R-R33: Keributan

LANTAI dua, tempat khusus untuk lukisan klasik yang disimpan di Museum Bali. Retta menatap lukisan yang berada di sana. Lukisan klasik yang sudah sangat langka. Seharusnya Retta bisa menjernihkan pikiran dan juga matanya untuk melihat beragam lukisan unik.

Namun, tatapan Retta malah berkhianat. Netra cokelatnya tak lepas memandang Regha bersama Farah. Perempuan itu selalu bertanya mengenai hal-hal yang ada di sini. Pertanyaan yang menurut Retta sangat tidak penting.

Apalagi Regha tak segan-segan untuk menjawab pertanyaannya dengan senyuman, yang langsung menciptakan rona merah di pipi gadis itu. Sial, kenapa Retta jadi bertambah panas di sini?

Ayo Retta fokus, fokus Retta merapal kata-kata tersebut. Mencoba memfokuskan diri untuk tidak terganggu dengan interaksi mereka berdua.

Berniat memotret lukisan di depannya, Retta mengangkat kamera yang menggantung di leher. Dia tidak ingin berlarut memikirkan hal yang akan menyakiti dirinya sendiri.

Retta terfokus pada lensa kamera dan ingin menjepret lukisan. Tapi di detik berikutnya entah hanya diri Retta yang tengah berkecamuk karena Regha atau memang nyata. Lukisan di depannya seperti berubah menujukkan adegan Regha yang tengah mencubit pipi Farah. Seketika itu juga Retta memekik kaget.

Kentara saja pekikan Retta membuat semua anak-anak—yang tengah sibuk dengan diri sendiri—menoleh. Mereka semua mengernyit heran, tak terkecuali Regha

Ragel yang sejak tadi berdiri di samping Retta, ikut tersentak. Dan lantas bertanya. "Kenapa, Ta?

Linzy dan shena juga menghentikan hal yang sejak tadi mereka geluti—berselfie ria. Dua perempuan itu  berjalan mendekatinya. "Lo kenapa?" tanya Linzy dan Shena hampir bersamaan.

Manik cokelat itu menatap ketiga orang itu dengan kebingungan. Napasnya masih berlarian cepat di udara.

Ketika sadar, Retta mendesah lesu. "Gue nggak apa-apa," Retta tersenyum. "Gue mau ke toilet."

Seiring langkah kakinya yang kian menjauh, Regha menatap Retta dengan kebingungan.

***

Bayangan di cermin seperti bukan dirinya. Mata cokelat itu berubah sendu. Retta menatap cermin lalu mendesah frustasi, kenapa pikirannya tidak bisa jauh-jauh dari Regha?

Air mata bodoh itu jatuh tanpa diminta. Retta kira Mengusap air matanya dengan kasar bisa menghilangkan kekalutan di hatinya, tapi ternyata malah mengundang tetes yang lain untuk ikut jatuh.

Bilang aja sih, Ta kalo lo tuh cemburu! Jangan gengsi yang digedein! batin hatinya memberontak.

Tidak! Tidak! Pikirannya menolak cepat. Tidak! Dia tidak cemburu pada seseorang yang sudah merusak kepercayaannya dan telah membohonginya.

Lalu untuk apa dia menangis untuk Regha?

Karena lo masih sayang sama dia sekali lagi batinnya memprovokasi. Sial.

"Enggak! Enggak!" Retta menggeleng kuat-kuat menyingkirkan kata-kata hatinya. "Ingat Retta dia udah nyakitin lo, terus ngapain lo mikirin dia." Dia mengingatkan dirinya sendiri untuk tidak terus memikirkan Regha.

Oke lama-lama Retta bisa gila kalau berbicara sendiri. Lebih baik dia pergi. Menghembuskan napas perlahan, Retta membuang apapun yang berada di pikiran. Dengan cepat di melangkah keluar. Namun, ucapan seseorang membuat langkahnya tertahan.

"Kalo masih sayang ngaku aja, jangan dipendem, nanti sakit sendiri."

Berbalik, mata Retta terbelalak. Terkejut melihat Arven yang berdiri di dinding pembatas pintu toilet perempuan dan lelaki. Datar muka lelaki itu, sudah biasa Retta terima.

"Maksud lo ngomong gitu apaan?!" tanya Retta marah.

Arven melangkah mendekat, mengulurkan sebuah sapu tangan. "Jejak air mata lo masih ada."

Speechless satu kata yang menggambarkan Retta sekarang, dia menatap sapu tangan itu lekat-lekat sebelum tangannya bergerak cepat ke pipi, menemukan jejak basah di sana. "Ini tuh bukan air mata, tadi gue habis cuci muka!"

