2. Di Antara Senja
Caution: Cerita ini nggak punya batas-batas suci dari segi apa pun. Buat yang baru aja pindah dari When The Flowers Talk ke sini, harap tarik napas sebelum baca.
============== *** ==============
"Dia beneran ke Bali?" Bimo bertanya tanpa basa-basi di ujung telepon.
"Iya," jawab Anggara seraya memperhatikan Anyelir lewat spion motor. Posisi mereka saling membelakangi dan berjarak cukup jauh. Anyelir pasti tak menyadari keberadaannya. Akan tetapi, Anggara dapat mematri ujung rambut kecokelatan milik gadis itu.
Ni Kadek Anyelir Cokroatmojo.
Anggara mengulang dalam benak nama lengkap gadis itu. Tentunya bukan tipikal nama yang mudah diingat. Hanya saja saat kali pertama mendengar, otaknya seolah memiliki ruang penyimpanan tersendiri untuk Anyelir. Ya, gadis itu adalah salah satu klan campuran Cokroatmojo. Lingkup keluarga tersebut membagi keturunan mereka menjadi murni dan campuran. Bisa disebut murni bilamana mereka anak kandung dan sang ayah menyandang nama belakang Cokroatmojo. Sementara campuran adalah anak angkat atau anak dari istri kedua seperti Anyelir.
Siapa yang tidak tahu klan Cokroatmojo? Mereka sangat terkenal dan kontroversial.
Panas terik Bali lumayan menyenangkan dibanding musim panas di Amsterdam. Anggara menghabiskan masa SMA hingga pendidikan magister yang tengah ditempuhnya di negara kelahiran nenek dan kakek buyutnya. Ia tak mempunyai banyak teman di tanah air selain kawan semasa SMP. Sementara si bunga beracun tadi merupakan gadis yang selalu jadi bahan perbincangan teman-temannya lewat Skype.
"Haha gila sih, Rifky beneran bisa diandalkan. Terus dia mau lo ajak ngobrol?"
Pertanyaan Bimo mengingatkan Anggara pada ekspresi Anyelir sewaktu mempersilakannya duduk. Jelas-jelas sangat mengejek, tetapi siapa peduli? Toh, memang ia yang tiba-tiba menghampiri gadis itu setelah Bimo memberi informasi. Tentu saja, kedatangannya, vanilla latte, dan seikat bunga anyelir merupakan bentuk konspirasi. Anggara tak bermaksud sama sekali melukai Anyelir. Ia hanya ingin bersenang-senang saja. Toh, gadis itu tak memberi tanggapan lebih atas sambutannya.
"Dia memang bisa menanggapi laki-laki mana aja, kan?" tanya Anggara.
"Iya, cuma dia cukup selektif."
Anggara menyeringai. "Selektif, tapi total mantannya lebih dari anggota tim sepak bola."
Tawa Bimo pecah di ujung telepon, sedangkan ia sama sekali enggan menyambutnya. "Tapi Man ... seorang Anggara Hadiarsa Pranadipa pulang ke tanah air cuma buat kenalan sama Anyelir!" Tiba-tiba laki-laki itu berdeham. "Gue penasaran nih, lo beneran cuma nyari hiburan atau udah kepincut lewat sosmed?"
"Gue pulang karena mau pulang kali, dan ... ya penasaran sedikit lah sama cewek yang bikin lo semua jadi banci."
Baiklah, sebenarnya ada satu hal yang tak bisa Anggara lupakan ketika melihat foto gadis itu. Sepasang iris kecokelatan Anyelir membawanya pada ingatan-ingatan yang berantakan bagai puzzle. Ada secuil Arindi dalam bola mata itu, sampai-sampai Anggara ingin membuktikannya secara langsung. Namun, di balik hal sepele itu, tujuh puluh persen alasannya kembali ke tanah air adalah karena ingin memenuhi permintaan sang ibu sekaligus berlibur. Sehabis ini pun ia harus menemui kedua orang tuanya yang kebetulan meeting di hotel dekat pantai Sanur.
"Yah ... lo belum kena racunnya aja makanya ngatain kita banci! Kita lihat aja nanti, kalau enggak kayak Adra, paling lo kayak Rifky. Antar si Anye pulang sana!"
"Dia udah naik taksi."
Anggara kini memutar kunci motor. Sejak tadi ia duduk manis di jok, demi menunggu Anyelir mendapatkan sebuah taksi.
"Kok, enggak lo antar pulang, Di?"
"Ngapain? Itulah bedanya gue sama kalian yang banci."
"Ngomong banci sekali lagi, gue sunat tiga kali."
Anggara langsung tertawa puas sebelum mengakhiri panggilan. Ia memakai helm full face lalu membawa Sherina mengarungi jalan raya yang ramai lancar. Begitulah Anggara, ia punya nama panggilan masing-masing untuk barang kesayangannya.
