7. Katanya Rumor

Anggara berhenti melangkah untuk menoleh. Tautan jemari mereka masih bertahan. Ia menarik lengan Anyelir sedikit keras saat gadis itu hendak berjongkok. Mata mereka bertemu di satu titik dan seperti biasa tidak ada reaksi semacam hangat menjalari dada atau sejenisnya.

"Talinya copot, Mas." Anyelir menunjuk heels-nya. "Mau aku benerin sebentar."

Semua orang yang melewati mereka sama, sama-sama berniat membebaskan bola mata mereka dari rongga. Pantas saja panggilan dan nada bicara Anyelir berubah drastis.

"Iya, biar aku aja," sahut Anggaran.

Kapan lagi 'kan Anggara Hadiarsa Pranadipa berlutut di kaki seorang gadis? Ah, ralat, maksudnya berjongkok—tapi yang tertangkap oleh pandangan sekumpulan bocah konglomerat tak berguna pasti pernyataan sebelumya. Anggara mengaitkan tali heels seraya mengulas senyum setipis kulit lumpia. Tak lama, ia sedikit mendongak dan bersiul dalam hati. Betapa mulusnya kaki Anyelir untuk sekadar dibelai dari ujung kaki hingga paha, dikecupi sebentar, lantas ... dibuka lebar-lebar mungkin?

Biar Anyelir belajar split maksudnya.

"Thank you, Mas Angga."

Anggara mengangguk. Pandangannya entah kenapa berhenti pada kalung berliontin bunga yang menghiasi leher Anyelir. Kemudian tak sengaja turun lagi ke tulang selangka.

"Mas? Make up aku berlebihan ya?" tanya Anyelir penuh khawatir. Ia menggigit bibir bawah.

"Jangan digigit gitu, aku juga jadi pengin gigit soalnya."

Anyelir mengarahkan bola mata ke atas. "Mas Angga ...." Ada nada meliuk-liuk menggelitik telinga. "Serius!"

Anggara mengangguk lamat-lamat sebelum menjawab, "Mooi*." (*Cantik)

Kedua alis Anyelir menyatu. "What is the meaning of Mooi, Mas?"

"Kalau kata cowok Amsterdam artinya cantik."

Jemari mereka bertaut lagi, tetapi hanya sebentar karena Anyelir memilih memeluk lengan Anggara. Baru sedetik berdiri dan bermaksud mendorong, pintu sudah terbuka lebar-lebar. Menampilkan karpet merah panjang dengan vas bunga besar di sisi kiri dan kanan. Tema Season to Remember tergantung pada si tuan rumah. Kelihatannya kali ini acara akan lebih formal karena diselingi pesta dansa.

"Makasih ...," kata Anyelir.

Gadis itu menatapnya manja, sedangkan Anggara membalasnya selembut beledu. Seakan-akan Anyelir Cokroatmojo adalah satu-satunya yang akan ia pertaruhkan sampai titik darah penghabisan. Mereka mengabaikan atmosfer sekitar dan menyusuri karpet merah tanpa beralih.

Tawa kecil mereka yang terlihat sangat bahagia dan penuh cinta berderai. Menimbulkan percikan-percikan iri serta dengki pada segelintir gadis nahas. Secara bersamaan pandangan mereka tertambat pada sosok gadis dengan dandanan paling glamor. Siapa lagi? Adara Cokroatmojo si Oprah Winfrey versi perkumpulan bocah konglomerat tak berguna. Setiap sabda yang keluar dari mulut Adara entah kenapa selalu mampu meyakinkan orang-orang bodoh dalam ruangan ini. Pasti sepupu ajaibnya itu sedang membicarakannya dan Anggara.

"Sepupu kamu tuh," kata Anggara lagi.

"Iya, si mulut petasan." Anyelir menatap sekilas ke arah Adara yang dikelilingi beberapa gadis dan mantan kekasihnya. "Aku jadi penasaran rumor apa yang kamu punya."

"Nanti kamu juga tahu."

