three


Aku baru menyadari sesuatu ketika Jason memarkirkan mobilnya di pinggir pantai. Dia tersenyum geli padaku, kemudian melepaskan sepatu dan tuxedonya. Selama beberapa saat aku hanya memandangnya, mencoba menebak-nebak kenapa dia memberiku senyum itu--Jason selalu punya alasan ketika dia melakukan itu, kemudian aku memekik.

"Demi Tuhan, aku menciummu!"

Jason tertawa. Suaranya terdengar renyah di telingaku.

"Aku penasaran kapan kau sadar. Dan secara teknis, aku yang menciummu."

"Ciuman pertamaku! Oh astaga, Jason aku--" aku berhenti bicara. Dan mendadak aku merasakan wajahku memanas.

"Kau kenapa?" Ada nada geli di suaranya yang membuatku memutar mata. Kulepas sepatu berhakku, mencoba mencari-cari alasan yang kedengarannya masuk akal.

Ketika aku tidak menemukan apa pun di otakku, aku mendesah. "Entahlah. Dan apa bagusnya ke pantai?"

"Lihat saja."

Aku mengikuti Jason keluar, yang segera berlari menuju garis pantai dan menjatuhkan dirinya ke air. Aku ingin sekali berteriak bahwa dia bodoh melakukan itu di malam hari, tapi kemudian kupikir ini seru juga, jadi aku mengikutinya, dan baru ingat bahwa aku memakai gaun mahal yang mungkin tidak akan bisa digunakan lagi jika aku berenang di pantai menggunakan itu ketika tubuhku menyentuh air.

Aku memekik merasakan betapa dinginnya, lalu tertawa. Jason membantuku berdiri, matanya berkilat bahagia sewaktu dia menyerahkan sesuatu ke tanganku yang kuterima tanpa pikir panjang.

Seharusnya aku tahu dia melakukan trik yang sama seperti dulu ketika kurasakan sesuatu menggeliat di tanganku.

"Kau sialan!"

Jason terbahak, dia berlari menghindar. Melompati sebuah batu dan terpeleset jatuh. Tawanya berhenti sebentar kurasakan jantungku berdetak kencang. Oh Tuhan jangan bilang-tawa Jason meledak lagi.

"Lihat dirimu, Em!" Teriaknya, mencoba memanjat batu-batu lain dan berdiri di atasnya. Dia merentangkan tangan, membiarkan angin bertiup menamparnya. Aku tidak terlalu memperhatikan sekitar ketika datang tadi, tapi ketika kulihat, aku menyadari hanya ada kami di tempat itu. Dari kejauhan, angin menerbangkan percakapan bahagia dari sebuah rumah di dekat situ.

Aku mencoba mengikuti Jason, naik ke atas batu besar dan berdiri di sebelahnya. Kami menyanyikan lagu, tertawa ketika suara Jason tidak mencapai nada atau ketika dia nyaris terpeleset. Saat berdiri di sana, aku hampir tidak ingat betapa menyenangkan merasakan kebebasan tanpa orang-orang memperhatikan semua gerak-gerikku dengan pandangan kritis. Aku tidak perlu berperan hebat dan menyebalkan dan sebagainya jika hanya ada aku dan Jason.

Di lagu kelima, aku kembali menjatuhkan diriku ke air. Membiarkan mataku terpejam selama beberapa saat dan membiarkan pikiranku berkelana jauh. Aku memikirkan hari kelulusan dua minggu lagi dan masa-masa di antaranya. Ketika aku membuka mata, Jason sudah berdiri di atasku, sudut bibirnya terangkat sedikit.

"Kupikir kau sudah cukup bersih. Dan mahkotamu sedang berlayar ke sana," dia menunjuk mahkotaku yang semakin menjauh.

"Harganya mungkin dua ratus dollar. Mana punyamu?"

Jason mengangkat bahu. "Mungkin sudah berlayar juga."

Dia membantuku berdiri lagi. "Kau sering ke sini?" tanyaku penasaran.

"Tidak juga, hanya ketika aku butuh sendiri. Ayo, ada tempat yang bagus di sana."

Jason mengajakku mendaki tebing. Telapak kakiku perih ketika aku nyaris terpeleset dan berusaha menapak ke tempat yang benar. Bebatuannya licin dan tajam. Selama beberapa saat aku memikirkan mengapa Jason membutuhkan tempat seperti ini untuk berdiam diri. Kedengarannya menyedihkan sekali. Lalu aku ingat kehidupanku mungkin tak kalah menyedihkan, aku bahkan tak tahu apakah aku masih bisa berperan sebagai Emma si ketua Cheerleader dan Ratu prom untuk dua minggu ke depan.

