R-R40: Back Together?
DARI kamar di dekat ruang tamu, anak perempuan berusia delapan tahun itu keluar. Rambut cokelat yang menggulung, dibiarkan tergerai jatuh di pundak. Kakinya melangkah ke arah sofa. Mendekati sang Ibu yang tengah duduk santai sambil menonton siaran televisi.
"Ibu?" panggilnya.
Wanita paruh baya itu sontak menoleh dan tersenyum melihat putri kesayangannya, lalu menepuk-nepuk sofa yang didudukinya. "Duduk Sini, Retta, samping Ibu."
Gadis itu, Retta menuruti perintah Rania, ibunya. Senyum manis sudah bertengger di bibir mungilnya. "Ibu?" panggilnya lagi.
"Ya, sayang?" Kini tatapan Rania sepenuhnya terfokus pada Retta. Mengabaikan siaran yang sejak tadi ditontonnya.
"Tahun ini, kita ke rumah nenek?" tanyanya dengan wajah polos.
Senyum Ibunya yang sejak tadi tak pernah luntur di wajah, sekejap menghilang hanya karena pertanyaan itu. "Retta kangen nenek?"
"Iya," Retta mengangguk. "Kita kan nggak pernah ke rumah nenek, setiap kali kita ke sana, nenek marah, nggak mau ketemu sama Retta."
Ibunya menghela napas, mengusap kepala Retta. Rania tersenyum. "Nenek nggak marah sama Retta."
"Kalo nenek nggak marah, kenapa kalo kita ke sana, nenek selalu ngusir ibu, ayah, dan Retta?"
Tatapan polos Retta yang melontarkan pertanyaan itu, sanggup membuat Ibunya tertegun. Untuk beberapa saat, Rania hanya membisu. Hingga senyum getir itu menampakkan diri.
"Nenek nggak marah sama Retta tapi... marah sama Ibu."
Selalu seperti ini, setiap kali ibunya menceritakan sang nenek —orang yang melahirkannya—ibunya selalu sedih, bahkan menangis. Retta hanya gadis berusia delapan tahun yang tak mengerti urusan orang dewasa.
Air mata itu membasahi pipi Rania, namun dengan cepat dia menghilangkannya. Di sini, yang Retta bisa lakukan hanya memeluk ibunya itu.
Rania membalas pelukan Retta, mengusap rambut cokelat panjangnya.
"Nanti saat Retta udah besar, janji ya sama ibu, kalo Retta nggak akan benci sama seseorang hanya karena satu kesalahan." Terdengar suara ibunya yang bergetar karena tangis. "Retta nggak boleh benci sama siapapun, walaupun orang itu udah jahat sama Retta. Retta harus punya jiwa memaafkan untuk orang lain."
Retta hanya sanggup mengangguk dipelukan Rania, dan mengeratkan pelukannya.
"Karena diposisi dibenci itu menyakitkan sayang," lagi-lagi suara ibunya terdengar lirih, perkataan itu membuat alis Retta tertaut tak mengerti. "Selalu merasa bersalah dan keinginan untuk dimaafkan, tapi setiap kali meminta maaf, orang yang membenci kita menolak, tidak mau memaafkan."
Ibunya mengecup kepala Retta, sambil mengusap perlahan rambut cokelat itu. "Nanti saat kamu udah besar, kamu pasti ngerti kenapa ibu ngomong gini."
Rania mengurai pelukan. "Retta nggak marah sama nenek, kan?" ibunya bertanya dan mendapat gelengan kepala oleh Retta. "Saat besar nanti, Retta nggak boleh benci sama siapapun termasuk nenek. Janji?"
Retta mengangguk, tersenyum, menampilakan deretan gigi putihnya. "Janji, Retta selalu sayang sama nenek sampai kapanpun."
***
Sampai kapanpun. Sampai kapanpun.
Kenangan itu, kenangan kebersamaan Retta bersama ibunya, menyelinap masuk lewat mimpi. Mimpi yang datang saat Retta terjatuh pingsan di pantai kemarin. Membuat Retta mengingat kata-kata yang pernah dia katakan pada ibu saat kecil dulu.
Saat itu, Retta tak mengerti kenapa nenek membenci ibunya sampai seperti itu. Di hari pemakaman ibunya pun sang nenek tidak datang. Sebulan sesudah ibunya meninggal, Retta baru tahu fakta itu. Fakta kenapa nenek membenci keluarganya, terutama sang ayah.
Ternyata hanya alasan sepele. Karena ibunya memilih menikahi ayahnya yang saat itu hanya orang sederhana, yang tak berlimpah oleh harta dibanding dengan orang yang nenek jodohkan. Terkadang hidup itu lucu, menilai kebahagian hanya karena uang. Padahal bukan uang yang memberikan kebahagian tapi kasih sayang.
Hal klise yang sering terjadi di dunia nyata, bahkan sinetron. Nenek membenci ibu hanya karena alasan klise itu. Tetapi mengingat janji yang dulu pernah diucapkan untuk tidak membenci nenek membuat Retta, membuang jauh-jauh kebenciannya pada sang nenek.