"Ya, tapi aku nggak peduli sih kamu punya rumor apa." Anyelir mengangkat bahu tak peduli, lalu menepuk pelan pipi Anggara.

Anggara menyeringai. "So proud of you, Nye."

"Iya, aku nggak peduli apa pun tentang kamu yang penting nyawa kedua Anggara Hadiarsa Pranadipa jadi punyaku."

"Good girl," sindir Anggara yang kini menyentuh tangan Anyelir di pipinya.

"Kalau kata 5 Seconds Of Summer, good girls are bad girls that havent been caught, Anggara."

Mata Anyelir melotot ketika Anggara mencubit hidungnya. "Setuju sih. Berarti kamu juga tahu dong, in fairy tales, there is always a prince charming and a bad guy. In real life—"

Anyelir meletakkan telunjuknya di bibir Anggara. "Prince charming is the bad guy, right?" bisik gadis itu.

Terserah bagaimana tanggapan orang, malam ini mereka memang berniat menjadi pusat perhatian. Anggara melepas telunjuknya, lantas pamit mencari minuman. Entah kenapa ia memandangi punggung laki-laki itu dengan hati gelisah. Seolah-olah Anggara meninggalkannya terjerumus dalam neraka dunia sendirian.

"Laki-laki yang sama Anyelir itu 'kan temen kakak lo di Amsterdam ya?" tanya seseorang di belakang punggung Anyelir.

Tentu nada bicara gadis itu pelan. Hanya saja, mungkin mereka tidak tahu kalau pendengaran Anyelir lebih tajam dibanding pisau belati. Oleh karenanya Anyelir berusaha tetap berdiri di tempat semula tanpa berniat bergeser sejengkal pun.

"Iya, sumpah dia horor banget. Katanya sih salah satu penerus utama Prana Corporation. Tapi, denger-denger dia tuh psycho kata kakak gue. Semua mantannya di Amsterdam jadi korban kekerasan dalam hubungan!"

Beberapa gadis di belakang Anyelir langsung kompak menarik napas shock. Termasuk dirinya sendiri yang membulatkan mata. Ia lantas merogoh ponsel, lalu pura-pura menata rambut dengan kamera depan. Terlihatlah wajah para biang gosip malam ini. Anyelir tak mengenal semuanya. Namun, ia mengenal Resma Hadad. Gadis yang pernah bertengkar hebat dengannya karena memperebutkan laki-laki yang sama.

"Bahkan sampai ada yang meninggal!" seru gadis lain berambut pirang.

Anyelir kini memegangi dadanya sambil membatin, ini rumor paling di luar ekspektasi gue! Astaga, Mama Papa tahu ngggak sih?

Sekarang ia tak lagi memedulikan para biang gosip. Ia sibuk menimbang-nimbang keselamatan hidupnya jika sudah resmi menjadi istri Anggara Hadiarsa Pranadipa. Tepat saat itu juga matanya menangkap sosok Anggara yang berjalan membawa dua gelas minuman. Dua sudut bibirnya tertarik sempurna menyisakan lesung pipit di pipi kiri.

Tahan, Nye ... tahan, ini baru rumor. Anggara itu nggak gampang ditebak. Barang kali ini malah taktik dia! Ya, ya, ya ini pasti taktiknya entah untuk apa! jerit Anyelir dalam hati.

Sambil terus-menerus meyakinkan hati, Anyelir menyambut gelas yang Anggara tawarkan bersama senyum madu.

***

"Nye, hobi kamu bahaya." Anggara berkata demikian karena sekadar peduli pada rekan kerjanya.

"Kenapa gitu?"

Anyelir memindai langit malam tak berbintang. Gelap tapi tetap menakjubkan. Ia meletakkan koktail di pembatas balkon. Mereka memilih pergi menjauhi kerumunan setelah mencicipi kudapan dan membawa segelas red wine.

"Laki-laki kalau balas dendam perkara sakit hati tuh bahaya. Berhenti dari sekarang, Nye."

