R-R35: Akhirnya Terjawab

DI bawah terik sinar matahari, di atas pasir yang menggelitik kaki, dan juga ditemani suara debur ombak yang menenangkan hati. Kedua insan itu duduk sambil menjulurkan kakinya. Kepala Retta bersandar di bahu Regha menikmati pemandangan bagus yang terpampang di depannya.

Hari ini adalah hari perpisahan angkatan mereka, hari perpisahan sekaligus liburan untuk anak-anak angkatan kelas sembilan. Di Bali, lebih tepatnya di Pantai Kuta tempat berlangsungnya acara tersebut. Salah satu hotel yang berada di pantai Kuta menjadi tempat menggelar puncak acara malam ini. Pada malam puncaknya, semua anak diwajibkan memakai baju formal.

Matahari semakin bersemangat memantulkan sinarnya, saat tahu orang-orang di bawahnya menunjukkan sinar bahagia di wajahnya. Salah satunya, Retta. Namun, sosok di sebelahnya hanya termangu diam sedari mereka sampai di tempat ini.

Retta menegakkan kepalanya, menelisik ekspresi kaku Regha. "Gha?"

"Ya?" Regha menoleh lalu senyum pun terukir di sana.

"Lo kenapa sih?" tanya Retta. "Diam terus dari tadi."

Senyum itu masih sama, masih melekat di bibirnya. "Gue nggak kenapa-napa."

Retta cemberut. "Bohong! Kalau lo nggak kenapa-napa nggak mungkin diam terus dari tadi." Dia bangkit berdiri menatap kesal Regha.

Regha mendongakkan kepala, menopangkan tubuhnya dengan kedua tangan yang berada di belakang. "Gue bener-bener nggak kenapa-napa Retta."

Perempuan itu menghela napas sambil membuang muka menatap lautan luas di depannya. "Bohong banget! Lo selalu gitu, Gha, kalo ada masalah nggak mau cerita sama gue. Giliran gue, gue selalu cerita ke lo."

Regha tersenyum geli melihat Retta yang mencebikkan bibirnya, sebelum bangkit berdiri dan memegang bahu perempuan itu. Dan terpaksa, Retta membalas tatapan Regha dengan wajah malas.

"Jangan cemberut gitu, dong," tangan Regha bergerak mengusap pipi Retta. "Senyum."

"Nggak!" Retta menyingkirkan tangan Regha dri pipinya. "Sebelum lo ceritain masalah lo ke gue. "

"Oke," Regha menggangguk perlahan, dan beberapa detik setelahnya sorot kesedihan terlukis di mata Regha. Retta menyipit melihatnya. "Gimana kalo masalah gue... adalah takut kehilangan lo."

Seketika kata-kata itu terucap, pipi Retta memanas karenanya. "Ih... tuhkan lo bercanda lagi!"

Retta berusaha melepaskan diri dari pegangan Regha di bahunya. Namun, dia selalu lupa jika kepala cowok itu sekeras batu, setelah terlepas, Regha kembali melarikkan tangannya ke pinggangnya. Memeluknya erat.

Mata Retta melotot. Jangan tanya pipi Retta seperti apa sekarang. Apalagi tatapan dari beberapa teman angkatannya yang berlalu lalang. Berbisik-bisik menyaksikkan mereka berdua.

"Gha," Retta mendorong dada Regha, usaha untuk mengurai pelukan. "Gha... lepas ihh."

"Regha!" rengek Retta. "Lepas."

"Nggak," ucap Regha. Retta menahan napas melihat jarak wajahnya dengan Regha. Sungguh, kalau seperti ini, Retta butuh pasokan oksigen. Napas Regha berhembus di sekitar wajahnya.

"Gue serius sama apa yang gue omongin tadi." Aroma mint menguar di depan wajah Retta, setelah Regha mengucapkan kata-kata itu. "Gue takut... gue takut lo kecewa sama gue. Terus pergi ninggalin gue."

Pikiran Retta tidak bisa fokus dengan perkataan yang Regha coba jelaskan, karena jarak di antara mereka yang semakin menipis. Jantung Retta sudah mulai berdentum dengan kencangnya.

Kening dan hidung mereka bersentuhan. "Gimana kalo selama ini..."

