R-R22: Mengalah

RUANG kelas sudah sepi, sejak bel istirahat berbunyi nyaring. Koridor depan kelas Regha sudah terdengar kebisingannya sampai ke dalam ruang kelas. Regha menutup buku, berdiri.

Menunggu Arven mencatat tulisan yang berada di papan tulis putih itu. Regha memperhatikan, bagaimana Arven yang tekun belajar dan selalu mementingkan pelajaran dari apapun. Kalau bukan Regha adalah teman SMP-nya, mungkin saja Arven tidak terbebani oleh kepopuleran yang sebenarnya tidak ingin dia dapatkan.

Dan jika saja Regha mendengarkan saran Arven waktu dulu, mungkin saja sekarang Retta tidak membencinya dan juga menjauhinya.

"Yuk!" Arven berdiri meletakkan kacamata miliknya di kotak lalu memasukkannya ke kolong meja.

Regha mengangguk, mereka berdua melangkah keluar pintu kelas. Teman perempuan kelasnya, terlihat duduk-duduk di kursi panjang depan kelas.

"Si curut tumben belum nyamperin kita ke kelas." Arven memutar pandangannya mencari sosok Zion yang biasanya sebelum bel pun sudah menunjukkan batang hidungnya.

"Mungkin dia udah duluan."

Baru saja Regha mengatakan itu, dan berjalan mendekati kelas Zion yang berada tepat di sebelah kelasnya. Sosok itu muncul tiba-tiba dari dalam kelas.

"Nungguin gue ya?" Zion berdiri di depan mereka berdua dengan cengiran khasnya.

"Siapa yang nungguin lo!" Arven berucap ketus membuat mata Zion terbelalak.

"Jahat banget sama teman sendiri." Wajah Zion menampilkan raut seolah dirinya tersakiti dengan ucapan Arven.

"Lo temen gue?" tanya Arven dengan wajah datar.

"Bukan," Zion menggeleng sambil menunjukkan senyum miringnya. "Gue cowok paling ganteng di sekolah."

"Najis, pede banget sih lo." Sekali lagi, Arven menunjukkan raut datarnya.

Wajah datar Arven memang minta digampar sama Zion, bikin kesal.

"Nggak pa-pa pede, yang penting gue nggak terbayang-bayang masa lalu, kayak lo berdua." Zion menunjuk Regha dan Arven secara bergantian dengan telunjuknya.

Ucapan itu berhasil membuat kedua cowok berjambul itu terdiam, Arvenlah yang pertama kali berdehem lalu mengucapkan, "Gue nggak punya masa lalu." ucap Arven sangat ketus.

"Oh iya-iya. Lo kan jomblo," ucap Zion dengan santai.

Arven melotot mendengarnya.

"Udah-udah nggak usah di seriusinlah omongan gue. Gue kan cuma bercanda." Zion memberi penjelasan karena melihat Regha yang masih terdiam di tempat. "Gha!" Zion menepuk pundak cowok itu membuat Regha mengerjap.

Regha telah keluar dari lamunannya, lalu matanya melirik ruang kelas Zion.

"Retta nggak ada." Jelas Zion melihat Regha yang pasti sedang mencari sosok perempuan yang memakai bandana. "Dia udah ke kantin duluan."

Regha mengangguk. "Bareng Linzy?"

"Iya, sebenarnya sih dia keliatan nggak mau ke kantin tapi sepupu lo itu maksa."

Regha sudah tak heran lagi dengan sifat Linzy yang suka memaksakan kehendaknya.

Setelah itu, mereka bertiga langsung berjalan kembali di koridor menuju kantin yang ada di lantai dua. Menaiki tangga satu persatu dengan santai.

Ketika sudah berada di kantin, mata Regha langsung jatuh pada keberadaan Retta yang sedang duduk sendiri, mengaduk jus alpukatnya dengan sedotan. Tampak enggan untuk meminumnya.