Sewaktu kami sampai di puncak tebing, tubuhku sudah bergetar kedinginan. Aku mencoba memeras ujung gaunku hanya agar mereka tidak terasa terlalu berat. Lalu duduk di samping Jason, kakinya menggantung ke bawah aku bahkan terlalu takut melihat seberapa tingginya kami dari ombak yang menampar-nampar di bawah sana.

"Kautahu, setiap kali aku berdiam di sini, aku selalu memikirkan tokoh dalam buku ini, mereka sepasang kekasih, musisi muda, bahagia dan sebagainya. Suatu malam mereka mencoba narkoba jenis baru dan mulai mabuk. Mereka pergi ke atap gedung, tempat salah satu dari mereka bernyanyi sambil berkeliling sedangkan yang satunya terbaring menatap bintang-bintang. Awalnya semua baik-baik saja, suara nyanyian itu masih terdengar, lalu detik berikutnya yang terdengar hanya teriakan. Lalu kemudian tidak ada suara lagi."

"Dia jatuh?" aku berbisik tak percaya.

Jason mengangguk. "Kadang aku berpikir, tragis sekali. Lalu kemudian aku berpikir, jika aku menjadi salah satu yang tertinggal, bukan yang jatuh, aku tidak tahu apakah aku bisa melanjutkan hidup lagi tanpa terbayang betapa mengerikannya malam itu. Aku mungkin tidak akan berani pergi ke atap gedung tanpa terbayang-bayang teriakannya sebelum semuanya berubah sunyi."

"Dan kau memikirkan itu setiap kali kau ke sini?"

Jason terkekeh. "Aku memikirkan itu setiap melihat ke bawah sana."

"Oh."

Aku mengalihkan tatapanku darinya dan menatap laut yang membentang, mendengarkan suara ombak dan memperhatikan pantulan bulan di atas air yang terus beriak. Aku menyadari mengapa Jason memilih tempat ini untuk menyendiri, semuanya kelihatan dan kedengaran menenangkan. Kecuali bagian terlalu dingin dan sebagainya. Aku memeluk lututku.

"Sebenarnya jika bisa aku ingin mengajak Amber ke sini suatu saat nanti." Jason mengakui, dia terdengar malu. "Tapi sepertinya tidak mungkin lagi."

"Hmmm."

"Dan lagi pula aku tidak ingin mengajaknya sekarang. Sudah tidak penting."

"Hmmm."

Jason tertawa. "Kau kedinginan?"

"Sangat, astaga. Seharusnya aku hanya mencuci rambutku saja."

Jason mendekat untuk merangkul pundakku. Kami berada di posisi itu selama beberapa saat.

"Apakah mereka mencari kita?" Aku tidak tahu mengapa aku berbisik. Hanya ada kami di sana. Tetapi pada saat itu rasanya pas saja.

"Entahlah. Mungkin saja. Aku tidak peduli."

Aku mengerjap, menjauh sedikit agar dapat melihat wajahnya. "Kau tidak?"

"Tidak lagi. Aku mulai berpikir untuk melepas semua peran ini Senin depan. Jadi ketika hari kelulusan, aku tidak perlu berpura-pura lagi. Bahkan sebenarnya aku tak ingin datang ke prom. Kupikir aku bisa bersantai untuk pertama kalinya setelah sekian lama hidup di balik topeng, tapi kemudian aku ingat kau."

"Begitu?"

Dia mengangguk. Aku ingin bertanya bagaimana dengan hubungan kami yang notabene juga bagian dari kepura-puraan sewaktu Jason mengeluarkan ponselnya dan mulai menyalakannya, dia berhenti sejenak untuk mengelap bagian yang terlalu basah ketika menyeringai ke arahku. Dasar keparat.

"Mau lihat apa yang terjadi? Ed biasanya merekam semuanya."

"Aku tidak terkejut."

Jason membuka akun YouTube Ed dan memutar video terbaru. Wajah Ed muncul setelah beberapa kata pengenalan. Aku selalu ingat malam-malam ketika aku termasuk dari bagian itu semua, rekaman-rekaman konyol Ed dan nasihat tak masuk akal. Kemudian secara tiba-tiba dia tidak pernah mengajakku lagi.

