R-R19: Kenangan Menyakitkan

Takdir punya jalannya sendiri untuk mempertemukan kembali hati yang pernah hancur.

___________

BERDIRI diam memandang langit malam yang kosong, hanya ada sang bulan yang menemani. Kegelapan yang terasa menyesakkan, karena sang bintang memilih bersembunyi. Sama halnya yang Retta rasakan sekarang; kosong dan hampa.

Retta kira selama dua tahun itu sudah cukup untuk menyembunyikan hati, pikiran dan juga perasaannya dari semua orang. Pergi tanpa kabar. Tanpa memberitahukan siapapun kemana tujuannya.

Tapi semua dugaannya salah.

Berusaha sekuat apapun Retta melupakan kenangan itu, kenangan yang awalnya sangat manis, namun berakhir tragis. Tetapi tetap saja dia tidak bisa. Dia tidak akan pernah bisa melupakan kenangan yang sangat erat dalam kepala dan terasa pahit dalam sekejap mengingatnya.

Karena sepertinya takdir punya aturan sendiri, yang tidak pernah Retta mengerti. Saat dia memutuskan untuk kembali menginjakkan kaki ke kota kelahirannya setelah dua tahun lamanya dia tinggalkan.

Takdir malah kembali mempertemukan dirinya dengan sosok yang sangat ingin dia lupakan, musnahkan, dan singkirkan. Sosok yang dulu mewarnai hidupnya bagaikan pelangi—namun, semua orang juga tahu kalau pelangi tidak pernah bertahan lama.

Regha. Orang pertama yang berhasil membuat Retta tertawa, tersenyum, dan sekaligus orang pertama yang berhasil menghancurkan kepercayaannya. Lelaki yang dia sayangi dengan tulus setelah ayahnya. Tapi sayang, rasa tulusnya dibalas dengan kebohongan.

Semuanya terasa semakin sulit saat dirinya harus satu kelompok dengan Regha di eskul yang dia ikuti. Tetapi Retta berusaha menampilkan kalau dirinya sama sekali tidak terpengaruh dengan kebetulan itu. Kebetulan yang selalu membuat dia dan Regha bertemu.

Retta menghela napas, menghapus air mata yang ternyata sudah jatuh di pipinya. Sebenarnya Retta lelah dengan pikiran—yang lagi-lagi tentang masa lalunya. Lelah menangis, lelah bersikap seolah-olah dia sedang baik-baik saja.

Sejak pulang sekolah Retta mengurung diri di kamar. Lebih tepatnya setelah dia mengatakan kata-kata yang pasti menohok hati Regha. Keadaan yang memaksanya mengatakan itu, dia tidak mau terlihat lemah hanya karena kembali melihat Regha. Mendengar suara cowok itu.

Retta berjalan kembali ke kamar. Mengambil sesuatu di laci, sebuah bingkai foto. Di sana Retta tersenyum bersama badut di sebelahnya. Retta masih takut badut tapi karena badut disebelahnya adalah Regha, rasa takut itu berangsur hilang.

Ingatan itu masih terpatri jelas di pikiran, saat Regha terpaksa memakai kostum badut hanya karena ingin menghilangkan ketakutannya. Regha yang perhatian padanya, Regha yang selalu tersenyum, Regha yang menyebalkan tapi bisa membuatnya tertawa. Regha-nya.

Apa Retta masih boleh mengatakan jika Regha adalah miliknya? Tidak! Regha bukan miliknya sejak dia mengetahui semuanya dua tahun lalu. Regha bukan siapa-siapa sejak saat itu.

"Retta." Suara itu bersamaan dengan pintu kamarnya yang terayun, membuat Retta sesegara mungkin menghapus air matanya.

"Iya, Yah?" Retta berbalik menatap ayahnya.

"Kamu mau ikut ke pesta perusahaan rekan bisnis Ayah?"

Sejak Fahmi, ayahnya mengajak pindah ke Bandung, perekonomian keluarganya sudah tidak seperti dulu lagi. Ayahnya membuka bisnis kuliner di Bandung, dan ramai pengunjung yang datang. Karena itu, ayahnya membuka cabangnya di Jakarta.

