.

***

Di dalam mobil Retta hanya diam, tangannya saling memilin, rasa gelisah melandanya. Dan Regha menyadari itu, dia menginjak rem saat melihat lampu lalu lintas berubah merah.

"Lo kenapa sih?" tanya Regha tanpa basa-basi.

"Ah..." Retta mendongak, baru tersadar, dia berdeham. "Gue nggak pa-pa." Retta mengulas senyum. "Oh, iya, Gha jadi sekarang lo nggak pernah diantar jemput sama Pak Wawan lagi dong ya. Lo kan udah bisa nyetir sendiri," Dia tertawa. "Padahal dulu, dia selalu jemput lo. Dan cuma Pak Wawan yang tau kalo kita pacaran."

Retta terkekeh sendiri, seperti orang gila. Sementara Regha menatap serius dirinya. "Nggak usah ngalihin pembicaraan, Ta. Lo kenapa?"

Tenggorokkan Retta terasa kering, dia meneguk ludah susah payah. Retta memandangi Regha yang kembali mengemudikan mobilnya karena lampu lalu lintas berubah hijau.

"Gue takut, Gha..." gumam Retta pada akhirnya.

Regha menoleh sekilas, sebelum fokus kembali pada jalanan. "Takut kenapa?"

Retta mendengus kesal. Regha memang tidak tahu atau pura-pura tidak tahu. Tentu saja Retta takut. Dia jadi seperti ini karena mendadak di grup sekolahnya, ada orang yang mengirimkan foto Regha yang memeluknya di pantai, bahkan ada foto Regha yang tengah menggotongnya karena pingsan. Dan jangan lupa dengan foto Regha yang tengah menggenggam tangannya saat berbaring di tempat tidur.

Karena semua foto-foto itu, mendadak semua anak angkatannya menebak langsung kalau Retta adalah mantan Regha—entah kenapa mereka semua bisa menyimpulkan secepat itu. Dan berita itu menyebar luas dengan cepat, bukan anak angkatannya saja, tapi juga kakak kelas dan adik kelasnya.

Melihat kembali raut wajah Retta, Regha menghela napas. Dia mengerti sekarang. "Karena foto itu?"

Retta mengangguk lesu.

"Emang kenapa kalo mereka semua tau kalo lo mantan gue. Lo malu?" tanya Regha tanpa menatap Retta.

Retta menabok punggung Regha. "Gue nggak malu, gue cuma benci jadi sorotan sama bahan cibiran."

Regha tersenyum geli menatap Retta yang memberengutkan bibirnya. "Ya udah nggak usah cemberut gitu." Dia mencubit bibir Retta yang maju. "Lagian buat apa lo takut, kan ada gue."

Retta tertegun. Sial. Sudah berapa kali pipinya memerah pagi ini.

***

Baru saja Retta keluar dari dalam mobil, cibir-cibiran dan berbagai komentar sudah memasuki indra pendengarannya.

"Tuhkan! Mereka berangkat bareng, gue yakin mereka balikkan."

"Gila ya tuh cewek udah ninggalin Regha, tapi Regha tetap sayang sama dia. Beruntung banget."

"Ceweknya aja kali yang kegatelan minta balikkan."

Retta meremas roknya, menghilangkan keringat yang mendadak membasahi telapak tangan. Dia benci posisi ini, dia benci saat orang-orang menginjak-injak harga dirinya. Menghela napas, Retta berusaha untuk menutup rapat-rapat telinganya, untuk tidak peduli dengan bisikkan penuh cibiran tersebut.

Namun sejenak, Retta mengabaikan perkataan para perempuan itu saat sebuah telapak tangan menggenggamnya. Hangat. Dia mendongak, dan melihat wajah Regha yang sudah menampilkan senyuman.

Senyuman Regha seolah menghipnotisnya, membuat sudut bibirnya ikut terangkat. Dan sepenuhnya, Retta bisa tak mengacuhkan tatapan para perempuan yang berlalu lalang di sampingnya. Mereka berdua melangkah menaiki tangga lobi menuju lorong kelas. Dan membiarkan tangan mereka yang saling tertaut.

***

Sementara itu, Farah tengah memasang poster di mading, saat Nesha temannya menyenggol bahunya. Dia menoleh dengan raut bertanya. Nesha memberi kode untuk menengok ke samping kiri, dan tentu saja Farah lantas mengikuti.