"Malam ini sungguh gila," Ed tertawa. "Atau aku memikirkan betapa gilanya malam ini akan terjadi. Jadi aku sudah merencanakan beberapa hal hebat. Noah dan Millan membantuku dalam banyak hal. Kalian lihat saja." Layar bergerak, mati sebentar, dan memunculkan saat ketika Noah membuka pintu menuju aula dan memasukkan burung-burung unta ke dalam ruangan. Tempat itu bahkan lebih kacau daripada yang kuingat. Sisi dindingnya hancur dan dua gajah besar melangkah masuk. Suara tawa Ed terdengar terengah-engah.

"Aku menyebutnya Kehancuran! Aku tahu, itu tidak terdengar bagus sama sekali. Tapi masa bodohlah. Dan lihat ini," Layar membesar, memperlihatkan Jason dan aku yang berlari ke arah panggung.

"Kami bahkan mengerjai Raja dan Ratu prom!" Ed tertawa lagi. Wajahnya muncul di layar. "Dan setelah ini kalian akan lihat prom yang sebenarnya! Dengan Raja dan Ratu prom yang sesungguhnya, maksudku, man, ayolah kalian pasti bosan melihat mereka terus menerus naik ke atas panggung setiap tahun. Tenang saja, jika kalian punya tiketnya, kalian bisa datang ke rumahku!" Kemudian layar mendadak mati.

"Tidak mengejutkan." Kata Jason. Dia mengecek beberapa sosial medianya yang lain sebelum memutuskan sepertinya itu tidak ada gunanya.

"Jadi Ed," bisikku lagi. "Aku tidak mengerti."

"Tidak usah dipikirkan, Em."

"Bukan itu, maksudku, kami sudah berteman lama sekali. Kami sudah menjadi Ed dan Em untuk jangka waktu yang terlalu lama. Kupikir itu kasar sekali, kenapa dia tidak ingin aku tahu semua rencananya? Biasanya kami merencanakan semuanya bersama."

Jason menatapku. "Aku tidak tahu."

Kami terdiam lagi.

"Ayo Em, kau kedinginan dan butuh coklat panas."

Aku meraih tangan Jason sewaktu dia membantuku berdiri untuk ketiga kalinya malam itu. Kami menuruni tebing yang rasanya sangat lama, lalu berlari-lari kecil ke arah mobil. Jason menyalakan pemanas, dan kami berkendara dalam diam. Sebagian besar karena aku terlalu sibuk dengan pikiranku. Aku bahkan tidak bisa menebak apa yang terjadi Senin nanti. Sebagian yang lain karena aku tak percaya melihat semua notifikasiku. Aku mengecek akun sosial mediaku satu per satu, hampir semua orang membahas tentang prom malam ini, beberapa orang mengunggah foto ketika Noah dan Millan diseret masuk ke mobil polisi sambil tertawa. Aku mengecek kotak masuk, mendapat pesan dari Amber yang isinya permohonan maaf. Candice dan Alyson meninggalkan emoji bibir tapi tidak mengatakan apa-apa. Bahkan sepertinya mereka tidak terkejut aku tidak ada di apa pun pesta yang Ed rayakan. Kemudian kuingat-ingat lagi apa saja pertanda yang Ed berikan malam ini, seharusnya aku merasakan dia hendak melakukan sesuatu. Namun sepertinya semuanya normal-normal saja. Sama sekali tidak ada pertanda.

Jason memarkirkan mobil di depan rumahnya dan menoleh menatapku, aku mengerjap.

"Bagian terakhir dari acara malam ini." Dia berkata.

"Orang tuamu?"

"Seolah kau tidak tahu saja. Ayo, mereka tak ada. Dan kau bisa meminjam pakaianku. Lihat kan? Aku memang cerdas, jika aku ke rumahmu, aku tidak akan bisa meminjam pakaianmu."

"Sok pintar."

Jason tertawa. Dia membiarkan aku mandi terlebih dahulu, menggunakan sebanyak mungkin air panas dan memakai pakaian Jason yang kebesaran. Dia sudah menyiapkan coklat panas begitu aku keluar. "Silakan, Yang Mulia."

Aku tertawa.

Dan selagi dia mandi, aku duduk di sofa dan menyalakan TV, memilih-milih acara yang kelihatan seru sampai akhirnya memutuskan untuk memasang DVD. Semua film yang Jason punya bertema romance. Ketika aku mengetahui ini untuk pertama kalinya, aku tertawa sampai perutku sakit. Aku masih ingat bagaimana wajahnya memerah, berusaha menjelaskan bahwa semua itu sangat direkomendasikan dan sebaiknya aku menontonnya terlebih dahulu. Kurang lebih dia benar.

"Kau punya koleksi yang baru?" Aku bertanya sewaktu kudengar langkah kaki mendekat.

"Tidak."

