R-R12: Satu Kelas
SETELAH mengantarkan Vera ke kelas PM-nya, Retta kembali ke kelas. Duduk di bangku, Retta menatap papan tulis dengan tidak bersemangat. Awalnya tadi dia sangat senang karena ada kelas tambahan tapi karena dia akan satu kelas dengan cowok menyebalkan itu entah kenapa Retta jadi malas belajar.
Hari ini dia sudah jadi hot topic pembicaraan satu sekolah, hampir semua orang membahas kejadian di koridor sekolah, saat Regha memberikannya kacamata. Apalagi saat di kejadian di kantin, makin menjadi-jadi orang membicarakannya. Retta jadi kesal karena itu.
Di tambah sikap Regha yang membuat Retta jadi sulit adu argument dengan cowok itu. Kalau saja cowok itu masih bersikap sok berkuasa seperti yang lalu, mungkin Retta dengan senang hati melawannya.
Tapi bagaimana cara Retta melawan Regha disaat cowok itu membalas bentakannya dengan senyuman.
Seluruh lamunannya buyar, Retta tersentak karena tiba-tiba ada orang yang duduk di bangku sebelahnya. Lantas Retta menoleh, matanya terbelalak. Melihat Regha yang ternyata orang yang duduk.
"Kok lo duduk di sini sih?" tanya Retta heran.
"Duduknya kan sesuai absen." Jawab Regha santai, tapi saat Retta ingin kembali protes tangannya ditarik Regha. "Kita bukan duduk di sini."
Regha menarikanya pindah duduk di meja yang berada di sebelahnya. Tempat yang Retta tadi tempati adalah urutan ketiga di bagian depan.
"Apaan-apan sih lo!" Bentak Retta kesal. "Kenapa gue jadi duduk sama lo?!"
"Emang wali kelas lo nggak ngasih tau?"
Ngasih tau apa? Retta mengernyit heran.
"Di kelas PM, setiap anak harus duduk sesuai urutan absennya. Dan kebetulan nama gue ada di atas nama lo, gue absen tiga, lo absen empat," ujar Regha memberitahu. "Karena itu gue nyuruh lo pindah di sini, urutan kedua di bagian depan. Untuk absen tiga dan empat."
Retta semakin dibuat tercengang dengan penjelasan Regha, penderitaan apalagi ini sudah satu kelas dan sekarang duduk semeja pula!
Sontak kepala Retta langsung geleng-geleng menolak percaya. "Nggak mungkin, wali kelas gue nggak ngasih tau soal itu."
Regha menaikkan bahu tak peduli. "Terserah lo, kalau nggak percaya tanya sama temen lo aja."
Dan kebetulan Siska teman kelas Retta masuk, masih menyandang tas sambil membawa minuman dari kantin. "Siska lo duduk sama gue kan?"
"Sorry, Ta." Siska menggeleng. "Duduknya harus sesuai absen, tadi Bu Lina lupa bilang ke anak-anak."
Wajah penyesalan Siska membuatnya terpaksa mengangguk. "Oke, nggak apa-apa, kok."
Siska tersenyum sebelum kembali ke bangkunya yang berada di bagian belakang, Siska sempat berbisik di telinga Retta. "Tapi lo beruntung tau, duduk sama si Regha cowok paling ganteng di sekolah."
Wajah Retta memerah. Sial, kenapa banyak sekali orang yang bilang kalau dirinya beruntung, bagi Retta ini bukan keberuntungan tetapi bencana.
Dengan perasaan kesal, Retta duduk di bangku itu, yang sebelumnya dia sempatkan untuk mengambil tasnya yang berada di meja sebelah.
Kebisingan itu meredup seketika, saat langkah Bu Rena-Guru IPA-memasuki kelas, sekarang jadwalnya pelajaran IPA. Besok baru matematika, Retta tidak terlalu menyukai pelajaran ini karena menurut Retta sangat membosankan, belajar tentang rangka tulang, sel-sel, dan banyak lagi.
"Lo nggak suka pelajaran IPA?" Regha bertanya, tapi sama sekali tidak menoleh padanya terus menatap papan tulis sambil mencatat.
Retta hanya bergumam malas.
"Kenapa?"
"Ya nggak suka aja."
"Alasannya?"
"Kok lo jadi banyak nanya?" kesal Retta, dari tadi mulut cowok ini kenapa tidak bisa diam.
Regha tersenyum sama sekali tidak terusik dengan kata-kata kasar Retta. Oh, God, Retta jadi semakin bingung harus bersikap seperti apa di depan Regha, kalau cowok ini akan terus bersikap seperti tadi.
"Nggak setiap hal itu punya alasan," Tiba-tiba Retta jadi meladeni pertanyaan Regha. "Contohnya cinta dia nggak butuh alasan untuk cinta sama seseorang."
