30. Ketidakjelasan Sebuah Permintaan

Karena bab 30 dirombak total, jadi di publish ulang gengs. Maaf ya atas ketidaknyamanan ini 😊

Tatapan Anggara bak mengandung magis yang dapat menghentikan waktu. Ia tak mengerti mengapa euforia kehadiran Hadi di masa kecilnya berdampak sebesar ini. Bayang-bayang remaja laki-laki itu datang dan pergi. Ia dapat melupakannya cukup lama dan mengingatnya lagi sesingkat menekan saklar lampu. Namun, ia tak pernah benar-benar mengingat baik garis wajah Hadi.

Ya, Anyelir hanya mengingat jelas bentuk hati yang tercetak dalam senyum Hadi dan momen pertemuan mereka. Lantas ketika menemukan potret Anggara versi remaja setelah membongkar album keluarga. Ia menemukan senyum Hadi di sana. Ada banyak lelaki yang mampir dalam hidupnya. Entah rumus apa yang membuatnya yakin jikalau Anggara adalah Hadi. Untuk kali pertama, Anyelir mau mengindahkan kata hatinya.

Tak lain lagi, sosok Hadi yang sempat terhapus pernah menempati posisi istimewa di sana. Anyelir bisa menjamin itu bukan cinta. Karena ia masih sangat kecil untuk memahami apa itu cinta. Ia hanya menyimpan rasa ingin melihat dan duduk bercerita dengan Hadi lagi. Ia terus mengingat laki-laki itu hingga duduk di bangku SMP. Sempat juga mencari namanya dalam laman pencarian Facebook dan Twitter selama setahun, lantas menyerah.

Memangnya laki-laki bernama Hadi yang tinggal di negeri kincir angin alias Belanda itu cuma satu? Sebagai anak perempuan normal, Anyelir juga pernah mengalami kebodohan maksimal. Dongeng garapan Disney dan Hadi pernah membuatnya percaya, bahwa dia bisa saja Cinderella yang ditakdirkan bertemu dengan sosok Hadi dalam sebuah pesta dansa. Dan sekarang ketika ia mengingat lagi momen pertemuan mereka, ia ingin memastikan, apakah Hadi memang hanya akan menjadi bayangan selamanya atau bukan.

"Udah make a wish?" tanya Anyelir.

"Udah."

Lilin di tengah cupcake menyisakan asap kecil mengepul. Hening yang begitu asing melingkupi mereka berdua. Tak ada satu pun pelayan di sini. Biasanya pelayan-pelayan itulah yang memaksa mereka untuk saling berdekatan, bicara tentang hal yang indah-indah. Atau setidaknya ketika semua pelayan tidak ada, mereka biasa saling menyindir. Kali ini tidak, binar mata gadis itu mengajak Anggara untuk diam seribu bahasa membiarkan waktu terlewat.

"Udah makan malam?"

Suara gadis itu memecah hening yang tercipta. Anggara enggan mengalihkan pandangannya ke lain tempat.

"Belum."

"Tumben, kenapa?"

"Mau makan sama kamu."

Mereka berbicara tanpa bergerak satu inci pun. Anyelir masih berdiri memegang piring, sedangkan laki-laki itu masih di posisinya, menatapnya tanpa jeda.

"Kita nggak punya janji dinner," kata Anyelir tanpa menyelipkan maksud apa pun.

"Harus bikin janji dulu?"

Mereka kompak menyengir lebar.

"Bukan gaya kita banget deh." Anyelir menarik napas, lalu melirik meja di samping mereka sambil mengangkat bahu. "Aku cuma nyiapin dua piring tiramisu."

"Makasih."

Bisa dipastikan kalau satu kata ini merupakan kata paling mustahil yang diucapkan seorang Anggara kepadanya. Pandangan mereka kembali bersinggungan.

"Buat hadiah sama kejutannya," lanjut laki-laki itu sebelum Anyelir bertanya.

"Bebaskan aku dari kontrak, itu aja cukup kok," celetuknya.