***
Tari kecak di Garuda Wisnu Kencana merupakan hiburan yang akan Anyelir tonton tiap kali berlibur ke Bali. Sama seperti pemandangan Ubud dan Seminyak, tari kecak juga tak kunjung membuatnya bosan. Anyelir pasti berkunjung ke GWK sore hari. Sebab tarian yang dilakukan ketika menjelang matahari terbenam itu seolah memiliki magis serta daya tarik tersendiri, entah bagi wisatawan domestik maupun mancanegara.
Menurut Anyelir, sesungguhnya tari kecak adalah tarian yang romantis. Tarian tersebut menceritakan tentang perjuangan Raja Rama yang mencari Permaisuri Shinta dibantu oleh Hanoman. Selain itu tari kecak pun mengandung nilai moral, bahwa kasih yang tulus akan menang dengan doa dan ketulusan. Sekalipun ia sendiri tak pernah memercayai laki-laki, setidaknya masih ada Raja Rama dan Papa Hermawan yang membuatnya percaya cerita cinta.
Meski ... sekali lagi, itu hanya sebatas cerita.
Anyelir menumpukan lututnya, mengubah posisi menjadi setengah berdiri. Ia mengarahkan kamera ponsel lebih tinggi saat para penari kecak duduk menurunkan tangan. Di antara sekumpulan laki-laki yang menyelipkan bunga di telinga kanan, Anyelir menemukan Anggara. Seseorang yang sempat mengusiknya begitu tiba di Bandara I Gusti Ngurah Rai. Mata mereka saling terkunci dalam irama cak-cak para penari kecak berkain motif kotak-kotak. Laki-laki itu duduk berseberangan dengannya. Anggara mengenakan kaus hitam polos berbalut kemeja flanel hitam bergaris putih.
Entah tarian kecak yang menghipnotis atau bukan. Kamera ponsel Anyelir justru mengarah pada Anggara Hadiarsa di seberang sana. Awalnya laki-laki sialan itu tak berekspresi apa pun. Namun, sekarang ia melihat Anggara menarik senyum. Kemudian ada sesuatu yang menyerang peredaran darahnya.
Nggak mungkin, ini mustahil terjadi, batin Anyelir.
Anyelir tak akan semudah itu tertarik, hanya saja ... senyum laki-laki itu memang tidak jelek. Ya, wajah dan senyum Anggara tidak jelek. Sebatas itu. Sekarang ia menahan napas, senja yang memudar pasti juga membuat pandangannya memburam. Mana mungkin Anggara berjalan melewati para penari kecak dan berjongkok di depannya kan? Orang normal tidak akan melakukan hal gila itu!
"Anyelir ... kamu harus napas." Anggara menurunkan pelan-pelan tangan gadis yang masih terpaku bersama kernyitan di dahi. Ia menahan tawa karena bulu mata lentik itu belum juga berkedip.
Ini ... aroma Citrus, gue suka ..., batin Anyelir.
Matanya mengerjap pelan, ia pun terduduk perlahan. Apa-apaan ini? Kenapa Anyelir rasanya ingin menjatuhkan diri ke pelukan laki-laki di depannya? Ini bukan kali pertama ia menghidu salah satu merk parfum maskulin yang digilai kaum perempuan!
"Serius, kamu harus napas." Anggara menyelipkan bunga kamboja di telinga Anyelir. "Atau kamu mau nyoba transfusi napas dari saya?"
"Woy! Lu berdua minggir! Ngehalangin aja!"
Teriakan itu mengembalikan seluruh kesadaran Anyelir. Ia menggeleng cepat. "Ka-kamu ngapain di sini?!"
Bukannya menjawab, Anggara malah menarik Anyelir berlari menjauhi kerumunan. Melewati beberapa orang yang memandang mereka dengan raut wajah marah. Di bawah senja yang perlahan memudar dan samar suara cak-cak, Anyelir terpaku pada tautan jemari mereka. Cukup lama hingga ia tersadar akan sesuatu.
"Eh, lepas! Lo jangan modus! Kalau gue teriak, bodyguard gue yang pada ngumpet bakal mukulin lo sampai mati!" seru Anyelir bersama napas yang tersengal-sengal. Jujur saja ia lupa kapan terakhir kali berlari segila ini.
Anggara tertawa lepas, tetapi tak berniat melepas tangan gadis itu. Ia lupa kapan terakhir kali merasa sekonyol ini tanpa memedulikan rasa malu. Lantas mereka berhenti di tengah-tengah dinding batu besar yang menyisakan jalan sempit. Ia menyandarkan pelan Anyelir ke dinding. Ah, Bimo benar. Sepasang mata caramel yang menyorotkan kejengkelan itu berbahaya. Sangat berbahaya bila menyorot manja atau lembut secara bersamaan. Oke, mungkin sekarang racun Anyelir sedang bergerilya menyerang logikanya.
