R-R31: Satu Bus
MATAHARI masih terlihat malu-malu untuk menampakkan diri. Hanya sang fajar yang berani menunjukkan warna jingga di pagi hari. Masih terlalu pagi untuk menjalankan aktivitas. Namun di lapangan sekolah SMA Taruna Jaya bus-bus sudah berjejer rapi.
Para anak sebelas sudah banyak yang berkumpul dengan tas bawaan masing-masing. Bekal yang mereka persiapkan selama di perjalanan. Dan juga beberapa pakaian untuk digunakan di sana.
Mobil silver berhenti di tengah kendaraan lain yang juga banyak berhenti mengantarkan kepergian anak-anaknya. Fahmi turun, Retta pun beranjak dari mobil lalu mengikuti ayahnya yang tengah menurunkan koper bewarna cokelat miliknya.
"Kamu jaga diri di sana, ya. Jaga kesehatan. Jangan lupa untuk makan. Dan jangan lupain ibadahnya. Terus..."
"Iya, Ayah. Retta paham, Retta nggak akan lupa kok." Dengan dongkol Retta memotong ucapan ayahnya yang pasti akan berujung panjang seperti jalan tol.
Fahmi terkekeh lalu mengusap kepala anaknya. "Ayah cuma khawatir sama kamu. Dua tahun lalu kamu juga ke Bali, terus tiba-tiba minta Ayah jemput dan minta izin pulang sama guru kamu. Ayah masih bingung waktu itu kamu kenapa."
Terdengar helaan napas ayahnya yang sanggup membuat Retta mengingat kejadian dua tahun lalu saat perpisahan sekolah SMP-nya. Di sana dia menangis sambil menelpon ayahnya meminta datang ke Bali untuk menjemputnya. Waktu itu Retta beralasan jika dia sedang sakit dia tidak ingin berlama-lama di sana. Padahal kenyataannya, Retta menangis karena Regha. Karena dia menipunya.
Retta hanya sanggup tersenyum mendengar perkataan ayahnya. Meski rasa pahit bercampur perih itu kembali hadir menjebak Retta untuk tersesat di masa lalu.
"Nak Regha!"
Suara Fahmi sedikit menyingkirkan pikiran kalut Retta, apalagi nama yang tengah ayahnya panggil benar-benar membuat Retta tersentak dan mengikuti arah pandang ayahnya.
Regha tengah bersama kedua temannya sambil membawa tas besar yang terpanggul di punggungnya. Sebab panggilan ayahnya, Regha menghentikan percakapan antara dia dan kedua temannya. Lalu tersenyum berjalan menghampiri Fahmi.
"Iya Om ada apa, ya?" tanya Regha bingung menatap Fahmi, sesekali melirik Retta yang membuang muka.
"Om titip Retta ya?"
Permintaan Fahmi sukses membuat kedua remaja itu terkejut. Paling utama Retta, dia terbelalak tak percaya. "Ayah, Retta bisa—"
Penolakan Retta tak mampu terselesaikan karena dengan cepat Regha mendahului ucapannya.
"Iya, Om. Regha pasti akan selalu jagain Retta," ucapnya tulus, lalu menoleh pada Retta yang tengah melayangkan tatapan tajamnya. Namun, Regha tak peduli. Dia tetap mengurai senyuman pada Retta.
Fahmi jadi ikut tersenyum, kemudian menepuk pundak Regha dua kali. "Om percaya sama kamu, Gha."
Retta menatap kesal interaksi ayahnya dengan Regha. Ingin rasanya Retta berteriak mengatakan pada
Fahmi bahwa tidak seharusnya ayahnya mempercayai cowok seperti Regha. Seorang lelaki yang telah mendorong anaknya pada kehancuran.
"Yaudah," Fahmi mengangguk, mengusap pipi Retta lembut. "Ayah pergi dulu." pamitnya, masuk ke dalam mobil dan membiarkan Retta bersama Regha.