Dia tidak membenci neneknya, Retta sangat sayang kepada neneknya itu. Meski beliau membenci keluarganya.
Dan karena mimpi kenangan masa kecilnya, Retta sadar. Tak seharusnya Retta meletakkan Regha diposisi itu. Posisi yang menyakitkan karena terbayang-bayang oleh kesalahan. Bahkan dengan jahatnya Retta tak mempedulikan permintaan maaf Regha.
Retta sudah hampir mirip dengan neneknya bukan, yang membenci ibunya hanya satu kesalahan. Dan Retta juga membenci Regha hanya satu kesalahan yang dibuat cowok itu. Terlebih lagi Retta tidak pernah mau mendengar penjelasan Regha lebih dulu.
Di sinilah, Retta sekarang, di café orang tua Regha. Lebih tepatnya di atas rooftop café—tempat berbagai kenangan kebersamaan Retta dan Regha terangkai. Duduk berhadapan, Retta ingin meluruskan segalanya. Dan menyelesaikan masalah dirinya dan Regha dua tahun lalu.
Cowok itu hanya diam, mendengar mimpi yang dia ceritakan. Kemarin di pantai, pasti cowok itu kebingungan dengan sikapnya yang berubah drastis.
"Dan karena itu, kemarin saat di pantai lo minta kita ketemuan," simpul Regha setelah semua yang Retta ceritakan.
"Iya," Retta mengangguk, netra cokelatnya menyorot pada Regha. "Maaf, Gha, nggak seharusnya gue benci lo, cuma karena kesalahan lo dua tahun lalu. Bahkan gue nggak mau denger dulu penjelasan lo."
"Maaf," ucap Retta sekali lagi dengan nada getir.
Regha menangkup tangan Retta di atas meja. "Kenapa harus lo yang minta maaf. Ini salah gue, bukan lo. Gue mainin lo, deketin lo cuma karena rencana Davel. Tapi begonya, gue malah terjebak di rencana gue sendiri."
"Mungkin dulu gue deketin lo cuma karena rencana itu," tangan Regha semakin erat menggenggam tangan perempuan itu. "Cuma pengen ngeliat lo bertekuk lutut ke gue. Tapi seiringnya waktu, ternyata perkiraan gue salah. Malah gue yang jatuh, malah gue bertekuk lutut ke lo."
Kedua tangan Regha bergerak, mengambil kedua tangan gadis itu. Menggenggamnya tepat di depan wajahnya. "Gue sayang lo. Gue selalu sayang sama lo, Ta."
Retta tertegun, dan hanya sanggup tersenyum tipis.
Regha melepaskan genggamannya, dan tangannya terjulur mengusap pipi Retta. "Jadi lo maafin gue?"
Retta terkekeh pelan, kemudian mengangguk.
"So," tangan Regha semakin lembut mengusap pipi Retta. "We'll be back together?"
Senyum Retta luntur dalam sekejap dan secepat kilat, Retta menyingkirkan tangan Regha dari pipinya. Dia menunduk, menghindari kontak mata dengan Regha. "Gue emang udah maafin lo, Gha. Tapi... tapi gue belum siap untuk pacaran lagi."
Retta meremas rok selutut yang dipakainya. Menghilangkan rasa gugup yang melandanya. "Kita balik kayak dulu, Gha. Tapi... tapi hanya sebatas temen." kata Retta memelan diakhir kalimatnya.
Untuk beberapa saat, Regha mematung, tak percaya dengan jawaban itu. Namun, menit berikutnya dia bisa mengendalikan diri, tersenyum setengah hati. "Temen?" Regha mengulangi kata terakhir itu tak percaya. "Lo mau kita balik kayak dulu cuma jadi temen?"
Tanpa sadar, Regha berdiri, tubuhnya tercondong mendekati Retta, hanya sang meja yang menjadi penghalang tubuh Regha untuk semakin dekat padanya.
Kepala Retta lantas saja bergerak mundur karena tatapan tajam dan juga wajah Regha yang semakin dekat ke arahnya. "Emang salah ka-kalo kita mu-mulai semuanya dari temenan. Bukannya dulu lo deketin gue juga dari hubungan itu. Dari kata temen."
Dan tanpa paksaan, atau apapun. Tangan Retta bergerak dengan sendirinya mengusap pipi Regha, yang lantas saja membuat kilatan emosi menghilang di mata hitam itu. "Gue mohon, lo harus ngerti kenapa gue lebih milih kita jadi temen dibanding pacaran lagi. Gue masih belum bisa lupain kata-kata—"
Regha tahu lanjutan perkataan itu, yang sontak menempelkan telunjuknya ke bibir Retta. Gadis itu terdiam menatap Regha, bibirnya seketika terkatup rapat.
"Jangan bahas itu." Regha menarik telunjuknya. Dan berpindah duduk di samping Retta untuk bisa melihat wajah perempuan itu lebih jelas.
