4. Di Antara Perundingan
Julia Pranadipa, Anyelir mengenalnya lewat pertemuan ibu-ibu sosialita yang pernah diadakan di rumah sebanyak dua kali. Ia tidak begitu akrab dengan wanita-wanita super power itu, tidak juga dengan Tante Julia. Hanya saja wanita setengah Eropa itu yang sering kali menegurnya ketika bertemu. Lain dengan teman-teman Seruni Cokroatmojo yang kerap memandang Anyelir sebagai sesuatu yang menjijikkan.
Ya, Anyelir sadar bahwa pencapaiannya dalam mengoleksi mantan kekasih memang mengagumkan. Meski begitu, ia tidak menjual diri kepada para pejabat atau petinggi perusahaan ternama. Itu sama sekali bukan gayanya. Ia hanya bermain di sekitaran laki-laki yang seumuran atau maksimal lima tahun di atasnya. Patut digarisbawahi juga, Anyelir tidak pernah melayani semua laki-laki yang mampir sampai ke ranjang. Karena apa? Papa Hermawan selaku ayah tiri terbaik sudah memenuhi segala kebutuhan primer hingga tersier.
Tujuan Anyelir bermain-main pun hanya sekadar merasakan berulang kali bagaimana menyenangkannya mencampakkan seseorang.
"Oh ya, Pak." Papa menoleh kepada pria paruh baya yang duduk di sampingnya "Boleh saya yang memulai?"
Pria yang mengenakan setelan jas formal itu mengangguk. "Silakan, Pak."
Empat orang yang mengelilingi meja bundar memandang ke arahnya dan Anggara. Alih-alih membalas tatapan Papa Hermawan, Anyelir tetap menyantap cumi saus tomat dengan khidmat. Keluarga besar mereka sama-sama penikmat seafood dan masakan Nusantara. Lagi pula, ia sudah tahu apa yang akan disampaikan sang ayah tiri. Jadi, tak perlu ditanggapi berlebihan. Ia akan menerima Anggara dengan baik, jikalau nyawa kedua yang laki-laki itu katakan bukanlah sekadar omong kosong.
"Mas Angga, apa tesis bisa dikerjakan di Indonesia saja?"
Anggara mengangguk. "Saya akan memegang cabang Yogyakarta sesuai kesepakatan rapat kerja setengah tahun lalu."
Sebelum kembali ke Amsterdam untuk menempuh pendidikan yang ketiga kali, kelurga besar Anggara mengadakan rapat penting. Mereka tak menggunakan aturan baku dan sekeras Atmojo Group, Prana Corporation sedikit lebih manusiawi. Saham mereka dibagi sama rata, tapi tetap milik laki-laki lebih besar dari perempuan. Anggara sudah menyelesaikan makanannya sepuluh menit lalu. Tersisa hidangan pencuci mulut yang baru dimakan separuh.
"Jadi pertemuan ini sebenarnya sudah dirancang jauh-jauh hari oleh saya dan Pak Reno. Mungkin kalian berdua juga sudah membaca situasi dengan baik. Meski kalian berdua sudah saling mengenal, saya tetap akan memulainya secara resmi."
Ya, mereka baru kenal dua hari tepatnya. Anyelir enggan menyela kalimat Papa Hermawan sama sekali, meski sangat ingin.
"Nah, gadis cantik di sebelah Mas Angga, namanya Anyelir. Putri saya satu-satunya dan tiada duanya kalau minta naik limit."
Tawa Papa Hermawan disambut oleh tiga orang lainnya, kecuali mereka berdua. Anyelir mengangkat kepala, lalu melempar senyum polos andalan pada Anggara di sebelahnya. Berselang sedetik, laki-laki itu mengulurkan sebelah tangan.
"Saya Anggara," katanya seraya menarik dua sudut bibir.
Anyelir menjabat tangan laki-laki itu. "Saya Anyelir. Panggilnya Anye ya, Mas. Jangan Elir nanti ketuker sama pulau yang ada di bantal."
Dengan sengaja ia menekan panggilan Mas, barang kali Anggara mau memuntahkan hidangan-hidangan tadi? Itu 'kan alternatif yang bagus untuk program diet. Laki-laki itu tertawa kecil sambil mengangguk. Ternyata Anggara Hadiarsa bisa terlihat sebagai laki-laki normal bila di depan banyak orang penting. Tidak jauh beda dengannya, ia jadi tertantang membuat laki-laki itu bertekuk lutut. Kemarin Anyelir sudah mengakui kalau Anggara tidak jelek 'kan?
"Apa kubilang, mereka berdua cocok 'kan?" Seruni bicara pada wanita yang berseberangan dengannya.
