R-R21: Menjauh?

MOBIL bewarna silver berhenti di depan lobi sekolah Taruna Jaya, Retta keluar dari sana setelah berpamitan dengan Ayahnya. Kaca mobil terbuka, Fahmi tersenyum di dalamnya.

"Kamu nanti pulang naik apa?"

"Gampang, Yah. Palingan nanti Retta pulang naik taksi," ucap Retta menjawab pertanyaan ayahnya.

"Jadi nggak pa-pa kalau Ayah nggak jemput kamu?"

Retta tersenyum melihat ayahnya yang mengkhawatirkan dirinya. "Nggak pa-pa, Yah."

"Ya udah, yang semangat belajarnya." Pesan Fahmi sambil tersenyum, Retta menjawab dengan anggukan kepala. Setelahnya, mobil silver itu menjauh dari pandangan Retta.

Berbalik, Retta menaiki tiga undakkan tangga, berjalan santai menuju koridor. Namun, langkahnya terhenti karena teriakkan seseorang yang memanggil namanya. Kembali berbalik, Retta menemukan Linzy yang baru saja keluar dari mobil.

Linzy mensejajarkan langkahnya dengan Retta.

Linzy, orang pertama yang mendekati Retta saat pertama kali sekolah di sini. Berkenalan di kelas, lalu menyambung ke hal-hal tentang wanita. Padahal baru kemarin Retta pindah tapi dia berhasil menemukan kawan baru yang mengerti dirinya.

Meski dia dan perempuan yang terlihat setengah bule ini memliki sifat seratus delapan puluh derajat berbeda. Linzy yang galak dan cerewet di kelas dan Retta yang diam dan tidak banyak omong.

"Lo SMP dimana, Ta?" Linzy bertanya memutus keheningan yang sempat terjalin. "Di Bandung? Atau sempat sekolah di Jakarta?"

Terdiam, Retta bingung harus mengatakan apa? Apa dia harus memberitahu jika dia bersekolah di SMP Sarena. Tapi...

"Kenapa lo nanya soal itu?" Retta tertawa garing. "Kita kan udah kelas sebelas bukan lagi kelas sepuluh yang baru masuk."

"Ya cuma pengen tahu aja." Linzy membalas dengan santai.

"Di..." ucapan Retta kembali tertahan, entah kenapa dia sulit mengucapkan asal SMP-nya dulu. "Di SMP Sarena." Akhirnya Retta berhasil mengucapkan meski dengan nada pelan.

"Apa?!" Linzy memekik matanya melebar menatap Retta. "Lo sekolah di SMP Sarena milik kakek gue?!"

Tunggu... Retta berhenti berjalan, Linzy pun. Kakek? Otak Retta berputar memikirkan maksud dari Linzy. Saat sebuah kesimpulan membentuk di kepalanya, Retta merasa jantungnya berhenti berdetak.

"Iya! Gue sepupu, Regha!" Linzy mengerti raut wajah Retta lalu langsung memberi jawaban yang memang sempat terpikirkan oleh Retta, mendadak jantung Retta kembali berpacu lebih cepat dibanding biasanya.

Memangnya kenapa kalau Linzy adalah sepupu Regha, Retta menggeleng kuat-kuat saat bersekelebat pikiran negatif melintas. Tidak! Linzy tidak mungkin salah satu orang yang ikut andil dalam permainan Regha. Iya, yang Retta tahu hanya Arven dan Davel yang membantu rencana itu untuk berhasil.

"Retta?" Linzy berhasil membuat Retta menyingkirkan pikiran yang tak karuan itu. "Lo kenapa?"

Retta hanya menggeleng, menjawabnya. "Kalo lo SMP di Jakarta?" Lebih baik Retta mengalihkan pada hal lain.

"Nggak," Linzy menggeleng. "Gue waktu SMP sekolah di Bali."

"Bali?" Kedua alis Retta terangkat.

"Iya, waktu gue lulus SD, bokap gue ditugasin di sana. Ya jadi terpaksa gue pindah." Linzy memberi penjelasan yang membuat Retta kembali terdiam.

Jadi Linzy tidak mungkin ikut peran dalam rencana Regha, karena dia ada di Bali, yang letaknya jauh dari Ibukota. Dan pemikiran itu membuat rasa cemas Retta berangsur menghilang

Sejenak kesenyapan itu tak dapat dihindarkan, mereka berdua berbelok ke kanan menuju kelas yang berada di ujung tanpa obrolan. Hingga Linzy mempertanyakan hal yang membuat Retta berhenti berjalan.

"Oh iya, Ta? Lo tahu mantan Regha siapa?"

Pertanyaan itu berhasil memaku kaki Retta untuk bergerak, membekukkan pikirannya untuk menjawab.

"Soalnya ya, Ta, dia berubah banget pas lulus SMP. Nggak ada lagi Regha sombong yang gue kenal. Nggak ada lagi sepupu nyebelin gue." Linzy terus mengoceh sambil berjalan, tidak tahu bahwa orang yang sedang diajak mengobrol terdiam di tempat.

"Terus..." ocehan Linzy berhenti menyadari orang yang di ajak ngobrol tidak ada di sampingnya. Berbalik, Linzy mengernyit melihat Retta diam layaknya patung. "Retta!"

Mendongak, mata Retta mengerjap beberapa kali. Teriakan Linzy berhasil menarik dirinya dari lamunan. Retta menyusul langkah Linzy, kembali berjalan berdua.

"Lo kenapa sih?" Heran Linzy yang melihat Retta banyak diam.

"Gue nggak kenapa-napa." Retta tersenyum, meski ada sesuatu yang sesak menghimpit hatinya. "Kenapa lo nggak langsung nanya ke Regha aja?"