Melihat mobil yang sudah hilang dari pandangan, Retta mendelik tajam pada Regha yang masih saja tersenyum. "Kenapa lo ngomong gitu ke ayah gue?!"
"Emang seharusnya ngomong gitu, kan." jawab Regha dengan alis sebelah terangkat.
Menyebalkan Retta memutar matanya malas.
Mau beranjak pergi dari hadapan Regha. Tapi suara perempuan tak asing menelusup indra pendengarannya. Retta berbalik dan melihat Linzy yang heboh menyeret koper bewarna merah muda, tangan perempuan itu tergenggam permen lollipop yang sesekali dia masukan ke dalam mulut.
Mata Linzy seketika menyipit melihat Retta yang berdiri bersama Regha. Linzy selalu ingin tahu apapun berita di sekolah. Tapi sepertinya Linzy tidak pernah mendengar Retta yang tengah dekat dengan Regha.
Lalu kenapa dia selalu melihat Regha dan Retta yang tengah berdekatan?
Aduh... Linzy menepuk kepalanya, benang kekepoannya sudah mulai bekerja. Tidak, Linzy tidak boleh memaksa Retta untuk bercerita. Tunggu hingga sahabatnya itu mau menceritakannya lebih dulu.
Terdengar suara Kepala Sekolah menyuruh semua anak-anak berbaris di lapangan sesuai dengan kelasnya masing-masing. Setiap bus terbagi beberapa anak kelas yang sengaja diacak, itu sudah peratuannya, untuk menjaga solidaritas dengan kelas lain.
Netra cokelat Retta berfokus pada kertas yang diambilnya—yang sempat dibagikan wali kelasnya—untuk melihat nomor bus dan sekaligus tempat duduknya.
"Wehh.. Ta kita bertiga satu bus!" pekik Linzy senang, Shena yang berdiri di belakang Linzy pun ikut bersorak bahagia karena mereka mendapat bus yang sama walaupun tidak sebangku.
Setelah Kepala Sekolah menyuruh mereka untuk membubarkan diri dan juga menyuruh untuk masuk ke bus-nya masing-masing sesuai dengan kertas yang mereka dapat. Retta bersama Linzy dan Shena berjalan ke bus nomor lima—sesuai dengan nomor yang ada di kertas.
Retta naik ke dalam bus setelah sebelumnya memberikan koper cokelatnya pada supir bus untuk dimasukkan ke dalam bagasi.
Dia berjalan ke bangku nomor sembilan. Linzy dan Shena sudah berjalan ke belakang menuju bangku-nya. Bersamaan dengan itu, anak-anak lain juga menyela masuk membuat Retta terdorong dan kehilangan keseimbangan jika orang yang berada di belakangnya tak menahannya.
Retta mendongakkan kepala, dan terkejut melihat lelaki yang sudah tersenyum manis padanya.
"Lo nggak apa-apa, Ta?" Dia bertanya.
"Eh…" Retta tersadar, dan segera menarik tubuhnya. "Gue nggak pa-pa," senyum kikuk Retta terukir. "Makasih, Gel."
Lelaki itu, Ragel semakin tersenyum lebar. Menurutnya tingkah Retta sangat lucu. "Hati-hati kalo jalan."
Retta mengangguk, dan juga meringis malu. Mereka berdua kembali melanjutkan melangkah ke bangku masing-masing. Perempuan bermata cokelat itupun berhenti saat sudah menemukan nomor bangkunya.
"Kalau perlu apa-apa panggil gue aja," Ragel kembali menunjukkan senyuman. "Gue ada di belakang lo."
Retta mengernyit tak paham dengan kata-kata 'di belakang lo'. Namun, dia seketika paham saat Ragel menaruh tasnya tepat di bangku belakang Retta. Senyum Retta terulas. Dan beranjak duduk namun terhenti saat sebuah pertanyaan terlontar untuknya.