Julia memamerkan gingsulnya. "Iya, sangat cocok."
"Oh ya, Mas Angga, mengenai rumor Anyelir yang beredar kebanyakan hanya rekayasa. Ya 'kan, Pa?" Seruni menoleh pada Hermawan yang mengangguk. "Karena Anyelir pandai berbaur."
Anyelir yang baru saja menyuap cumi saus tomat langsung tersedak. Malam ini orang tuanya benar-benar berniat menjajakannya!
"Saya mengerti, Bu." Anggara menggeser segelas air putih pada Anyelir, lalu mengusap-usap pelan punggung gadis itu.
Anyelir berdeham. "Makasih." Ia meneguk minum pelan-pelan sambil melirik Anggara.
"Mas Angga ... punya kekasih di Amsterdam?" tanya Seruni.
Ah, ini dia yang Anyelir tunggu-tunggu. Ia membalik sendok dan menjauhkan piring.
"Saya tidak punya."
Wajah Seruni nampak jauh lebih sumringah, sedangkan Anyelir tersenyum kecut. "Kalau begitu kapan kiranya kita mempersiapkan langkah selanjutnya?" Seruni mengedarkan pandangan ke seluruh penghuni meja makan.
"Kami menyerahkan keputusan sepenuhnya pada Anggara," jawab Julia.
Perjodohan macam ini? Nggak ada drama-drama gitu? Anyelir membatin, sebelah alisnya terangkat.
"Saya siap, kalau Anyelir juga siap," tukas Anggara.
Sungguh jawaban yang dibuat-buat. Tanpa persetujuan mereka berdua, perjodohan terselubung bisnis pasti tetap berjalan. Pernikahan mereka juga pasti sudah diatur sedemikian rupa, bahkan mereka berdua saja tidak saling mengetahui hal itu sebelum malam ini terjadi. Anyelir melirik laki-laki di sebelahnya. Anggara serupa lautan tenang. Selama makan malam berjalan, ia tak melihat laki-laki itu mengecek ponsel atau melirik ke arahnya. Entah apa yang sedang Anggara Hadiarsa perhitungkan.
"Maaf sebelumnya, saya belum menyelesaikan pendidikan sarjana. Dan ... sepertinya kami butuh waktu untuk saling kenal," jelas Anyelir yang langsung mendapat sikutan dari Mama.
Anyelir punya rumor jelek di mana-mana. Anggara pun tahu tentang sebutan bunga beracun yang disematkan jajaran mantan kekasihnya. Mustahil jika laki-laki itu tidak memperhitungkan resiko ketika mengulurkan tangan sukarela. Apa yang keluarga Anggara cari? Ia hanya klan campuran. Namanya tidak terdaftar dalam pembagian saham Atmojo Group. Anyelir masih terus mencari jawaban itu.
"Tidak masalah, Anggara bisa mengurusnya." Kali ini Reno Pranadipa yang bersuara.
"Ah, benar itu!" Hermawan menyetujui gagasan calon besan. "Memang Anyelir baru berumur 21th, tapi saya yakin Mas Angga bisa membimbing dengan baik."
Oke, Anyelir tidak bisa merusak tatanan konspirasi apik para pebisnis kelas kakap. Ia menyunggingkan senyum dengan tatapan kosong.
***
"Gimana Anyelir?" tanya Mama tiba-tiba.
"Nggak ada masalah."
Sepulangnya dari acara makan malam dadakan bersama keluarga Anyelir. Papa menjelaskan masalah yang membuat Atmojo Konstruksi dilanda paceklik. Hermawan tidak dapat meminta bantuan kepada saudara-saudaranya akibat ulah kelalaiannya sendiri. Terjadi korupsi penggunaan dana beberapa proyek yang membuat mati arus kas. Perusahaan konstruksi sendiri merupakan jenis perusahaan yang fluktuatif. Maka ini adalah tantangan baru bagi Anggara, di mana ia akan mengendalikan penuh cabang Yogyakarta, memperbaiki kestabilan Atmojo Konstruksi, dan membuat Prana Development jaya.
Klan Cokroatmojo harus tahu, kemampuan generasi Pranadipa bukan main-main. Omong-omong, Anggara generasi pertama yang akan meminang salah satu klan Cokroatmojo, sekalipun campuran. Gadis dengan reputasi paling jelek dan perusahaan ayahnya yang carut-marut. Apa lagi yang kurang? Mungkin dosa-dosa Anggara ikut campur menambah kesempurnaan di dalamnya.
"Kebiasaannya masih bisa diubah, kalau Mama perhatikan alasan dia melakukan itu bukan karena haus perhatian laki-laki."