"Kamu nggak lihat semua orang melotot? Barusan kita ngerusak sendratari sakral mereka." Anggara menggeleng samar. Anyelir cantik, sangat cantik, tapi bukan tipenya. Ya, itu benar. Gadis itu bukan tipenya sama sekali.
Anyelir mendongak, matanya melebar. "Itu gara-gara kamu kali! Ngapain lewat di tengah-tengah, coba?"
Hei, tunggu ... kenapa sekarang Anyelir mengikuti lagi arus saya-kamu dari Anggara?!
Usai mengulum bibir, Anggara menunduk dalam sampai-sampai kepala gadis itu mundur dan berakhir membentur dinding. "Saya cuma nyamperin cewek yang ngambil foto saya diam-diam."
Seketika Anyelir merasa pipinya memanas. Jangan katakan kalau wajahnya sudah mirip kepiting rebus. Itu bukan gaya Anyelir sama sekali!
"Daripada curi-curi gitu, mending langsung. Saya nggak keberatan kok." Anggara kini menyeringai.
Sepertinya ada kulit duren yang menyangkut di tenggorokannya, sekarang Anyelir berdeham susah payah. "Masa sih? Aku ngambil foto kamu diam-diam?"
Tanpa sadar Anggara jadi semakin menunduk karena Anyelir membenahi kerah kemejanya.
"Iya."
"Oh, gitu ... terus gimana dong?" Anyelir mengerjap manja, sedangkan jantungnya bertalu-talu. Jikalau Anggara berbuat hal yang tak menyenangkan, ia hanya perlu menekan tombol pada gelangnya.
Semenit. Dua menit. Sial, bibir ranum gadis itu membebaskan logikanya untuk terbang. Serius, Anggara bukan tipikal laki-laki yang punya hasrat tak terkendali. Ia juga bukan kaum lemah yang berganti-ganti pasangan one night stand. Hanya saja ....
Bugh!
Dua laki-laki botak tiba-tiba sudah menahan tubuh Anggara di dinding, sementara satu laki-laki botak lain meninju hidungnya.
"Kosong-kosong Tiga, udah, satu kali aja," kata Anyelir yang kini menyisir rambutnya dengan jari.
Kepalan tangan yang hendak melayang ke wajah Anggara tiba-tiba turun. "Baik, Nona."
Anggara menatap lekat perempuan yang tengah berkacak pinggang dengan satu tangan serta berpura-pura mengamati kuku. "Kalian sebenarnya kurang kerjaan kalau cuma jadi bodyguard dia."
Dua laki-laki botak di sisi kiri dan kanan melotot sambil menggeram ke arahnya. Darah dan nyeri pada sudut bibir saja belum cukup menutup mulut Anggara. Usai berdecak, ia melayangkan tendangan telak secara bergantian ke kaki dua bodyguard Anyelir. Mereka seketika tersungkur.
"Cara begini sebenarnya terlalu norak, Nye."
Anggara menggosok telapak tangannya sekilas lantas berkelahi dengan tiga bodyguard Anyelir. Sebagai pemegang sabuk hitam taekwondo, rasanya hal seperti tadi sangat memalukan. Maka yang saat ini Anggara lakukan adalah olahraga sore hari.
"Pokoknya kalau kalian bertiga kalah, saya pecat!" jerit Anyelir.
Matanya membulat, ia pun mulai menggigiti kuku jari. Anggara menendang perut bodyguard kepercayaannya dengan lutut tanpa ampun. Satu per satu. Sesuatu yang belum pernah dilakukan jajaran mantan kekasih Anyelir kemarin-kemarin.
"Anggara Hadiarsa, stop! Kamu bisa bikin mereka masuk rumah sakit!"
Tangan Anyelir yang bergetar hebat menjatuhkan ponsel tanpa sadar. Ia tadinya sedang mencoba menelepon Papa. Namun, suara wanita berwajah setengah Eropa itu bak seruan malaikat penyelamat. Perkelahian ikut terhenti tanpa perlu direlai. Wanita itu berjalan anggun. Ada Papa Hermawan dan seorang pria paruh baya yang berjalan santai di belakang Tante Julia. Anyelir pun mengembuskan napas lega. Papa Hermawan pasti akan melindunginya.
"Mama, Mama ... jeritannya selalu aja bikin buyar konsentrasi," sahut Anggara.
Laki-laki itu mengempaskan bodyguard terakhir Anyelir hingga menimpa dua kawannya yang sudah lebih dulu terkapar. Sahutan yang terlalu santai itu malah membuatnya menganga lebar-lebar. Ia memijat pelipis sebab pening tidak jelas datang menyerang.
Ini anak Tante Julia yang sekolah di Amsterdam?!***
Btw, Anyelir sama Anggara ini anak aku yang paling young wild and free ya. Jadi, gitu dah~~~ 😁
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top