Tiba-tiba Zion mendorong dirinya mendekat pada meja Retta, membuatnya berdiri tepat di depan gadis itu.

Kepala itu mendongak, menunjukkan mata cokelat yang lantas membuat Regha terpaku.

"Weh... kita boleh duduk di sini kan, Ta?" Zion bertanya, padahal orang yang ditanya belum memberikan jawaban tapi cowok itu sudah lebih dulu duduk di depannya.

Meja kantin itu bundar, memiliki lima kursi di setiap meja. Arven juga ikut duduk di sebelah Zion. Dan otomatis hanya ada dua bangku kosong yang mengapitnya, dan Regha memilih duduk di salah satu bangku itu. Duduk bersebelahan dengan Retta.

"Gue mau mesen makanan dulu?" Zion berdiri, lalu melangkah hendak meninggalkan meja, tapi teringat sesuatu. "Lo mau pesen apa, Gha?"

"Nggak usah gue bisa mesen sendiri." Regha tiba-tiba ikut berdiri, tetapi seketika duduk kembali karena Zion mendorong bahu Regha untuk duduk.

"Nggak pa-pa, gue aja yang pesen." Protesan Regha tidak sempat keluar karena Zion lebih dulu pergi dari pandangannya.

Meja itu hening, tidak ada obrolan yang bisa memutuskan keheningan yang terjalin. Arven menatap Regha dan Retta yang hanya diam, menciptakan suasana yang senyap.

Arven berdehem membuat kedua orang itu menoleh.

"Kenapa, Ven?" tanya Regha karena deheman itu.

"Nggak, gue kayaknya mau beli minuman dulu." Arven berdiri lalu melenggang ke salah satu kedai makanan, lebih baik pergi dari suasana canggung itu.

Regha diam memperhatikan Retta yang tak acuh dengan keberadaannya, masih mengaduk minuman dengan sedotan. Regha menarik napas, dia harus bisa melenyapkan keheningan ini.

"Kenapa lo nggak minum?"

Pertanyaan itu membuat Retta mendongak menatapnya. "Nggak kenapa-napa, lagi nggak pengin aja."

"Terus kenapa di pesen?"

"Udah terlanjur di pesan sama Linzy." Jawabnya dengan nada pelan, tidak ada semangat yang terlihat di wajah itu.

Retta mengedarkan pandangan, membuat Regha juga ikut melakukan hal itu. Semua orang di kantin menatap ke arah mereka berdua dengan heran bahkan perempuan yang duduk di meja belakangnya, berbisik-bisik.

Tangan Regha terkepal, dia sangat tahu apa yang akan Retta lakukan. Dan benar perkiraannya Retta berdiri hendak pergi meninggalkannya, tetapi tangannya berhasil menahan.

"Lo mau kemana?"

"Gue nggak mau jadi sorotan lagi." Retta menatap tajam Regha. "Bukannya gue udah minta lo untuk ngejauh, tapi kenapa lo nggak ngikutin permintaan gue?"

"Gue nggak bisa," jawab Regha dengan emosi yang berusaha ditahan.

"Gue mau hidup gue tenang, Gha. Gue nggak mau jadi sorotan satu sekolah lagi." Air mata itu sudah menggenang di pelupuk, menunggu untuk jatuh.

Regha memejamkan mata, menghela napas. Lebih baik Regha mengalah dibandingkan harus melihat kilatan kesedihan di mata cokelat itu.

"Oke," Regha melepas genggaman tangannya. "Lo nggak usah pergi dari sini, gue aja yang pergi." Regha bangkit berdiri lalu melenggang dari pandangan Retta.

Retta tersenyum pahit saat melihat punggung Regha yang hilang dari pandangannya. Seharusnya memang seperti ini, dia dan Regha harus saling menjauh.