Kontak yang terjalin di antara mereka berdua terpaksa terputus lantaran seruan seseorang yang memanggil nama Regha. Dan kesempatan itu, membuat Retta sesegera mungkin menarik tubuhnya menjauh. Memegang dadanya, Retta merengggut udara sebanyak-banyaknya. Jantungnya...

Kedua orang itu menoleh dan melihat Davel dan Arven yang tengah berjalan ke arah mereka berdua.

Senyum jahil Davel terukir. "Kita ganggu, ya?"

Sontak tangan Retta terangkat, menolak ucapan Davel. "Eh... ng-nggak kok... nggak."

Wajah jahil Davel semakin kentara. Pasti Davel sama Arven ngeliat adegan pelukan tadi. Dan itu kembali membuat rasa panas menjalari pipinya. Tenggelamkan Retta saja, sekarang juga.

"Lo mau ngapain?" Suara Regha terdengar dingin menatap Davel. Entahlah, Retta tak mengerti. Sejak Retta memberitahu Regha tentang Davel yang mengatakan ingin memberi kejutan di sini. Regha selalu tampak tak suka pada Davel saat menghampiri mereka berdua.

"Gue cuma mau ngingetin lo aja," mata Davel melirik Retta sebelum kembali menatap Regha. "Untuk nanti malam."

"Emang nanti malam Regha mau ngapain?" Retta bertanya dengan wajah polosnya.

"Surprise untuk lo, bukannya gue udah ngasih tau." Davel tersenyum-senyum yang selalu membuat Retta bingung melihatnya.

Retta masih mengerutkan keningnya, campuran rasa penasaran dan kebingungan. Regha bilang jangan pernah percaya dengan ucapan Davel. Mata Retta melirik Regha dan Arven yang mengatup bibirnya rapat-rapat, tak ada sekatah kata pun yang keluar dari bibir kedua orang itu.

"Semoga lo seneng dengan surprise yang Regha kasih, Ta." Davel kembali tersenyum sebelum menepuk bahu Regha dan berbalik pergi sendiri.

Retta menatap kepergian Davel masih dengan kebingungan yang melandanya.

"Lo nggak mungkin ngelakuin itu, kan, Gha?" tanya Arven dengan pelan hampir berbisik. "Kalo lo sampai ngelakuin itu... lo bakal nyesel, Gha."

Setelahnya, Arven berjalan pergi meninggalkan kedua orang itu.

***

"Menurut lo gimana, Ver?"

Di dalam kamar penginapannya, Retta menceritakan semua yang Davel ucapkan pada Vera dan meminta pendapat perempuan itu. Kira-kira kejutan apa yang akan Regha berikan padanya.

Vera mengetuk jari di dagu pose yang selalu dia lakukan saat berpikir. "Menurut gue ucapan Davel bener, pasti Regha bakal ngasih kejutan ke lo." Wajah Vera berubah jahil. "Apalagi mengingat ini tanggal berapa?"

"Sekarang tanggal sebelas kan," jawab Retta polos.

"Kakek-kakek bawa tongkat juga tau, sekarang tanggal sebelas, Ta." Ingin sekali rasanya Vera menoyor kepala Retta ke dinding. "Maksud ucapan gue, apa arti dari tanggal sebelas?"

Beberapa detik Retta terdiam, sebelum tawanya berderai. "Maksud lo Regha mau ngasih kejutan karena sekarang tanggal mensive kita yang ke tujuh bulan?"

"Nah tuh tau!" seru Vera girang. "Lagian lo kebiasaan banget sih lupa tanggal mensive sendiri."

"Karena menurut gue itu nggak penting," tukas Retta serius. "Yang terpenting Regha sayang sama gue dan juga sebaliknya."

"Ya, ya, ya, terserah lo Nyonya besar," ucap Vera tak peduli sambil mengibas-ngibaskan tangan. Dia bangkit berdiri dari ranjang Retta dan bergerak ke koper. Dia mengangkat dua gaun cantik dari sana-pakaian yang akan digunakan untuk nanti malam.

"Lo mau pakai yang mana, Ta?" Vera bertanya dengan dua gaun yang dia gantungkan di sisi kanan-kirinya. "Lo harus tampil cantik malam ini," Senyum Vera terukir. "Untuk Regha."

Retta ikut tersenyum lebar.

***

Retta berjalan di bibir pantai, pandangannya menjelajah sekeliling, mencari keberadaan Regha. Kata anak-anak lain Regha pergi bersama kedua temannya. Jam pergelangannya sudah menunjukkan pukul tiga sore.

