28. Ketidakjelasan Sebuah Rasa

"Nye, Mama mau bicara sebentar," ucap Mama.

Mereka berdiri berhadapan di depan mobil yang hendak mengantar Papa dan Mama menuju bandara. Sambutan singkat darinya berhasil membekap mulut para ibu-ibu sosialita gila pamer harta. Ia berhasil menjaga citra monarkhi Pranadipa. Ia berhasil mengatasi demam panggungnya. Namun, acara penobatan suaminya belum selesai, jadilah hanya Anyelir yang mengantar kedua orang tuanya menuju parkiran VIP ditemani Linggar dan Baron.

"Ada apa, Ma?" tanya Anyelir begitu mereka duduk bersebelahan di dalam mobil.

Papa menyuruh sang supir keluar, lantas beliau duduk di balik kemudi. Anyelir langsung mendeteksi adanya pembicaraan penting sebentar lagi. Matanya berkejaran ke sana kemari, mencoba menebak-nebak topik pembicaraan Mama.

"Kamu ... udah—" Mama menggunakan dua jari untuk membuat tanda kutip. "Sama Anggara?"

"Mama kok nanya itu sih? Aku nggak nyaman ngomonginnya."

Mama memegangi kedua bahunya bersama mata melebar. "Ini penting, Nye. Udah belum?"

Spontan Anyelir menggeleng.

"Kok bisa? Kalian nggak satu kamar?"

Anyelir menyelipkan rambut ke telinga. "Satu kamar kok, Ma, tapi—"

"Jangan-jangan kamu tidur di sofa ya?"

Anyelir membuang napas lelah. "Nggak juga, kita satu tempat tidur—"

"Terus?" potong Mama tak sabaran.

"Ya nggak tahu."

Anyelir mengangkat kedua bahu. Kalaupun Anggara butuh, ada Arindi yang bisa memenuhinya, ya 'kan? Perempuan itu lebih siap, lebih sehat secara mental darinya.

Mata Mama sekarang nyaris keluar dari rongganya. "Kamu nggak ngasih itu? Kenapa sih, Nak???"

Sungguh pembahasan ini sangat tak nyaman baginya. Ia ingin lenyap saja rasanya.

"Mama 'kan tahu aku nggak bisa, Mama lupa?"

Kejadian penculikan yang ia alami semasa kecil boleh jadi sudah terlewat jauh di belakang sana. Namun, sungguh sangat sukar dilupakan. Apa yang terekam dalam memorinya bak sebuah saklar menyakitkan. Ia belum pernah mencoba bercinta sekali pun, sebab dirinya takut. Rasanya pasti sangat menyakitkan. Membayangkannya saja bisa membuat telinga Anyelir berdengung secara tiba-tiba mengulang jeritan anak perempuan yang kesakitan di kapal waktu itu.

Genggaman hangat Mama menghentikan laju pikiran liarnya. Namun, Anyelir tetap enggan menatap Mama. Ia ingin menutupi kekurangan terparahnya yang satu ini. Entah sampai kapan, ia sendiri belum tahu. Tiba-tiba pintu mobil terbuka.

"Papa keluar sebentar ya?"

Papa melirik Mama sejenak, kemudian berlalu meninggalkan mereka berdua. Kepergian Papa semakin membuatnya tidak nyaman. Anyelir membaca rambu-rambu tak menyenangkan lainnya. Kini Mama menepuk punggung tangannya.

"Papa bilang, kalian harus punya anak. Bagaimana pun caranya. Supaya umur kerjasama kita lebih panjang lagi dan kalaupun cerai harta gono-gini kamu lebih besar. Anak kamu tetap tercatat sebagai pewaris sah dan dia, tetap akan membiayai anaknya meskipun kalian berpisah." Mama menatapnya dalam-dalam. "Ingat, Nye, ini bukan untuk kepentingan perusahaan semata. Ini juga untuk dirimu sendiri."

Anyelir meneguk ludah, lantas menarik napas panjang. "Gimana dengan rasa takutku? Aku harus menggadaikannya di mana?"

Anyelir tahu konsekuensinya menerima atau menolak Anggara. Keberlangsungan hidup keluarganya terancam. Kenyamanan hidup mereka di ujung tanduk. Akan tetapi, apa gemerlap dunia mampu mengempaskan ketakutan terbesarnya?

"Sayang, Mama tahu ini sangat berat. Tapi semua pilihan tetap ada di kamu."

Mama menarik tangannya, kemudian menyisipkan sebuah botol kaca kecil. Anyelir termenung mengamati benda tersebut.

"Ini nggak akan berhasil, dia nggak tertarik sama aku, Ma. Kami murni menjalin kerjasama tanpa embel-embel lain."

Dahi Mama berkerut. "Nggak mungkin, Nye. Kamu sangat layak dan—"

"Dia punya perempuan di luar sana, yang mungkin pacarnya atau FWB setianya."

Seruni terdiam mendengar penuturan putri semata wayangnya. Seruni tidak habis pikir, bagaimana bisa sang menantu mengabaikan putri cantiknya? Ia tak melihat sedikit pun kecacatan fisik pada Anyelir. Banyak lelaki yang memperebutkan Anyelir di luar sana. Ia sungguh tak ingin sang putri mengalami segala macam kesengsaraan dunia yang pernah dialaminya.