Cemberut, Linzy memberengutkan bibirnya. "Dia nggak mau ngasih tau. Nyebelin banget. Dia malah bilang gue kepo."

"Terus kenapa lo nggak nanya sama alumni SMP Sarena yang lain? Kenapa nanya ke gue?" tanya Retta dengan senyum tipis.

"Masalahnya alumni SMP Sarena yang gue tahu cuma dua; Regha sama Arven." Linzy menjawab dengan nada menggebu, kesal. "Dan tambah satu orang lagi, lo."

Linzy menunjuk Retta dengan telunjuk. Retta tidak merasa heran alumni SMP Sarena tidak banyak yang masuk ke SMA Taruna Jaya. Karena biasanya, lulusan SMP Sarena melanjutkan ke SMA Sarena juga. Dan awal Retta ingin masuk ke sekolah ini karena Retta berpikir kalau Regha melanjutkan ke SMA Sarena seperti yang pernah dia bilang padanya. Tapi ternyata...

"Regha!" Teriakan Linzy, menarik Retta ke asal objek yang di teriaki oleh Linzy. Melihat Regha dan kedua temannya sedang berjalan di koridor yang sama.

Karena teriakkan Linzy ketiga cowok itu berbalik menghadap dirinya dan Linzy. Mata hitam itu langsung jatuh pada posisi Retta, Retta terpaku.

"Ayo, Ta!" Linzy menarik tangannya mendekat pada Regha dan kedua temannya. Padahal baru tadi malam Retta meminta Regha untuk menjauhi, tapi kenapa seakan sekarang dirinya yang mendekat pada cowok itu?

"Suara lo cempreng banget sih." Perkataan Zion menyambut Linzy dan Retta yang sudah berdiri di depan mereka.

Kontan perkataan itu membuat kepala Linzy membludak oleh rasa kesal. "Apaan sih lo!" Mata Linzy melotot, orang yang dipelototi malah terkekeh geli.

"Kenapa, Zi?" tanya Regha karena seruan Linzy tadi.

Linzy menyengir. "Nggak pa-pa, cuma manggil aja."

Regha hanya mengulum bibir, bingung harus merespon apa. Apalagi di depannya ada Retta yang hanya menunduk sama sekali tidak mau melihatnya. Regha jadi menghela napas.

"Gue bingung, Gha. Kenapa lo punya sepupu macam dia?" tanya Zion menatap Linzy remeh.

Oke, sepertinya Zion memang sengaja memancing kemarahan Linzy pagi-pagi. Awas aja! batin Linzy berseru kesal.

"Zi, mending duluan aja yuk ke kelasnya." Retta menarik lengan Linzy membuat Linzy sedikit melupakan kekesalannya pada Zion.

"Kenapa nggak bareng kita aja ke kelasnya, Ta?" Zion bertanya. "Kan gue juga sekelas sama lo."

Retta mendongak menatap Zion, cowok berambut acak-acakkan itu tersenyum manis padanya.

Tiba-tiba Linzy menginjak kaki Zion membuat cowok itu memekik kesakitan. "Jangan mau kemakan sama modusnya Zion, Ta. Ngaku jomblo, tapi ceweknya ada dimana-mana."

"Sotoy banget sih lo. Jangan dipercaya, Ta. Gue orangnya setia kok." Zion kembali menunjukkan senyuman manisnya, membuat Linzy berdecih jijik.

"Sirik aja lo." Zion menanggapi decihan Linzy dengan malas.

Retta tidak terlalu fokus dengan perdebatan kedua orang ini. Retta tengah berusaha menetralkan degup jantungnya. Berusaha terlihat biasa saja, Retta menaikkan pandangannya yang langsung disambut mata hitam Regha yang tak terbaca.

Arven, berdiri di sebelah Regha terlihat seolah tak peduli pada keadaan di sekitarnya yang tak mengenakkan.

"Pokoknya ya, Ta, lo jangan deketin Zion. Dia itu cowok brengsek." Nada ketus Linzy membuat mata Zion melebar.

Entah kenapa Retta jadi tersenyum mendengar perkataan Linzy. "Bukannya emang semua cowok brengsek?" Setelah kata-kata itu keluar, mata Retta mengerling ke arah Regha yang hanya diam.

Perdebatan Linzy dan Zion berhenti seketika karena nada sinis yang Retta keluarkan, Linzy mengernyit tidak paham maksud Retta sedangkan Zion menatap Regha dan Retta secara bergantian.

"Maksud lo, Ta?" Linzy masih belum mengerti.

Retta hanya menggeleng dengan senyum misterius. "Gue duluan, ya." Retta langsung melangkah, berjalan meninggalkan orang-orang yang menciptakan suasana pahit di hatinya.

"Eh... Retta tunggu!" Linzy lantas berseru menyusul langkah Retta yang sudah menjauh.

Regha membisu menatap punggung Retta yang kian menjauh dari pandangan. Cowok brengsek Regha tahu kalau dirinya brengsek karena menyakiti hati perempuan itu. Dan dia tidak bisa menyalahkan Retta yang membencinya karena ini kesalahannya sendiri.

"Jangan dipikiran, Gha." Arven menepuk pundak Regha sambil tersenyum, memberi semangat.

Jauhi gue? Regha tersenyum masam, mengingat permintaan Retta tadi malam. Mungkin dirinya bisa saja menjauh dari Retta tapi bagaimana dengan hatinya yang selalu ingin mendekati gadis itu. Regha tidak bisa.

Tidak akan pernah bisa.

TBC(04-11-17)
        APING

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top