Anyelir bertopang dagu, memandang lekat laki-laki di sebelahnya. "Kamu mulai posesif deh, Anggara. Mirip CEO di Wattpad yang lagi jatuh cinta sama cewek yang dijodohin sama dia, padahal tadinya benci. So cheesy."

Senyum tipis menghiasi wajah Anggara sesaat, lalu pandangan mereka terkunci. "Serius, Nye. Pertama, aku belum jadi CEO. Kedua, kita bukan tokoh Wattpad. Ketiga, ini soal keselamatan kamu."

"Ih, aku tersanjung loh kamu peduli sama keselamatanku. Kalau kamu belum lupa aku masih punya trio botak yang menyerahkan seluruh hidup buat jadi kacung pelindung." Anyelir mengerling. "By the way, kamu sendiri?"

"Aku laki-laki, Nye. Bebas. Omong-omong, mantan kamu yang duduk di kursi roda, ekspresi mukanya kayak mau bunuh orang."

Anyelir tertawa kecil. "Kita satu frekuensi, Anggara. Kamu pemain, aku juga. Nggak ada bedanya lah." Ia juga sempat menatap mantan kekasih tiga bulannya yang kemarin-kemarin masih gencar mengejarnya. "Adra memang suka begitu. Abaikan aja."

"Serius, lebih baik berhenti aja. Pencapaian kamu udah bagus kok."

Anyelir tertawa lagi. "Please, ini bukan karena kita mau nikah dua bulan lagi terus kamu mulai cinta 'kan? Maaf Anggara aku nggak bisa membalasnya. Soalnya aku nggak percaya yang kayak gitu, bullshit."

"Kayaknya kamu pengin aku banget aku cinta mati sama kamu."

"Pengin banget dong ... 'kan biar jalan ceritanya seru, Anggara," ucap Anyelir dengan nada manja. Ia memeluk sebelah lengan Anggara, menggesek-gesekkan pipinya di sana.

"Ini masih jam kerja, Nye. Panggilannya yang benar dong."

Anyelir membekap mulutnya, kemudian mengerjap manja. "Oh iya, maaf ya Mas Angga ...."

Jeritan lirih Anyelir mengudara karena laki-laki itu menyentil keningnya. Selang sedetik, ia balas mencubit perut Anggara tanpa ampun.

"Nye, kalau ginjal aku bocor, mau tanggung jawab?" Anggara bertanya di sela-sela tawa, sedangkan Anyelir memutar bola matanya.

Laki-laki itu bisa membuatnya tertawa lepas. Bukan jenis tawa mengejek atau kecewa. Jenis tawa yang murni karena ia ingin tertawa. Ya, bukan hal aneh jika pribadi yang menyenangkan semacam itu wajib dimiliki laki-laki seperti Anggara. Usapan lembut di bahu menghentikan lamunan Anyelir.

"Masuk yuk," ajak Anggara.

"Bentar deh." Anyelir mengetuk-ngetuk telunjuk ke dagu. "First dance?" ajaknya tanpa ragu. Karena rumor Anggara yang sempat hinggap di kepalanya tiba-tiba terbang bebas bersama angin malam.

"Di dalam aja. Angin malam nggak bagus buat kesehatan kamu."

Anyelir menggeleng. "Kita sama-sama nggak suka keramaian."

Kalimat itu membungkam Anggara. Bagaimana bisa mereka sefrekuensi? Ia menarik satu sudut bibir seraya melepas jas. Langkah kakinya mengikis jarak yang sempat tercipta. Anyelir Cokroatmojo bergeming kala ia memakaikan jas itu. Tak bersuara juga ketika Anggara menariknya ke pelukan untuk merealisasikan dansa pertama mereka. Tidak ada debaran, hanya ada mata yang saling mengunci satu sama lain.

======== *** =========

"Prince charming is the bad guy."

A/N:
Halo pembaca setengah jam yang cantik dan ganteng. Meskipun rada cringe gimana gitu ya 😂😂😂 tapi makasih udah mampir :)

See ya in da next chap!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top