Bab 1
Takdir tak dapat diubah dengan mudah. Meskipun seseorang dapat melihat masa depan, tangan Tuhan tetap menjadi penentu hidup seseorang. Seberapa keras pengemis tua itu mencegah hal buruk terjadi, jika takdir sudah tersurat maka pastilah akan terjadi. Airyn tak menyesali semuanya. Malah, ia senang karena mengetahui lebih dulu penyebab ia meninggal.
Genggaman tangan Airyn pada Samira semakin melemah. Samira yang menyadari hal itu kembali mempererat genggamannya. Tangisnya semakin hebat. Ia sangat berterima kasih karena Airyn menyelamatkan hidupnya. Namun, ia juga merasa bersalah karena kecelakaan beberapa menit yang lalu bisa saja menghilangkan nyawa Airyn.
"Jangan menyalahkan dirimu. Aku sudah tahu kapan akhir hidupku dari pengemis tadi. Aku saja yang dungu dan menganggap itu omong kosong," ucap Airyn. Suaranya samar-samar karena ia mengenakan alat bantu pernapasan.
"Pengemis?" tanya Samira.
Airyn mengangguk. Sebelum Samira menghampiri si pengemis, Airyn lebih dulu memberikan uang pada wanita tua itu. Kata pertama yang keluar dari mulut si pengemis adalah darah; sama seperti yang dikatakannya pada Samira.
Airyn sempat kebingungan dengan ucapan si pengemis. Kemudian pengemis itu melanjutkan ucapannya, "Setelah ini, jangan mengambil jalan yang tidak pernah kamu lalui. Pulanglah seperti biasa, pilih jalan yang biasa kamu lalui. Takdir buruk akan terjadi padamu."
Airyn tipikal perempuan keras kepala yang enggan mendengarkan nasihat, apalagi nasihat dari orang tak dikenal.
"Nek, takdir manusia itu sudah ada di tangan Tuhan. Memang Nenek siapa sehingga bisa menentukan takdir buruk akan terjadi pada saya?"
"Percayalah! Saya ingin kamu hidup lebih lama."
"Nenek tahu saya akan meninggal? Kapan? Dan bagaimana?"
"Ketika kamu menyelamatkan seseorang dengan cara menghentikan mobil yang akan menabraknya. Lima belas menit setelah detik ini."
Airyn tersenyum. "Bukankah itu bagus? Aku mati karena menolong orang. Setidaknya di sisa hidupku aku masih bisa membantu orang lain." Airyn meninggalkan wanita tua itu. Ia akan menyeberang jalan untuk menemui kekasihnya sebentar di kafe, lalu ikut ke rumah orang tua kekasihnya. Hari ini ibu dari kekasihnya ulang tahun dan ia akan memberikan hadiah.
Hatinya tiba-tiba ragu. Ia memang belum pernah ke kafe yang arahnya berlawanan dengan rumahnya. Ini juga kali pertama ia akan berkunjung ke rumah kekasihnya. Ada rasa takut menyusup ke hatinya. Jika apa yang dikatakan wanita tua itu benar, maka ia harus bagaimana? Kekasihnya sudah hampir satu jam menunggunya di kafe. Airyn tidak tega bila harus membatalkan janjinya. Lagipula ia juga sangat ingin bertemu dengan ibu dari kekasihnya itu.
Airy berjalan tergesa-gesa agar cepat sampai di kafe. Pengemis itu bilang kecelakaan akan terjadi lima belas menit setelah pengemis itu mengucapkan takdir buruknya. Maka dengan mempercepat langkahnya ia berharap dapat sampai di kafe dalam waktu sepuluh menit. Mungkin saja cara ini akan menyelamatkannya.
Tiba-tiba ia menubruk punggung seseorang. "Eh, maaf," sesalnya. Laki-laki berkacamata hitam itu menoleh. Namun, Airyn tak mengindahkannya. Ia tetap akan menyeberang jalan.
Beberapa detik setelahnya laki-laki itu mencekal tangan Airyn. "Mbak nggak lihat itu lampu hijau? Cari mati apa gimana?" tanya laki-laki itu dengan suara meninggi.
Airyn diam sebentar dan mencoba melepaskan celakan laki-laki itu. Namun, pandangannya segera melihat ke jalanan. Sebuah sedan hitam dari sisi kanan melaju begitu cepat. Matanya membulat ketika seorang perempuan hendak mengambil sebuah benda pipih yang tergeletak begitu saja di tengah jalan. Tanpa aba-aba Airyn langsung berlari, selanjutnya suara dentuman keras disusul dengan klakson yang bersahutan sangat jelas di telinganya. Rasa nyeri tiba-tiba menjalar di setiap sendi tubuhnya. Darah berceceran. Semua yang menyaksikan kejadian itu berkerumun. Airyn tak sadarkan diri.