***

Tak lama kedua sahabat Regha kembali bersama Linzy. Linzy, perempuan itu meletakkan nampan yang berisi dua piring somay dan satu es teh miliknya, dia memberikan salah satu piring itu kepada Retta, setelah duduk di sebelahnya.

"Kata lo berdua Regha nunggu di sini?" Linzy mengernyit bingung karena tadi dia kaget saat Arven dan Zion bilang ingin bergabung makan di mejanya bersama Retta. Dan juga bilang jika ada Regha di sana yang menunggu, membuat Linzy urung menolak.

"Kok lo cuma sendiri? Regha kemana?" Arven bertanya, menatap tajam Retta yang hanya diam terlihat tidak peduli.

"Lah, iya tuh anak kemana?" Zion juga ikut bertanya, menaruh nampan makanan di meja.

"Nggak tau," jawab Retta singkat, kembali mengaduk jus alpukatnya.

Tangan Retta mendadak dicengkram oleh Arven, membuat gerakan mengaduknya terhenti. "Jangan bercanda, lo ngomong apaan ke Regha?"

"Kok jadi Retta yang disalahin?" Linzy mengerutkan alis menatap Arven. "Mungkin dia ke toilet."

Tatapan Arven semakin dingin menusuk Retta, lalu menarik tangan Retta kuat. "Ikut gue!"

"Temen gue mau di bawa kemana?!" teriak Linzy melihat Retta yang berusaha melepaskan tangannya dari cengkraman Arven.

"Di sini aja," titah Zion, menahan tangan Linzy yang ingin menyusul Retta.

***

Arven melepas tangan Retta saat sudah menjauh dari kantin, berhenti di depan gudang. "Lo ngomong apa ke Regha?" Arven mengulangi pertanyaan tadi.

"Kenapa lo pengin tau?!" Retta membalas mata tajam Arven dengan raut menantang.

"Karena gue sahabatnya."

Jawaban dengan suara terdengar datar itu membuat dia terdiam beberapa saat. Retta menghela napas, lalu memalingkan wajah. "Gue minta dia untuk ngejauh." Lebih baik Retta mengatakannya.

"Kenapa baru sekarang lo minta Regha untuk menjauh?" Nada sinis itu membuat Retta kembali membalas tatapan Arven. "Kenapa nggak minta sebelum lo tahu kebenarannya? Sebelum lo tau kalau hubungan itu hanya rekayasa."

Ucapan dan tatapan tajam Arven kembali menyakiti Retta karena teringat dengan kenangan yang berusaha dia lupakan. Retta bergeming, tangannya mencengkram rok abu-abunya, matanya sudah panas karena berusaha menahan tangisan.

"Gue udah nyuruh lo ngejauh saat itu," suara Arven kembali terdengar tapi kali ini tidak ada nada sinis yang menyakiti Retta. "Gue udah berusaha untuk menghentikan rencana yang ngebuat lo dan Regha sama-sama sakit."

Retta mendongak menunggu lanjutan perkataan Arven. "Tapi... lo berdua sama-sama keras kepala, nggak pernah mau dengerin omongan gue."

"Lo tersakiti, Regha juga. Lo hancur, Regha apalagi." Arven semakin intens menatapnya. "Lo ngebenci Regha, Regha ngebenci dirinya sendiri karena lo pergi."

"Dia nyesel, Ta. Dia nyesel karena udah nyakitin lo, ngehancurin hati lo..." ucapan Arven semakin membuat Retta bergeming di tempat, tidak tahu mesti menjawab apa.

Arven menepuk pundaknya dua kali sambil tersenyum tulus.

"Gue berharap lo bisa maafin Regha, dia bener-bener nyesel. Jangan sampai nanti ke balik, lo yang bakal nyesel."

Setelah Arven mengatakan kata-kata penuh teka-teki, dia berlalu menjauh meninggalkan Retta.

TBC(07-11-17)
APING

_________

Arven emang yang paling bijak dan pengertian wkwk

Makasih yang udah luangin waktunya buat baca:)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top