two

Ed dan aku sudah berteman lama sekali. Jauh sebelum aku mengenal Amber, atau bahkan siapa pun. Kami bertemu di penitipan anak, tempat yang dulu sekali sepertinya menjadi rumah keduaku. Ed adalah jenis cowok yang tidak bisa diam. Dia akan bergerak ke sana kemari, melompat di atas meja dan selalu membuat ketenanganku terpatahkan. Sampai sekarang dia masih begitu, hanya saja dalam sisi yang berbeda. Aku tidak ingat kapan aku melihatnya sebagai Edmund Jr. Buka Ed si bodoh yang selalu tertawa keras dan membuat kekacauan.

Sewaktu kami turun dari panggung, mereka menyambut kami. "Whoa, lihat, Raja dan Ratu." Ed melakukan gerakan bodohnya seperti biasa; membungkuk dan berkata, "Yang Mulia." Selagi Amber meneliti mahkota kami dengan saksama.

"Tidak seburuk tahun kemarin. Semua sisinya sama besar kukira. Dan mereka menaruh batu-batu berkilau di tempat yang benar. Aku harus tanya Katherine di mana dia memesan itu." Amber tersenyum padaku. Matanya berkaca-kaca. "Oh Tuhan, aku belum pernah menjadi Ratu prom dan kupikir ini agak menyedihkan, tapi kau cantik sekali, Em." Dia memelukku.

Aku menahan tawa, menatap Jason dari balik bahu Amber sewaktu dia menatap kami dengan pandangan yang tidak bisa kuartikan. Aku merasa kasihan padanya. Diam-diam merutuki keegoisanku dulu.

"Persetan dengan Ratu prom, kau kan ratuku." Ed tiba-tiba berkata sewaktu Amber melepaskan pelukannya. Amber tertawa, dia memukul bahu Ed, wajahnya merah padam. Aku berusaha agar tidak berjengit. Kuselipkan lenganku di lengan Jason dan menariknya mendekat. Jason tersenyum padaku, tahu benar apa yang sedang kupikirkan.

"Oh astaga! Kita belum mengatakannya pada mereka!" Amber kembali bersemangat.

Wajah Ed berubah cerah. "Yeah benar, kami memutuskan mengambil kuliah di New York. Sebenarnya itu karena Amber dan aku sudah dapat apartemen. Kalian tahu beberapa desain yang kubuat untuk cover album band lokal itu?"

"Yang menelantarkan Ed begitu mereka mendengar ada seseorang yang lebih potensial." Amber memutar mata.

"Yeah benar. Lalu Pamanku melihatnya suatu hari dan berkata, 'Ed, anakku, kau sangat berbakat! Datanglah ke New York sekali-kali, aku akan mengenalkanmu pada beberapa kolegaku.'" Ed meniru suara Pamannya nyaris sempurna.

Aku mengerjap, merasakan sengatan rasa sakit lain. "Tapi kau bilang kau akan ...," perkataanku menggantung. Aku memperhatikan wajah terkejut Ed seakan dia baru ingat sesuatu. Dan aku tidak perlu menebak apa yang dia pikirkan. Dia melupakanku.

"Oh astaga, Emma! Maafkan aku, tapi ini sudah pasti sekali. Pamanku bahkan menyewakan apartemen dan sebagainya, jadi meskipun tahun ini aku tidak kuliah, aku bisa menemani Amber dan bekerja di sana."

"Yep, kami memutuskan tinggal bersama. Keren sekali, kan, Em? Oh Tuhan, aku bakal merindukanmu dan semua aktivitas setiap malam Minggu. Tapi kita masih punya banyak waktu sebelum itu sebenarnya. Kita masih punya hari kelulusan untuk dirayakan! Hebat!"

Aku tidak terlalu mendengarkan Amber. Dan selagi pikiranku melayang jauh, Jason mengeluarkan lelucon-leluconnya yang tidak lucu dan bertanya macam-macam pada Ed. Begitu saja, mereka akhirnya melupakanku. Bahkan Ed tidak repot-repot menjelaskan lebih jauh seakan janjinya untuk selalu ikut denganku ke sekolah mana pun sudah tidak penting lagi. Aku merutuki diriku, mendadak rasanya musik yang berdentum dan orang-orang yang kelihatan bersemangat di sekelilingku mulai menciut, dan aku berdiri di antara semua itu, memaksakan senyum, tahu benar selama ini harapanku tak akan bisa terwujud. Kupikir jika Amber dan Ed tidak bersama setelah SMA, aku bakal punya kesempatan. Seperti di buku-buku cerita yang sering Jason bacakan untukku jika dia sedang bosan. Sahabat bisa saja berubah jadi cinta. Dan selama ini, secara tidak langsung, aku berpegang pada keyakinan itu.