"Tidak? Well kalau begitu kita lihat yang ini saja. Aku sedang ingin tertawa."

Aku memasang DVD, kemudian duduk di samping Jason.

"Man Up? Serius?"

"Yang pertama yang kulihat dan kelihatan menarik."

"Jadi ...," Jason berdeham. "Soal ciuman."

"Apa? Kau ingin membahasnya?"

Selama beberapa detik Jason kelihatan malu. Yang rasanya lucu sekali jika mengingat dialah yang menggodaku belakangan ini.

"Apakah kau menyukainya? Maksudku yeah, kau kan ...," Jason sengaja menggantung ucapannya.

"Tidak. Kupikir tidak."

Mungkin itu hanya bayanganku saja, tapi Jason kelihatan murung. Dia membenarkan posisi duduknya sejenak sebelum menatapku. "Kau benar-benar tidak menyukainya? Tidak sedikit pun?"

"Well, Jason. Begini, itu ciuman pertamaku. Dan aku membayangkan tempat yang indah untuk ciuman pertamaku, dan suasana yang romantis, masalahnya malam ini sama sekali tidak indah. Ada hewan dan adonan kue dan berenang di pantai lalu mengetahui bahwa sahabatmu ternyata mungkin saja sudah tidak menganggapmu sahabatnya lagi. Dari segi mana aku harus menyukainya? Jika aku ditanya suatu saat nanti oleh putriku misalnya, tentang ciuman pertamaku. Aku akan mengingat ini semua dan berpikir, yeah, nak, kau jangan meniruku, ok?"

Jason tertawa. Aku bersandar di bahunya dan tersenyum, senang mendengar dia tertawa.

"Maksudku, bukan itu. Yang lainnya, kau mengerti kan?"

"Hmm, coba kupikirkan. Sepertinya aku baik-baik saja." Aku mengangkat kepala untuk melihat Jason. Ujung bibirnya terangkat.

"Jadi?" Tanyanya.

Aku mengangkat alis. "Apa?"

Jason berdeham. "Well, aku sudah mengatakan padamu bahwa aku akan menyudahi semua kepura-puraanku Senin nanti. Menurutmu bagaimana?"

Aku tidak tahu aku harus jawab apa. Maka aku diam saja selama beberapa saat sambil menonton. Aku menegak coklat panas yang Jason buatkan untukku sebelum akhirnya berkata. "Jika kau ingin putus denganku, aku tidak tahu aku sudah siap dengan gosipnya. Apalagi sejak video itu. Orang-orang mungkin mengira kita putus karena itu. Aku tidak ingin jadi bahan gosip untuk dua minggu ke depan."

Jason membuat suara seperti sedang menahan tawa dan memang itulah yang sedang dia lakukan. Matanya berkilat geli. "Astaga, Emma. Lihat kupikir kau yang paling cerdas di antara kita berdua."

Aku mencoba memasang ekspresi sakit hati. "Well, aku memang."

"Tapi bukan itu maksudku."

Alisku terangkat. "Bukan?" Aku meneliti wajahnya, mencari pertanda, apa pun. Ketika kulihat rona merah menjalar di pipi Jason, aku mengerjap.

"Oh."

"Yeah?"

Kuingat-ingat lagi sewaktu Jason menyetujui ide gilaku tahun lalu. "Boleh saja," katanya sambil tersenyum. "Sama sekali tidak ada ruginya. Kau bisa menghindar dari semua rencana Candice dan Alyson mencoba membuatmu tidur dengan cowok-cowok tanpa terlihat mencurigakan, dan aku tidak akan merasa aneh pada Ed jika mengobrol dengan Amber, dia tidak akan tahu, kan?" Kupikir sebenarnya ide itu bodoh sekali. Jika dilihat dari banyak sisi, hanya akulah yang mendapat keuntungan. Tapi memang begitulah Jason. Sejujurnya aku bahkan tidak tahu semua ini akan dibawa ke mana jika kebohongan itu terus berlanjut.

Aku menatap Jason yang sekarang dan tersenyum main-main, lagi pula siapa yang peduli bagaimana akhir dari semua ini? Mungkin semuanya tidak berakhir seperti yang kuharapkan, tapi setidaknya aku masih punya saat ini. Momen ini. Dengan Jason.

"Jika kau menunjukkan padaku ciuman yang lebih hebat, maka akan kupikirkan."

Jason tertawa, dia mendekatkan wajahnya, bahkan masih tersenyum ketika bibir kami bertemu.

Well, apa yang harus kukatakan? Sudah kubilang hidupku memang klise. []


Fin

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top