12. Di Balik Tanpa Jeda

Halo, kesayangannya Anggara. Are you there?

Hal pertama yang tertangkap saat ia membuka mata adalah pintu ruangan yang terbuka lebar. Seketika Anyelir teringat akan sesuatu. Ia lantas mengangkat wajahnya yang menempel di dada Anggara. Kaus putih polos laki-laki itu agak mirip bantal di kamar. Jadi, jangan salahkan Anyelir kalau langsung terlelap begitu mereka menduduki salah satu sofa panjang sambil berpelukan.

"By the way, makasih banyak ya, Anggara ...," ucap Anyelir seraya menarik napas, kemudian melepas sebelah tangan Anggara yang memeluk pinggangnya.

Semalam Anggara menggiringnya duduk di ujung sofa yang pegangannya menempel pada dinding. Sementara laki-laki itu duduk tepat di sampingnya, menyandarkan punggung dan kepala. Seingat Anyelir, laki-laki itu mengusap-ngusap punggung atau kepalanya secara bergantian, tanpa menggunakan peluang sedikit pun untuk melakukan hal yang lebih jauh. Aneh? Tentu, karena Anggara saja bisa mengecupi leher dan tulang selangkanya saat mereka sedang berdua di kamar waktu itu. Mungkin jika ia tak punya phobia gelap, mereka bisa memanaskan sofa ini.

Wait, apa sih yang gue pikirin? Anyelir bergidik ngeri usai bersumpah serapah dalam hati.

Sebelum Anggara bangun dan menimbulkan suasana canggung atau kebodohan. Anyelir melesat menuju kamar yang disediakan untuknya. Ia harus bergegas mandi dan bersolek. Jangan sampai Nyonya Julia Pranadipa tiba lebih dulu di ruang makan.

Ketika menginjakkan kaki di kamar, Anyelir hanya mengangkat sebelah alis karena sudah tersedia dress manis di atas kasur. Kemudian meja rias yang tadinya kosong, penuh dengan berbagai macam krim perawatan kulit. Ketika memasuki kamar mandi pun, bath up sudah penuh dengan air hangat bercampur sabun serta kelopak mawar. Pertanyaan yang ada dalam benak Anyelir pertama kali adalah Anggara tidak sedang mempersiapkannya untuk sesuatu yang macam-macam 'kan? Mereka belum resmi di mata publik, apalagi hukum. Ia tidak ingin bermain-main terlalu jauh dengan lelaki satu itu. Apa pun yang terjadi di antara mereka harus sesuai kontrak yang tertulis.

"Non Anye, sepatunya saya taruh di dekat tempat tidur ya," kata salah satu pelayan wanita yang baru saja memasuki kamar.

"Iya, makasih ya," jawab Anyelir usai melihat heels berwarna hitam lewat pantulan cermin.

Mereka akan berangkat menuju Surabaya sekitar dua jam lagi. Ia belum mengemasi kopor sama sekali, maka begitu menyadari wanita yang tengah menata rambutnya tiba-tiba menunduk dalam lantas menyingkir. Anyelir menoleh ke arah pintu. Laki-laki itu di sana, mengenakan setelan kemeja santai. Warnanya berpadu dengan dress yang ia kenakan.

Anggara bersandar pada pembatas pintu, sebelah tangannya masuk ke saku celana cino seperti biasa. Hanya mengarahkan dagu sekilas ke arah luar pintu, tiga wanita yang membantu Anyelir bersolek langsung bergegas meninggalkan kamar. Ia menarik napas panjang dan kembali terpaku pada cermin, saat Anggara menutup pintu tanpa suara dan melangkah mendekat.

"Ada apa?" tanya Anyelir.

Kalau Anggara sedang dalam mode datar begitu, kepala Anyelir pasti memutar kejadian-kejadian tragis korban KDRT dan kekerasan hubungan. Sekali lagi, atas nama kontrak tujuh ratus miliar, sesungguhnya masa muda Anyelir sangatlah berharga.

"Mooi."

Kemudian Anggara sudah berada tepat di belakangnya, kedua tangan laki-laki itu menempel pada meja rias dengan tubuh yang agak membungkuk.

"English please." Anyelir menarik napas lagi, lalu mengulas senyum kecil. "Aku nggak paham kalau kamu pakai bahasa Netherland."

Mata mereka bertaut melalui pantulan cermin. Wajah mereka pun saling bersisian. Ekspresi laki-laki itu masih sedatar tadi, tidak ada emosi berkecamuk di bola mata itu.

"Satu hal Anyelir, sesampainya kita di Surabaya, lupakan Ni Kadek Anyelir Cokroatmojo yang kemarin." Sekarang Anggara menatapnya dari samping, sedangkan ia masih setia mempertahankan senyum pada cermin. "Sore nanti, pastikan kamu menjadi Anyelir Pranadipa yang kumau. Jangan terima apa pun tawaran Eyang Putri. Karena kamu tahu, nggak ada posisi yang lebih baik selain tetap di sisiku."

Tidak ada nada ancaman di sana, tetapi Anyelir paham, melanggar skenario bukanlah ide bagus. Mungkin perempuan lain akan menganggap bahwa kata 'di sisiku'yang Anggara sebut tadi sebagai hal paling romantis. Namun, bagi Anyelir itu adalah sinyal bahwa Anggara ingin mereka berdua saling memperkuat persekutuan yang terjalin antar dua keluarga konglomerat asal tanah Jawa.