Hanya saja aku terlalu naif, di dunia nyata sahabat hanya sahabat. Tidak akan lebih. Tidak akan pernah.

Sewaktu musik kembali melembut, Jason menarikku ke lantai dansa. Kami tidak mengatakan apa-apa selama beberapa saat, sampai akhirnya Jason berbisik di telingaku. "Kau baik-baik saja?"

Aku tersenyum padanya, alis terangkat. "Memangnya kau pikir aku tidak?"

"Maksudku, aku sudah dengar. Tentang mereka," Jason ragu sejenak. "Seharusnya aku memberitahumu, kan?"

"Kupikir tidak penting lagi. Lagi pula percuma," aku mengistirahatkan kepalaku di bahu Jason, kami bergerak perlahan, mengikuti irama musik. "Maksudku dia memang lebih baik dengan Amber, Amber punya segalanya. Dan aku tidak yakin Ed akan mengerti seandainya dia tahu saat seandainya kami bersama. Astaga aku naif sekali," aku tertawa pada perkataanku sendiri. "Lihat sepertinya kita berdua terlalu naif."

Suara Jason bertambah lembut. "Bahwa kau aseksual?"

Aku mengeluarkan tawa lemah. "Apakah kau harus mengatakannya setiap saat?"

"Tidak juga." Kami terdiam.

Aku mengingat-ingat lagi kapan Jason memutuskan untuk menjadi pacar bohonganku. Sepertinya musim panas tahun kemarin. Itu dimulai ketika kami berada di salah satu pesta besar. Ed melompat-lompat di sepanjang ruangan setelah dia minum lebih banyak daripada yang lain dan berteriak menyanyikan lagu paling buruk. Aku berada di tengah-tengah Candice dan Alyson, mereka membicarakan petualangan seks lain yang akan mereka lakukan musim panas tahun itu dan terkikik setiap kali dahiku berkerut. Mereka akan berbisik, "Jangan khawatir, Em. Kau akan menikmatinya." Seakan mereka sudah memastikan aku akan mengikuti setiap apa yang mereka lakukan nanti. Kemudian aku melihat Jason dan Amber, bercakap-cakap di sudut ruangan. Dan mungkin aku terlalu mabuk sewaktu menghampiri mereka, tersenyum lebar pada Amber, dan menarik Jason untuk berdansa denganku.

Aku mengangkat kepalaku dan menatap Jason. Sudut bibirnya terangkat sedikit. Musik bertambah pelan. Dari sudut mataku aku melihat pasangan-pasangan berdansa. Lalu aku mengingat-ingat setiap perbuatan Jason, bagaimana dia tersenyum dan tertawa pada perkataanku; matanya berkilat geli. Atau ketika kami menyelinap pergi setelah tidak sengaja membakar lab biologi dan berakting bodoh di depan Mrs. Maureen. Atau saat Ed dan Amber berciuman pada hitungan mundur di tahun baru, Jason menarikku menjauh untuk memperlihatkan pemandangan kota dari atas gedung tinggi; tangannya menggenggam sesuatu, sewaktu dia menyerahkan siput mati padaku yang kuterima tanpa pikir panjang, aku menjerit keras sekali dan nyaris membuat semua orang terlonjak selagi Jason tertawa terbahak-bahak. Aku memikirkan itu semua dan berpikir Jason seharusnya mendapatkan lebih, bukan hanya pacar bohongan. Dia terlalu baik.

Aku mengangkat pandanganku menatap mata kehijauan Jason. Aku tersenyum dan Jason membalasnya-seperti yang biasa dia lakukan. Matanya berkilat, dan selama beberapa detik aku berpikir tentang poin-poin penting bahwa ciuman tidak bisa dilakukan kecuali dengan orang yang benar-benar berharga, tapi kemudian aku menyingkirkan pikiran itu, lagi pula Jason bukan orang yang tidak berharga. Aku bergerak mendekat, ragu sejenak, dan hal selanjutnya yang kutahu adalah Jason sudah menempelkan bibirnya di bibirku.

Awalnya kami bergerak canggung selagi aku meresapi semuanya. Bibir Jason sedikit basah dan hangat. Lidahnya bergerak pelan di antara bibirku, menelusurinya. Aku bisa merasakan Jason tersenyum, dan mau tak mau aku ikut tersenyum.

Masalahnya, tepat sewaktu aku mulai berpikir untuk memperdalam ciuman, sesuatu jatuh ke atas kepala kami dan membasahi rambutku. Aku melompat mundur, menatap Jason yang kini telah dilumuri tepung atau mungkin adonan kue. Dia kelihatan terkejut saat melihatku mungkin sama buruknya.