Secepat menoleh, secepat pula raut wajahnya berubah. Dia tertegun melihat Regha dan Retta yang berjalan bersama, kedua orang itu tak peduli dengan orang-orang yang menatapnya. Bahkan mereka tak segan-segan untuk tertawa bersama dibawah tatapan semua orang.

Farah semakin dibuat bergeming di sini lantaran melihat tangan mereka yang saling menggenggam.

"Gue yakin mereka balikkan, kesempatan lo untuk dapetin Regha hilang Far."

Tangan Farah mengepal, mendengar ucapan Nesha yang sangat tepat menusuknya.

"Lagian lo baperan sih, Far. Udah tau Regha emang baik sama siapa aja, tapi perhatian dari dia malah lo masukkin ke hati." ujar Nesha dengan santai.

Tatapan mata Farah terfokus ke arah mereka berdua. Kedua langkah kaki orang itu semakin mendekat ke arahnya.

Tawa mereka berhenti dan menyapa Farah yang tengah berdiri kaku.

"Hai, Far," sapa Regha, Farah menatap cowok itu diam. Dan berusaha untuk menyingkirkan pikiran kalutnya.

"Hai, Gha." Farah tersenyum manis, "hai Retta."

Retta pun hanya membalas dengan senyum tersungging.

"Lo cewek yang ada di foto, kan?" Nesha berkata tanpa basa-basi sambil menunjuk Retta, perempuan yang ditunjuk pun hanya diam. "Lo mantannya Regha, cewek yang ninggalin Regha itu, kan?"

Farah menyenggol bahu temannya untuk tidak mengucapkan kata-kata yang keterlaluan.

Kening Regha mengerut. "Lo nggak tau apapun," senyum Regha kembali terulas. "Jadi jangan asal nge-judgje."

Perempuan yang kebetulan sekelas dengannya dan teman sebangku Farah itu tersenyum sinis padanya. "Kalian balikkan?"

Lagi-lagi, dia mengeluarkan pertanyaan yang sangat tidak pantas untuk ditanyakkan. "Emang kenapa kalo kita balikkan?" tanya Regha dengan alis terangkat.

"Ya, nggak pa-pa," Nesha berucap cuek. "Sayang aja, cowok ganteng kayak lo mungut sampah."

Farah melotot pada Nesha. Sedangkan sindiran tak langsung itu, membuat mata Retta membulat penuh, tak percaya dengan kata kasar perempuan itu. Retta bisa merasakan tangan Regha yang semakin erat menggenggamnya.

"Sampah?" ulang Regha dengan nada tajam.

"Iya..." Nesha mengangguk tak peduli dengan nada itu. "Mantan itu ibarat masa lalu yang dibuang bukan, ya sama aja kayak sampah."

"NES!" ucap Farah penuh peringatan.

Nesha menoleh, dari matanya dia seolah mengatakan 'Gue-lagi-bantuin-lo-jadi-diam-aja'. Dan pada akhirnya Farah memilih tak bersuara.

"Maaf ya, Nes," ucap Regha tenang. "Pemikiran lo itu salah banget. Mantan itu, seseorang yang pernah hadir di hidup lo. Seseorang yang pernah lo sayang. Bahkan kalian pernah jalan bareng dan ketawa bareng."

Regha tertawa pelan. "Jadi menurut gue mantan itu orang yang pernah mengisi kebahagian lo di masa lalu. Bukan sampah."

Setelah mengucapkan kata-kata yang mengunci rapat mulut tajam Nesha. Regha membawa Retta menjauh.

Farah menoleh pada Nesha yang masih mematung di tempat. Setelah kesadarannya pulih, Nesha menoleh pada temannya itu.

"Gue bilang apa," Nesha terkekeh sendiri. "Regha masih sayang banget sama cewek itu, kalo nggak sayang nggak mungkin Regha ngebelainnya sampe segitunya. Lagian itu cewek yang ngebuat Regha dijulukin cowok gamon, kan."

Nesha tersenyum prihatin. "Udahlah, Far lupain Regha."

"Feeling gue bilang kalo mereka nggak balikkan," Farah tersenyum cerah. "Dan perempuan itu cuma masa lalu Regha, yang belum tentu jadi masa depannya."

TBC(03-02-18)
      APING

_________

Yeayyy aku balik lagi setelah kemarin berkutat sama angka-angka, sekarang balik lagi sama huruf-huruf wkwk.

Semoga part ini nggak ngebosenin ya karena panjang, makasih :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top