11. Di Balik Kekosongan Ruang
Anyelir berhenti di hadapan pintu kayu jati berukiran detail. Ia menggigit sebutir apel merah sembari menimbang-nimbang. Masuk atau tidak? Terdengar suara pantulan sebuah benda beradu dengan kayu berkali-kali. Sebelum keluar kamar, jam dinding menunjukkan pukul 24.00 tepat. Ia turun karena kelaparan dan lemari es kamar tamu hanya berisi minuman soda.
Karena rasa penasaran yang menggelegak, Anyelir mengetuk pintu tak sabaran. "Ada orang di dalam?"
"Masuk," jawab seseorang di balik pintu.
"Kamu lagi ngapain?"
Rambut Anggara terlihat berantakan. Kaus putih polos melekat di tubuhnya. Jejak-jejak kantuk tak tampak di wajah laki-laki itu sama sekali.
Anggara menyeringai. "Kenapa? Mau ditemenin tidur?"
"Ha ha ha." Anyelir mengeja tawa. "Of course Mr. Nonsense, makanya aku nyari kamu. Barang kali kamu butuh yang hangat-hangat, tapi bukan selimut."
Anggara tahu gadis itu sedang mengejek, maka ia mengarahkan dagu ke arah tangga melingkar. "Tidur sana."
"Kamu sendiri ngapain sih? Jaga lilin?"
Usai laki-laki itu menggeser tubuh, Anyelir takjub memandang ruang billiar yang klasik. Ada sofa panjang di sisi kiri dan kanan ruangan. Sementara meja billiar berada di tengah-tengah lengkap dengan bolanya yang berantakan. Beberapa sudah masuk ke lubang. Kemudian botol-botol wine terpajang rapi berjajaran dalam sebuah lemari kayu jati.
"Nggak bisa tidur, butuh olahraga atau ngerjain kerjaan biar capek."
Kali ini Anggara malas memberi jawaban yang aneh-aneh. Ia berbalik meninggalkan gadis yang mengenakan gaun tidur Julia, tanpa berniat menutup pintu. Malam-malamnya selalu begitu, matanya akan terbuka lebar-lebar setelah kurang lebih terpejam tiga menit. Suara dentuman dahsyat dan bayangan hiruk-pikuk orang-orang menjerit disertai tangis selalu muncul tiap Anggara hampir terlelap.
"Terus apa gunanya kamu liburan ke Bali? Tidur nyenyak aja nggak bisa. Kasihan banget sih," sahut Anyelir.
Tanpa menengok, Anggara tahu gadis itu mengikutinya. "Biar kayak orang-orang," jawabnya asal. "Kamu ke dapur tadi?"
Anggara memilih mengalihkan pembicaraan sebelum meraih tongkat billiar. Kalau di Amsterdam, ia biasanya akan berlari di atas treadmill. Tak peduli tengah malam atau hujan badai sekalipun. Kemudian cara terakhir adalah menenggak obat tidur.
"Iya, aku laper. Habis si tuan rumah cuma ngisi soda di kulkas kamarku."
"Mana aku tahu kalau kamu mau menginap." Anggara menyodok bola nomor tujuh, kemudian sedikit bergeser ke kanan. "Minta Bibi masak aja, Nye. Dia siap sedia dua puluh empat jam."
"Kalau boleh jujur sih, aku bukan tipe majikan yang nggak berperi kemanusiaan."
Anyelir memperhatikan laki-laki yang tengah menyelipkan sebelah tangan ke saku celana pendek. Anggara sudah kembali berdiri tegak bersama senyum tengil.
"Kayak punya hati aja kamu."
"Kalau nggak punya, penyakitan dong, Pak. Hati 'kan fungsinya menghancurkan racun dalam darah."
Anggara meletakkan tongkat billiar di meja. Satu sudut bibirnya terangkat, sedangkan langkah tenangnya menghampiri gadis yang menduduki salah satu sofa panjang. Ia pernah mendengar jawaban semacam ini dari seseorang paling berharga. Sesudah duduk tepat di samping gadis itu, ia merentangkan sebelah tangan pada sandaran. Posisi duduk Anyelir pun berubah. Lutut mereka saling bersentuhan. Anggara tahu, Anyelir Cokroatmojo adalah tipikal pemberani yang akan tetap menatap lawan bicara meski dalam keadaan sempit.