Arven terkekeh pelan. Sifat Arven dan Regha 11-12. Saat SMP, dua cowok itu terkenal pelit senyum. Tapi sekarang Regha tak termasuk. Jadi hanya Arven, yang memiliki sifat itu, dan mendengar kekehan Arven, Retta sedikit terkejut.

"Lo masih mau ngelak?" Arven memasukkan sapu tangan kembali ke saku celana. "Terserah lo, semoga tahan."

Dia berniat pergi jika saja, ucapan Retta tak menahan langkahnya.

"Kenapa lo selalu ngurusin urusan gue sama Regha?!" tanya Retta lantang.

Jeda agak lama, sebelum terdengar suara Arven tanpa memutar tubuhnya menghadap Retta. "Karena Regha sahabat gue."

Jawaban itu singkat tapi berhasil membuat Retta terpaku diam. Lagi-lagi jawaban itu.

***

Setelah kembali ke dekat lukisan, tatapan Retta berpendar ke seluruh arah mencari Shena dan Linzy. "Mereka berdua kemana sih?!"

Namun tepukan di pundak, lantas membuat Retta memutar tubuhnya. "Ragel? Lo ngagetin aja tau gak!"

Hari ini sepertinya Retta sedang sensi. Selalu marah-marah tanpa alasan, Ragel mengerutkan kening. "Lo kenapa sih, Ta? Daritadi kayaknya marah-marah melulu?"

"Gue gak kenapa-napa," jawab Retta dengan melipat kedua tangan di dada.

Mata Ragel menyipit, menilik ekspresi Retta. Wajah Ragel semakin dekat ke arahnya yang sontak kepala Retta bergerak mundur meresponnya.

"Lo nangis?" Ragel menjauhkan wajahnya lalu memandang Retta serius.

"Enak aja! Siapa yang nangis!" sangkal Retta sambil memelotot pada Ragel.

"Jangan bohong, Ta?" ucap Ragel sekali lagi, masih dengan wajah seriusnya.

"Gue nggak bohong!"

Ragel mendesah lelah mendengar kelitan Retta. Dan akhirnya dia mencoba percaya meski dia tahu itu sebuah kebohongan. Jelas-jelas mata dan hidung wanita itu memerah.

"Ikut gue, yuk!"

Ragel langsung menarik tangan Retta tanpa menunggu respon dari gadis itu.

Ragel membawanya keluar gedung dan berjalan menuju salah satu gedung yang berada di timur. Dia berhenti menarik tangan Retta saat sudah di depan pintu pembatas gedung barat dan timur. Tepat diundakan tangga. Lelaki itu menunjuk dua patung yang berada di kiri-kanan tangga.

"Dua patung ini mirip lo ya, Ta."

Ledekkan Ragel tentu membuat manik cokelatnya membulat penuh kesal. Dia memukul bahu lelaki itu. "Lo sama-samain gue sama patung!" pekik Retta marah.

"Astaga! Gue cuma bercanda, Ta." ucap Ragel menghindari pukulan Retta di punggungnya. Tapi Retta tak menggubris. Perempuan itu tetap memukul-mukul bahu Ragel.

"Ampun, Ta. Ampun," mohon Ragel sambil mengatup dua tangan. "Lo galak banget sih, Ta? Salah minum obat?" Ragel bertanya sembari berancang-ancang menghindari amukkan Retta.

Dan benar dugaannya wajah Retta bertambah merah karena kesal. "Lo kira gue keracunan obat?!"

Ragel menggeleng kencang meski pukulan Retta sangat sakit saat mengenai punggungnya. Tapi melihat wajah itu berubah, tampak tak sedih lagi, membuat Ragel tak tahan untuk tersenyum.

Ragel langsung berlari saat Retta mengejarnya sambil terus berteriak memanggilnya.

Akhirnya terjadilah adegan kejar-kejaran. Ragel berlari masuk ke dalam gedung diikuti Retta mengejar dari belakang. Yang langsung membuat semua anak-anak menoleh pada mereka berdua, termasuk Regha dan kedua temannya.

Ragel berhenti berlari, namun senyum tak juga luntur dari bibirnya. Dia berbalik. Lari Retta yang memang hanya tinggal beberapa senti seketika harus direm mendadak karena Ragel yang berhenti dan juga berbalik. Namun, rem kakinya tidak tepat waktu yang berujung dirinya menabrak dada bidang milik Ragel.

Retta hampir kehilangan keseimbangan, jika saja tangan Ragel tidak menahan pinggangnya. Adegan tersebut tak luput mendapat perhatian dari semua anak-anak.

