three


Kami menghabiskan pagi hari di danau beku. Jason dan aku bermain Hoki satu lawan satu. Setiap kali dia berhasil memasukkan puck ke gawang, dia akan bertanya. "Jadi menurutmu bagaimana, Seth?" kemudian aku akan menceritakan dua tiga hal yang tidak dia ketahui sepanjang tahun.

Kami memainkan ini jika ada kesempatan. Ketika Jason berpikir barangkali Emma sudah tidak membutuhkannya lagi dan dia tidak mengerti mengapa dia merasa terganggu dengan itu. Atau saat aku tidak sanggup menahan semua perasaan dalam diriku dan membutuhkan sesuatu untuk dilampiaskan. Jason dan aku seperti berbagi dua sisi koin yang berbeda. Terjebak dalam lingkaran tanpa awal dan akhir.

"Kau sudah mengatakannya, kan?" Jason bertanya ketika kami meluncur ke sisi danau. Aku melepas sepatu skateku, memberinya tatapan tak mengerti.

"Apa maksudmu?"

"Geez, Seth. Kau pikir aku sebegitu bodohnya tidak tahu apa yang selama ini kau katakan?"

Aku mencoba tertawa. "Kupikir begitu."

"Bagaimana jika aku memberitahumu sesuatu?"

"Tergantung. Apakah kau hendak menendang bokongku selanjutnya karena Pelatih berencana akan mentransferku ke tim lain."

Jason menatapku tak percaya. Butuh sepuluh detik sampai aku tidak bisa menahan tawa dan dia mulai memukuliku dengan stik Hoki. "Tidak lucu Seth! Sama sekali tidak lucu!"

"Kau harus lihat wajahmu!" Aku tertawa sampai tersenggal-senggal, mencoba menghindar dari lemparan bola salju ketika Jason melempar stik Hokinya menjauh.

"Brengsek!" Jason tersandung, aku memanfaatkan saat itu untuk membuat bola salju dengan ukuran besar dan melempar tepat ke wajahnya saat dia mengangkat kepala. Napasku membuat asap di udara. Dari atas aku bisa melihat Emma berlari menaiki bukit menuju kami. Dia kelihatan bahagia.

"Apakah aku melewatkan sesuatu?" Emma berteriak, menggulung salju di tangannya sambil berlari.

Aku menyiapkan dua bola lagi, berlari ke arah Jason dan berteriak. "PERANG SALJU!"

"Dua lawan satu? Siapa yang berada di pihakku?" Emma sampai di atas bukit, siap melempar salju di tangannya. Aku dan Jason bertatap-tatapan, lalu kami tersenyum jahil dan mulai mengejar Emma.

"Tidak ada!" kataku, melemparinya dengan salju. Emma memekik. Dia berlari menghindar, melompati dua batu lalu berbalik untuk membalas serangan. Emma bergerak gesit, dia masuk ke dalam hutan sambil berteriak.

"Meski kalian berbuat curang, kalian tetap tidak akan bisa mengalahkanku!" dia membuat suara tawa jahat seperti dalam film, kemudian terbatuk.

"Berpencar?" tanyaku pada Jason, merasakan energi mengalir dalam diriku. Aku bisa melakukan apa pun ketika ini terjadi. Memanjat gunung, berenang di danau beku, atau menebang kayu. Aku bisa meluncur di atas es seharian dan memasukkan banyak gol. Jason melihatnya di mataku, dia tersenyum.

"Berpencar." Jason menyetujui.

[*}

Aku pernah bermain ini dengan Emma, sembunyi dan temukan saat perkemahan musim panas. Dia selalu berhasil membuat orang-orang kesusahan. Ketika berjalan memasuki hutan, aku memikirkan beberapa kemungkinan. Kemungkinan terburuk dan kemungkinan baik. Aku bahkan berpikir soal merelakan. Jika orang lain dapat berjalan tanpa menoleh ke belakang dan meninggalkan semuanya terkubur rapat-rapat, maka aku juga bisa. Setelah pagi ini kukira aku dapat menebak ke mana persahabatan Olly dan aku akan berlanjut. Barangkali tidak ke mana-mana. Barangkali berpisah ke arah berlawanan.