"Kalau yang ada di balik ini?"
"Ini." Anyelir ikut menunjuk dadanya. Ia mengulum senyum. "Paru-paru lah. Nggak pernah sekolah ya?"
Seketika Anggara terdiam. Apa candaan semacam itu memang dimiliki banyak perempuan? Akan tetapi, Anggara baru menemukannya di dua orang saja selama bernapas kurang lebih 27th ini.
"Anggara?" Anyelir menjentikkan jari di depan wajah laki-laki itu. "Kalau tengah malam tuh kamu jadi sedikit lebih kalem ya?"
"Kenapa? Mau ngetes aku bipolar atau nggak?"
"Nggak juga sih, aneh aja kalau kamu nggak balik nyerang tiap kita ngobrol."
Laki-laki itu tak menyahut, hanya terus menatapnya. Hingga pertanyaan yang tak pernah Anyelir duga memecah kesunyian.
"Mau lihat bintang nggak?"
Lihat bintang? Anyelir mengulang pertanyaan itu dalam hati. Sepanjang eksistensinya di muka bumi, belum pernah ada lai-laki yang mengajaknya melakukan kegiatan remeh itu. Tidak pernah. Mereka hanya akan nongkrong di kafe, makan malam, main poker, main bowling, dan lain-lain.
Anyelir mengernyit, lantas tertawa lepas. "Anggara lebih baik kamu tidur deh. Pikiran kamu kayaknya kacau berat. Nih, coba dengar." Ia mengangkat telunjuk, kedua alisnya pun ikut terangkat. Senyumnya melebar perlahan. "Hujan deras, Pak."
Sejak kapan hujan turun? Anggara baru menyadarinya. Namun, alih-alih mendengarkan rintik hujan. Tawa renyah gadis itu justru memenuhi gendang telinganya.
Anyelir, apa kamu udah tahu tentang dia dan sedang memanfaatkan peluang? batin Anggara.
Sepanjang siang hingga makan malam, laki-laki itu menghabiskan waktu di ruang baca. Sementara Anyelir mengobrol panjang lebar tentang gaun, lingkup sosial, dan masa kecil bersama Julia Pranadipa. Meski pernikahan mereka didominasi oleh rekayasa dan rencana, tetapi sang ibu mertua tetap memperlakukan Anyelir layaknya calon menantu pada umumnya. Ada satu pertanyaan yang mengganjal dalam benak sejak sore.
"Anggara, I wanna ask you something," tuturnya dengan tenang.
Semoga hal ini tidak membuat monster bipolar Anggara terbangun. Ia belum tahu pasti, maka dari itu ia tetap memasukkan kemungkinan-kemungkinan jelek yang akan terjadi bila rumor tersebut adalah fakta. Anyelir menatap mata caramel itu lekat-lekat. Berupaya mendeteksi jawaban melenceng yang biasanya menjebak.
"Apa?"
"Sebelum aku mati penasaran, kenapa kamu berpikir rumor kamu bisa hilang dengan nikah sama aku?"
Anggara menyeringai. Ia mengubah posisi duduk kembali ke depan. Kedua sikunya bertumpu di lutut. "Simpel. Sepupu kamu yang namanya Adara itu arah mata angin dunia pergosipan, semua kompas pasti mengikuti. Dengan menikahi kamu dan bergabung dalam acara keluarga besar Cokroatmojo, ditambah rencana aku buat kamu, rumornya pasti lama-lama terkikis."
Ah, benar juga. Kenapa Anyelir tak pernah berpikir ke arah sana? "Sebentar, rencana buatku? Aku yakin itu hal yang nggak menyenangkan."
"Tadinya aku berpikir, rugi banget menikahi perempuan yang nggak punya warisan saham, reputasi jelek, dan cuma mengandalkan paras. Tapi setelah baca profil dan latar belakang kamu. Aku justru menemukan banyak taktik buat mendayung tiga pulau sekaligus."