Lontaran frontal dan juga komentar dari anak-anak yang menyaksikan adegan itu pun terdengar.

"Gila sweet Ragel!"

"Bisa banget lu modusnya, Gel. Besok gue praktekkin juga ah ke doi."

"Persis banget kayak adegan Drakor yang gue tonton kemaren."

"Kenyataannya hidup gak sama kayak Drama Korea, Bung."

Mereka semua terus berkomentar dengan kejadian itu. Membuat kedua wajah orang yang menjadi ledekkan memerah.

Bahkan mereka tak menyadari wajah seseorang yang sudah berubah kaku. Sama-sama memerah, bedanya ini karena emosi. Emosi Regha sudah mengurung akal sehatnya untuk berpikir jernih. Dia tak tahan lagi dengan interaksi antara mereka berdua. Tanpa ba-bi-bu, Regha berjalan cepat ke arah kedua orang itu.

Arven dan Zion terkejut dan hendak menyusul Regha. Tapi terlambat, Regha sudah lebih dulu melayangkan pukulan tepat di rahang Ragel.

Retta tersentak, dan sontak melangkah mundur.

Suasana di sana ricuh, para perempuan menjerit kaget. Sedangkan lelaki tidak ada yang berani melerai. Jelas-jelas mereka tidak mau mencari gara-gara dengan Regha.

Regha menarik kerah baju, Ragel. Membuat Ragel tercekik, mata itu terbelalak menatap Regha yang datang tiba-tiba lalu tanpa alasan menonjok dirinya.

Karena kebingungan dan juga terkejut setengah mati menjadikkan Retta hanya terpaku diam di tempat.

Regha memukul wajah Ragel dan mengenai pelipisnya, tonjokkan itu tak berhenti di situ. Regha kembali melayangkan pukulan tepat di sudut bibirnya. Ragel bisa merasakan gemelutuk giginya yang saling beradu. Bau anyir tercium di penciuman Ragel, berasal dari sudut bibirnya yang berdarah.

Arven menarik tubuh Regha yang memberontak untuk dilepaskan. Sudah jelas emosi Regha, sudah benar-benar berada di puncaknya, dan harus melampiaskan kemarahannya itu.

"Lepasin gue, Ven!" perintah Regha masih berusaha untuk melepaskan diri dari Arven. Tentu saja Arven tak mengacuhkannya

Zion membantu Ragel berdiri. Wajah Ragel babak belur dengan sudut bibir yang sobek, kesadaran Retta kembali saat melihat kondisi Ragel.

Dengan langkah cepat-cepat, Retta berjalan mendekati Regha. Dan satu tamparan melayang mengenai pipi lelaki itu. Retta menampar Regha. Menampar Regha tepat di bawah tatapan semua orang!

Kericuhan yang sempat mengelilingi, mendadak senyap. Mata anak lain membulat penuh melihat Retta yang menampar Regha.

Kontan emosi Regha menghilang tergantikan oleh rasa getir mengalir di tubuhnya. Iris hitam itu menatap Retta tak percaya.

"Lo keterlaluan, Gha! Kenapa lo lakuin itu?!" teriak Retta lantang. Namun, siapapun bisa mendengar nada kecewa yang tersirat di sana, salah satunya Linzy.

Sebenarnya ada permasalahan apa di antara Regha dan Retta?

Linzy terdiam—seperti anak lain. Dia menatap Retta dan Regha bergantian. Tatapan tajam Regha yang dibalas kekecewaan di iris cokelat Retta. Semuanya rumit, Linzy tak mengerti. Tapi Linzy tahu ada yang sesuatu di sini.

"ADA APA INI?!"

Ucapan menggelegar milik Bu Bety mengintrupsi, memecah keheningan yang sejak tadi memeluk semua yang di sana. Guru-guru lain juga ikut berdiri di samping Bu Bety. Hunusan tajam mata Bu Bety berputar menatap sekelilingnya—tepatnya pada anak didiknya. Sebelum jatuh pada Regha dan Ragel.

"Regha, Ragel, ikut Ibu."

Perkataan itu pelan tapi sekaligus menyeramkan bagi yang mendengar. Anak-anak bergidik ngeri melihat pandangan dingin Bu Bety yang terus melekat menatap Regha dan Ragel.

TBC(26-12-17)
    APING

__________

Kapan Retta sama Regha baikkan kok berantem mulu?

Maafkan aku kalo ada pertanyaan yang menganggu kalian
kayak gitu wkwk. Doakkan saja secepatnya xD

Tapi kayaknya sih masih lama :v

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top