R-R1: Ingatan Masa Lalu

Penyesalan itu membuatku sadar, bahwa aku butuh kehadiranmu disini.

DEBURAN ombak yang menerjang batu karang, awan putih menggantung penuh keindahan, semilir angin yang terasa menyejukkan. Sepertinya dari penjelasan itu, sudah lebih dari cukup banyak orang beramai-ramai menghabiskan waktu di pantai.

Tetapi, pengecualian untuknya. Cowok jangkung dengan garis wajah yang terbentuk sempurna. Alis tebal yang mengukir, bibir tebal dan berwarna cerah, menambah kesempurnaaan seorang Arfaregha Dalfario.

Saat semua orang suka menikmati embusan angin laut.

Bermain pasir.

Menikmati matahari tenggelam dengan indahnya.

Keindahan ciptaan memang seharusnya dikagumi diam-diam. Namun, Regha justru membenci semua itu. Alasannya karena dari pemandangan ini ingatan Regha akan kembali melangkah ke belakang.

Ketika Regha yang bodoh, suka semena-mena, tidak tahu terima kasih, cowok arrogant ...

Sepertinya kata-kata itu tak cukup untuk mendeskripsikan bagaimana sosoknya yang dulu. Masih banyak lagi, kesalahan-kesalahan fatal yang telah dia lakukan. Terutama kesalahan yang membuatnya tak termaafkan. Membawa penyesalan yang amat dalam.

Regha menyesal. Tentu saja.

Rupanya dia terlalu larut memikirkan cerita usang, sampai tidak sadar oleh seseorang yang berdiri di sebelahnya. Tidak ada sapaan. Cuma raut datar yang terpasang di sana.

"Lo ngelamun?" Itu Arven, sahabatnya yang sudah sangat lama mengenalnya.

"Nggak." Regha membalas tanpa menunjukkan ekspresi apapun. Seolah-olah memang Regha tidak melamunkan kenangannya.

Lengang sejenak sampai suara Arven terdengar, lagi-lagi mengatakan itu. "Sampai kapan, Gha? Sampai kapan lo mau kayak gini?"

Menoleh sejenak, Regha memilih menyibukkan diri dengan kamera yang menggantung di lehernya. Memposisikan kamera mendekat ke wajahnya, Regha sesekali mengatur aperture untuk mengatur cahaya yang pas untuk memotret lukisan indah dari Sang Pencipta. Lalu memutar ke bagian landscape.

Pertanyaan Arven tidak pernah ditemukan jawabannya, Regha tidak tahu sampai kapan memikirkan dia.

Dia yang meninggalkannya.

Dia yang kecewa karenanya.

Dia yang sakit hati karenanya.

Hampir saja Regha kembali terhanyut, ketika akhirnya tersadar kala Arven mengambil kameranya.

Arven mengutak-atik tombol yang berada di kamera Regha sambil berbicara. "Memotret suatu objek itu harus pakai perasaan, Gha, pakai hati. Kalau lo cuma asal motret tanpa pakai hati lo, hasil gambarnya nggak bagus."

Tertegun dengan perkataan Arven, Regha hanya bisa melihat Arven dalam diam. Tetapi lanjutan perkataan Arven benar-benar membuat Regha bungkam seribu bahasa.

"Sama halnya kayak hubungan. Suatu hubungan yang nggak pakai hati, nggak akan bagus ujungnya."

Regha tersenyum, senyum yang tidak sampai matanya. "Lo nyindir gue?"

"Lo kesindir?" Arven melempar balik. "Bagus dong, seenggaknya lo masih normal."

Regha tertawa pahit. Mengulas balik ingatannya. Pada memori menyenangkan yang sudah dia tinggalkan, Regha berharap waktu bisa diulang. Setidaknya, sedetik saja, Regha ingin mendengarkan lagi tawanya. Melihat senyum lebarnya dan berharap bisa melihat lagi cokelat matanya yang bening.

Tetapi, itu cuma harapan. Seperti selembar foto, benda itu cuma bisa dilihat dan diingat kenangannya. Tanpa bisa diputar balik dan tentunya tidak akan pernah bisa kembali ke masa di dalam foto itu.

"Denger, Gha. Masa lalu itu belakang dan gak seharusnya lo ngelangkah mundur, kalo lo gak mau jatoh nantinya."

