R-R28: Study Tour
DAHI Retta mengerut melihat anak-anak kelas lain yang keluar dari kelas masing-masing lalu berlari-lari menuju—entahlah Retta tidak tahu.
"Ini kan masih jam pelajaran? Kok pada keluar kelas, sih?" Retta menoleh pada Linzy yang duduk di sebelahnya mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan yang berada di pikiran.
Linzy ikut mengerutkan kening lalu mengikuti arah pandang Retta. Koridor jadi ramai karena anak-anak kelas lain yang berlarian. Menoleh pada Shena, Linzy seolah bertanya dari raut wajahnya. Namun, mendadak dia memekik histeris dan tersenyum lebar.
"Jangan-jangan ini tentang berita study tour?!" pekik Linzy sambil berdiri.
Shena ikut tersenyum lebar dan berdiri. "Iya! Mungkin anak-anak pada keluar pengin ngeliat pemberitahuan di mading!"
Retta yang tidak mengerti apa-apa semakin mengerutkan alisnya. "Study tour?"
"Iya, Ta! Sekolah kita selalu ngadain study tour setiap satu tahun sekali dan kebetulan bulan ini biasanya kita ngadain acara itu," ucap Linzy memberitahu.
"Ayo kita liat di mading!" ajak Shena dengan semangat, menarik kedua tangan sahabatnya itu.
Saat mereka sampai di dekat mading. Keadaaan di sana sudah penuh karena siswa-siswi yang mengerubungi. Linzy mengangkat kepalanya tinggi-tinggi tetapi tetap saja itu sulit untuk dia melihat kertas-kertas yang tertempel.
Retta dan Shena hanya berdiri tidak jauh dari Linzy. Mereka berdua tak seheboh perempuan itu yang tengah sibuk berusaha menerobos kerumunan. Bukannya mendapat celah untuk masuk, Linzy malah mendapat omelan oleh orang-orang yang lebih dulu datang.
Shena menggelengkan kepala melihat tingkah Linzy yang tak sabaran.
"Tahun kemarin study tour-nya kemana?" tanya Retta pada Shena.
"Tahun kemarin kita ke jogja." Shena menjawab dengan sangat antusias.
"Ke Jogja?" Retta sedikit takjub dan tak lama ada pertanyaan yang menganggunya. "Tapi nanti kita berangkat bareng dua angkatan lain gitu?"
Mendengar pertanyaan polos Retta, Shena tertawa. "Ya enggaklah, Ta. Nanti ada jadwalnya masing-masing kok. Misalnya; kelas sepuluh berangkatnya minggu ini. Minggu besok untuk kelas sebelas. Dan minggu depannya lagi untuk kelas dua belas."
Mengerti maksud dari Shena, Retta mengangguk-anggukan kepala.
Shena dan Retta yang memang tengah membicarakan hal-hal tentang study tour. Langsung dikejutkan oleh teriakkan Linzy yang baru saja keluar dari kerumunan setelah sebelumnya berhasil menerobos kerumunan itu.
Wajah Linzy terlihat antusias dan berbinar. Merasa sangat bahagia saat mengetahui tujuan study tour tahun ini.
"Kita bakal kemana, Zi?" Shena langsung menodong Linzy dengan pertanyaan.
Namun, perempuan itu hanya senyam-senyum tanpa kejelasan apapun.
"Tujuan study tour tahun ini kemana, Zi?!" ulang Shena kesal karena tidak mendapatkan jawaban.
Linzy menatap intens kedua sahabatnya itu dengan binaran mata antusias. "Kita...," ucap Linzy dengan penuh penekanan. "Bakal study tour Ke Bali!"
"Ke Bali?!" ucap Retta dan Shena hampir bersamaan.
"Iya! Astaga gue nggak nyangka bakal ke sana lagi!" Linzy memegang kedua tangan sahabatnya lalu melompat-lompat dengan penuh kegirangan.
Retta tersenyum, dia juga tidak menyangka akan ke sana untuk kedua kalinya. Bahkan Shena sudah ikut-ikutan Linzy melompat-lompat.
"Tempat yang bakal dikunjungi di mana aja?" tanya Retta. "Tanah Lot, Museum Bali, GWK, atau..."
"Stop-stop-stop!" Linzy memotong ucapan Retta yang tengah menyebutkan tempat mana saja yang akan dikunjungi dengan kesal. "Lo kok malah antusias ke tempat itu sih?!"
Melihat wajah kesal Linzy membuat alis Retta tertaut bingung. "Emang gue salah sebut? Biasanya kan tujuan study tour ke Bali emang ke tempat-tempat itu."