Senyum manis itu juga tak menghilang dari bibirnya. Pikiran Retta masih dipenuhi berbagai tebakkan yang akan Regha lakukan malam ini. Kejutan. Regha akan memberikannya kejutan untuk hari annive mereka. Rasa bahagia itu tak bisa dibendung lagi, membuat Retta seperti orang gila yang terus tersenyum tanpa alasan.

Kaki Retta menjauh dari bibir pantai, mendekati salah satu kedai es krim. Dia memesan es krim cokelat kesukaannya. Manik cokelatnya masih berputar pada sekeliling, namun juga tak kunjung menemukan cowok itu. "Regha kemana sih?!"

Membayar es krim pesanannya. Retta mulai menyantap es krim cone cokelat miliknya sambil kembali memutar pandangan.

Netranya berhenti berputar seketika, saat melihat keberadaan Regha, Davel, dan Arven yang tidak jauh dari kedai es krim. Wajah Davel babak belur, ujung bibirnya berdarah. Mata Retta menyipit melihatnya, dan hendak menghampiri, jika saja perkataan Regha tak menghentikan langkahnya.

"Gue nggak pernah lupa sama rencana lo!"

Rencana? Kening Retta mengerut menatap punggung Regha yang membelakanginya. Rencana kejutan Regha? tebak batinnya. Dan karena penasaran, Retta memilih menyembunyikan diri di dinding samping kedai.

"Bagus kalo lo masih inget rencana kita delapan bulan lalu." meski ujung bibirnya berdarah, senyum miring terulas di bibir Davel.

Tunggu! Delapan bulan lalu? Jangan bilang mereka bukan membicarakkan kejutan untuk malam ini? Tapi hal lain? batin Retta terus bertanya-tanya dengan apa yang mereka tengah bicarakan.

"Iya gue nggak akan pernah lupa! Rencana lo yang ngejebak gue... ngejebak gue untuk dekat sama Retta."

Kaki Retta tertahan untuk pergi meninggalkan tempat itu. Apa maksudnya? Dia kembali menatap Regha dan Davel bergantian. Arven hanya berdiri di samping Davel tanpa mengeluarkan perkataan.

Apa maksud ucapan Regha?

"Rencana busuk lo!" tangan Regha teracung menunjuk Davel. "Rencana lo yang nyuruh gue untuk deketin Retta! Setelah gue berhasil jadiin Retta pacar gue, gue harus mutusin dia tepat saat perpisahan angkatan di depan anak-anak!"

Es krim itu sontak terjatuh dari tangan Retta, matanya melebar menatap punggung Regha. kebisingan yang sejak tadi menelusup di indra pendengarannya seolah teredam. Hanya perkataan Regha yang dapat di dengarnya dengan jelas.

Air mata yang sudah lama tak pernah menggulirkan diri sejak Regha memberikan ruang kebahagian baginya, runtuh sudah hari ini untuk pertama kalinya. Dan tak butuh waktu lama untuk tetesan lain ikut terjatuh.

"Retta, cewek polos yang gampang dibegoin." Tangan Retta bergetar, terangkat menutup mulutnya. Meredamkan isakkan yang ingin keluar. "Retta perempuan yang gue nggak tahu bakal jadi pacar pertama gue. Cewek yang selalu bilang nggak akan pernah jatuh cinta sama gue, tapi ternyata..."

Regha menggantung kata-katanya. Tanpa tahu kehadiran Retta yang berdiri tidak jauh darinya, mendengar semua pembicaraan mereka. Dan lanjutan perkataan Regha benar-benar menghancurkan hati Retta.

"Dia ngejilat ludahnya sendiri! Gue nggak pernah sayang sama dia."

Tangan Retta bertumpu pada dinding kedai, menahan tubuhnya yang terasa linglung. Penglihatan Retta terhalang air mata. Namun, netra cokelatnya masih bisa menatap punggung tegap Regha. Punggung seorang lelaki yang membuat Retta jatuh cinta untuk pertama kalinya. Dan, membuat Retta merasakkan rasa sakit untuk pertama kalinya.

Kaki Retta bergerak mundur, fakta itu sangat mengejutkannya. Retta kira semua kata-kata sayang yang Regha ucapkan selama ini adalah nyata. Namun, ternyata dia salah, itu semua rekayasa. Regha hanya ingin menjebaknya. Regha hanya mempermainkannya.

