day 1: the comfort - kepada yang ditinggalkan [yamiya]

Kasus platonis di antara Yamiguchi Houko dan Himeya Reiya.

Implikasi kasus romantis Niounomiya Izumu dan Himeya Reiya, pula kasus platonis Ishinagi Moeta dan Yamiguchi Houko.

warning: canonical character death

.

Ada satu hal yang terus menggangguku tentang Reiya-onee-sama.

(Tidak apa-apa.)

Onee-sama selalu berkata demikian. Seperti ketika pertemuan pertama kita, seperti ketika orang-orang Yamiguchi dan Ishinagi berdatangan menghabisi anak-anak yang mencoreng harga diri mereka, seperti ketika satu waktu kita kembali bertemu setelah kami meninggalkannya.

(Semuanya baik-baik saja.)

Ah.

Menyebut tidak baik-baik saja bukan masalah besar, kau tahu? Aku takkan selamanya berpura-pura tak tahu dan menutup pintu. Tak ada yang sepenuhnya baik-baik saja begitu aku berjalan maju.

(Tidak apa-apa.)

Padahal, aku bukan sekadar bocah normal berusia tiga belas tahun. Kita bersama tak pernah berada di zona yang disebut-sebut normal―hanya pembunuh berlabel dari tujuan yang diagung-agungkan. Brutal dan keji. Sudahi memperlakukan mereka dengan penuh kehormatan. Menenangkanku seperti itu, apa yang tengah dibicarakannya?

"Houko-chan," lantas, dia berkata. Tak ada wajah yang dapat dilihat, hanya suara lembut penuh afeksi. "Menangis saja tidak apa-apa."

Itulah bagian aneh dari Himeya Reiya. Dewa Kematian yang menaruh jiwa kepada kemanusiaan.

Apakah itu karena separuh jiwanya hanyalah manusia biasa, bukan semata-mata kepongahan mereka yang mengaku sebagai Dewa Kematian dalam membuang nyawa? Atau, apakah itu karena jejaknya adalah sisa-sisa dari yang telah ditinggalkan? Kelimpungan di antara jembatan Dewa dan manusia ....

Ah.

Mereka berdua mirip sekali, ya.

Maka, aku mengutip apa yang terus dikatakan Onii-chan; omong kosong.

Berhenti memelukku. Berhenti mengelus kepalaku. Berhenti menganggapku dengan begitu berharga, seolah aku berupa bagian dari nyawamu. Berhenti. Berhentiberhentiberhenti

"Maafkan aku."

Lantas, aku terisak.

Itu salahku―kematian Moeta. Itu lemahnya diriku. Itu ketidaksanggupanku. Aku takut. Takut. Takuttakuttakut

Dan, rengkuhan itu semakin mengerat. "Mhm. Mengerikan, ya?"

Apa yang aku lihat, apa yang kita lihat.

Aku tak kuasa berkata dengan sisa-sisa imaji yang kembali menghantui. Tentang dentang kereta. Seruan stasiun. Muka terakhir yang kulihat. Pula, suara yang tak terdengar, sekadar dari mulut yang terbaca―aku tak ingin mengeja. Maka, yang kulakukan hanyalah mengangguk.

Atau, paling tidak dari sisa-sisa itu, hanya toreh balasan yang sempat mengharap, "Tidak ada yang menyalahkanmu menangis juga, Onee-sama."

Ada sepasang tangan yang berjengit. Untuknya mendengkus, bercampur dengan tawa sinis. "Aku sudah cukup puas menangis kemarin."

Benar.

Benar, ya.

Barangkali, itulah saat-saat paling histeris, puncak manusiawi seorang separuh Dewa. Ironisnya, itu bukanlah sesembahan kepada manusia, tetapi Monster Kanibal yang tamak menelan digit-digit manusia, yang entah mengapa memanusiakan seorang Dewa. Seperti Moeta yang menyerahkan diri pula kepada bibit-bibit mengerikan pengancam manusia, melindungiku semata-mata label adik yang tersemat demi kembali menjadi manusia.

Aku sungguh memiliki kakak-kakak yang aneh.

Tak ada penghiburan yang berarti. Seolah menyadarkan bahwa aku juga hanyalah bocah berusia tiga belas tahun yang baru saja ditinggalkan kakak tercintanya. Maka, aku kembali menyeret diri untuk berkata, "Maaf sempat meninggalkanmu waktu lalu."

Aku tidak tahu sendirian begitu menyakitkan.

"Tidak apa-apa," dan, Onee-sama kembali berkata, seperti biasa. "Selalu ada cerita untuk itu."

Selalu ada satu cerita dari yang masih berjalan, barangkali terseok-seok di antara lumpur sebelum dapat mencapai tepian di dataran.

Maka hari ini, aku lepaskan segala tumpah tangisku dengan menyedihkan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top