"Selama kamu memperlakukan aku dengan baik, I will always by your side."

"Good. Aku kasih semua yang kamu mau, kecuali satu."

Sempat menautkan alis, Anyelir kembali menemukan mata caramel Anggara yang sekarang berjarak sekitar tiga senti darinya. Aroma mint seakan membelai sekitar pipi Anyelir.

"Lari," lanjut laki-laki itu.

"Lari? Aku bukan pengecut sih. Kamu mungkin?"

Satu sudut bibir mereka sama-sama tertarik di saat yang bersamaan.

"Kamu belum lupa siapa yang pegang kendali di sini," sahut Anggara.

Sebelum percikan api muncul dalam bola mata Anggara, ia mengecup singkat hidung laki-laki itu. "Masih ingat kok."

Laki-laki itu malah tiba-tiba diam seribu bahasa selama mereka bersitatap. Anyelir menggunakan kesempatan tersebut untuk melepaskan diri, beranjak menuju tempat tidur.

"Nye, aku mau tanya satu hal."

Anyelir yang tengah duduk di tepi kasur menghentikan gerakannya memasang heels. "Kamu bebas tanya apa aja kok, sayang," jawabnya acuh, lantas kembali memasang tali heels.

"Kamu juga cium semua hidung cowok mainan kamu?"

Anyelir mengernyit, lalu mengurai tawa. "Sumpah, aku kira kamu mau tanya sesuatu yang lebih penting."

"Jawab."

Suara tegas Anggara membuat kepalanya terangkat. Ia duduk tegak dengan kaki yang masih menyilang. Kedua tangannya menekan bagian kasur.

"Kenapa? Kurang banget ya?" Mata Anyelir menyipit. "Atau ini mengingatkan kamu sama seseorang?" Senyumnya mengembang setelah bertanya.

"Jawab."

"Penting?"

"Jawab!"

Mata Anyelir berkedip beberapa kali, memastikan kalau telinganya tak salah mendengar. Tadi Anggara sedikit membentak. Lelucon macam apa ini? Ia cuma iseng. Hal yang sekian menit tadi ia lakukan hanyalah trik melepaskan diri. Kenapa Anggara menganggap hal tersebut seolah-olah sepenting pembahasan kontrak mereka?

"Only you," terang Anyelir.

Senyap merambah seluruh sudut ruangan, mengunci mereka di tengah-tengah. Laki-laki itu mengikis setiap jarak dalam hitungan detik. Sementara Anyelir berusaha beranjak dengan sebelah kaki yang baru terpasang heels.

"Kenapa?" tanya Anggara.

Tak ada ekspresi macam-macam pada raut wajah setengah Eropa itu. Akan tetapi, Anyelir merasa terancam, lagi-lagi kejadian buruk tentang KDRT dan kekerasan dalam hubungan berseliweran dalam kepala. Apa tujuan Anggara menanyakan hal sesepele itu? Anyelir tak bisa membaca apa pun pada raut wajahnya.

"Kenapa harus ada kenapa buat hal sesepele itu? Kamu nggak suka?" tantang Anyelir.

Dengan tersaruk-saruk, Anyelir berjalan mundur, bermaksud meraih gagang pintu. Tatapan tanpa jeda milik Anggara, percakapan acak mereka, dan rumor mengerikan itu secara bergantian menyerang Anyelir bertubi-tubi. Ia berusaha keras untuk terlihat tenang di hadapan laki-laki itu, sedangkan matanya mencari-cari di mana letak benda-benda yang bisa menyelamatkan masa muda, paras cantik, serta tubuh moleknya. Sayang sekali, ia tak menemukan apa pun selain botol-botol perawatan kulit, parfum, dan sisir.

"Kenapa kamu kelihatan takut, Anyelir?"

Anyelir berhasil meraih gagang pintu, tetapi laki-laki itu sudah menahannya lebih dulu. Mereka berimpitan di pintu kayu jati dan ia benci posisi ini. Tangan Anggara terjulur ke arah lehernya. Ia langsung menutup mata rapat-rapat. Kalau laki-laki itu berniat mencekiknya sampai tewas. Anyelir bersumpah akan membuat hidup Anggara juga berakhir dengan cara yang sama.

"Aku boleh ganti kalung kamu 'kan?"

Pertanyaan itu memaksa Anyelir membuka mata lebar-lebar. Kalung berliontin bunga yang serupa namanya kini merosot melewati leher dan jatuh di tangan Anggara. Entah kapan laki-laki itu melepas kaitannya. Senyum kecil laki-laki itu kini terlihat setenang lautan.

"Hah? Oh ... boleh kok." Jawabannya terbata-bata dengan tempo cepat. Ia mengembuskan napas lega, seakan baru saja menyetir mobil secara ugal-ugalan di jalanan yang kanan kirinya adalah jurang.

============ *** ============

Yuhuuuu makasih udah mampir wkwk. Semoga bab ini nggak aneh atau gimana ya 🤣🤣🤣

Tengkyuuu for reading
With love,
Pariskha Aradi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top