"Ihh... gue juga tau!" ucap Linzy yang mulai gemas dengan Retta. "Maksud gue kita emang bakal ke tempat-tempat yang lo sebutin tadi. Tapi yang buat gue antusias..." Linzy kembali menujukkan wajah bahagianya. "Pantai Kuta!"
Wajah Retta berubah pias. Sinar kesenangan di bola matanya meredup seketika. Mendengar tempat itu, Retta merasa memori-memori dua tahun lalu menyeruak memenuhi kotak pikirannya. Napas Retta seperti direnggut secara paksa, menahan semua kata-kata tanpa suara.
Retta tidak percaya dia akan menginjakkan kakinya ke sana lagi? Tempat yang menjadi saksi Retta mengetahui kebohongan Regha? Tempat kenangan pahit yang berusaha Retta lupakan? Tempat berakhirnya hubungan dirinya dan Regha?
Mendadak rasa sesak itu kembali tercipta di rongga dadanya. Retta menoleh ke samping kanan saat melihat Regha dengan kedua temannya berjalan menuju mading—mungkin untuk melihat tujuan study tour juga.
Tanpa bisa dicegah bulir bening itu meruntuh mengenai pipi saat mata Regha mendongak untuk menatapnya. Dari bulir itu, bulir-bulir lain mengikuti.
Regha terkejut dan hendak mendekati Retta jika saja gadis itu tidak lebih dulu berlari menjauh. Meninggalkan Regha dengan kebingungan dan juga menimbulkan berbagai pertanyaan.
***
Setelah melihat langit senja yang bewarna jingga. Kegelapan menyeruak memenuhi langit malam. Retta tersenyum diam tanpa kata-kata.
Pemandangan malam ibukota yang terlihat indah dari atas sini—di rooftop café milik orang tua Regha. Apalagi lampu-lampu jalan yang tampak seperti titik-titik kecil cahaya menambahkan suasana menyenangkan di hati Retta.
"Woi... malah ngelamun!"
Retta tersentak kaget dengan tepukan di pundak dan sekaligus pekikkan itu. Dengan cepat, diputar tubuhnya itu lalu melotot kesal pada Regha—ternyata orang yang mengejutkannya.
"Untung gue nggak punya penyakit jantung, Gha!" balas Retta sengit. "Ngagetin aja sih!"
Merespon kemarahan Retta, Regha tertawa. "Maaf," hanya kata itu yang Regha ucapkan sebelum mengusap puncak kepala Retta. "Ngelamunin apaan sih?"
Memusatkan pandangannya kembali pada keadaan di bawah melihat jalanan yang dilalui kendaraan yang tengah hilir-mudik. Retta menyandarkan kepala di teralis besi yang menjulang di depannya.
"Gue mikirin perpisahan angkatan kita besok," Retta mengucapkan perkataan itu dengan santai. Namun, tidak menyadari tubuh Regha yang menegang di sebelahnya. "Gue masih nggak nyangka sekolah kita bakal ngadain perpisahan di Pantai Kuta. Itu keren banget!"
Retta menegakkan tubuhnya lalu menatap Regha dengan sorot kebahagian di bola matanya. "Kata Davel lo yang minta sama Kakek lo supaya sekolah ngadain perpisahan di sana. Itu benar, Gha?"
Regha tak mampu menjawab, bibirnya terkatup rapat. Wajahnya berubah pucat tanpa alasan. Retta mengernyit melihat Regha seperti itu. Seolah-olah kata-kata yang Retta ucapkan tadi bukan sebuah berita kebahagian tapi menyakitkan untuk Regha.
"Lo kenapa, Gha?"
"Emang gue kenapa?" Regha balik bertanya sambil tertawa hambar.
Selalu seperti itu kalau ditanya. Retta mendengus.
"Davel ngomong apa lagi ke lo?" Retta mengernyit melihat Regha yang melemparkan pertanyaan dengan pancaran ketakutan di iris matanya.
Walaupun Retta heran dengan sikap Regha yang berubah drastis. Dia tetap menjawab pertanyaan itu. "Dia juga bilang lo mau ngasih kejutan ke gue di sana."
Mata Regha terbelalak, wajahnya semakin terlihat pucat. Retta bertambah bingung melihatnya.
Namun, tak lama wajah pucat itu berubah berseri dan senyum manis terukir di sana. "Nggak usah dipikirin ucapan Davel," ucapnya lalu tangan Regha merogoh saku celananya mengeluarkan sesuatu di sana.