"Kita cari perempuan itu," kata Mama.

"Buat apa? Nggak perlu, Ma."

Mama menarik kedua tangannya ke pangkuan. Matanya kini memerah. "Dia berpotensi merusak segalanya, Nye. Ini bukan lagi soal harta gono-gini."

Anyelir mungkin bisa menemukan Arindi. Namun, ia merasa tidak perlu melakukannya. Jikalau Anggara ingin meninggalkannya dan pergi bersama perempuan itu, lantas kenapa? Anyelir tak mempunyai alasan menahan laki-laki itu untuk tetap bersamanya.

"Nggak perlu, Ma. Biar itu jadi urusan Anye."

"Kamu harus cari dia, paksa dia untuk meninggalkan Anggara dengan cara apa pun."

Baiklah, untuk apa ia bersusah payah memaksa Arindi jikalau suaminya tetap ingin bersama perempuan itu? Anyelir menekan-nekan pelan pusat dadanya.

***

To: Anyelir
Mana hadiahnya

Setelah mengirim pesan tersebut, Anggara meletakkan ponsel di samping bingkai foto pernikahannya. Ia tak benar-benar menginginkan sebuah hadiah dari Anyelir, hanya suka menggodanya saja.

Acara tadi pagi sukses besar. Para jurnalis memberitakan hal-hal baik dan rumor tentangnya tenggelam seketika. Anyelir turut ambil andil, terutama ketika membawakan sambutan. Sejak awal, Anggara percaya kalau perempuan itu bisa melakukannya. Anyelir hanya butuh sedikit dorongan dan alarm untuk berdiri anggun di atas podium sebagai orang yang berwawasan luas. Ia tak sia-sia membayar mahal mentor public speaking. Tak sia-sia pula membiayai pendidikan istrinya di dua jurusan. Setiap berlian butuh perawatan supaya semakin berkilau. Di tengah-tengah kegiatan memeriksa laporan dari Atmojo Konstruksi, ponselnya bergetar.

From: Anyelir
Aku titip Linggar

Anggara mengangkat sebelah alis, lantas berdecak. "Bisa-bisanya dititip Linggar, kenapa nggak dikasih sebelum dia pulang?"

Detik itu Anggara menelepon salah satu pengawal kepercayaannya. Linggar ternyata sedang berlari menuju ruangannya. Tak sampai sepuluh menit, terdengar suara ketukan di pintu.

"Selamat malam, Pak. Saya ingin menyampaikan titipan dari Ibu," ucap Linggar sambil membungkuk.

"Kamu berangkat jam berapa?"

Anggara menghampiri Linggar yang agak terengah-engah.

"Sekitar lima puluh menit yang lalu, Pak. Maaf saya tidak bisa memenuhi permintaan Ibu untuk tiba di sini sebelum pukul tujuh." Linggar kembali membungkuk.

"Nggak apa-apa, Gar," balasnya menepuk-nepuk bahu Linggar. "Tugas kamu dan Baron memang menjaga istri saya, bukan pengantar paket."

Laki-laki berkulit hitam legam serta rambut cepak tiga centi tersebut menyerahkan kotak merah dari saku jaketnya. "Ini titipan dari Ibu, Pak."

"Terima kasih."

Kemudian Linggar berpamitan untuk kembali berjaga di rumah. Sementara ia kembali duduk dengan kedua kaki menggantung di meja kerja. Ia membuka kotak tersebut karena penasaran begitu bobotnya terasa ringan. Isinya ternyata bukan jam atau dasi seperti pada umumnya. Hanya selembar kertas kecil berwarna cokelat dan tiga amplop berwarna putih.

Selamat ulang tahun. Hadiahnya ada di dalam amplop.

Entah kenapa Anggara tertawa kecil membaca dua kalimat yang tertera. Ia membuka amplop putih pertama.

Hiking with Anyelir

Karena semakin penasaran, Anggara membuka dua amplop lainnya sekaligus.

Choose a song and Anyelir sing for you

Waiting sunrise with Anyelir

Belum sampai tiga detik membaca sederet tulisan Anyelir, ia men-dial nomor perempuan itu. Tiga deringan terabaikan sebelum suara malas Anyelir menyapanya.

"Kenapa?"

"Ini serangkaian perjalanan ya, Nye?"

"Bukan, kamu pilih satu aja."

"Pelit banget." Ketika mengatakan itu Anggara menyelisik wajah Anyelir dalam foto pernikahan mereka. "Kalau aku mau tiga-tiganya?"

"Nggak pernah dapat hadiah ya?" ejek Anyelir.

"Iya," jawabnya sambil mengangkat satu sudut bibir.

"Pacar kamu ke mana emang, hmm?"

"Udah meninggal."

Entah kenapa kali ini ia bisa mengatakannya tanpa beban. Kepalanya kini hanya berisi bayangan perempuan di ujung telepon sana.

"Uuu ... kasihan banget sih. Ya udah tiga-tiganya."

"Ok, akupulang."

Maaf ya kalau isinya dikit muehehe soalnya baru banget start nulis setelah cukup lama ninggalin WP 🙈 yang penting cerita ini update tiap Sabtu atau Minggu, oke?

Have a nice dream ❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top