"Apa-apaan?" Aku mendesis. Mencari-cari siapa yang bertanggung jawab akan semua ini sewaktu kulihat sesuatu terlempar di udara, mengenai pasangan lain yang sedang berdansa dan membuat mereka berantakan. Sedetik tempat itu sunyi-musik mendadak mati dan orang-orang terlalu terkejut untuk bergerak. Detik berikutnya aku mendengar Noah dan Millan berteriak dari seberang ruangan.

"Wooohoooo, jangan menjadi membosankan, sobat! Ini baru prom yang sesungguhnya!"

Orang-orang menjerit dan berlari menjauh. Sekumpulan burung unta berlari masuk ke dalam ruangan. Disusul dengan debum langkah. Ketika aku berbalik, aku menyaksikan dua ekor gajah sedang menghancurkan meja berisi camilan dan meminum soda, di belakangnya sebuah lubang besar terbentuk, memasukkan lebih banyak hewan.

"Oh astaga," Jason berbisik di sebelahku. Dan seakan aku baru ditarik dari lamunanku, aku menarik Jason dan berlari menghindar dari kumpulan burung unta. Kami berdesak-desakkan. Mendengarkan kekacauan dan makanan terlempar di atas kepala kami, di kejauhan orang-orang berteriak.

"Kepalaku! Astaga kepalaku!"

"Kepala botak berlendir busuk! Menyingkir dariku!"

"Oh Tuhan ampuni aku!"

Aku menatap Jason ngeri. "Apa sih yang terjadi?"

"Tidak tahu!"

Orang utan melompat menghadang kami. Aku menjerit mundur, menginjak sesuatu dan pasti terjatuh seandainya Jason tidak menyanggaku.

"Lewat sini," katanya.

Aku tidak perlu diberitahu tahu dua kali. Kami menubruk lebih banyak orang yang menjerit-jerit sewaktu burung-burung mematuki kepala mereka. Di antara semua keributan itu Noah dan Millan tertawa keras, suara mereka bergema di seluruh ruangan, jelas sangat menikmati ini semua. Bahkan saat Mrs. Maureen menjerit sambil berteriak. "DETENSI! DETENSI UNTUK KALIAN SEMUA!" Suaranya menjauh, mungkin diseret sesuatu.

Kami berhenti beberapa kali ketika seseorang menggelepar-gelepar di lantai, berusaha meraih kakiku. Jason menendangnya menjauh. Di suatu tempat, Noah berkata dengan pengeras suara, "Ayolah, man. Kalian tidak asik sekali. Seharusnya kalian ikut berdansa bersama hewan-hewan itu! Seperti di kartun-kartun!"

Jason membawaku ke bagian belakang panggung. Mendorong beberapa penyangga dan melangkah masuk ke bagian bawah, tempat itu gelap dan sempit kami bahkan harus menunduk. Aku mengumpat beberapa kali.

"Jason, sepertinya ini bukan ide bagus, bersembunyi di sini maksudku. Di luar ada gajah, dan demi setan gajah sungguhan! Bagaimana Noah dan Millan membawa mereka kemari! Aku yakin di luar sana itu setidaknya semua hewan di kebun binatang berhamburan masuk."

"Yeah, yeah, paham. Tapi kita harus menghubungi seseorang dan aku tidak bisa melakukan itu di luar." Jason merogoh sakunya, cahaya dari layar menerangi tempat itu sedikit. Aku ingin sekali menyentuh rambutku untuk melihat seberapa kacaunya mereka, tapi terlalu jijik ketika bau amis telur tercium hidungku.

Kemudian pandanganku menangkap pergerakan di sudut, dan aku berani sumpah aku nyaris memekik dan menamatkan riwayatku ketika dua ular besar bergerak memperhatikan kami.

"Jason," aku berbisik perlahan. "Lihat itu sebentar."

"Apa-oh ya ampun."

Kami membeku, aku tidak tahu berapa lama kami berada di posisi itu; aku membelalak menatap si ular, Jason berusaha keras membuat layar ponselnya tetap menyala tanpa banyak bergerak. Di luar teriakan dan kekacauan mungkin masih terjadi.

Jason-lah yang pertama kali berbicara. "Kau ingat pelajaran selamat dari bahaya ular sewaktu di kamp musim panas?" Bisikannya nyaris tak terdengar.

"Jangan membuat gerakan mendadak? Aku tidak ingat."

"Baik, kalau begitu kita melangkah perlahan. Celahnya tidak jauh. Ikuti aku, ok?"

Aku mengangguk.

Butuh sepuluh menit untuk mencapai celah dan kami menyelinap keluar. Sebenarnya jika aku boleh jujur, bahkan sepanjang waktu itu si ular mungkin tidak bergerak sesenti pun, hanya matanya yang mengikuti kami.