Dan karena itu semua Retta harus kembali menginjakkan kakinya di kota ini.

Retta mengangguk sambil tersenyum, dia berdoa dalam hati agar ayahnya tidak melihat matanya yang sembab.

"Ya sudah, kamu siap-siap sekarang, jam tujuh sudah harus siap." ucap Fahmi mengingatkan, setelah mendapatkan anggukkan kembali oleh Retta, Fahmi berlalu dari kamar putrinya itu.

Retta melirik jam di dinding. Jam tujuh kurang lima belas menit. Retta harus cepat-cepat bersiap.

***

Regha. D: Bosen nih gue di sini :(

Zion. H: kalo gue jadi lo gue nggak bakal bosen, Gha. Apalagi di sana banyak makanan

Regha mendengus membaca balasan Zion. Zion memang tidak bisa diajak berkomunikasi, pasti ujung-ujungnya selalu bawa-bawa makanan.

Regha memutuskan untuk tidak membalas chat dari Zion, memasukkan ponsel ke saku celana. Pandangan Regha berpendar ke sekeliling, yang dia dapati orang-orang yang memakai baju formal—termasuk dirinya.

Regha sebenarnya sangat malas mengikuti pesta-pesta yang seperti ini. Mengharuskan setiap tamunya memakai baju formal. Sempat tadi dia menolak ajakkan mamanya untuk pergi ke pesta yang di adakkan di perusahaan ayahnya. Tetapi Regha tahu mamanya akan bertindak apa jika dia terus menolak. Mamanya pasti akan menceramahinya, mengatakan kalau dirinya harus terbiasa dengan pertemuan ataupun pesta seperti itu.

Huuft. Telinga Regha sudah bosan mendengar perkataan itu.

Regha agak sedikit tersentak saat ada yang menarik jasnya dari arah bawah. Lantas Regha langsung melangkah mundur, saat mendapati adiknya, Emilly. Wajah gadis kecil itu belepotan oleh cokelat yang berada digenggamannya. Regha langsung memeriksa jasnya, takut tangan Emilly mengotorinya.

"Tangan kamu kotor, Milly." Regha mengangkat tangannya, menahan Emilly yang ingin mendekat. "Bersihkan dulu tangan kamu—Kemana Mbak Nina." Regha kembali mengedarkan pandangannya mencari pengasuh adiknya itu.

Emilly cemberut, kesal menatap kakaknya. Tiba-tiba sosok yang dari tadi Regha cari muncul.

"Aduh Non, ini nanti dimarahin Nyonya, kalau tahu dress-nya kotor." Mbak Nina berjongkok membersihkan wajah dan kedua tangan adiknya yang kotor dengan tisu basah.

"Milly cuma makan cokelat." Milly membela diri dengan wajah polos. Melihat wajah adiknya yang seperti itu saja membuat pengasuhnya tidak jadi memarahi.

"Ya udah kita ganti dress-nya dengan yang baru."

Baru ingin menuntun tangan Milly menuju toilet untuk berganti dress—yang dibawa untuk berjaga-jaga—kepala Milly langsung menggeleng.

"Mbak Nina marahin dulu bang Ega, tadi Bang Ega marahin Milly."

Regha mengernyit, kapan dirinya memarahi adiknya itu?

"Iya, kita kasih tau Mama aja supaya, Bang Ega dimarahin sama Mama." Pengasuh adiknya itu berbisik membuat Emilly terkikik geli, lalu kembali menuntun adiknya berlalu dari pandangannya.

Regha semakin bosan di sini, lalu tangannya meraih gelas yang di sediakan untuk para tamu untuk minum di meja.

"Regha, Papa mau kenalin kamu sama rekan bisnis Papa." Tiba-tiba Reno—papanya menghampiri.

Regha menautkan alisnya. "Untuk apa?"

"Ya untuk kamu kenalan dengannya. Ini rekan papa yang membuka bisnis kuliner," ucap Reno memberitahu anaknya. "Yang makanannya sering Papa kirim untuk kamu."