Helaan napas Regha terdengar di tengah sunyi, pikiran sepanjang dua tahun ini memang selalu terpusat ke masa lalunya tanpa berpikir untuk kembali seperti Regha yang dulu.

Regha masih sama, masih menjadi pusat perhatian di sekolah. Namun, setiap kali Regha melihat mata perempuan yang bewarna cokelat, Regha seperti terhempas kembali ke masa lalu. Seolah-olah pikiran Regha terbawa oleh mata cokelat bening itu.

"Lupain dia, Gha dia bukan satu-satunya bintang di langit, di salah satu dari beribu bintang di langit, masih banyak perempuan di dunia ini, Gha."

Mungkin itu benar. Tetapi, bagi Regha hanya satu yang bercahaya, hanya satu yang berhasil menarik bulan untuk melihatnya, hanya satu yang berhasil membuat bulan bersinar terang.

Cuma dia dan selalu dia.

Kembali hampir tenggelam di pikiran. Tetapi celetukkan seseorang membuat Regha dan Arven menoleh bersamaan.

"Namanya juga orang gagal move on."

Regha melihat Zion sahabatnya yang sedang berjalan ke mereka sambil menyengir. Cengiran yang menurut Regha sangat menyebalkan.

"Lo kemana aja sih berdua?! Gue cariin juga!" Zion mendumel. "Lo tau nggak? Gue sampe nanya sama resepsionis hotel, pegawai hotel, satpam, nenek-kakek di lift, berasa jomblo banget gue tadi di lift, tuh kakek sama nenek..."

Arven berhasil menghentikan ucapan Zion dengan menutup mulut cowok itu dengan tangan. Regha menghela napas, sebenarnya dia lelah dengan sikap berlebihan Zion. Cowok itu terlalu bawel, Regha sampai heran kenapa temannya bisa memiliki sifat seperti itu.

Tetapi yang lebih mengherankan kenapa dia betah berteman dengannya. Sudah setahun lebih dia mengenal Zion saat mos SMA, saat cowok itu dihukum karena menggoda kakak kelas. Tingkah cowok itu benar-benar absurd, tidak jelas. Walaupun sikap Zion agak gila, Regha tetap merasa senang memiliki sahabat seperti Zion. Setidaknya berkat cowok gila itu, suasana menjadi ramai.

Meski Regha kebanyakan menghela napas frustasi karena tingkahnya.

Regha dan Arven sudah berteman sejak SMP. Hanya cowok itu yang sangat tahu persis kejadian penyesalan yang membelenggu Regha sampai sekarang. Zion tahu mengenai itu, namun, tidak semua Regha ceritakan. Menceritakan itu semua hanya akan menggali luka yang sudah Regha tutup rapat-rapat.

"Besok udah balik aja. Padahal gue masih betah di sini, tapi ya udah lah Pak Kepsek cuma ngasih waktu lima hari buat kita motret objek mading sekolah."

Dengan wajah tertekuk Zion mengatakan hal itu, mereka bertiga berjalan di pinggir pantai, sesekali kaki mereka terkena air laut yang bergerak maju, menghapus jejak kaki yang tertinggal di hamparan pasir putih.

"Kita ke sini bukan buat liburan. Ini cuma tugas ekskul." Arven menyahuti aksi Zion yang tidak bisa berhenti menggerutu.

"Ya iya sih, tapi kan bentar banget gitu. Jalan-jalan cuma lima hari dalam dua bulan sekali." Zion masih tetap menggerutu tidak jelas, lalu menoleh pada Regha yang diam memperhatikan jalan di depan.

"Gha, emang lo nggak bisa minta tambahan waktu gitu?"

"Nggak bisa." Regha melirik Zion. "Lo tau Atar kayak gimana. Kalo minta tambahan waktu, bisa-bisa gue dipecat dari ketua ekskul."

Zion cemberut, bibirnya maju ke depan Regha memang sulit untuk dibujuk.

Ya, Regha selalu sulit untuk dibujuk, walaupun bujukan itu yang akan membawa sebuah harapan, harapan yang selalu Regha inginkan. Tetapi Regha sendiri yang menghancurkannya.

_________
Awal publish Tanggal: 26-08-17

TINGGALKAN JEJAK KALIAN DENGAN VOTE YA. KARENA ITU SANGAT BERARTI BUAT AKU.

MAKASIH
Aping🐼

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top