Di kejauhan aku mendengar Emma berteriak dan Jason tertawa. Aku mendengarkan baik-baik arah suara mereka, lalu berlari dengan salju di tangan, kaki-kakiku menapak akar-akar beku, aku melewati dua penunjuk arah yang barangkali sengaja dibuat di sana, satu mengarah ke Kabin Bersalju, dan satunya lagi menunjukkan gambar hutan terbakar. Aku tidak mengambil arah keduanya dan terus berlari. Salju mulai turun dan suara Jason dan Emma sudah tidak terdengar, tapi aku tidak peduli, aku tidak peduli jika mereka pergi meninggalkanku dan tertawa di sepanjang jalan menuruni bukit menuju kabin. Aku kenal tanah ini. Becky menunjukkannya padaku di awal tahun saat daun-daun baru tumbuh dan anak-anak dari desa sebelah berlarian di puncak bukit, memperhatikan danau beku mencair.

Aku terus berjalan sampai melihat pohon besar menjulang tinggi di hadapanku. Saat pertama kali melihatnya aku tahu Olly akan suka. Aku memotretnya dulu, dan memberikannya pada Olly di hari ulang tahunnya. Ranting-ranting pohon itu membelit dengan rumit, seperti dua tubuh yang menyatu. Daun-daunnya akan berwarna secerah langit biru di musim semi, aku dapat membayangkan lantunan lagu-lagu yang aku dengar saat malam, dimainkan di sekitar pohon itu. Api unggun menyala di dekatnya dan semua orang tertawa.

Aku mengeluarkan ponselku dan mulai memotretnya lagi.

[*]

Ketika aku kembali, Jason memberiku tatapan aneh. Aku tersenyum padanya dan memberikan jari tengah, yang dia balas dengan tawa. Kunaiki tangga dua-dua menuju kamarku, sambil membuka mantel yang basah. Olly sedang berbaring di ranjangnya ketika aku masuk, dia memperhatikan langit-langit kamar. Aku mencoba mengabaikannya ketika berganti pakaian, menyingkirkan pakaian basahku untuk dikeringkan nanti dan berbalik hanya untuk melihat Olly sedang memperhatikanku. Dahinya berkerut dalam. Untuk pertama kalinya sepanjang hari itu, wajahku memanas.

"Kemari," Olly berkata, menepuk tempat kosong di sebelahnya.

Aku menurutinya, jantungku sudah tidak dapat dideksripsikan lagi seperti apa. Kemungkinan-kemungkinan menari di otakku.

"Apa yang kau inginkan?" aku mencoba bertanya ketika tubuhku sudah berbaring, lalu menyadari betapa tidak kreatifnya pertanyaanku. Olly menaikkan alisnya, dia berbaring sangat dekat. Napasnya menyapu leherku.

"Aku yang bertanya kali ini, idiot. Apa yang kau inginkan?"

"Apa yang kuinginkan?" tanyaku, mulai tak mengerti. Aku menginginkan banyak hal.

"Yep. Kali ini terserah kau. Maksudku, kau selalu ada ketika aku memintamu membantuku menyelasaikan portofolioku agar aku dapat diterima di universitas yang sama denganmu. Saat Dad meninggal, kau juga ada di sana. Kau membayar uang sewa adikku di awal tahun padahal kau juga kesulitan. Kau menemaniku berhadapan dengan Mr. Baukers agar aku dapat pekerjaan di studio foto. Kau juga tidak bersikap brengsek pada Leo padahal kau tidak suka padanya dan aku tahu kau tidak suka padanya. Seharusnya aku mendengarkanmu saat itu, apa yang kau bilang, 'Leo terlihat berbahaya.' aku sempat berpikir barangkali kau hanya cemburu dan tidak lihat betapa menawannya Leo."

"Aku memang cemburu," aku berbisik.

Olly tertawa, napasnya menggelitik leherku, dia membuat lingkaran-lingkaran kecil di lenganku seperti saat kami kecil dulu. "Ini namanya lingkarang pikiran, Seth." Dia pernah berkata dulu.