Bukan kejujuran yang Retta dapatkan tapi kebohongan.

Malam ini bukan kejutan annive yang akan Regha berikan. Namun, kejutan untuk memutuskan Retta di depan anak-anak lain.

Kebahagian yang selama ini terangkai bersama, itu ilusi semata. Hanya Retta yang merasakkannya. Dan hanya Retta yang menganggapnya nyata.

Langkah kakinya kian menjauh ke belakang. Dia tak peduli pada air matanya yang berjatuhan di pasir. Regha bohong padanya. Regha membohonginya!

"Itu lo tau kalo lo deketin Retta cuma karena rencana gue. Lo cuma nganggep Retta boneka, Gha!" ucap Davel dengan senyum iblisnya.

Berbalik menjauh, Retta tak tahan lagi. Dia tak ingin mendengar lanjutan pembicaraan mereka yang pasti akan kembali menyakitinya. Retta berlari, berlari sejauh mungkin. Tatapan penasaran orang-orang yang melihat penampilannya tak di acuhkannya.

Semuanya hancur. Kenangan mereka, hati Retta dan kepercayaannya. Regha menghancurkan segalanya. Cowok yang selama ini selalu mengisi kekosongan hatinya. Tapi cowok itu juga yang memusnahkan isinya.

Napas Retta memburu, pandangan Retta buram menatap pintu kamarnya. Perlahan, Retta memutar kenop pintu kamarnya dan mendorongnya pelan. Sedetik setelah menutup pintu, Retta tak kuat menahan bobot tubuhnya. Dia luruh ke lantai.

Memeluk kedua lutut, Retta menyembunyikan isakkan yang tertahan sejak tadi. Isakkan yang menggambarkan kehancuran hatinya.

Retta sayang Regha. Tapi kenapa Regha jahat dengan menjadikan dirinya permainan bersama kedua temannya? Kenapa Regha melakukan itu?!

"Retta?" Suara dengan nada bingung tersebut membuat kepala Retta mendongak. Menemukan Vera yang berdiri dengan kerutan di dahinya. Wajah kebingungan Vera sontak berubah shock melihat Retta menangis.

"Lo kenapa, Ta?" Lantas Vera bertanya ikut duduk di depan Retta. Namun, tak terdengar jawaban. Hanya isakkan yang terdengar pedih meluncur dari bibir perempuan itu. Hati Vera jadi ikut tersayat mendengarnya.

Retta tidak pernah menangis di depannya, kecuali saat di pemakaman ibunya. Dan Vera tidak pernah melihat dia menangis lagi.

"Ta?" Vera menggoyangkan tubuh Retta. "Lo kenapa? Cerita ke gue, Ta?"

Namun tak disangkanya, Retta melepas pelukan di lutut dan memeluk Vera. Menangis di bahunya. "Regha! Regha nyakitin gue, Ver!"

Nada lirih bercampur sakit tersirat di sana membuat Vera tertegun selama beberapa detik. Setelahnya Vera mengurai pelukan itu, menatap Retta tak percaya. "Maksud lo apaan?"

Kembali terdengar isakkan pahit dari bibir Retta. Sebelum dia menceritakan itu semua pada Vera. Susah payah Retta menceritakkannya karena sesegukkan yang mengiringinya.

Vera tampak shock sambil menggeleng-gelengkan kepala. Hal selama ini dilihatnya indah ternyata bualan semata.

"Dan sekarang lo mau apa?" tanya Vera.

Retta terdiam, masih dengan air mata dan juga isakkan yang meluncur, dia menjawab. "Gu-gue bakal balik ke Ja-Jakarta."

"Sekarang?"

Retta mengangguk. "Gue nggak akan ikut acara malam ini. Gue bakal nelpon ayah gue untuk jemput dan minta izin pulang sama Bu Rena." Retta kembali terdiam sebentar sebelum melanjutkan. "Gue butuh bantuan lo."

Bibir Vera terkatup bisu, hingga senyum itu terukir dan kepalanya mengangguk.

TBC(07-01-18)
Aping

_________

Part terpanjang yang pernah aku buat, maaf misalkan kalian pusing bacanya :)

Dan semoga kalian ngerti sekarang kenapa Retta bisa benci Regha. Misalkan kalian masih gak ngerti comment aja:)

Makasih♡

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top