Sebelah alis Anggara terangkat. "Itu cuma akan terjadi di mimpi kamu, Nye."

"Kenapa? Kamu udah udah cinta banget ya sama aku?"

"Kecuali kalau keluarga kamu mau menanggung biaya pinalti."

"Terus kalau itu?" Anyelir menunjuk buket bunga di sofa sambil mengerjap-erjapkan mata.

"Penghargaan."

Anggara mencolek krim pada cupcake, lalu menempelkannya di hidung gadis itu.

"Aku tahu banget nih kamu tuh suka iseng, makanya aku nggak mau nyiapin tart," gerutu gadis itu sambil menarik kotak tisu.

Namun, sebelum si tisu menghapus jejak krim tersebut. Anggara sudah lebih dulu mengecup hidungnya. Sampai-sampai kotak tisu di genggaman Anyelir terlepas, sedangkan laki-laki itu tertawa.

"Tukang masak di sini banyak, tapi kamu cuma nyiapin tiramisu," keluh Anggara yang mulai melahap tiramisu. "Seumur hidup, belum pernah aku merasa kelaparan begini."

"Iya, maaf ... aku ke kamar mandi sebentar ya?"

Anggara menggumam sebagai jawaban, lantas ia meninggalkan sofa menuju kamar mandi. Salah satu tempat di mana ia biasa memikirkan banyak hal yang selalu dirinya tampik. Ia menekan gagang pintu, lalu berbalik memandang sejenak punggung Anggara Hadiarsa Pranadipa.

Kamu selalu makan malam di luar. Kegiatan kita di meja makan dan kamar ini pun sebatas untuk kebutuhan standar sandiwara. Iya 'kan?

Anyelir menyandarkan punggungnya pada permukaan pintu setelah masuk. Dirinya berhadapan langsung dengan cermin di wastafel. Cermin tersebut menampilkan paras perempuan yang bisa dibilang ... cantik? Rambutnya panjang bergelombang indah. Postur tubuhnya setara model papan atas. Ditambah hidung runcing, bibir tipis, dan bola mata cokelat.

Untuk kali pertama, Anyelir merasa dirinya bukan apa-apa. Karena laki-laki yang terikat pernikahan dengannya masih mencari perempuan lain. Anyelir pasti berada di posisi ke seratus sekian dan ia benci kenyataan itu. Tidak ada yang boleh menjadikannya perempuan nomor sekian. Tak terkecuali Anggara. Bahkan jikalau dilihat secara fisik, ia bisa saja memenuhi hasrat Anggara dan itu bukan sesuatu yang salah.

Akan tetapi, justru disanalah titik kecacatan fatal seorang Anyelir Cokroatmojo. Dia kesulitan melakukan hal sepele yang mudah dilakukan semua wanita. Jatuh cinta dan bercinta.

Tidak ada peraturan tentang menjaga perasaan atau semacamnya dalam kontrak mereka. Selama bersama laki-laki itu, Anyelir tak pernah lagi mengulang masa-masa penjelajahannya semasa lajang. Namun, mengapa Anggara masih membutuhkan si Arindi? Ia memijat-mijat pelipisnya. Ia mendekati wastafel untuk meraih gelas di rak kaca. Setelah mengisi gelas tersebut dengan air, ia mengeluarkan botol kaca kecil pemberian Mama dari saku rok.

Tanpa sempat mempertimbangkan, tanpa sempat menganalisis. Anyelir menuang seluruh isi botol hingga bercampur dengan air. Usai menarik napas dalam, ia menenggak habis isi gelas. Ini mungkin terdengar gila. Anyelir sedang mencoba berjudi dengan dirinya sendiri yang taruhannya adalah harga diri. Ia penasaran dengan perempuan bernama Arindi dan ingin sekali menggeser posisinya.

***

"Kamu mau minum nggak?" tanya Anyelir.

"Tumben kamu nawarin minum."