Regha malah terkekeh mendengar jawabannya. "Lo kayaknya kebanyakan baca novel cinta." Regha menoleh menatapnya sambil tersenyum. "Gue nggak tau apa cinta itu ada alasannya atau nggak, karena gue nggak pernah ngerasain jatuh cinta."
Retta terdiam menatap Regha yang kembali fokus pada papan tulis dan buku catatannya. Jawaban Regha kenapa sensitif sekali, Retta jadi merasa tersindir. Retta juga belum pernah merasakan jatuh cinta pada seseorang.
Tapi menyadari itu semua Retta langsung menggelengkan kepalanya, menyingkirkan pikiran itu. Ini belum saatnya Retta memikirkan hal itu.
***
Di trotoar depan sekolah Retta berdiri menunggu angkot yang lewat. Sudah hampir lima belas menit Retta berdiri di sini tapi angkot belum juga melintas.
Menoleh pada gerbang sekolah yang dibuka lebar oleh satpam sekolahnya, Retta bisa melihat mobil mewah yang melewati gerbang itu. Tanpa melihat orang berada di dalamnya, Retta sudah tahu pasti siapa pemilik mobil itu.
Tetapi yang tidak pernah Retta duga, mobil mewah itu, berhenti di depannya. Kaca mobil bagian belakang terbuka, menampilkan seseorang di dalamnya. Regha. Cucu pemilik sekolah. Dia tersenyum pada Retta.
"Mau pulang bareng?"
"Gak usah, gue lagi nunggu angkot." Tolak Retta halus.
Mendadak, kaca mobil bagian depan ikut terbuka. "Nggak apa-apa Non, ikut aja."
Retta menatap laki-laki paruh baya yang mengemudi, dia duga itu pasti sopirnya Regha. "Nggak perlu Pak, nanti juga angkotnya lewat."
"Kelamaan kalo nungguin angkot," Kata Regha masih tersenyum padanya.
Semua kata-kata penolakan Retta hilang begitu saja, saat Regha membuka pintu mobil lalu turun. Mempersilahkan dirinya untuk masuk ke dalam mobil mewah miliknya itu.
Regha mendorong Retta ke dalam mobil. Walaupun dorongan itu lembut, tetapi tetap saja itu adalah pemaksaan.
Duduk berselebahan dengan Regha, membuat rasa gugupnya itu kembali. Bagaimana ini?
"Rumah Nona ada dimana?"
Retta hampir tersedak dengan ludahnya sendiri, dengan panggilan itu. Di rumah dia juga dipanggil seperti itu oleh pembantu rumahnya tapi rasanya aneh kalau di panggil tidak dengan embel-embel nama.
"Panggil Retta aja, Pak."
"Oh, iya. Nona Retta rumahnya ada dimana?"
Sebelum Retta menjawab pertanyaan sopir Regha, yang Retta tahu namanya Pak Wawan. Namun, sudah di jawab terlebih dahulu oleh Regha.
"Rumah yang saya suruh Pak Wawan kemarin, nganterin bunga."
Pak Wawan langsung ber-oh panjang mendengar itu, lalu mengangguk.
Pipi Retta terasa panas dengan jawaban Regha. Oh, Tuhan kenapa cowok itu asal menceplos saja?
Hening
Dua manusia yang duduk di bagian jok belakang sama-sama diam, tidak membuka percakapan. Regha sibuk dengan ponselnya sedangkan Retta sibuk melihat keadaan luar mobil dari kaca mobil.
Mungkin menyadari keadaan yang semakin hening, Regha meletakkan ponselnya di saku celana. Menoleh pada Retta.
"Gue denger lo pernah ikut olimpiade matematika?"
Retta hanya mengangguk.
"Kalau gue minta lo ajarin gue matematika mau gak?'"
Lantas Retta menoleh cepat pada Regha, tak berkedip menatap cowok itu. Apa barusan Regha baru saja meminta? MEMINTA? Retta tidak salah dengarkan.
Kembali sadar, Retta mengedipkan mata berulang kali. "Boleh, Kapan?"
Walaupun Retta tidak suka pada Regha, tapi dia bukan lah orang yang pelit untuk berbagi ilmu. Jadi tidak mungkin Retta menolak ajakan Regha. Lagian juga Regha sudah baik padanya, tidak salahkan Retta jika membantu cowok itu.
"Pas pulang sekolah, lo pulang bareng gue, nanti kita belajar bareng di café milik nyokap gue."
Retta kembali menggangguk. Tak berapa lama mobil Regha berhenti tepat di depan rumahnya yang biasa saja. Tidak mewah seperti rumah cowok itu.
"Makasih," ucap Retta sebelum turun mobil, Regha menggangguk dengan senyum kecil. Setelah itu mobil langsung melesat dari pandangannya.
TBC(14-10-17)
__________
Maaf baru update
Hari senin nanti teratur kok, sesuai jadwal seminggu tiga kali; selasa, kamis, sabtu.
Makasih
Aping🐼
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top