"Lo di sini?"
Retta menoleh, dan tersentak melihat Regha. "Iya, emang kenapa?"
Wajah Regha menunjukkan ketidakpercayaan sebelum tersenyum menampilkan lesung pipi kanannya. "Gue nomor sepuluh. Sebangku sama lo."
Retta terkejut bukan main. Irisnya melebar menatap Regha. "Apa?!"
Anak-anak yang sudah masuk ke dalam bus, dan juga sudah duduk di bangkunya masing-masing serempak menoleh ke asal suara. Memandang heran Retta.
"Lo pasti bohong. Iya kan?!" tanya Retta dengan tatapan tajamnya.
Senyum Regha seketika hilang melihat respon Retta yang menunjukkan ketidaksukaan saat tahu dirinya duduk di sampingnya. Regha menggeleng, lalu menunjukkan kertas yang dia dapatkan.
Retta tak percaya menatap kertas yang tertera tulisan bus nomor lima. Bangku nomor sepuluh.
"Kalo lo nggak suka. Anggap aja gue nggak ada," ucap Regha terdengar lirih, Retta jadi merasa bersalah. Regha duduk di bangku pinggir sedangkan Retta di dekat kaca jendela bus.
Retta diam menatap Regha yang memasang earphone di kedua telinganya lalu terfokus pada ponselnya. Retta pun memilih memandang luar jendela, mengabaikan keberadaan Regha di sebelahnya.
***
Sudah berjam-jam bus meninggalkan lapangan sekolah, Retta tersenyum menatap jalan. Dia merogoh tas yang dia sengaja pisahkan dari kopernya untuk tempat penyediaan cokelatnya. Dan juga hal-hal yang bersifat pribadi. Dia mengambil sebungkus cokelat untuk memakannya.
Dari sudut matanya, Retta bisa melihat Regha yang juga tengah memakan cokelat. Dan sialnya, cokelat yang sedang Regha makan adalah cokelat kesukaannya. Cokelat yang selalu Regha berikan untuk Retta.
"Lo mau?"
Kontan Retta menoleh, ternyata Regha memerhatikan gerak-geriknya. Tangan cowok itu terulur dengan cokelat kesukaan Retta.
Retta menggeleng. "Gue nggak mau."
Regha menatap Retta intens, yang langsung membuatnya salah tingkah. Sang lelaki mengangkat alisnya, lalu membuka bungkus cokelat itu tepat di depan Retta. "Bener nggak mau?"
Bibir Retta tergigit karena melihat cokelat yang jelas-jelas menggugah seleranya itu. "Gue nggak ma—"
Perkataan Retta terputus karena Regha yang menyuapkan cokelat itu ke dalam mulut Retta ketika terbuka.
Wajah Retta langsung memerah, pipinya menggembung. Lucu, Regha tersenyum.
"Lo kok nyebelin sih!" Retta memukul pundak Regha, sambil mengunyah cokelat di mulut. Wajahnya makin memerah. Entah karena kekesalannya pada Regha atau suapan Regha yang tak disangkanya.
"Bukannya gue emang selalu nyebelin?" tanya Regha jahil.
"Iya, lo itu nyebelin. Makhluk paling nyebelin!" sengit Retta.
"Nyebelin atau ngangenin?" Regha semakin jahil menggoda Retta.
Pipi Retta semakin memerah mendengarnya dan segera memalingkan muka.
Sial kenapa hati dan pikirannya gak pernah sinkron sih?
Senyum Regha semakin lebar melihat tingkah lucu Retta. "Gue lebih suka lo galak kaya gini, Ta," Retta kembali menatap Regha bingung. "Daripada diam terus cuekkin gue."
Kata-kata itu membungkam mulut Retta untuk bersuara. Apalagi ditambah iris hitam Regha yang berubah sendu.
TBC(19-12-17)
APING😽
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top