"Aku tahu itu, sekarang," dia menambahkan dengan suara pelan. "Kau tahu, banyak sekali yang sudah kau lakukan padaku. Ketika pertama kali aku terkena serangan panik, kau menenangkanku. Kau membawaku berkeliling dan memperlihatkanku danau-danau beku saat musim dingin dan danau-danau berkilau di musim semi. Kau selalu bilang segalanya akan baik-baik saja dan aku selalu mempercayaimu saat mengatakan itu. Kau mengajariku meluncur di atas es dan tidak tertawa ketika aku jatuh. Kau membelaku di kelas seni saat orang-orang menertawai hasil lukisanku dan mengataiku banci cengeng. Aku memikirkan ini seharian, kau sudah melakukan segalanya untukku, hal-hal yang barangkali kau anggap bukan apa-apa tapi berarti seluruh dunia bagiku, kupikir saat ini giliranku. Jadi Seth, apa yang kau inginkan?"

Aku tidak bernapas. Aku memandang Olly, mata birunya yang sedalam lautan dan selalu berkilat ceria meskipun seluruh dunia berdiri melawannya. Aku memandangnya, dan mengatakan kalimat yang selalu ingin kuteriakkan padanya setiap kali dia pergi menuju kegilaan malam dan apa pun yang dia lakukan di luar sana.

"Kau," suaraku serak, aku berdeham. "Aku hanya ingin kau."

Olly tersenyum, "Aku dapat mencoba," lalu dia menciumku. Dia menciumku pelan dan dalam, pikiranku melayang, aku tak pernah membayangkan ini terjadi. Benar-benar terjadi. Aku hanya selalu berharap dan menghapus semua harapan itu ketika kenyataan menamparku dengan keras.

Aku membalas ciumannya, memeluknya ketika bergeser semakin dekat. Jantungku berdetak kencang aku bertanya-tanya apakah Olly juga dapat merasakannya. Merasakan betapa aku tidak akan bisa bangkit lagi jika setelah ini dia memutuskan aku tak begitu layak dan berharga. Aku menciumnya seolah hal ini tidak akan terjadi lagi, membisikkan betapa aku tidak peduli jika dia berubah pikiran dan aku akan tetap menyayanginya untuk itu lewat ciumanku. Sewaktu kami kehabisan napas, Olly mencium pipiku, turun ke daguku sampai dia mengistirahatkan kepalanya di celah di antara leherku.

"Aku dapat mencoba," ulangnya, lalu dia tertawa. Tawa bahagia yang menular.

"Wow," dia berbisik sewaktu tawanya mereda.

"Yeah, wow."

"Kau pencium yang hebat, aku tahu itu sejak pertama kali kau menciumku."

"Kau ingat? Aku kira kau mabuk saat itu."

"Tentu saja aku ingat, idiot. Dan kau juga mabuk," dia terdiam sejenak. "Aku selalu merasa bodoh, kau tahu. Kau tak pernah membahas itu lagi, jadi aku selalu mengira kau menyesal melakukannya. Kau bahkan sempat menjauh dariku."

"Kau yang menjauh dariku, Olly. Kau berkenalan dengan Leo dan sedetik kemudian aku tahu aku takkan punya kesempatan."

"Kau berpikir begitu?" Olly menautkan jari-jarinya dengan jari-jariku, memperhatikan mereka ketika bicara. "Kau selalu punya kesempatan. Aku hanya takut. Semua orang dalam hidupku pergi. Mom. Dad. Aku tak mau kau juga pergi karena keegoisanku."

"Aku senang kalau kau egois."

"Benarkah? Orang macam apa kau ini sebenarnya, Seth?"

"Orang yang menyayangimu," aku menciumnya. Senang pada kenyataan kali ini aku dapat melakukannya sesukaku.

"Jadi," Olly berbisik di antara ciuman, "Boyfriend?"

"Kau baru saja putus kemarin," aku mengatakan yang sebenarnya.

"Aku tidak peduli, aku senang sekarang, kau juga," dia tersenyum, matanya berkilat jahil. "Mau melakukan sesuatu yang hebat?"

Aku menciumnya lagi, untuk sesaat tidak khawatir dengan kemungkinan terburuk. "Tentu."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top