Iris cokelat itu membulat penuh sesaat setelah Regha mengeluarkan benda cantik itu dari sana lalu menggantungnya tepat di depan mata Retta yang takjub melihatnya.
"Itu..." Retta tak mampu berkata-kata. Matanya terpekur pada kalung berbandul 'R' yang berada di depannya. Kilau titanium yang berasal dari lintion berbentuk 'R' itu sanggup membuat Retta takjub setengah mati.
Regha kembali menampakkan senyuman sebelum bergerak ke punggung Retta dan memasang kalung itu dari belakang. Retta menatap kalung yang sudah menggantung manis di lehernya.
Memutar tubuhnya menghadap Regha, Retta menanyakan hal yang mengganggu pikirannya. "Kenapa ngasih kalung ini? Dan 'R' artinya nama gue?"
Bola mata hitam itu memaku matanya cokelatnya dengan sinar lembut. "Liontin 'R' itu artinya bukan nama lo doang. Tapi bagi gue itu pemilikkan nama kita berdua 'Regha untuk Retta' dan 'Retta untuk Regha'."
Di akhir kalimat Regha tersenyum tulus. Retta tertegun beberapa saat sebelum menampilkan wajah kebingungan. "Gha?"
"Ya?"
"Lo habis salah minum obat?" tanya Retta dengan wajah polos.
Atsmosfer melankonis yang sempat terjalin di antara mereka seketika rusak karena pertanyaan polos itu.
Regha memutar matanya malas. "Lo ngerusak suasana, Ta!"
"Emang gue salah ngomong?" Retta merengutkan wajahnya. "Lo nggak pernah romantis kayak gini. Makanya keliatan aneh."
Regha mendengus mendengar penuturan itu, Retta jadi terkekeh. "Jangan ngambek gitu, Gha. Gue suka kok sama kalungnya."
"Kalo sama orang yang ngasih?"
Pertanyaan itu mendapat tabokkan keras dari Retta di bahu Regha.
***
Meringkuk diam di atas ranjang. Retta memeluk kedua lutut sambil bersandar. Menatap kosong jam dinding yang melarikan detik demi detik dalam keheningan. Bulir-bulir bening itu meluncur dengan mudah melewati sudut mata, pipi, dagu, lalu terjatuh sia-sia.
Pandangannya teralihkan pada kalung yang berada di genggaman. Retta tersenyum miris. Mengusap liontin itu, kembali membuat bulir bening itu terjatuh.
Seharusnya saat itu Retta tahu bahwa ada sesuatu yang Regha sembunyikan. Ketakutan yang terpancar di matanya adalah bukti bahwa Regha takut jika semua permainan yang dia mainkan bersama temannya akan terbongkar.
Kepala Retta semakin tertunduk beriiringan dengan isakkan yang terdengar pedih meluncur dari bibirnya. Kenapa dia jadi terlihat seperti gadis bodoh yang menangisi suatu hal yang tidak penting? Kenapa dia tidak bisa seperti ibunya yang menghadapi masalah dengan senyuman?
Melepaskan pelukan di kedua lututnya, Retta menggeleng kuat-kuat sambil menghapus air matanya dengan kasar. Mengingat sang ibu membuat Retta sadar.
Untuk apa menangis karena kebohongan laki-laki seperti Regha? Cowok bodoh yang tidak pantas untuk ditangisi. Belum tentu Regha akan bereaksi sama seperti dirinya saat mengetahui tujuan study tour tahun ini. Iya! Retta tersenyum. Regha tidak mungkin merasa terpuruk seperti dirinya.
Itu hanya pemikiran Retta, dia sama sekali tidak tahu kondisi Regha sebenarnya.
Sudah berjam-jam Regha duduk di kursi yang diletakkan di balkon kamar. Sudah lima kaleng soda Regha habiskan hanya karena memikirkan itu.
Memikirkan kenangan yang membuat rasa penyesalan itu kembali.
Menatap nanar bulan yang bersinar, Regha tersenyum miris. Cahaya bulan bisa menerangkan kegelapan malam. Tapi sayang, sinar itu tak bisa menerangkan hati Regha yang suram.
TBC(28-11-2017)
Aping
________
YEAYYYY APING BALIK LAGI!!
ADA YANG KANGEN GAK? WKWK
Oke cuma bercanda XD
Setelah pusing sama soal-soal yang menguras otak, akhirnya aku bisa update lagi yeee.
Ya walaupun sebenarnya lagi sakit.
Semoga part ini gak bikin pusing ya :))
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top