Anyelir mengarahkan bola matanya ke atas. "Mau atau nggak?"

"Kamu ngasih racun ya di gelas ini?" Anggara menunjuk gelas berkaki tinggi yang ia sodorkan.

Jelas-jelas yang menata meja ini saja para pelayan. Sementara mereka berdua menunggu di walk in closet sampai selesai. Kapan Anyelir sempat memasukkan racun?

"Hmm ... aku masukin sianida aja kok biar cepat dapat harta gono-gini," jawabnya santai.

Anggara hanya tertawa kecil, lalu mengangkat gelasnya. Mereka bersulang dan dentingan suara gelas terdengar. Laki-laki itu selalu bisa menerima kegilaan dan pikiran ekstremnya. Dari semua laki-laki yang pernah mampir sekadar untuk menyapa, hanya Anggara yang benar-benar mau mendengarkannya.

"Anggara ...," panggilnya.

Laki-laki itu menandaskan isi gelasnya, lantas melepas arloji.

"Kamu pernah lihat kecelakaan di ...." Anyelir menyebutkan nama sebuah jalan di Bali.

Sempat ada jeda sekian detik sampai Anggara menjawab, "Nggak pernah."

"May I call you ... Hadi?"

Anggara serta-merta menoleh. Gadis yang mengenakan crop tee cokelat dan rok putih itu membuatnya bungkam. Suaranya terdengar sedikit berbeda. Seolah terselip secuil sendu tak kasat mata di sana dan terdengar ... lebih tulus?

"Only three days?" tanya gadis itu lagi.

Sekian detik terlewat. Pancaran bola mata yang mirip dengan Arindi itu berhasil membuatnya mengiyakan tanpa beban. Kemudian gadis itu mengecup bibirnya singkat. Kecupan rasa vanilla yang menyisakan aroma mawar dalam kepala Anggara.

"I miss you, Kak Hadi," bisik gadis itu tepat di depan bibirnya.

"I miss you too," balas Anggara spontan, tanpa sempat memahami kenapa juga dia bisa langsung membalas ungkapan itu.

Konyol sekali, ingatan kecelakaan tersebut mengubah cara pandang Anyelir terhadap laki-laki itu. Ia sendiri antara yakin dan tidak yakin jikalau Hadi dan Anggara adalah orang yang sama. Ia tak memberikan secuil pun penolakan ketika Anggara menarik dagunya dan menciumnya lembut.

Anggara Hadiarsa
Hadi ... arsa?

Ia tak bisa membaca perasaannya sendiri. Entah yang dirinya inginkan itu Hadi versi Anggara atau Anggara versi Hadi. Anyelir tentu pernah berciuman dengan laki-laki sebelum Anggara. Namun, ia selalu melakukannya tanpa rasa. Baginya hal tersebut hanyalah sebatas kegiatan formalitas. Kemarin-kemarin ketika membalas ciuman laki-laki itu pun tetap sama. Lantas bagaimana dengan yang terjadi sekarang? Anyelir belum bisa memastikannya. Ia membiarkan Anggara terus mendorongnya hingga merebahkan diri di sofa.

"Anyelir, please be mine tonight," bisik Anggara tepat di bibirnya.

"Syaratnya satu," bisiknya juga. "Don't remember what happened tonight."

Pandangan Anggara tertambat di sana. Ibu jarinya mengusap lembut bibir ranum gadis itu. "Kenapa?"

Anyelir tidakmenjawab. Matanya seketika berkunang-kunang sesaat, sebelum rasa panasmenjalarinya. Ia sangat sadar saat mengelus rahang Anggara dengan napastersendat-sendat dan tangan bergemetar. Ia pun sangat sadar saat laki-laki itumengecupi lehernya. Akan tetapi, ia belum tahu apa ketakutannya benar-benartelah lenyap hingga di ujung nanti?







Akhirnya setelah sekian abad cerita ini bisa di update juga ckckck. Makasih ya gengs udah mampir dan nunggu cerita ini. Have a nice dream ❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top