Jemari Regha membawa dagu perempuan itu untuk menatapnya penuh. Dia menghela napas, iris cokelat itu membuat Regha menyelaminya untuk beberapa saat sebelum membuka suara kembali.
"Oke, kalo itu kemauan lo. Gue turutin apapun yang lo mau, asal lo nggak ngejauh dari gue, Ta." Regha tersenyum cerah. Menampilkan lesung pipinya. "Walaupun lo minta hubungan kita sebatas temen."
Meski wajah itu menampakkan senyuman, Retta tahu ada yang janggal saat Regha mengucapkan kata terakhirnya itu. Retta menghela napas, dia tidak bisa melakukan apapun. Karena hanya cara ini yang terbaik antara dirinya dan Regha.
"Sekarang kita temen?" tanya Regha setelah beberapa detik hanya ada keheningan. Dia mengulurkan tangannya ke arah Retta.
Retta menyambut tangan Regha dengan bergetar. Lalu mendongak menatap Regha. "Kita temen," Retta mengulas senyum tipis. "Mantan nggak harus saling ngebenci, bukan?"
Lagi-lagi Regha mengulas senyuman cerahnya. "Kata lo kita mulai dari awal kan? Jadi gue akan perkenalkan diri gue lagi."
Kening Retta mengerut tak paham. "Maksudnya?"
Sekali lagi, Regha mengulurkan tangan. Tambah membuat Retta tak mengerti. "Nama gue Arfaregha Dalfario, cucu pemilik sekolah." Dia menggoyangkan tangannya tepat di depan wajah Retta. "Sekarang lo, jabat tangan gue dan perkenalkan diri lo."
"Apaan sih, Gha, geli tau nggak." Retta tertawa melihat tingkah Regha yang tidak jelas.
"Gue serius." Tangan Regha masih disodorkan di depan Retta, menunggu untuk disambut.
Masih dengan sisa tawanya, Retta menjabat tangan Regha. "Nama gue..." Retta berhenti berucap karena kembali terkekeh. "Gue Asharetta Novita..."
"Cewek bermata empat," tambah Regha dengan senyum songongnya.
"Ih!" sontak saja Retta menabok bahu Regha. Meski begitu, Retta tak marah. Dia tertawa. "Tapi sayang sekali, mata gue sekarang udah nggak empat. Gue udah nggak pake kacamata."
Regha tersenyum melihat Retta yang tertawa. "Lo masih nyimpen kacamatanya?"
Kepala Retta mengangguk, mengulurkan tangannya membuka tas selempangnya. Mengambil kotak itu, lalu memberinya pada Regha. "Masih bagus, gak lecet, dan kacanya masih bening."
Regha membuka kotaknya, memandangi kacamata yang dibelinya untuk Retta. Kacamata yang menjadi awal rencana Regha dulu.
Pelan-pelan Regha mengambil kacamatanya lalu merenggangkan gagangnya.
"Gue mau liat lo pakai kacamata ini lagi."
Retta terdiam untuk seperkian detik. Dan kediaman Retta, menurut Regha adalah bentuk persetujuan darinya. Wajah dan tangan Regha mendekat pada Retta, memasang perlahan kacamata itu. Setelah merasa sudah selesai, Regha memundurkan kepalanya. Memandangi Retta lekat.
Walaupun lensa kacamata itu menghalangi iris cokelat milik Retta. Regha masih tetap bisa melihat iris cokelat itu dengan jelas.
Regha tersenyum, mengusap rambut Retta. "Lo cantik."
Retta tercenung, pipinya terasa panas seketika. Jantungnya masih sama, masih berdetak hanya untuk satu nama. Regha. Hanya Regha yang berhasil membuat jantungnya berdetak tidak karuan.
Setelah beberapa waktu, Retta hanya sanggup membisu. Akhirnya dia bisa mengendalikan diri, tersenyum tipis.
"Besok gue jemput lo untuk berangkat sekolah bareng."
Dan sekali lagi, Retta tak pernah bisa menebak jalan pikiran Regha. Retta tersenyum manis, sebelum menatap Regha jahil. "Kalo lo mau jemput gue, lo harus dapet izin dulu dari Pak Fahmi."
Regha tertawa mendengar Retta menyebut nama ayahnya seperti itu. "Pak Fahmi bakal selalu ngizinin gue jemput anaknya."
Regha jadi ikut-ikutan menampilkan raut jahil. Retta tak sanggup untuk tidak tertawa lagi. Dia berharap, ini awal kebahagian di antara dirinya dan Regha.
Namun, siapapun tidak ada yang tahu jalan takdir yang sudah ditentukan. Entah takdir menyenangkan atau menyakitkan.
TBC (27-01-18)
APING
__________
Gapapalah ya baikkan dulu sebelum konflik klimaks-nya xD Baikkan loh ya bukan Balikkan wkwk.
Selasa bsok kayaknya aku gak bisa up karena mau ikut Olimpiade Matematika, waktu nulis dipake buat belajar soalnya :)
Dan maaf part ini panjang banget :(
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top