Regha terdiam, memikirkan makanan yang selalu Papanya bawa pulang, jika balik dari Bandung. Makanan yang Regha sangat suka. "Rekan bisnis yang baru bekerja sama dengan Papa selama lima bulan."

Reno mengangguk, membenarkan pendapat anaknya. "Ya, karena itu dia buka cabangnya di Jakarta. Ayo Papa mau kenalin kamu sama dia."

Regha kembali mengangguk, sebenarnya dia malas berkenalan dengan orang lain. Lalu setelah perkenalan itu pasti papanya akan memintanya untuk belajar mempelajarinya. Tetapi tetap saja dia mengikuti langkah Reno dari belakang.

"Regha ini pemilik restaurant makanan kesukaan kamu."

Orang itu membelakangi Regha, perkiraan Regha, umur orang yang berdiri di depannya pasti tidak jauh dari umur ayahnya dilihat dari perawakan orang itu. Mendengar suara ayahnya membuat orang itu berbalik melihatnya.

Mata Regha terbelalak, terperangah tidak percaya karena orang yang tepat berdiri di depannya. "Om..." mendadak, suaranya tercekat di tenggorokan.

Orang itu juga seperti terkejut, lalu wajahnya menunjukkan kalau dia sedang mengingat-ngingat pernah bertemu Regha dimana. Tak beberapa lama wajah orang tua itu tersenyum seolah sudah mengingat Regha. "Kamu—Nak."

Orang itu memanggil anaknya yang berdiri tak jauh darinya, gadis itu menoleh pada pada Regha. Kedua bola mata berbeda warna itu saling bersitatap. Lantai yang Regha pijak seolah terasa ingin runtuh, genggaman tangannya pada gelas semakin kuat.

Raut wajah gadis itu terkejut awalnya, tetapi sepertinya Retta memang paling bisa mengendalikan diri. Gadis itu tidak menampakkan raut apapun, seolah-olah mereka berdua memang orang asing.

Retta berjalan mendekat sambil tersenyum pada ayahnya. "Iya, Ayah kenapa?"

"Ini teman SMP kamu, kan?" Fahmi bertanya, "Yang sering jemput kamu pakai mobil setiap pagi."

Reno, Papa Regha agak terkejut. "Masa sih, Pak Fahmi?" Reno menoleh pada Regha. "Dia teman SMP kamu, Regha?"

Ingin sekali rasanya Regha pergi dari tempat ini, pergi sejauh mungkin. Jantungnya semakin berdetak tak karuan. Dan dengan kepala yang terasa tertimpa batu itu, Regha mengangguk pelan.

"Iya yah, dia teman Retta. Teman yang selalu ngajak Retta jalan setiap hari minggu."

Walaupun nada pelan suara Retta teredam dengan suara musik, tapi tidak memungkinkan bagi Regha untuk tidak mendengar nada lirih gadis itu.

"Kamu kenapa nggak pernah kenalin dia sama Mama Regha?" Tiba-tiba Mamanya, Seli datang berdiri di samping papanya.

Pengasuh adiknya berdiri di belakang Seli sambil menggendong adiknya. Emilly sepertinya penasaran siapa yang sedang dibicarakan Mamanya, kepalanya ikut menoleh ke arah pandangan Seli. Seketika dia memekik kesenangan sambil berusaha turun dari gendongan Mbak Nina membuat semua orang tersentak dengan pekikan itu.

Emilly berjalan mendekati Retta, melompat-lompat kegirangan. "Kakak cantik."

Regha terpaku dengan panggilan Emilly pada Retta. Otaknya berputar, mengingat-ngingat. Mall...clue itu membuat Regha seketika ingat dengan panggilan 'kakak cantik'. Emilly menyebut panggilan itu saat ada seseorang yang membantunya mengambil boneka barbie yang akan dia beli.

Jadi orang yang membantu adiknya, dengan orang yang berdiri di hadapannya ini sama. SAMA! Regha semakin dibuat frustasi dengan takdir yang seolah-olah memang mengikat mereka untuk selalu bertemu.

TBC(31-10-17)
     APING

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top