Anyelir menganga lebar, lalu tertawa tanpa suara. Ia menyelipkan sejumput rambut ke telinga. "By the way, Anggara kalau kamu nggak punya warisan dan power untuk memulihkan perusahaan bangkrut. Aku juga males banget sih menumbalkan sisa hidup buat laki-laki control freak macam kamu."
Sambil menekan rasa jengkel, Anyelir bangkit. Secara bersamaan suara petir membelah langit menggelegar. Kalau sudah begini, lebih baik pergi ke kamar dan bergelung di balik selimut. Baru saja menjauh dua langkah tiba-tiba gelap menyergap. Anyelir tak dapat melihat apa pun.
"Bisa-bisanya mati lampu begini." Anggara berdecak, lalu berdiri. Ia hendak mencari ponselnya yang tergeletak entah di mana. "Pak Kus kerjanya nggak becus."
"Anggara," panggil gadis itu.
Anggara hanya menggumam acuh.
"Anggara ...."
Suara Anyelir yang nyaris bisikan membuatnya menoleh cepat. Jelas ia tak melihat apa pun karena gelap. Namun, Anggara yakin gadis itu masih berdiri di tempat yang sama. Berselang sedetik terdengar isakan disusul embusan napas kasar terputus-putus. Lagi-lagi Anggara memandang sekitar yang terasa percuma. Ia mencari asal suara ketakutan itu.
"Anyelir?"
Secara refleks, Anggara meraih sebelah tangan gadis itu. Ia mengernyit begitu merasakan tangan Anyelir yang dingin padahal AC ruangan ini jelas-jelas mati.
"Ang ... gara."
Anyelir terisak melihat sekeliling yang gelap gulita. Dadanya terasa begitu sesak. Ia mengulum bibir, berusaha mengucapkan kata lain selain nama laki-laki itu.
"Kamu ... phobia gelap?" tanya Anggara.
"Aku ... aku ...."
Anyelir menggenggam kuat-kuat tangan Anggara. Ia ingin menjelaskan sesuatu, tetapi bayangan gudang kosong gelap dan menakutkan seketika mengurung titik sadarnya. Tepat saat kaki Anyelir mulai melemas, laki-laki itu merengkuhnya.
"Tenang, aku di sini. Nggak ada yang perlu kamu takuti. Tutup mata kamu sekarang."
Anggara melakukan hal tersebut tanpa pertimbangan sama sekali. Ia hanya memikirkan cara mengurangi ketakutan Anyelir. Gadis itu menyembunyikan wajah di dadanya, sambil bersusah payah mengatur napas. Sementara cengkeramannya pada kaus Anggara semakin bertambah.
"Aku ... tolong—" Anyelir terbata merangkai kata.
"Ssshh ... ik ben hier*," katanya lirih. (*aku di sini)
Kalimat itu selalu Anggara ucapkan ketika mantan kekasihnya mengalami hal serupa. Bagaimana bisa seorang Ni Kadek Anyelir Cokroatmojo dan Arindi Gabriella Jansen memiliki kesamaan yang tak mungkin dimiliki banyak orang? Ia memejamkan mata, mengecup puncak kepala gadis dalam dekapannya. Biarkan Anggara menepikan tentang siapa yang sekarang ia peluk. Karena yang jelas sosok itu perlahan mengisi sebagian kecil kekosongan sebuah ruang.
"Ik ben altij hier, mooi*," ulang Anggara, tetapi secara tak sadar. (*Aku selalu di sini, Cantik)
Ritme napas Anyelir mulai membaik. Ia tidak tahu arti kalimat yang laki-laki itu ucapkan. Namun, entah kenapa ia seolah ingin mendengarnya berkali-kali. Aroma tubuh Anggara perlahan menyambangi indera penciumannya.
Kak Randu, dia melukAnye kayak Kakak. Sekarang Anye benar-benar takut. Takut kalau pelukannya jadisesuatu yang Anye butuhkan.
***
* Ik ben altij hier: aku selalu di sini
Tengkyuuu for reading
With love,
Pariskha Aradi ❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top