Anggara menyeringai. "Mama udah kenal banget kayaknya. Sampai dibela begitu, yang namanya play girl tetap play girl."
Anggara menarik satu sudut bibir. Bimo benar, Anyelir lucu. Raut wajah dan sikapnya berubah-ubah secepat kilat. Kadang terlihat dewasa dan angkuh. Kadang juga, kekanakan. Anyelir terlihat biasa menentukan sesuatu tanpa pikir panjang. Misalnya tentang nyawa kedua yang sempat mereka bicarakan, Anggara padahal tidak menyebutkan persenan, tapi gadis itu langsung menyetujui. Bagaimana kalau ia memberi 0,2 persen saja saham Prana Corporation miliknya? Gadis itu tak akan bisa ke mana-mana lagi jika sudah terperangkap!
Ah, jadi, siapa yang punya startegi bagus dalam permainan ini?
Dasar cewek, gumam Anggara sambil tersenyum kecil.
"Dia punya alasan lain, tapi itu nggak perlu kita bicarakan. Tujuan utamanya tetap Atmojo Konstruksi," lanjut Mama.
"Iya, saya tahu."
"Bagus. Rumor dia justru bisa menutupi rumor kamu."
"Saya nggak peduli rumor itu."
Khusus dalam hal mendekati sang putra semata wayang, Julia yang akan lebih dulu maju. Anggara menyodok bola nomor delapan lalu bersedekap. Mereka selalu melakukan pembicaraan rumit dengan cara seperti ini. Semua vila milik keluarga Pranadipa selalu difasilitasi ruang biliar. Bola tadi menabrak dinding papan sebelum jatuh mulus ke lubang.
"Tapi tetap ... rumor kamu juga harus dibersihkan sebelum menyebar ke mana-mana." Mama menyodok bola nomor dua belas, tapi meleset. "Dia cantik kan? Kamu nggak rugi-rugi banget lah sekalipun dia cuma klan campuran."
Anggara tertawa. "Itu poin tambahannya." Ia menahan napas saat hendak menyodok bola nomor tujuh. Tatapannya begitu tajam, seolah-olah bola itu adalah hewan buruan.
Julia tersenyum puas. "Berarti sekarang kamu udah benar-benar lupa ya?"
"Siapa bilang?" Anggara mengangkat kepala, sorot matanya berubah sendu. Ia membungkuk lagi, memandangi beberapa bola yang hendak disodok. "Arindi nggak akan terganti."
Julia menghela napas keras. "Mama capek dengernya. Ini udah berapa tahun, Anggara?"
"Empat."
Usai melempar tongkat ke sembarang tempat, Julia menduduki sofa panjang di ruangan itu. Ia bukan tipikal pemarah atau wanita kasar, tapi pembahasan Arindi yang tak berkesudahan itu membuatnya benar-benar lelah. Bayangkan ini sudah empat tahun! Julia rasanya ingin sekali membongkar pasang kepala sang putra.
"Dia pergi karena takdir, kamu nggak perlu mengenangnya bersama rasa bersalah. Paham kamu?"
"Iya."
Julia berdecak. "Dia cuma hadir sementara! Mau sampai kapan?"
Masalahnya, Mama tidak pernah tahu cara Arindi menjejali memorinya. Anggara menghela napas. "Dia kan tunangan—"
"Calon tunangan! Calon!" Julia menumpukan siku pada kedua lutut. Ia memijat pelipisnya. "Jangan bilang, kamu masih menyimpan liontin sialan itu." Suaranya terdengar lirih.
Anggara melempar tongkat ke sembarang tempat. Ia duduk di meja biliar, lalu merogoh saku jaket kulit. "Masih." Ia memandangi liontin berbandul cincin milik mendiang Arindi. "Dari sekian perempuan, cuma Anyelir yang mirip Arindi."
"Jangan cari koreng, Anggara. Biar bagaimanapun dia yang akan menemani dan mengurus kamu nanti. Dia berbeda dengan perempuan-perempuan yang kamu temui di Amsterdam. Ingat itu."
Setelah itu Mama pergi. Entah sejak kapan, hujan deras yang menghantam jendela berhasil menepis keheningan. Namun, tetap menyisakan kekosongan nyata pada Anggara. Tidak ada Arindi di sini. Tidak ada Arindi di mana pun, kecuali dalam kepalanya. Orang boleh saja mengatainya gila, sebab realita yang ada memang begitu. Kini ia melangkah mendekati sofa panjang, merebahkan diri.
"Arindi, Ik mis je,"(*Aku merindukanmu) gumam Anggara. Pikirannya mengembara cukup jauh, waktu dimana Arindi pergi menyisakan hampa tak terelakkan.***
*Ik mis je: Aku merindukanmu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top