Ketika sampai di luar dan Jason dan aku berlari ke lubang besar yang terbentuk di dinding tempat orang-orang berhamburan ke jalanan. Amber memanggilku.

"Emma! Oh astaga, ini buruk sekali. Sangat buruk! Kau lihat Ed?"

"Apa? Tidak!"

"Noah dan Millan keparat! Seharusnya mereka menunggu kita pergi sebelum memulai kekacauan! Lihat kau bahkan terlihat buruk sekali." Amber bergidik. Dia melemparkan senyum padaku dan pergi ke arah berlawanan sambil berseru. "Belok saja ke arah gedung utama! Candice dan Alyson mungkin sedang menunggu!"

Aku menatap Jason, lalu memutuskan mengikuti instruksi Amber. Sewaktu kami melihat mobil Ed terparkir dan semua teman-temanku sudah berkumpul di dekat situ, sirene polisi dan ambulans mulai terdengar mendekat. Candice-lah yang pertama melihat kami.

"Oh astaga, Emma! Kau ... kotor."

Aku memutar mata. "Yeah, trims. Apa sih yang terjadi?"

Semua orang menatapku seakan aku sudah gila atau bagaimana.

"Ayo Em, naik mobilku saja." Jason sudah menarikku menjauh sebelum siapa pun sempat menjawab. Aku menatap mereka semua bergantian selagi Jason menarikku.

"Jason, kautahu sesuatu?" tanyaku. "Karena sebaiknya jika kau mengetahui sesuatu, kau katakan padaku sialan!"

"Aku tidak tahu!"

"Lalu mengapa kau menghindar dari mereka?"

Jason membuka pintu mobil dan duduk di kursi pengemudi selagi aku masuk dari sisi yang lain dan Jason menyerahkan tisu basah padaku. Aku mengelap wajahku perlahan di depan kaca spion, sedikit tidak percaya melihat rambutku sudah sangat mengerikan. Kulirik Jason yang masih bersandar di kursi, lalu aku menyuruhnya mendekat.

"Kau harus membersihkan itu."

Jason mengangguk. Kuelap wajahnya perlahan. Setelah beberapa detik, dia berbisik. "Aku hanya lelah, kautahu."

Alisku terangkat. "Kau tidak biasanya seperti itu."

Dia mengangkat bahu. "Entahlah, kau lihat wajah mereka tadi? Itu seperti mereka tidak percaya kita tidak tahu apa-apa. Dan coba kutanya, kau dapat kartu undangan seperti yang lain?"

"Yang berwarna emas itu? Candice dan Alyson memamerkannya padaku. Dan tidak. Mereka bilang aku akan mendapatkannya nanti."

"Tidak. Kau tidak akan dapat. Kita berdua tidak."

Aku berhenti bergerak untuk menatap matanya. "Apa sih maksudmu?"

"Kita berdua tidak akan dapat. Dan jika kau tanya aku mengapa, well aku tidak tahu."

"Kau kapten baseball, dan terakhir kali kucek aku masih ketua Cheerleader. Mereka tidak mungkin membuang kita, Jason."

"Siapa yang tahu?"

Aku jarang sekali melihat Jason seperti itu. Biasanya dia memainkan peran dengan bagus. Di koridor, jika dia sedang berjalan bersama timnya, Jason akan mendorong cowok-cowok kutu buku yang kelihatan lemah sampai mereka terjatuh dan buku mereka berhamburan, hanya agar orang-orang melihatnya sebagai Jason si brengsek, bukan sebagai Jason yang selama ini kukenal. Dan aku akan turun tangan setelahnya, ketika koridor sudah sepi atau tidak ada yang memperhatikan. Aku akan berbisik pada si cowok tadi sambil tersenyum. "Maaf ya, jangan membenci kami, ok?"

Aku mengerjap ketika mendengar di kejauhan seseorang berkata dengan pengeras suara. "Kepada Noah dan Millan, kalian terkepung."

Jason dan aku tertawa. "Astaga, aku masih tak percaya mereka berdua melakukan itu."

"Dan kita kacau sekali."

Mata Jason berkilat geli. "Benar. Kau terlihat mengerikan."

Kami tertawa selama beberapa saat.

Lalu tiba-tiba Jason tersenyum padaku seolah dia baru saja dapat ide bagus. "Hei, mau pergi ke tempat yang keren?" Tanyanya.

"Aku hanya ingin membersihkan ini semua, sejujurnya. Tapi kalau kau ada ide." Kucoba melepas mahkota dari kepalaku. Tapi sepertinya tersangkut. Jadi aku biarkan saja.

"Oh tentu. Lihat saja."

Jason menyalakan mobil. Ketika kami melewati mobil Ed yang memelesat ke arah berlawan, aku memperhatikan dari kaca spion. Di udara malam, teriakan gembira mereka terdengar asing di telingaku. []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top