Samira yang masih syok atas kejadian itu langsung lemas. Wajahnya pucat pasi. "Tolong ... panggil ambulans," katanya dengan suara parau.
Tak lama kemudian ambulans datang. Para medis langsung membawa Airyn. Airyn yang semula pingsan tiba-tiba sadar dan berbicara pada Samira.
"Percuma kita ke rumah sakit, seseorang sudah mengajakku pergi," ucap Airyn setelah menceritakan kronologis sebelum kecelakaan terjadi.
"Kita pasti bisa menyelamatkanmu."
"Aku punya satu permintaan. Tolong hubungi Arsen dan sampaikan permintaan maafku karena tak dapat memberikan ucapan selamat ulang tahun pada ibunya. Dan tolong berikan hadiah di dalam tasku pada ibunya. Sampaikan juga permintaan maafku karena tak dapat mewujudkan mimpinya untuk hidup bersama. Aku mencintainya ...."
Genggaman tangan yang semula melemah tiba-tiba lepas begitu saja. Mata Airyn tertutup sepenuhnya dan napasnya yang tadi terputus-putus kini benar-benar terhenti.
Ambulans baru datang di rumah sakit. Namun, seorang perawat sudah mengabarkan waktu kematian Airyn. Setelahnya Airyn langsung dibawa ke kamar jenazah.
***
Samira menggenggam ponsel miliknya dengan tangan yang masih gemetar. Ia terkejut ketika ponselnya berbunyi.
"Kak," panggilnya dengan suara yang nyaris tak terdengar.
"Kenapa lo baru jawab panggilan gue sekarang? Lo kenapa tadi? Gue bener-bener khawatir." Suara di seberang sana gemetar. Samira tahu, kakaknya pasti sangat mencemaskannya.
"Tadi gue mau ketabrak mobil, tapi ditolongin orang. Orang yang nolongin gue meninggal." Tangis Samira kembali pecah. "Gue harus gimana?"
"Lo tenang dulu. Lo udah kabarin Papa?"
"Udah. Papa lagi di perjalanan."
"Okey, lo tunggu Papa dulu. Gue mau siap-siap. Sekarang juga gue bakal balik."
"Yaudah, lo hati-hati."
Sambungan telpon terputus. Samira mengusap wajahnya yang banjir oleh air mata. Sedari di ambulans tadi ia tak bisa berhenti menangis.
Seorang laki-laki dengan wajah khawatir yang tergambar jelas membuat keributan di depan meja resepsionis. Samira yang sedang duduk sontak berdiri.
"Di mana Airyn?!" bentaknya pada salah satu perawat.
Samira langsung menghampiri laki-laki itu dan bertanya, "Arsen?"
"Kamu yang tadi menghubungi saya?"
Samira mengangguk. Kemudian, ia mengajak Arsen ke kamar jenazah. Arsen berkali-kali mengusap wajahnya gusar. Samira membuka kain yang menutupi wajah Airyn. Tangis Arsen yang sedari tadi tertahan tumpah seketika.
"Sayang," panggil Arsen. Ia membelai wajah Airyn yang masih berlumuran darah. "Bangun, Airyn. Kamu nggak bisa pergi dengan cara seperti ini. Tolong, bangun."
Samira tak kuasa melihat pemandangan yang membuat hatinya terluka itu. Jika ia mati, apakah keluarganya juga akan menangis pilu seperti Arsen? Samira tak sanggup kalau Papa, Mama, serta kakaknya menangisi kepergiaannya. Pasti akan terasa sakit. Tubuh Samira lemas dan ia berjongkok di lantai. Kepalanya ia benamkan di antara tangan dan lututnya.
Mengapa ucapan pengemis itu seperti sebuah kutukan? batinnya.
Beberapa menit kemudian, Arsen turut berjongkok di hadapan Samira. Samira menatap Arsen dan ia menyampaikan pesan terakhir Airyn. Ia memberikan tas Airyn yang berisi kado untuk ibu Arsen.
"Kata Airyn, maaf karena dia tak bisa memberikan ucapan selamat pada ibumu. Ia juga minta maaf karena tak bisa memenuhi janjinya untuk hidup bersamamu. Dan, dia sangat mencintaimu."
Lagi-lagi tangis Arsen seperti menyayat hati Samira.
"Aku mencitaimu Airyn. Sampai bertemu di surga." Kalimat itu Arsen ucapkan dengan pasrah.
***
1060 Words. Daebak! Padahal cuma 1060, tapi tangan keknya pegel banget, dah. Maklum baru nulis lagi setelah laaaaaammmmmaaaaaaaa menetap di gua buat nyari inspirasi. Wkwkwk.
Selamat menikmati bab pembuka ini😊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top